Posesif Yang Mengakar
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Shareen mengunci suara saat terciduk bapaknya pulang di atas jam sepuluh malam. Wallahi, Shareen tidak ingin membantah. Diceramahi sekasar apapun Shareen terima. Termasuk soal bapaknya yang mulai menjelek-jelekkan Ghazy. Mengaitkan atribut keshalihan dengan masalah ini.
"Kamu pikir laki-laki seperti apa Ghazy itu? Tidak ada laki-laki baik yang memulangkan putri orang di atas jam sepuluh malam. Apalagi sebelumnya tidak ijin, asal bawa, pulang pun tidak minta maaf. Apa begitu yang kamu sebut baik? Jawab bapak, Ren!" Mata Shareen sudah tergenang air. Sudah dua orang sepertinya tidak merekomendasikan Ghazy sebagai pilihan. Pertama Mahda, dan sekarang bapaknya.
"Lain kali, kalau kamu pulang jam segini lagi. Bapak kunciin kamu pintu, tidur aja di luar!"
"Pak, Shareen minta maaf." Saat Aryo ingin beranjak ke kamar, Shareen menarik tangan bapaknya kemudian mencium setulus hati. "Sekali lagi, Shareen minta maaf, Pak. Maafkan Ghazy juga." Tidak digubris, tangan Shareen dihempas pelan. Sudah muak Aryo mendengar maaf putrinya, kalau lain waktu hanya akan diulangi.
Wallahi, Shareen tidak bermaksud memurkai bapaknya. Selama ini dalam sejarah, Shareen adalah anak yang penurut. Bukan berarti Shareen tidak pernah mencacati hati bapaknya, bukan. Hanya saja komposisi membangkang lebih sedikit, sementara sisanya dikuasai sifat patuh. Namun, itu semua hanya rekor sebelum ia mengenal Ghazy. Semenjak laki-laki itu masuk dalam kehidupannya. Porsi patuh mulai terbalik. Yang dulunya lebih prioritas, sekarang hanya sebagai angin lalu. Dan lagi-lagi semuanya karena Ghazy. Laki-laki yang belum tentu menikahinya, laki-laki yang menggunakan haknya sebelum halal, laki-laki yang--ah, sudahlah. Menuliskan deskripsi Ghazy tidak akan cukup sehari semalam.
**🌹🌹🌹**
Sudah puluhan telepon menghiasi layar ponsel Shareen. Ia asik belanja bersama teman-teman SMA. Tidak tahu, kalau Ghazy sibuk meneleponnya karena nyaris tidak dikabari seharian ini. Biasanya, pagi-pagi Shareen duluan menghubungi, entah mengucapkan kalimat basi seperti 'Pagi sayankku' atau yang lainnya. Yang jelas, ponsel Ghazy pasti berbunyi. Tetapi, hari ini Shareen sama sekali tidak mengusik Ghazy. Bahkan sampai matahari meninggi, adzan dzuhur berkumandang, ponsel Ghazy sama sekali tidak ada tanda-tanda akan berdering. Bosan, Ghazy putuskan menelepon Shareen lebih dulu. Dan tahu, apa yang ia dapatkan. Hanya bunyi dering dan suara operator. Tentu Ghazy murka, sisi posesifnya mulai muncul. Ia bersumpah akan menelepon Shareen sampai diangkat.
Barulah saat Shareen berhenti di salah satu tempat makan, ia mulai mencari ponselnya di dalam tas. Melihat puluhan panggilan tak terjawab, apalagi semuanya menayangkan nama Ghazy, Shareen mendadak gugup. Ia mengumpat diri sendiri yang lalai memperhatikan ponsel. Dan satu lagi yang Shareen sesali, ia lupa ijin pada Ghazy kalau hari ini ada janji temu bersama teman SMA.
"Hallo, Gha," sapanya takut-takut.
"Kamu di mana? Kenapa aku telepon nggak angkat?" Suara Ghazy beralunan seram. Shareen sampai harus menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga akibat teriakan Ghazy.
"Aku ...." Kalau Shareen dusta, pasti kemurkaan Ghazy akan bertambah. Tetapi kalau jujur, sama saja Shareen sedang memancing harimau untuk menerkamnya. Serius, Shareen serba salah.
"Apa? Mau bohong?"
"Aku lagi di Mall. Sama teman SMA, tadi habis belanja baju. Maaf aku nggak kabarin kamu yaa Gha, tadi aku buru-buru." Shareen mengigit bibirnya, ia seolah menebak reaksi Ghazy setelah ini.
"Oh ... bagus ya. Jalan-jalan, beli baju, nggak ngabarin, ditelepon nggak angkat. Kayaknya kamu mulai nggak peduli sama aku. Oke, baik. Senang-senang aja sana. Nggak usah hubungi aku !" Telepon diputus sepihak. Shareen memijat kepalanya, sudah sering Ghazy bertingkah kekanakan dengan sifat posesifnya. Ini bukan yang pertama, sudah ratusan kali Shareen disirami kalimat cercaan, dan dia selalu memaafkan. Bahkan lebih tepatnya meminta maaf.
"Kenapa Ren?" Melihat reaksi berbeda dari sahabatnya, Kesya bertanya.
"Nggak papa. Aku balik duluan boleh nggak?"
"Yahh, Ren. Baru juga bentar. Kita juga jarang-jarang ngumpul. Sampai sorelah, masa balik sekarang." Ya, Shareen juga tidak ikhlas beranjak dari situ. Tetapi ada bayi besar yang harus ia urus. Minimal Shareen harus membujuknya, meminta maaf, kalau tidak Ghazy pasti akan lebih menyeramkan. Ia bisa menunaikan nazar dengan tidak menghubungi Shareen selama seminggu.
"Maaf yaa, tapi aku ada urusan. Lain kali deh kita ngumpul kayak gini lagi. Nggak papa ya?" Disetujui atau tidak, Shareen tetap menarik tasnya, berpamitan pergi meski muka-muka sahabatnya mulai terkontaminasi kesal.
**🌹🌹**
Tiba di kampus, Shareen telat mengejar Ghazy yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangan. Mata kuliahnya akan berlangsung sebentar lagi. Dan itu mempupuk kekecewaan Shareen. Sebab, sebelum masuk ruangan, Ghazy sempat menoleh Shareen yang berjalan ke arahnya. Namun, Ghazy tak acuh, mempertahankan ego yang sudah telanjur melangit.
Misi mendatangi Ghazy batal, Shareen berbelok ke ruangannya, mendatangi Mahda yang sedang duduk sambil membaca novel islami. Serius, Shareen butuh tampungan kekesalannya. Bukan berarti ia datang meminta maaf pada Ghazy lantas ia terima diperlakukan posesif. Justru Shareen bosan dipenjara oleh Ghazy, semata-mata membujuk Ghazy hanya tidak ingin bertengkar, karena Shareen tipe perempuan yang cinta damai. Sekalipun sikap Ghazy amatlah sangat-sangat menyebalkan.
"Mahda. Mau curhat dong." Menutup buku, Mahda menoleh pada Shareen. Tanpa diminta pun, Mahda sudah seperti tong sampah yang siap menampung resah-resah di hati Shareen. Ia juga yang terkadang membersihkan sampah-sampah itu agar tidak selalu menodai hati Shareen.
"Kenapa Ren?"
Oke, lupakan soal debat mereka kemarin. Peduli apa dengan itu, biarkan Shareen mengeluarkan uneg-unegnya. "Tadi sebelum ke kampus aku kan diajak teman SMA buat ngemall. Ya kamu tahulah, perempuan kalau udah belanja lupa segala-galanya termasuk ponsel. Terus, Ghazy nelepon aku berpuluh-puluh kali dan nggak kuangkat karena nggak dengar, hpnya aku taruh di tas, Da. Pas aku telepon balik, Ghazy marah-marah. Aku datangi di ruangannya, aku dicuekin. Sifat posesifnya kambuh lagi, kan kesel." Lagi-lagi masalah Ghazy. Sepertinya Shareen salah alamat menempatkan Mahda sebagai teman curhat. Karena solusi Mahda hanya dua, Halalkan atau Sudahi?
Menangkap respon wajah Mahda, Shareen sudah menebak ia akan diceramahi. "Ren. Bukannya kemarin kita berantem soal ini ya. Apa sikap Ghazy sekarang nggak buat kamu berpikir ulang? Apa Ghazy masih pantas dipertahankan atau lebih baik kamu lepaskan?"
"Tapi, Ghazy perjuangin aku Da. Aku tahu perjuangan dia, apa aku harus ninggalin orang yang memperjuangkan aku?"
"Perjuangan yang mana, Ren? Apa yang Ghazy perjuangkan buat kamu?"
Shareen membuang napas. "Kondisi yang nggak berpihak sama kita Da. Ghazy masih harus membagi uangnya untuk keluarga dia. Jadi untuk menikahi aku, Ghazy butuh waktu. Ya, mungkin dua tahun atau tiga tahun lagi." Mahda tercengang. Bahkan mimik wajah Shareen tidak diselimuti ragu ketika menyebut angka yang belum bisa dipastikan apakah ia masih hidup atau meninggal pada tahun itu.
"Kamu yakin, itu adalah bagian dari perjuangan Ghazy? Apa Ghazy pernah berikan keyakinan ke kamu bahwa dia akan melamar?" Jujur, bagian tanya ini sedikit meresahi hati Shareen. Pasalnya, respon Ghazy yang sangat minim ketika ia membuat pengandaian soal masa depan kemarin malam, membuat Shareen dilanda risau.
"Tolong jangan bikin aku down," ujarnya lirih.
"Aku nggak pernah buat kamu down. Aku cuma mau yang terbaik buat kamu Ren. Justru aku seperti ini karena aku sayang sama kamu. Aku nggak mau kamu nabung dosa bertahun-tahun lagi. Tolong Ren, kamu pikirkan lagi soal Ghazy. Maaf kalau ada kata-kataku yang kurang berkenan. Aku minta maaf." Serius, kalimat Mahda seperti mengoyaki keyakinan Shareen. Apakah Ghazy benar-benar bukan sosok imam yang pontesial? Apakah menyudahi hubungan adalah pilihan yang tepat? Shareen risau, benar-benar risau.
"Aku pikir curhat sama kamu bikin hati adem. Ternyata aku salah yaa, Da. Kamu cuma bikin aku down."
"Aku minta maaf Ren, kalau kata-kataku nggak berkenan di hati kamu."
"Ah, udahlah. Aku mau bolos aja. Mau nenangin diri. Nggak Ghazy, nggak kamu, sama-sama bikin aku pusing!"
**🌹🌹**
Dari kejauhan sepasang mata sedang memindai Shareen. Memilih bolos dari mata kuliah perbankan, Shareen malah terciduk oleh seseorang. Tidak jauh dari kampus memang banyak warung makan, Shareen mampir ke sana lalu melampiaskan kesal dengan memasukan berbagai jenis makanan yang bisa membuat ia lupa akan masalah. Sadar, memandangi perempuan yang bukan mahram adalah sesuatu yang dilarang, ia segera menunduk, kembali melanjutkan aktivitas. Cukuplah Shareen menjadi trending topic dalam doa-doanya. Ia belum berani bertindak jauh, sebab Shareen masih kepunyaan orang lain. Meski tahu pemegang Shareen bukanlah pemilik yang resmi, tapi ia cukup mengerti untuk tidak menganggu mereka. Lagipula ia harus menyortir perasaan, ia akan maju kalau persiapan sudah matang.
Bukan bertanya apakah kamu mau menjadi kekasihku? Bukan. Pertanyaan semacam itu hanya ditujukan dari seorang ikhwan yang tidak berani berkomitmen, cinta, tapi tidak berani menanggung jawabi perasaan. Bukti cinta hanya satu, menikah. Ya, dan laki-laki pengagum Shareen sedang menerapkan prinsip kalau cinta, berarti melamar.
Kemunculan Ghazy pertanda ia harus menyudahi curi pandang pada Shareen. Baguslah, lagipula ia belum pantas memandangi Shareen selama itu. Durasinya masih harus detik belum berganti menit. Di situ juga ia sadar, kalau ternyata Shareen bukan menjadi jawaban dari doanya, mungkin ada Shareen-Shareen yang lain, yang akan menemaninya. Ia berjanji akan menghapus rasa kalau ternyata Shareen berjodoh dengan Ghazy. Bahkan ia berdoa pada Allah untuk menetralkan perasaannya yang mulai dibisiki syaitan. Makanya sampai sekarang ia tidak menunjukkan ciri-ciri suka. Masih sering beristighfar kalau mulai kelewatan mengagumi Shareen.
Ghazy memang muncul di sana, tapi bukan untuk menemui Shareen melainkan pesan makan lalu duduk di bangku yang lain, sendirian. Shareen paham membujuk Ghazy dalam mode kesal bukan perihal mudah. Butuh trik seperti memperbanyak pasokan sabar. Baiklah, untuk saat ini opsi yang paling bagus hanya satu, membangun kembali komunikasi mereka. Meskipun nasihat-nasihat Mahda terus menghantui pikiran, tapi sisi kecintaannya terhadap Ghazy masih belum bisa dikalahkan.
"Gha. Aku duduk sini ya." Shareen dicueki. Tidak sepatah kata pun Ghazy bicara. Baginya, Shareen hanya patung.
Shareen bicara lagi. "Gha. Udah dong marahnya. Aku kan udah minta maaf. Maafin yaa." Shareen sengaja memanjakan-manjakan suara, barangkali bisa menyentuh hati Ghazy.
"Mba, tambah es jeruknya satu gelas lagi ya." Lagi-lagi Shareen diabaikan.
"Gha. Iya, aku salah. Pergi nggak pamit dulu sama kamu. Maaf, aku buru-buru. Serius, waktu kamu nelepon aku nggak dengar. Maafin aku ya. Sayang ... maafin aku." Shareen mulai merengek.
"Bisa diam nggak?!"
Baik, Shareen diam. Melanjutkan makan yang belum habis. Duduk bersisian dengan bibir yang sibuk mengunyah tanpa saling sapa sebenarnya kondisi paling sulit dalam hubungan. Mereka seolah tidak saling melihat, ditengah seakan ada sekat pembatas. Usai makan pun Ghazy tidak mau repot-repot menawari tumpangan. Ditinggalkannya Shareen tanpa pamit.
Kalau begini keyakinan Shareen mulai berkurang. Nasihat Mahda semakin bertebaran di otak. Shareen perlu lebih mendalami apa yang Mahda katakan. Barangkali memang ada yang salah dengan keputusannya.
***
Malamnya, Shareen menelepon. Namun beberapa kali laki-laki itu menolak panggilan sebelum akhirnya mau mengangkat.
"Apa lagi?" ujarnya.
"Aku minta maaf, Gha. Tolong dong jangan gini. Sikap kamu nyebelin. Kamu bilang sayang sama aku. Mau perjuangin cinta kita. Tapi giliran kita berantem kayak gini aja kamu nutup komunikasi. Anggap aku patung di warung makan tadi. Katanya kita harus saling mendewasakan diri, lalu kabur dari masalah apa itu yang disebut dewasa?"
Ghazy diam, meresapi kalimat Shareen. "Kamu kan yang mulai! Pergi jalan-jalan, lupa ngabarin, telepon nggak diangkat. Salah siapa? Kamu jelas ngundang emosi aku. Jadi wajar kalau aku marah." Shareen mengigit bibir.
"Makanya aku minta maaf," rengeknya.
"Minta maaf dengan cara marah-marah juga. Cari kesalahan orang lain?" Oke, sepertinya Shareen tidak akan pernah menang melawan Ghazy dalam debat. Ia selalu pintar berdalih. Mau Shareen yang benar pun, Ghazy tetap menyalahkan. Dia manusia super egois.
"Kamu nyebelin," ujar Shareen mulai menangis.
"Kalau aku nyebelin. Cari aja sana cowok lain yang nggak nyebelin!" Ghazy tidak serius berucap, ia hanya sedang disetir emosi. Jadi semua yang keluar adalah reaksi spontan, bukan benar-benar dari hati. Sayangnya, Shareen menanggapi dengan hati yang sensitif. Telepon pun diputus sepihak.
Diam-diam, Aryo menguping. Ia curi dengar percakapan Shareen dan Ghazy. Mengetahui Shareen menangis, ia segera menerebos masuk.
"Kenapa nangis?" Ditanya bapaknya, Shareen tidak berani mengangkat wajah.
"Si Ghazy ngomong apa? Kalau macam-macam biar bapak hajar dia!"
"Jangan Pak!"
Ya Allah, Aryo muak sekali melihat air mata anaknya. Belum apa-apa saja Ghazy sudah menjadi sumber patah hati.
"Jangan pacaran lagi sama Ghazy. Sudah sering kan bapak bilang. Berhenti pacaran! Kalau dia serius segera nikahi, jangan tahunya nyakitin aja, giliran disuruh berkomitmen kabur. Kalau belum sanggup menjadi kepala rumah tangga, nggak usah pacarin anak orang! Bilang itu ke Ghazy."
Shareen tidak tahu lagi, ia mulai ragu bersama Ghazy. Namun, cinta tidak halalnya itu masih menghantui. Shareen berada di tengah, antara malaikat dan syaitan. Lalu dia bingung memilih yang mana.
Lima bulan yang lalu Ghazy pernah mengiming-imingi Shareen masa depan. Dia bilang setelah lulus kuliah akan mulai mengatur rencana pernikahan. Namun, belakangan, Ghazy tidak pernah lagi mengungkit perihal itu. Bahkan untuk membahasnya saja Ghazy tidak bersemangat, ia kehilangan antusias. Mengingat kembali masa itu, Shareen percaya Ghazy sedang memperjuangkannya. Menyusun strategi dua atau tiga tahun ke depan. Lalu keyakinan-keyakinannya mulai dirobek oleh Mahda berlanjut ke Aryo dan kini dirinya sendiri.
Mahda
Iya, Ren
Jari-jari Shareen gemetaran. Seriuskah dia mau bertanya ini?
Apa kalau aku ninggalin Ghazy, aku bakal dapat laki-laki yang bisa mencintai aku lebih dari Ghazy, Da?"
Serius, Shareen belum ada niat memutuskan Ghazy. Tetapi untuk ke arah sana, ia mulai kepikiran. Bukan berarti setelah ini ia akan bilang putus. Butuh keyakinan penuh untuk melakukan hal besar dalam hidupnya.
Shareen sayang. Kalau dia benar-benar cinta sama kamu. Maka kamu harus tahu, ada yang akan lebih ia cintai dari kamu. Bukan ibunya atau bapaknya, tapi Allah s.w.t. Kalau Allah saja bisa ia cintai sepenuh hati, apalagi mahluknya. Tentu dia bisa mencintai kamu lebih dari Ghazy. Dan, bukti cintanya hanya akan ia sematkan pada pernikahan, bukan pacaran.
Shareen tarik napas. Pertanyaannya sekarang, apa Shareen sanggup meninggalkan Ghazy, apalagi hatinya masih terbalut rasa yang mengepung syahdu, sering dibuau Ghazy dengan perhatian-perhatian kecil. Sanggupkah Shareen?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro