Ambigu
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Tiba di rumah, Shareen diantarkan Syahka sampai kamar. Ia memastikan adiknya dalam keadaan baik-baik saja. Syahka akan menyumpah jika satu tetes air mata Shareen sampai menetes. Selama ini Syahka selalu menahan diri untuk tidak menghajar wajah Ghazy. Pasalnya sewaktu Shareen masih berpacaran dengan Ghazy, tidak sekali dua kali Shareen dibuatnya menangis.
"Tidur. Abang akan tunggu di sini sampai kamu terlelap." Intruksinya pada Shareen.
Shareen mengulum senyum. "Abang mau ngintip adiknya ganti baju emang?"
"Astaghfirullah. Maaf abang lupa. Ya sudah abang keluar dulu, kalau sudah panggil abang di ruang tamu." Shareen mengangguk.
Kadang, saking posesifnya Syahka sampai melupakan bagian-bagian privasi Shareen. Ia lupa Shareen sudah dewasa. Bukan anak kecil yang bebas ia timang-timang. Sibuk mengurus kedua adik perempuannya, Syahka sampai lupa mencari pendamping hidup. Memasuki usia di atas dua puluh enam tahun, Syahka betah menyendiri. Beberapa perempuan suka menawarinya untuk dijadikan pacar, namun Syahka menolak. Tidak ada pacaran dalam kampus kehidupan Syahka. Penanaman Aryo sangat baik diingatannya. Aryo bilang, pacaran tidak ada dalam islam, ia menyarankan Syahka untuk segera menikah jika sudah bertemu seorang wanita yang pas. Bahkan ketika Syahka jatuh cinta dengan Bella, temannya di kampus, Syahka nyaris kesulitan menyetir perasaan. Hampir saja, Syahka mengajak Bella berpacaran kalau tidak mengingat nasihat Aryo.
**🌹🌹**
Seberapa kuat pun usaha Shareen untuk menghindari Ghazy, nyatanya mereka tetap saja bisa berpapas di koridor kampus pagi ini. Ghazy mungkin senang bisa mencuri pandang ke Shareen, tapi Shareen benci momen ini. Seakan-akan merusak kekhusyukannya dalam hijrah. Tidak peduli dengan lirikan Ghazy, Shareen tetap berjalan seolah hanya ada ia di lorong itu. Dan celakanya, Ghazy bersuara, menyetopkan langkah Shareen.
"Sebentar, aku mau ngomong!"
"Apa kalau aku berubah, kita bisa balikan?" Oh, pertanyaan macam apa itu.
"Berubahlah karena Allah, jangan karena manusia. Lagipula, nggak ada orang hijrah, tapi mereka balik pacaran."
Serius, Ghazy tidak mengerti pemikiran Shareen. Ia cekakak-cekikik menolak percaya ditolak berkali-kali. "Kamu tahu, aku sakit hati!"
Shareen diam, tidak mengubris.
Merasa tidak ada respon, Ghazy mencengkram tangan Shareen begitu kuat hingga Shareen meringis. "Dengar! Aku akan berusaha dengan cara apapun agar kamu tetap bisa aku miliki. Nggak peduli itu dilarang agama atau bukan. Yang jelas, aku hanya mau kamu. CUMA KAMU, CUMA KAMU, REN!!!" Gila, Apa Ghazy sudah gila. Ia berteriak, mengeraskan cekraman, membuat Shareen ketakutkan sampai menangis. Cinta seperti apa yang hanya menimbulkan obsesi.
"Maaf, Sayang. Aku emosi. Maaf." Ya Allah, buaian kalimat Ghazy saat sadar tindakannya di luar batas tidak mampu mencipta tenang di hati Shareen. Ia terlalu terkejut dengan teriakan Ghazy.
Shareen tidak bicara apa-apa. Ia meloloskan diri secepat mungkin saat Ghazy lengah. Di dalam ruangan, ia segera mencari Mahda. Namun yang ia temukan lagi-lagi surat. Surat yang selalu berisi keambiguan. Tidak pernah ada nama pengirim di kertasnya.
Assalamualaikum
Maaf saya sering menganggumu. Maaf saya terlalu pengecut mengungkap jati diri. Tetapi saya janji, suatu hari nanti, kalau waktunya sudah tepat. Saya akan memperkenalkan diri. Semangat hijrah, Allah selalu bersamamu.
SA (Secret Admirer)
Shareen mengacak suratnya. Sesopan apapun bahasa dalam tulisan itu, tetap saja Shareen tidak suka dibuat penasaran. Hanya saja Shareen membuat asumsi sendiri kalau pengagum rahasianya mungkin punya alasan yang tidak bisa diutarakan sekarang. Shareen mencoba paham dan menunggu.
"Lita, Mahda belum datang ya?"
"Belum kayaknya Ren. Semalam aku telepon ponselnya nggak aktif." Informasi Lita membuat kening Shareen berkerut. Tidak biasanya Mahda mematikan ponsel. Kalau pun ia itu pasti di jam-jam tidur.
Menunda rasa penasaran, Shareen fokus mengikuti mata kuliah yang akan segera berlangsung. Biasanya, Mahda jarang terlambat. Kalaupun ada keperluan mendesak Mahda selalu mengabari Shareen. Sayangnya, bolak-balik Shareen mengecek ponsel tidak ada satu pun pesan dari Mahda. Dan memang benar, ponselnya tidak aktif.
Usai mata kuliah pak Bakri, Shareen melipir ke warung Nafhan. Mengisi perut yang sudah demo sejak tadi. Dilihatnya Tania yang sibuk membersihkan meja, lalu Nafhan yang sedang membuat es teh manis.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Meski ikut menyahut, tapi Nafhan tetap tidak berbalik. Menghindari matanya bersirobok dengan wanita yang bukan mahram.
"Loh, Mbak kok sendirian. Mbak Mahda mana?"
Shareen mendaratkan bokong di kursi. "Itulah, Tan. Mahda nggak ada kabar. Ponselnya juga nggak aktif."
"Oh ... kalau gitu, saya temenin Mbak makan ya, biar nggak sendirian."
"Boleh"
Karena bosan menunggu Shareen iseng mengajak Nafhan ngobrol. Meski Nafhan tidak sekalipun berbalik. Hanya meladenin pertanyaan tanpa bertukar kontak mata. Kebetulan warung Nafhan sedang sepi. Jam makan siang sudah lewat, Shareen datang sedikit terlambat karena pak Bakri sibuk mengoceh.
"Mas Nafhan."
"Iya Mbak?"
"Boleh nanya?"
"Boleh Mbak." Shareen nyengir. Tipe laki-laki yang sangat menundukkan pandangan. Jarang-jarang ada laki-laki seperti Nafhan.
"Mas nggak kuliah?"
"Kuliah Mbak." Ya Allah Shareen nyaris terbahak. Kenapa Nafhan pendek sekali menjawab. Suasana mulai dilatari ketegangan. Tentu hanya bagi Nafhan tidak dengan Shareen.
"Jadi setelah kuliah Mas Nafhan bangun usaha warung bakso ini?"
"Iya."
Tania cekikikkan. "Mbak kalau ngarep Mas Nafhan ngomongnya panjang itu tunggu jadi istrinya dulu. Kalau sama wanita bukan mahramnya mas Nafhan mah gitu, irit kata dia."
"Tania!" Dalam mode mengingatkan saja, Nafhan masih bisa lembut. Ia tidak mau Shareen tersinggung.
"Oh ... gitu ya Tan. Mas aku jomlo fisabilillah loh." Shareen pura-pura promosi dengan maksud bercanda.
"Mas Nafhan juga loh Mbak. Dia bilang kalau ada wanita yang pas dia akan langsung ngelamar. Uhh ... laki-laki idaman sekali kan." Bersamaan Tania dan Shareen tertawa. Mereka senang mengerjai Nafhan, bukan karena serius. Supaya suasana di warung lebih mencair saja, tidak horor dan minim kebisingan.
Ditemani Tania, Shareen makan dengan lahap. Setidaknya, makan siang kali ini tidak terlalu buruk. Ada Tania yang bisa menghibur Shareen untuk tertawa. Sebenarnya, perasaan Shareen dihinggap firasat kurang baik soal Mahda. Tetapi ia buru- buru mengusir segala ketidakberesan di otaknya lalu mulai mengganti dengan pikiran positif. Yang Shareen curigai adalah ponsel Mahda yang tidak aktif. Ini agak sedikit aneh, meskipun lumrah terjadi semisal baterai habis, mati lampu di rumah hingga tidak bisa mengisi baterai atau lain sebagainya, tapi tetap, ada yang mengganjal di hati Shareen.
Sampai ponselnya berbunyi menuliskan nama Syahka, Shareen masih sibuk memikirkan Mahda.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Suara Syahka terdengar kurang enak. Napasnya sedikit memberat.
"Abang kenapa?"
"Kamu di mana?"
"Masih di kampus, lagi makan bakso. Abang kenapa sih?"
"Abang jemput kamu sekarang. Setelah itu ke rumah sakit."
"Siapa yang sakit?"
"Mahda. Mahda tadi malam ditikam seseorang di jalan."
Sendok di tangan Shareen jatuh ke lantai. Ini bukan ekspresi hiperbolis, tapi sungguh kabar Mahda ditikam menyentak hati Shareen. "Astaghfirullah al-azim."
"Abang jemput sekarang ya, kamu tunggu di situ."
Shareen kehilangan selera untuk bicara. Dibiarkannya Syahka mengoceh sampai telepon mereka terputus dengan sendirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro