Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Opsi Terbaik adalah, Melepaskan

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Ghazy senang luar biasa saat ada notifikasi di ponselnya berupa pesan dari Shareen. Ya, memang benar Shareen mengundang Ghazy makan siang di kantin depan kampus. Keputusannya sudah final. Opsi terbaik adalah, melepaskan. Ghazy sudah tidak bisa dipertahankan. Seperti kata bapak dan Mahda, Ghazy bukan rekomendasi yang tepat untuk dijadikan suami. Dan Shareen menyetujui hal itu setelah galau berkepanjangan.

"Aku tahu," ujar Ghazy sumringah. "Pasti kamu berubah pikiran kan?"

"Ya, aku memang berubah pikiran." Pukulan tangan Ghazy di meja sebagai bentuk kesenangannya membuat Shareen terkejut.

"Baguslah. Aku udah nebak, kalau kamu akan ikutin kata-kataku. Merubah keputusan bodoh untuk hijrah. Aku lebih suka Shareen yang kayak gini." Telapak tangan Ghazy maju menggapai jemari Shareen, sayang belum sempat kedua tangan mereka bertautan, Shareen lebih dulu menarik telapaknya.

Oke. Ini saatnya Shareen membuka prolog. "Aku memang berubah pikiran .... untuk menjadi pacar kamu lagi. Bukan cuma itu. Aku juga berubah pikiran untuk jadi pendamping hidup kamu, apalagi jadi istri dari seorang Ghazy. Maaf, aku berubah pikiran. Aku rasa, kamu bukan seorang imam yang pantas menjadi rekomendasi untuk dipertahankan. Jadi, lebih baik, kita sudahi aja tabungan dosa ini. Jangan ganggu aku lagi! Kamu paham kan?"
Serius, pahatan senyum Ghazy perlahan patah. Yang tersisa hanya segurat kemarahan. Tarikan urat di lehernya pun menegang. Kalimat Shareen menjadi tamparan sekaligus bentuk dari tidak apresiasinya Shareen terhadap Ghazy. Padahal, keputusan seharusnya berada di tangan laki-laki. Namun, Shareen menjungkir balikan posisi, mengambil alih menjadi pemegang kendali. Ghazy merasa tersinggung. Sebagai laki-laki ia tidak terima diputusi.

Ia pura-pura tertawa. "Aku bukan pakar sastra indonesia. Tolong kalau buat kalimat jangan mutar-mutar. Bisa kan langsung ke inti." Sebenarnya ia masih menolak percaya, kalau ia diminta meninggalkan Shareen.

"Ghazy. Aku minta kita putus! Berakhir. Tamat. Pisah. Nggak ada hubungan lagi di antara kita. Usai. Berhenti. Apa kata-kata itu belum cukup bikin kamu paham?" Cekraman tangannya menguat. Nyaris saja ia menghajar meja sebagai pelampiasan.

"Mulai hari ini. Jangan dekati aku lagi! Jangan usik aku, apalagi melarang aku memakai jilbab! Karena nggak ada lagi kapasitas menasihati di antara kita. Cukup jalani hidup masing-masing." Kalimat ini mulai memberat, apalagi menuju epilog. Bagaimanapun, Ghazy pernah mengukir kenangan. Mewarnai hidup Shareen. "Aku minta maaf, kalau keputusan ini mendadak. Tapi, aku sudah pikirkan ini matang-matang." Sampai di situ, mata Shareen mulai berkaca. "Makasih ya, Gha. Buat semuanya. Kenangan, pengalaman, pelajaran, yang mungkin nggak bisa aku lupakan. Makasih, udah pernah jadi orang yang sayang sama Shareen. Karena kamu, aku juga belajar artinya mendosa. Dan karena kamu, aku bisa kembali menyambung koneksi dengan Allah. Aku harap, kamu pun bisa seperti itu, cepat atau lambat."

"Kamu udah nggak sayang lagi sama aku?"

Shareen menarik napas. "Aku masih sayang sama kamu," ujarnya sangat lirih. "Tapi, aku lebih sayang dengan yang menciptakan kita, Allah." Shareen memang tidak berdusta, sampai detik ini Ghazy masih menghiasi hati. Namun, ia berjanji akan menghapusnya pelan-pelan, tentu dengan meminta pertolongan pada Allah.

"Aku pamit ya Gha?" Hah, Ghazy benci situasi melankolis macam ini. Pasalnya, ia mati-matian menahan air mata. Ditinggalkan Shareen menjadi sumber patah hati terdalam Ghazy. Selama ini Ghazy memang nakal, tapi soal mencintai Shareen, dia serius.

"Gha, aku pamit ya?"

"Kamu tahu." Baru saja Shareen ingin menarik tasnya, Ghazy membuka suara. "Kamu baru aja menyakiti hati seorang laki-laki yang sayang sama kamu."

"Aku tahu. Tapi, sekarang aku lebih takut menyakiti Allah. Aku takut, di umurku yang mungkin tersisa sedikit, aku lupa bersyukur. Maafin aku ya, Gha. Maaf sudah bikin hati kamu sakit. Ini buat kebaikan kita bersama. Opsi terbaik adalah, melepaskan."

Sudah, Shareen tidak mau lagi ditahan. Air mata yang ia sembunyikan bisa jatuh di hadapan Ghazy kalau ia tidak segera pergi. Bukan hanya Ghazy yang merasa hatinya tercabik, Shareen juga merasakannya. Meninggalkan Ghazy yang sudah menjadi candunya setiap hari membuat Shareen sampai salat istikharah. Ia meminta kekuatan pada Allah untuk bicara dengan Ghazy soal perpisahan ini. Dan, finalnya, Shareen berhasil berperang dengan batinnya, meski ia juga berduka.

**🌹🌹🌹**

"Jadi kamu sudah mutusin Ghazy?" Tingkat penasaran Mahda meningkat. Pasalnya, di sosial media milik Ghazy, foto-foto Shareen telah dihapus. Bahkan status Ghazy di facebook berubah menjadi lajang. Sebegitu hiperbolisnya Ghazy dalam dunia percintaan.

"Iya. Sudah, semalam."

"Al hamdu lillah." Mahda segera membagi pelukan pada Shareen. Ia tahu, Shareen sebenarnya wanita yang baik, yang masih menjaga kehormatannya. Yang masih bisa diracuni nasihat-nasihat kebaikan. Terbukti, sekarang Shareen sudah mengaplikasikan kalimat-kalimat Mahda.

"Mas Nafhan. Kita pesan baksonya dua ya." Kebetulan ini jam makan siang, jadi Shareen dan Mahda sengaja mampir ke warung depan kampus sembari menunggu dosen mereka datang.

Wajah Shareen masih tampak murung, mengusir Ghazy dari hidupnya bukan perkara mudah. Orang yang sehari-seharinya selalu bersama Shareen tiba-tiba lenyap. Shareen harus mengubah frekuensi ke chanel lain agar Ghazy tidak terus-terusan membayangi. Diputuskannya ikut Mahda ke kajian pada hari sabtu dan minggu. Malam harinya, Shareen juga ikut mengaji di masjid dekat rumahnya. Hitung-hitung, ini bekal menambah keistiqomahannya dalam hijrah. Jangan sampai goyah, kalau bisa niat kebaikan terus tertanam di hati Shareen.

"Ini Mbak, baksonya. Untuk hari ini gratis."

Shareen bereaksi. "Gratis? Mas Nafhan serius?"

"Sangat serius, Mbak."

"Dalam rangka apa nih Mas?"

Nafhan mengukir senyum. "Dalam rangka berbagi rejeki."

"Al hamdu lillah. Kita makan ya Mas."

"Silakan."

Nafhan memang dapat pengecualian oleh mahasiswi dan mahasiswa kampus karena pembawaannya yang baik ditambah dengan wajah yang hitam manis, karena itu Nafhan selalu dijunjung tinggi dengan panggilan 'Mas'.

Dari kejauhan, ada sepasang mata yang mengawasi Shareen. Semalaman, ia tidak tidur. Berharap Shareen menarik kalimatnya atau pengandaian lebih bodoh lagi, kalau putusnya ia dengan Shareen hanya drama dalam bunga tidur. Tetapi, sampai matanya kembali menangkap sirna matahari, Ghazy tahu semuanya realita. Ia dan Shareen memang benar-benar berpisah. Bukan lagi sepasang kekasih yang bebas merajut kasih.

Dan, seperti masih terhubung koneksi, Shareen sadar ada Ghazy yang sedang memperhatikannya. Namun, Shareen mengabaikan. Ikut berbaur dengan obrolan Mahda. Ia menganggap, bahwa Ghazy hanya bagian dari halusinasi.

**🌹🌹🌹**

"Mahda. Apa aku harus beli gamis ya? Kalau kayak gini kurang cocok." Jujur, Shareen sibuk sendiri saat menukar pakaiannya di rumah Mahda. Setelan celana longgar dengan baju yang menutup bokong rasanya masih kurang pas dikenakan.

"Iya. Kalau kamu punya uang beli aja, Ren. Pasti kamu cantik pakai gamis panjang dipadukan dengan khimar."

Shareen manggut-manggut. "Atau nggak, gamis kamu hadiahkan aja satu buat aku, Da." Mahda melepas tawa. Dasar, Shareen. Kalau bicara terlalu pada inti, padahal perempuan sekelas Mahda paham sekali dengan yang namanya kode-kodean.

"Iya. Ini satu yang warna biru buat kamu deh."

"Ah ... syukron Mahda." Sudah biasa dengan pelukan keras Shareen, Mahda balas mendekap erat. Sambil berujar, "afwan, Ren. Dipakai ya, semoga bermanfaat."

Persahabatan yang baik bukan hanya dihiasi dengan canda tawa, nongkrong di kafe berkelas, foya-foya dengan belanja baju branded. Tetapi persahabatan yang baik, adalah yang bisa menyeret sahabatnya sampai jannah. Yang menulari keimanan, yang merasuki ketaqawaan, dan menanamkan keistiqomahaan untuk menjadi calon penghuni surga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro