Reuni SMA
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
"Itu pistol!" ujar Shareen membuat hipotesa. Ia yakin yang berada di genggaman Ghazy saat ini adalah benda semerbahayakan itu.
"Buat apa Ghazy punya pistol?" Shareen mengeleng.
Jauh-jauh ia membuang pikiran buruk. Opini sementara, Ghazy butuh itu mungkin untuk suatu hal. Shareen tidak mau suudzon pada Ghazy, sungguh senakal-nakalnya Ghazy ia tidak pantas dituduh macam-macam atas dasar bukti yang belum ada. Kalaupun yang Shareen pikirkan benar, pasti ada yang salah dari Ghazy.
"Astaghfirullah. Sudah, Ren. Kita fokus makan aja. Jangan pikirkan Ghazy, biar itu jadi urusan dia." Anggukan dari Shareen.
Lagipula Shareen tidak mau repot-repot mencemari pikirannya dengan Ghazy. Ia takut syaitan kembali menghasut. Padahal dalam kasus hijrah, istiqomah perlu ditegakkan terutama jangan menengok masa lalu yang sudah usai. Cukup fokus menata masa depan agar lebih terkoneksi dengan Allah. Kalau sewaktu-waktu goyah, Shareen hanya butuh mencharger keimanan. Menetapkan hati hanya pada satu ketaqwaan, mengerjakan hal duniawi hanya atas nama Allah, bukan yang lain, apalagi Ghazy.
***
Melihat perubahan-perubahan putrinya Aryo turut bahagia. Saat Shareen pertama kali keluar kamar mengenakan khimar, Aryo memuja dalam hati dengan kalimat 'Masya Allah'. Ternyata hidayah begitu cepat menghampiri Shareen. Apa yang selama ini Aryo takutkan, tidak terjadi. Terutama soal informasi kalau Shareen telah putus dengan Ghazy, Aryo mengurut dada pertanda bersyukur. Dalam salat, ia selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya. Dan Alhamdulillah, berkat doa orang tua, kemantapan diri, serta desiran Allah yang berbisik di hati, Shareen akhirnya hijrah. Meninggalkan yang buruk untuk menjadi manusia yang lebih baik.
"Bapak senang, Shareen hijrah," ungkap Aryo di meja makan saat sarapan.
"Ibu juga."
"Aku juga, Kak," sambung Shila adik Shareen.
"Sama, Abang juga bangga sama kamu, Dek." Ditambah Syahka kakak tertua Shareen sekaligus anak pertama dari keluarga Aryo.
"Iya. Doakan Shareen istiqomah."
"Aamiinn," sahut semuanya serempak.
Shareen mengumbar senyum. Baru kali ini ia merasa damai bersama keluarganya. Biasa, sebelum Shareen hijrah nyaris tiap hari telinganya dijejali ceramah, terutama dari Aryo. Syahka pun tak kalah mengingatkan dan si cerewet Shila yang suka menimpali. Tetapi Shareen bersyukur karena mereka semua hati Shareen bisa tergerak tanpa sengaja. Meskipun faktor utama penunjang hijrah Shareen berasal dari perantara Mahda. Yang mana direstui Allah untuk terus meracuninya dalam keimanan. Boleh tidak peluk Mahda sekarang? Shareen tidak tahu mau bilang apalagi. Mahda bukan sekadar sahabat cekakak-cekikik, tapi ia sahabat yang mampu menambah ketaqwaan, persahabatnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. Shareen sayang Mahda, sayang sekali.
"Pak, Shareen ijin berangkat ke reuni teman SMA ya?"
"Iya boleh. Pulangnya jam berapa nanti?" Ah, Aryo. Dia selalu memperlakukan Shareen seperti anak SD yang harus tetap dijaga ketat.
"Mungkin sore, Pak."
"Bapak jemput ya?"
Syahka berdehem. "Pak, Shareen bukan anak SD lagi. Dia kan bisa pulang sendiri."
"Syahka! Adikmu itu perempuan. Keluar tanpa mahramnya, masa mau dibiarkan. Kalau diganggu orang di luar, gimana?"
"Biar Syahka yang antar jemput nanti. Bapak tunggu aja di rumah," usulnya.
"Ya sudah."
Di keluarga Shareen memang seproteksi itu pada anak perempuan. Bukan hanya Shareen, Shila pun diperlakukan sama. Syahka suka menumbalkan diri seperti membatalkan janji main futsal hanya demi keselamatan adik-adiknya. Atau sudah janji akan pergi ke kajian bersama temannya, dan harus gagal karena si kecil Shila ada les tambahan di luar jam sekolah. Dan anehnya, Syahka tidak pernah marah. Ia justru senang. Andai dia menikah lebih dulu pun Shareen dan Shila harus tetap dalam pengawasannya. Anggap saja ia tangan kanan Aryo.
"Shila nggak ke mana-mana kan?" Syahka memastikan.
"Sebenarnya Shila ada belajar kelompok di rumah teman, tapi kalau Abang mau antar kak Shareen nggak papa kok. Shila nanti biar dijemput teman aja."
"Nggak!" Aryo tergelak.
"Syahka. Dia adikmu bukan istrimu, kenapa kamu seposesif itu?"
"Posesif kan keturunan Bapak. Masa Bapak nanya lagi." Di antara mereka Shareen hanya jadi penonton. Kadang lucu, Aryo menegur Syahka begitu pula sebaliknya. Akhirnya tidak ada yang mau mengakui diri mereka posesif. Sama-sama merasa perlakuannya benar.
***
Di tempat reuni, Shareen jadi pusat perhatian hingga menimbulkan bisik-bisik. Pasalnya dari semua perempuan yang hadir hanya Shareen yang berpenampilan syar'i. Selebihnya masih modis meski kepala mereka sudah ditutup oleh jilbab.
Shareen hanya bingung, apa salah jika dia datang ke acara reuni dengan pakaian yang syar'i? Kenapa semua memperhatikannya? Termasuk sahabat karib Shareen semasa SMA.
"Ren, gue nggak salah liat kan?" tegur Tisya.
"Salah liat apanya?"
"Lo jadi mahluk sok suci begini. Pakai, pakaian syar'i pula. Lo lupa dulu lo bertukar saliva di depan kita semua sama Dennis!" Ya Allah, kuatkan Shareen atas mulut-mulut jahanam sahabatnya ini. Kalau tahu begini, Shareen tidak mau datang ke reuni kalau hanya jadi bahan olokan di masa lalu.
Menarik napas, Shareen berusaha mengukir senyum meskipun nyaris berubah menjadi tangisan. "Maaf, Tis. Semua orang bisa berubah. Kita nggak bisa menghakimi seseorang karena masa lalunya. Bisa aja dia jadi ahli taqwa di masa depan. Kita nggak ada yang tahu."
"Oh, jadi lo ahli taqwa sekarang! Jumawa banget."
"Bukan gitu, aku sadar diri aku di masa lalu seperti apa, tapi aku sudah janji sama diriku sendiri. Kalau aku mau berubah. Doakan aku istiqomah." Tisya kebal. Ia malah menertawakan Shareen. Baginya Shareen itu buruk, lebih buruk dari dirinya karena melihat rekor di masa lalu Shareen.
"Terus pacar lo mana sekarang? Kok datang sendiri." Introgasi Tisya masih berlanjut. Meski risih dikelilingi dengan tatapan penghakiman, tapi Shareen berusaha menikmati reuni ini.
Shareen senyum."Aku udah putusin dia. Dalam islam nggak ada yang namanya pacaran." Mendengar penuturan Shareen bukan Tisya saja yang berdecih, tetapi teman-teman Shareen yang lain mulai ikut-ikutan. Lalu sedetik kemudian secara bersama-sama suara tawa mereka mengudara.
"Gue rasa, Shareen mabuk."
"Hahahaha."
Astaghfirullah. Berikan mereka hidayah Ya Rabb.
"Heh, Ren. Lo pas SMA pacaran aja puluhan kali. Tiap bulan ganti pacar, sama Dennis putus nyambung. Sekarang lo sok ceramah pacaran dilarang sama islam. Lo ke mana aja dari dulu. Tidur?" Siapa yang tidak sakit hati dengan kalimat tadi. Seteguh-teguhnya hati Shareen, dia masih perempuan yang terlalu perasa. Kalau bisa detik itu juga ia ingin pamit pulang.
"Iya. Hati aku tidur waktu itu. Mati rasa. Kufur nikmat. Lupa kalau ada Allah yang sudah kasih aku napas, rejeki dan sebagainya. Mungkin waktu itu aku ngaji belum sampai di surat Al-Isra ayat 32. Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk".
Kali ini, kalimat Shareen mampu membungkam mulut jahanam mereka. Karena apa, seburuk-buruknya mereka, tidak mungkin menolak ayat yang ada di dalam Al-Quran. Syukurlah mereka masih mengingat itu.
Minim respon, acara reuni selanjutnya diisi dengan makan-makan. Shareen mengigiti bibirnya keras-keras. Jujur, ia ingin menangis. Bukan karena diperolok oleh Tisya dan kawan-kawan. Tetapi ia mengingat seberapa buruk ia di masa lalu sampai tidak pantas menjadi manusia yang lebih baik. Shareen berharap, Allah memberi maaf untuknya. Bahkan saking seriusnya hijrah, Shareen sudah melakukan salat taubat dengan air mata yang berderai-derai. Sekarang, ia harus diputarkan masa lalu yang melambaikan kesedihan.
"Shareen." Oh, cobaan apalagi ini. Kenapa Dennis menghampirinya?"
"Maafkan Tisya sama yang lain ya. Maaf karena aku, kamu jadi diolok-olok."
"Nggak papa, Nis. Itu salah kita, bukan kamu aja." Shareen menyahut dengan kepala menunduk, fokus memotong daging di piring.
"Aku senang kamu hijrah. Aku doakan kamu bisa istiqomah. Dan dapat calon imam yang shalih. Yang bisa memperkuat keimanan kamu."
"Aamiinn. Makasih doanya, Nis."
Dalam doanya, Dennis masih membuat pengharapan. Kalau lelaki shalih itu adalah dirinya yang juga beberapa tahun belakangan ini mulai hijrah. Namun, karena Dennis seorang ikhwan yang apabila hijrah tidak begitu nampak, jadi Dennis masih aman dari bahan olok-olakan temannya.
Usai acara makan, Shareen pamit lebih dulu. Ia beralasan ada tugas kuliah yang harus segera dikerjakan.
Begitu mobil Syahka sampai, Shareen buru-buru masuk. Tanpa aba-aba ia menghambur pelukan pada Syahka.
"Kamu kenapa? Siapa yang nyakitin kamu? Bilang sama abang!"
Tidak menemui jawaban Shareen, Syahka nyaris saja keluar dari mobil kalau Shareen tidak menahannya.
"Abang mau ke mana?"
"Ke dalam. Cari tahu siapa yang buat kamu nangis!"
"Diriku sendiri yang buat aku nangis, Bang. Kalau Abang mau pukul, pukul aja aku!"
Syahka menarik tubuh Shareen untuk didekap. Dengan telaten ia mengelus pelan rambut Shareen memberi ketenangan. Ia tahu, adiknya paling tidak bisa dikasari. Hatinya memang sesensitif itu.
Barulah setelah tangis Shareen mereda. Ia menceritakan kejadian di dalam. Dan sekalipun tidak pernah menghakimi Tisya yang sudah mengukir sedikit luka di hatinya. Bagi Shareen yang Tisya katakan benar. Hanya saja penyampaiannya yang terlalu kasar hingga membuat hati Shareen yang sensitif sedikit tergores lalu menyalahkan dirinya di masa lalu.
"Buktikan ke orang-orang hijrah kamu bukan panas sehari. Tampar mereka dengan perubahan yang lebih pasti. Bilang ke mereka hijrah itu proses. Ibarat sebuah baju, hijrah itu dimulai dengan membenarkan benang yang kusut, untuk kemudian dijahit, dibentuk pola, digunting keburukan-keburukan di masa lalu. Sampai akhirnya jadi sebuah baju yang cantik, meski ia tidak akan pernah sempurna. Karena selalu kotor dan dibersihkan kembali."
Shareen salut punya kakak sebijaksana Syahka. Semoga nanti Shareen dapat laki-laki shalih yang menjaganya seperti Syahka. Komposisi posesifnya pas, proteksinya yang tidak sama sekali menguasai. Shareen suka itu. Selain meniru sifat Aryo, Syahka punya sisi lain yang tidak dimiliki bapaknya. Yaitu, romantis. Syahka bisa romantis pada ibunya dan dua adiknya, apalagi dengan istrinya. Beruntung sekali yang menjadi pendamping hidup Syahka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro