
Note 13 : Kisah Tentang Dimas (1)
Hai, namaku adalah Dimas, aku adalah anak dari pasangan suami-istri yang meninggal dikarenakan tabrakan kereta, atau yang sering disebut dengan 'Tragedi Bintaro I'. Saat aku dengar pertama kali kabar tersebut aku masih berada di sekolah.
Awalnya aku tidak tahu tentang kejadian tabrakan antara kedua kereta tersebut, namun wali kelasku tiba-tiba datang ke kelasku sambil berlari dengan napas yang terengah-engah, wajah beliau sangat pucat seperti habis dikejar setan. Otomatis, teman sekelasku dan guru agamaku pun menuntun perlahan wali kelasku untuk duduk dikursi, dan memberinya minum.
Sesaat sudah membuat dirinya lebih baik, beliau langsung menatap ke arahku dengan raut wajah menahan tangis. Dengan pelan-pelan beliau memberitahukan perihal tabrakan kereta itu. Waktu diberitahukan pertama kali raut wajahku tidak yang sedih, namun hanya syok saja. Tetapi setelah beliau memberitahuku bahwa kedua orang tuaku adalah salah satu korban dari Tragedi Bintaro yang menewaskan ratusan orang, wajahku syok bercampur dengan kesedihan dan rasa tidak percaya bahwa kedua orang tuaku juga adalah salah satu korban dari tragedi tersebut.
Tragedi itu terjadi pada hari Senin, 19 Oktober 1987 waktu di pagi hari dan aku baru mendapatkan beritanya saat sore hari di sekolah.
Inilah ceritaku, cerita dimana aku menjadi yatim-piatu yang diakibatkan kedua kereta saling bertabrakan, serta beberapa penyesalan yang aku tinggalkan.
Berharap waktu bisa terulang kembali.
***
"Dimas bangun nak, kamu udah besar masih aja susah dibangunin," tegas seorang wanita yang masih mengenakan mukena berwarna putih, ia sedang membangunkan ku.
Wanita tersebut adalah ibuku yang baru saja selesai shalat subuh, dan ingat untuk membangunkan anaknya agar cepat shalat subuh.
Aku marah pada ibu karena sudah menggangguku. Siapa coba yang tidak marah apabila ada orang yang membangunkan dari tidurnya, apalgi aku baru tidur sekitar jam 1 pagi, karena baru selesai nongkrong dengan teman-temanku sambil bermain catur di pos ronda.
Bukannya cepat-cepat bangun, aku menarik sarung sampai menutupi kepala untuk melanjutkan tidur.
"Astaghfirullahal'adzim, alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyumu wa atuubu ilaih...," Ibu menarik sarungnya sambil menghela napas untuk sabar, "Dimas! Mau sampai kapan kamu susah dibangunin buat shalat subuh?! Buruan bangun Dimas!"
Tubuhku sudah digoyang-goyangkan nya, menggelitik pinggang ku agar bangun dan shalat subuh. Tapi usahanya sia-sia, sebab aku tak kunjung bangun dari tidur.
"Dimass! Kamu hari ini juga harus sekolah! Cepetan bangun, shalat subuh dulu, baru habis itu mandi sama sarapan. Cepetan bangun atuhh Dimass!" Nada bicara ibuku mulai meninggi, sampai bisa terdengar ke keluar rumah.
Karena tidak tahan mendengar omelannya, aku pun bangun dari tidur dengan perasaan marah. Karena perasaan marah itulah aku membentak kencang kepada ibu, sampai-sampai beliau syok.
"Berisik, tolol!! Aing juga boga kuping, kagak usah kenceng-kenceng bangsat! Goblok banget maneh jadi indung!" Dengan perasaan marah, aku pergi ke kamar mandi untuk siap-siap shalat dan sekolah, meninggalkan ibu yang terkejut sambil memegangi dadanya.
Selesai mandi saja rasa pedas di dalam diriku masih meluap-luap, rasanya ingin sekali memukulnya dengan tanganku, biar dia tahu rasa karena sudah mengganggu orang tidur. Karena rasa marah ini, pada saat aku melaksanakan shalat subuh tidak dilakukan dengan benar, aku hanya shalat dengan gerakan saja tidak dengan baca-bacaan shalat yang wajib dibaca.
Dikarenakan masih ada rasa marah dan kesal, aku pun dengan diam-diam mengambil uang dari dompet ibu dan ayah, untuk uang jajan sekolah. Aku tidak mengambil uangnya dalam jumlah yang banyak, hanya uang sebesar 10.000 ribu dari masing-masing dompet.
Setelah aku mengambil uangnya, aku memakai seragam sekolah sambil menggendong tas ransel di pundak untuk langsung keluar rumah, supaya tidak ketahuan kalau sudah mengambil uang tanpa seizin mereka. Walaupun akhirnya tetap akan ketahuan.
Diperjalanan menuju sekolah, aku mampir terlebih dahulu ke warung Ceu Ami untuk membeli nasi uduk dengan gorengan kesukaan aku yaitu tempe mendoan dan tahu isi. Aku biasanya tidak pernah beli makanan di warung Ceu Ami pagi-pagi, namun karena pagi ini aku tidak sarapan di rumah jadinya aku harus beli makanan di warungnya.
Warung Ceu Ami adalah warung yang terbaik soal makanan, contohnya adalah nasi uduk, tempe mendoan, dan tahu isi buatan Ceu Ami. Ketiga makanan tersebut bisa dibilang sebagai best seller di warung Ceu Ami. Sampai-sampai ada warung yang mengikuti jejak nya, walaupun ketiga makanan tersebut tidak se-enak buatan Ceu Ami.
"Ehh, tumben kamu mampir buat makan, Dimas, biasanya kamu kalau hari sekolah begini apalagi di pagi hari enggak pernah mampir buat makan," ucap Ceu Ami, sembari mengelap semua peralatan makan yang baru saja dicuci.
"Iya nih Ceu hehehe," balasku, meletakkan tas ransel di sebelah kanan.
"Dirumah enggak disiapin buat sarapan bukan sama ibu kamu?"
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Ceu Ami, aku mengalihkan pertanyaan Ceu Ami agar tidak ketahuan bahwa sedang kesal dengan kedua orang tuaku. Walaupun ayahku sebenarnya tidak salah.
"Aku pesan yang biasa ya Ceu, nasi uduk, tempe mendoan sama tahu."
Seperti bisa membaca pikiranku, Ceu Ami nampaknya sadar bahwa aku sedang marah pada orang tuaku, "lagi marahan sama orang tua kamu lagi?"
Aku tertegun karena tiba-tiba ditanya seperti itu. Ceu Ami tidak salah, aku lagi marahan dengan kedua orang tuaku, tetapi jika ditanya seperti itu aku jadi merasa bersalah dengan sifatku ini.
"Kalau Dimas diem, berarti bener lagi marahan sama orang tua kamu," ucapnya, sambil memberikan sepiring nasi uduk dengan lauknya padaku, "Masalah apa lagi Dim?"
Sambil menyantap makanan, aku hanya mengangguk seyum pada Ceu Ami, karena tidak ingin memberitahunya secara detail tentang aku marah ke ibuku karena dipaksa bangun untuk shalat subuh dan sekolah.
Sambil tersenyum ramah padaku, Ceu Ami memberikan sedikit nasihat selagi aku menyantap sarapanku.
"Dimas anak nu paling bageur pisan, kamu teh enggak boleh marah sama kedua orang tua kamu, apalagi kalau sampai tiga hari marahnya, enggak akan ada untungnya kamu marahan sama orang tua kamu Dim."
Sambil mengunyah makanan, aku menyangkal bahwa kenyataannya memang sedang marahan dengan kedua orang tuaku.
"Aku enggak lagi marahan sama ibu atau bapak Ceu."
"Bagus kalau memang begitu Dim. Kan umur itu enggak ada yang tau selain Allah SWT semata, maka dari itu kita sebagai manusia harus terus berbuat kebaikan selama di dunia dan harus lebih memperhatikan keputusan kita yang akan kita buat."
Aku yang mendengar nasihat dari Ceu Ami pun seketika rapuh hatiku, Aku langsung memikirkan kembali kelakuan aku di pagi hari ini pada ibuku yang berusaha membangunkan ku dari tidur untuk shalat subuh, namun aku malah memarahinya dan kesal padanya. Dan juga bapakku yang tidak tau apa-apa menjadi korban amarahku.
Haruskah aku meminta maaf?
Selesai sarapan di warung Ceu Ami aku pun melanjutkan langkahku untuk menuju sekolah. Selama di perjalanan sekolah pikiranku hanya terus memikirkan perkataan Ceu Ami tentang "umur itu enggak ada yang tau selain Allah SWT".
Terjerumus dalam pikiran dalamku, tak terasa aku pun sudah sampai di depan sekolah dan beberapa teman sudah memanggilku untuk bergabung dengan mereka.
Tak terasa bel masuk pun sudah berbunyi, aku pun harus berbaris di barisan kelasku untuk mengikuti upacara yang dilaksanakan setiap hari Senin. Walaupun sebenarnya aku sangat malas mengikuti upacara itu, aku ingin berpura-pura sakit dan berdiam saja di UKS sampai upacara selsai.
Tapi niatku untuk berbohong bahwa aku sakit tidak jadi karena guru kesiswaan pasti langsung melakukan interogasi pada anak-anak yang berpura-pura sakit, jadinya mereka terpaksa untuk mengikuti upacara hari Senin.
Aku berbaris dibarisan keempat dari depan, aku tidak pendek dan juga tidak tinggi, bisa dibilang tinggi badanku normal laki-laki pada umumnya. Jika disandingkan dengan Perempuan sudah pasti aku yang paling tinggi, mungkin.
Selama upacara berlangsung hatiku khawatir tidak karuan. Aku merasa ada yang janggal dengan hari Senin ini, entah apa yang membuatku seperti ini, tapi aku merasa akan ada hal yang buruk akan datang padaku di hari Senin ini.
Aku yang selalu melihat sekitar, melihat ke langit yang cerah, serta burung-burung yang berterbangan melewati lapangan upacara. Angin yang lumayan kencang membuatku berkeringat dingin, padahal aku sedang tidak sakit, akan tetapi mengapa aku berkeringat sangat banyak.
Temanku yang menyadari bahwa aku berkeringat sangat banyak menawarkanku untuk segera pergi ke UKS saja, dari pada nanti aku pingsan di lapangan.
Namun tentu saja aku menolak tawarannya itu, karena aku merasa bahwa aku baik-baik saja dan tidak mersakan adanya sakit di seluruh tubuhku. Dan aku pun memutuskan untuk mengikuti kegiatan upacara ini sampai selesai, walaupun keringat bercucuran di tubuhku.
Sehabis penyampaian amanat dari Pembina upacara, seluruh warga sekolah akan menyanyikan lagu nasional, lalu setelah itu pembacaan doa. Akan tetapi belum lagu nasional tersebut dinyanyikan, tanpa aku sadari tubuhku sudah sangat lemas, dan sushu tubuhku meningkat secara drastis.
Kemudian pandanganku semuanya menjadi hitam, aku tidak bisa melihat sekitar, yang ada aku hanya melihat diriku di dalam kegelapan itu sendirian.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro