
Note 11 : Kolang-Kaling
Di komplek ku terdapat beberapa hal yang tidak pernah dimengerti oleh ku. Pasalnya, setiap menjelang bulan suci Ramadhan ramai sekali anak-anak yang perang sarung setelah shalat isya atupun setelah shalat tarawih, karena hal itu para ustadz menugaskan keamanan keliling disekitar komplek dari jam 19.00-21.00.
Sebelumnya aku bukan warga dari komplek Bar-bar, namun aku ikut pindah bersama ibu. Kedua orangtuaku bercerai, akibat kelakuan ayah yang selalu mabuk setiap pulang ke rumah dan juga ia sering ketahuan selingkuh. Padahal hal itu dilarang keras oleh Allah SWT. Sebagai umat islam kita tidak boleh berlari kearah yang buruk jika ada masalah yang menimpa, melainkan kita harus meminta bantuan kepada Allah SWT, jika kita semua melakukan hal-hal yang baik dan selalu beribadah, maka kita akan senang dunia akhirat.
Aku memiliki seorang kakak laki-laki, ia sangat tampan dan gagah. Tidak heran juga kenapa ia bisa seperti itu, hal itu karena gen ayah kami. Semua perempuan, mau yang seumuran dengan kami ataupun tidak, pasti akan terpikat dengan ketampanan kakak laki-laki ku.
Awalnya kami khawatir tidak bisa mendapatkan teman di komplek Bar-bar, tetapi untungnya kami mudah untuk mendapatkan teman, sehingga kami tidak selalu kesepian. Ibu-ibu di komplek Bar-bar juga menjadi teman ibu kami, tetangga komplek Bar-bar benar-benar sangat ramah dan juga murah senyum.
****
"Bang abang buruan bangun sahur," aku menggoyang-goyangkan tubuh abang, agar dia cepat bangun. Dasar pemalas.
Abang menjawabnya sudah bangun, namun kenyataannya belum bangun. Perkataan sama tubuh berkata lain.
"Iya-iya, abang udah bangun kok."
"Mana ada orang bangun tutup mata, aneh si abang teh, bangun atuh."
"5 menit lagi Filma," abang menarik selimutnya kembali.
"Abang tukang bohong, 5 menit di mulut tapi nyatanya 5 jam, bahkan lebih."
"Beneran 5 menit, kali ini."
"Oke, sekarang udah lebih dari 5 menit. Bangun!" Aku teriak dekat kuping abang.
Sontak abangku Fahri langsung bangun, sambil menggosok-gosok kupingnya karena sakit akibat aku teriak dekat kupingnya. Jika dilihat dari ekspresi wajahnya, ia sepertinya kesal karena aku berteriak di kupingnya.
"Filma, kamu ini, torek nanti kuping abang." Abang mengomeli ku.
"Suruh siapa enggak bangun-bangun, jadinya terkena teriakan gadis cantik," kataku, sambil mengibaskan jilbab putih yang aku kenakan.
"Iya-iya terserah Filma aja. Abang mau ke luar kamar, panas ada Filma." Abang mengucek matanya sambil beranjak keluar kamar.
"Bareng atuh." Kataku, meraih tangan abang.
"Lepasin."
"Abang mah, bareng aja ke dapurnya." Aku merengek.
"Ohhh, kamu mau ikut abang ke kamar mandi? Boleh atuh yuk," Abang mempererat pegangannya.
"Ihhh, enggak mau, lepasin. Kalau enggak mau lepasin, Filma bilangin Umi," ucapku dengan mengancam akan mengadukannya pada Umi.
"Ya udah, dadah." Abang meregangkan pegangannya, sehingga ada kesempatan bagiku untuk mengambil kembali tanganku.
Abang pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Sedangkan aku, membantu Umi menata meja makan untuk sahur.
"Abang, abang, tolong bawain nasinya," Umi meminta tolong kepada abang yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Abang mengangguk pelan. Mengambil empat helai tisu, untuk mengeringkan wajahnya dari air. Setelah itu abang baru melaksanakan permintaan Umi untuk membawa nasinya ke meja makan.
Umi megambil nasi untuk tiga piring. Aku mengambil lauk kesukaan aku, yaitu ikan asin dan sayur tumis brokoli merah. Rasanya sangat lezat, apalagi yang buat Umi.
"Umi–umi tahu enggak–"
"Filma kalau makan habiskan dulu yang ada di mulut, baru habis itu berbicara, nanti tersedak," Umi menasihati ku.
Mengunyah makanan yang ada di mulut, lalu aku telan makanan itu dengan cepat, "aku dengan teman-temanku serta semua panitia masjid Al-Jibril berencana mengadakan buka puasa bersama, dan aku sarankan Umi juga harus hadir disana."
Abang mengangguk setuju dengan saranku, bahwa Umi harus ikut serta dalam buka puasa bersama di masjid Al-Jibril bersama yang lain, dan juga hal ini bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi keluarga kami dengan warga komplek Bar-bar.
"Pasti menyenangkan kalau umi juga ikut buka bersama," tambahku.
"Tapi Umi sibuk bekerja, kemungkinan sekarang Umi pulang jam delapan malam, kalian berdua saja yang mewakilkan Umi," mimik wajah Umi terlihat sedih, nampaknya Umi juga ingin ikut untuk buka bersama, tetapi pekerjaan menghalanginya.
"Ya sudah, aku dengan abang saja kalau begitu," Aku sedikit kecewa dengan Umi, namun mau bagaimana lagi semenjak Umi bercerai dengan ayah kami, beliau lah yang mencari nafkah untuk kebutuhan kami.
Setelah makan, kami bertiga bergantian masuk kamar mandi untuk sikat gigi, kemudian wudhu.
Sambil menunggu adzan subuh, aku melakukan tadarus bersama Umi dirumah. Sedangkan abang sudah pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.
Adzan subuh berkumandang, kami menyudahi kegiatan tadarus dan bersiap untuk melaksanakan shalat subuh. Aku dan Umi memiliki tujuan untuk hatam Al-Qur'an selama bulan Ramadhan, begitu juga dengan abangku.
****
"Umi berangkat kerja dulu, Filma jaga rumah. Assalamualaikum," Umi membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam," balasku, sambil menghampiri Umi untuk mencium punggung tangannya.
Waktu menunjukkan jam tujuh pagi, aku sendirian dirumah. Abang belum pulang dari masjid, dikarenakan mengikuti pengajian pagi. Biasanya abang pulang jam setengah delapan, bentar lagi abang pulang.
Sambil menunggu abang, aku menyapu halaman yang sudah dipenuhi oleh dedaunan kering yang berjatuhan, sekalian buang sampah yang ada di dapur.
Di komplek Bar-bar semua tempat harus terlihat bersih walaupun tidak harus selalu bersih, minimal buang sampah pada tempatnya. Karena itu sudah menjadi bagian tradisi komplek Bar-bar sejak dahulu, tepatnya tahun 1990. Pada tahun tersebut komplek Bar-bar sudah membiasakan keturunannya untuk memiliki kehidupan yang bersih. Mau itu dirumah atau di daerah komplek.
Hal itu dilakukan demi kenyamanan orang-orang sekitar dan diri sendiri agar terhindar dari segala penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan kotor.
Karena kebiasaan tersebut, keturunan mereka menjadi kepribadian yang selalu menjaga kebersihan kemana pun mereka pergi.
Di komplek Bar-bar masih sangat asri. Pepohonan paling sering dijumpai di komplek ini, itulah yang membuat komplek Bar-bar sangat nyaman untuk ditinggali, udaranya sangat bersih, tidak ada yang namanya polusi udara.
Walaupun setiap warga memiliki kendaraan, namun mereka tidak terlalu sering menggunakannya jika masih dalam ranah komplek. Mereka hanya akan menggunakan kendaraannya jika sedang bepergian jauh.
Jika masih di sekitaran komplek, mereka lebih memilih untuk berjalan kaki atau menaiki sepeda.
"Filma!"
"Argh! Ya ampun Khazanah, kamu bener-bener ya," Aku mengusap-usap dadaku. Perempuan dengan rambut dikepang satu itu bernama Khazanah, dia menyebalkan sekali.
"Maaf-maaf, habisnya kalau kamu lagi melamun itu paling seru di ngagetin, hihihi," Khazanah tertawa menutupi mulutnya dengan tangan.
"Ada apa kemari?" Tanyaku, aku curiga dia pasti datang ke rumah pagi-pagi begini hanya ingin bertemu abangku Fahri. Soalnya Khazanah sangat menyukai abangku Fahri.
"Abang kau ada? Suruh keluar dong." Ucap Khazanah, sambil celingak-celinguk ke dalam rumahku, walaupun sebenarnya hal itu tidak sopan, tapi melihat Khazanah seperti itu membuat ku ingin tertawa.
"Belum pulang dia, palingan dia masih di masjid." Jawabku, sambil membereskan dedaunannya ke kantung sampah.
"Yahh, kalau gitu aku pulang aja deh."
"Eh-eh tunggu dulu," Aku menahannya untuk pergi.
Khazanah berbalik, bingung.
"Ada apa?"
"Abangku suka banget sama perempuan yang selalu bersih-bersih, apa lagi perempuan yang selalu membantu orang lain," Aku mengarang alasan, agar Khazanah mau membantuku membersihkan dedaunan kering itu.
"Terus?"
"Bantu aku rapihin ini semua." Kataku padanya.
Tanpa berpikir panjang, Khazanah dengan gesit membantu membereskan semua dedaunan kering yang berserakan ke dalam kantung sampah. Atau bisa dibilang dia lah yang paling bersemangat membersihkan semuanya. Dia sangat polos sekali, maafkan diriku ini Khazanah karena sudah berbohong padamu.
Beberapa menit berlalu. Khazanah dan aku masih membersihkan dedaunan kering yang berserakan. Namun kali ini bukan di halaman rumahku, melainkan di sepanjang jalanan komplek Bar-bar. Tidak jauh dari rumahku.
"Dimana abang kamu, kok belum pulang juga sih?" Tanya Khazanah kesal, sepertinya dia sudah kelelahan.
"Sabar atuh, paling lagi jalan pulang." Jawabku, sama dengan Khazanah aku juga sudah lelah membereskan dedaunan ini. Tetapi lebih mending lelah daripada sendirian di rumah.
"Ishh, capek tahu nyapu, mana lagi puasa, haus lagi sekarang, suamiku cepatlah datang." Khazanah mengeluh. Ya, dia berkhayal bahwa abangku adalah suaminya.
Aku yang melihatnya hanya tertawa kecil melihat tingkah laku Khazanah, karena ia seperti seorang anak kecil yang tidak kuat berpuasa.
Karena Khazanah terlalu sibuk mengeluh, ia sampai tidak tahu bahwa abangku Fahri sudah berada dekat dengannya. Dia sedang menyandar ke pohon disampingnya, abangku tersenyum kepada Khazanah.
Aku mencolek pundak Khazanah, ia menoleh ke arahku, kemudian aku mengisyaratkan mataku kearah kirinya. Lalu ia pun menoleh kearah kirinya, Khazanah terkejut sebentar, kemudian ia melompat kegirangan karena bertemu abangku.
"Ahhh! Ya ampun, ya ampun, ya ampun, ya ampuuun! Suamiku datang," Khazanah teriak kegirangan.
Sebenarnya abangku tahu kalau Khazanah sangat menyukai dirinya sejak menginjakkan kaki di komplek Bar-bar. Namun dia berpura-pura seakan tidak mengetahui bahwa Khazanah menyukainya.
Aku berusaha menenangkan Khazanah agar tidak dikira gila oleh warga-warga yang lalu lalang dijalan itu.
"Khazanah apa-apaan sih, diliatin orang itu ya ampun, malu banget aku deket-deket kau."
Khazanah berhenti melompat. Kemudian ia berdiri diam, aku kebingungan. Lalu aku mengintip wajah Khazanah. Ya ampun, dia mimisan.
****
"Khazanah, udah baikan?" Tanya abangku khawatir dengan kondisi Khazanah.
Khazanah menjawab cepat, "Khazanah udah baikan kok sayang."
Aku hanya diam dipojokkan teras rumah, menahan ketawa itu rasanya sangat sulit entah kenapa setelah Khazanah bilang kata 'sayang' kepada abangku. Kalau aku yang bilang begitu sudah dipastikan akan patah tulang.
"Syukurlah kalau udah baikan, kalau gitu aku masuk dulu mau ganti baju," bergegas masuk kedalam.
Abangku belum juga masuk kedalam, Khazanah langsung mimisan lagi. Kali ini mimisannya tidak hanya di hidung, melainkan juga di wajahnya. Wajah Khazanah merah banget.
"Ehhh! Khazanah kendalikan dirimu hey." Aku kewalahan menangani kelakuannya disaat berjumpa dengan abangku.
Abangku yang melihatnya hanya tertawa, lalu berkata, "hati-hati Khazanah, kendalikan emosi kamu, tidak baik untuk kesehatan kamu."
Khazanah hanya mengangguk pelan, ia mengalihkan tatapannya ke padaku sambil memegangi kedua bahuku, "Filma, abang kamu ganteng banget, hiks, kalau aku nikah sama abang kamu kemungkinan kamu panggil aku kakak ipar."
"Aku panggil kamu bimisan, kataku.
"Bimisan, apa tuh?" Khazanah bertanya sambil mengelap darah yang ada di hidung.
"Bibi mimisan," jawabku.
"Yeuu, gimana gak mimisan coba, abang kamu ganteng banget, pasti keturunan ayah kalian berdua."
Aku menjawab singkat "ya."
Ayah kami berdua sangat tampan atau bisa dibilang tampan bak pangeran. Karena ketampanannya itu, ayah kami rela meninggalkan kami bertiga bersama wanita lain tanpa ada rasa bersalah sedikit pun dibenaknya, dan juga ia menghabiskan seluruh uangnya hanya untuk meminum alkohol.
Aku selalu berdoa semoga saja abang aku tidak seperti ayah, yang rela meninggalkan kami hanya untuk kekayaan.
"Filma, kalau gitu aku pulang dulu ya, aku mau bantu mamah buat persiapan nanti buka puasa. Ouh iya, kamu sama abang kamu ikut aja dijamin seru," tawar Khazanah, sepertinya dia tahu kalau hari ini pun Umi tidak akan datang.
Aku mengangguk penuh semangat "kami berdua memang mau dateng kok."
"Bagus kalau gitu," wajah Khazanah berbinar-binar sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Khazanah, makasih ya udah bantuin aku, walaupun kamu capek hahaha." Aku tersenyum padanya begitu juga dia.
"Sama-sama Filma, aku tunggu di masjid yaaa. Assalamualaikum." Dia mengucapkan salam padaku, lalu perlahan menghilang dari penglihatan ku.
"Wa'alaikumsalam," aku membalas salamnya sambil tersenyum, aku bersyukur pindah ke komplek Bar-bar, semua orang baik-baik.
****
Aku masuki rumah ketika semua sampah sudah aku buang. Saat ingin menuju dapur untuk cuci tangan, abang keluar dari kamarnya membawa kotak pertolongan pertama, yang sepertinya kotak itu ditujukan untuk Khazanah.
"Khazanah udah pulang?" Tanya abang sambil melihat keluar dari jendela.
"Udah," jawabku singkat.
Abang balik masuk lagi ke kamarnya untuk menyimpan kotak P3K nya. Aku mencuci tanganku dengan sabun di wastafel, kemudian mengambil sapu dalam dan juga serokan untuk melanjutkan bersih-bersih di dalam agar terlihat bersih dari debu.
Abang keluar kamar, melihatku sedang menyapu, dia terheran kenapa aku bersih-bersih di pagi hari ketika sedang berpuasa, kenapa tidak sore hari saja.
"Filma sudah bersih-bersihnya, nanti haus," ucap abang, merebut sapu dari tanganku, lalu menaruh di tempatnya.
"Ih abang mah, kemarin seterusnya juga aku gak haus," tegas ku.
Saat hendak mengambil sapu kembali, abang dengan cepat menghadang ku.
"Abang minggir, kuat amat sih ente, susah di dorong," ucapku sambil mendorong abang, namun tidak kuat.
"Sudahlah tuh, lebih baik kamu pergi tadarus aja, dibandingkan harus bersih-bersih. Padahal baru kemarin banget kamu bersihin ini semua," abang mulai mengaturku lagi.
"Jangan mengaturku terus," ucapku dengan perasaan kesal.
"Ya sudahlah, jika tidak ingin diatur," abang pasrah denganku, keluar rumah tanpa pamit.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," ucapku. Dasar abang bikin kesal saja.
1 jam berlalu, abang tak kunjung pulang. Aku merasa bersalah pada abang. Yang abang katakan ada benarnya, lebih baik tadarus dibandingkan bersih-bersih yang menguras tenaga.
Yang ada di benakku hanya satu, yaitu, aku ingin abang cepat pulang hanya itu saja yang aku inginkan. Aku takut dirumah sendirian.
2 jam berlalu, aku mulai merasa panik dirumah sendirian. Aku duduk di sofa ruang tamu, sengaja aku lakukan karena hanya ruang tamu yang terpapar sinar matahari, sisanya hanya dengan cahaya lampu.
3 jam berlalu, belum ada tanda-tanda abang pulang ke rumah. Aku memutuskan untuk keluar rumah dan menunggunya di teras depan.
Rasanya adem, nyaman dan tenang. Di kehidupanku sebelumnya aku tidak pernah merasakan atmosfer seperti ini, aku harap akan terus selamanya seperti ini.
****
"Ngapain kamu tutup mata kamu?" Suara yang tak asing terdengar.
Kubuka mataku dan melihat abang sudah pulang dengan memegang selembar kertas. Aku langsung memeluknya serapat mungkin, agar abangku tidak pergi lagi dariku.
"Ngapa tiba-tiba peluk?" Tanya abang bingung.
"Kangen abang~," jawabku manja.
"Sini abang peluk," abang membalas pelukanku, sempurna sekali mempunyai abang laki-laki.
"Abang habis dari mana?" Tanyaku dengan rasa penasaran.
"Abis dari masjid, ngambil daftar bahan makanan yang harus kita beli," jawabnya sambil memperlihatkan selembar kertas yang dipegang.
Aku menjauh sebentar, mengambil selembar kertas itu dari tangannya.
"Kapan kita beli semua bahan-bahannya?"
"Nanti siang."
"Siang? Tapi sekarang udah siang?!" Aku melotot.
"Sekitar jam 2."
"Ouh, sekarang baru jam 12 siang, masih ada waktu dua jam lagi."
"Kamu mau ngapain sama abang selama dua jam?" Abang bertanya padaku, seakan dia sedang menawarkan dirinya untuk menemaniku selagi menunggu jam 2 siang.
"Ngobrol-ngobrol di teras depan gimana? Biar kayak dulu lagi," saranku padanya.
Abang diam beberapa detik, kemudian mengangguk pelan. Kami berdua pun bercerita tentang masa-masa indah dulu ketika masih ada ayah. Ayah yang belum kecanduan minuman ber-alkohol dan tidak selingkuh dari Umi.
****
"Filma udah jam 2 siang ayo berangkat," abang memanggilku dari teras.
"Sebentar bang, aku rapihin mukenanya dulu," ucapku, buru-buru merapikan mukena dan sajadah.
Menutup pintu kamar, kemudian mengunci pintu utama dari luar dan kuserahkan kuncinya pada abang. Karena abang selalu perhatian pada barang, tidak sepertiku yang selalu menghilangkan barang terus-menerus.
Kami berbelanja bahan makanan yang tertulis di selembar kertas tersebut, Kami berdua menghabiskan waktu sekitar 1 jam di pasar yang ramai. Untungnya cuaca hari itu tidak terlalu panas, sehingga kami tidak terlalu kehausan untuk terus berjalan membeli bahan-bahannya.
Selesai dari pasar, kami segera bergegas pulang menuju masjid Al-Jibril, untuk membantu membuat makanan dan minuman berbuka puasa.
Sebelum mulai, ketua panitia memisahkan perempuan dan laki-laki. Ia menjelaskan pembagian tim untuk acara buka puasa bersama. Tim perempuan bertugas untuk memasak semua menu makanan, sedangkan tim laki-laki membereskan dalam dan luar masjid yang akan dijadikan tempat untuk berbuka puasa.
Semua melakukan tugasnya dengan sangat baik, mereka semua mengerjakan tugas yang sudah di arahkan oleh ketua panitia. Sehingga bisa cepat selesai.
Aku keluar sebentar dari tenda dapur, karena tenda dapur atmosfernya sedang panas, aku perlu mendinginkannya terlebih dahulu. Untung saja aku sudah mandi jadi tidak perlu mandi lagi, walaupun tubuhku berkeringat banyak. Tapi setidaknya bau badanku tidak terlalu menyengat.
Uum melihat jam tangannya, dia memberitahukan ke semuanya bahwa sebentar lagi sudah waktunya berbuka puasa. Semua orang pun bergegas membawa makanan serta menyusunnya di tempat yang sudah disiapkan.
Semua orang menunggu adzan maghrib dengan sabar, ada yang tadarus, bermain game di ponsel dan mengobrol-ngobrol seperti yang sedang aku lakukan bersama teman-temanku.
Ustad berdiri, menyalakan speaker, kemudian mengumandangkan adzan. Lantunannya sangat merdu aku sangat suka mendengarkan adzan ustad Baeru, serasa sedang di mekah saja.
Semuanya pun mengucapkan 'alhamdulillah' secara bersamaan.
Aku dan abang sangat senang pindah ke komplek Bar-bar, semua orang disini sangat tahu tata krama dan lagi, baik hati. Jika bertemu warga baru, mereka menyambutnya dengan suka cita.
Sambil memandangi langit aku memikirkan Umi yang sedang buka puasa bersama dengan teman-teman kantornya, aku bisa merasakan bahwa Umi sedang tersenyum kepadaku dan juga bang Fahmi di langit maghrib yang indah.
Semoga amal puasa kita bertiga diterima oleh Allah SWT.
****
Beberapa menit sebelum waktu maghrib.
"Semua karyawan sudahi semua pekerjaan yang kalian kerjakan," ucap atasan karyawan.
Salah satu karyawan mengangkat tangannya dan bertanya "kenapa pak?"
"Bos ingin kalian menikmati waktu berbuka bersama keluarga kalian, itulah hal yang terpenting dibandingkan kalian berbuka sendirian disini," jawabnya.
Semua karyawan di perusahaan itu terlihat sangat senang. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh mereka semua datang. Buka puasa bersama keluarga, walaupun hanya sehari, namun hal itu bukan masalah.
Mimik wajah Putri terlihat gembira, dia akhirnya akan mengikuti buka puasa bersama warga komplek Bar-bar dan juga kedua anak yang ia cintai.
Sebelum pulang ke komplek Bar-bar, Putri menyempatkan dirinya untuk membeli beberapa buah-buahan segar dan manisan kolang-kaling untuk menambahkan menu pencuci mulut.
Namun kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Sebuah mobil berwarna biru menabrak Putri yang sedang berdiri diam membeli takjil di pinggir jalan.
Pengemudi mobil berwarna biru itu diduga lalai saat berkendara, sehingga pengendara mobil biru itu harus menghilangkan nyawa Putri disaat itu juga. Padahal, hari dimana ia bisa berbuka puasa bersama anak-anaknya telah ia tunggu sepanjang hidupnya, namun keinginannya tersebut harus sirna karena ia tewas ditabrak.
Putri tergeletak tak berdaya. Ia merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya, terutama di bagian perut yang terhimpit oleh mobil berwarna biru, membuat robekan besar. Isi perutnya keluar mengalir bersama darah, dari mata Putri dapat terbaca rasa cemas dan khawatir terhadap kedua anak tercintanya. Ia membayangkan wajah kedua anaknya yang pasti akan sangat terpukul, setelah mereka mendengar kabar bahwa Putri telah tiada.
Penjual takjil itu untungnya selamat, hanya menyisakan luka di beberapa bagian tubuh, namun Putri tidak selamat dalam insiden tersebut. Kondisinya benar-benar sangat parah.
Putri meninggal tepat saat waktunya untuk berbuka puasa, dan adzan maghrib berkumandang indah di indra pendengarannya.
~ The End ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro