SHAKARAJA
00. Prolog
Seorang anak laki-laki bermain di atas hamparan pasir pantai. Sandalnya lepas satu. Di jarak dekat, tepatnya di samping tangga dermaga, Bunda berdiri bersama anak bungsunya dalam gendongan.
Ragas yang masih berusia empat tahun itu menyusul Bunda sambil berlari. Ia memeluk kaki Bunda dan lompat-lompat kecil ingin digendong juga. Segeralah Bunda membungkuk untuk mengangkat jagoannya satu itu.
Bunda berjalan ke dermaga bersama dua anaknya di dekapan dia. Si Kecil Langit mengantuk, tak seperti Ragas yang aktif melongok kanan dan kiri melihat laut.
"Ayah!" Ragas memekik dan melambaikan tangan melihat penampakan kapal di jauh sana.
Ada kapal besar yang pergi menjauh, ada juga kapal kecil yang bergerak menuju tepi. Karena Ragas sangat-sangat heboh, Langit pun mengangkat kepalanya yang semula bersandar ke bahu Bunda. Ia ikut dadah-dadah ke arah kapal.
Bunda tersenyum. Ini sudah tiga bulan mereka tinggal tanpa Ayah yang harus berlayar di lautan lepas demi keluarga. Setiap berkunjung ke pantai dan kebetulan ada kapal berlayar, anak-anaknya akan menyebut itu Ayah.
"Dadah, Ayah!" Ragas berteriak lagi.
Langit memeluk leher Bunda seraya menempelkan pipi mungil nan empuknya ke wajah Bunda. Lantas, Bunda mencium Langit. Mata Langit yang sayu membuat Bunda tidak tega terlalu lama membiarkannya tetap melek.
"Abang, Angit ngantuk. Kita pulang sekarang gapapa, ya?" Bunda berkata pada Ragas.
Ragas menatap adik yang berusia dua tahun di bawahnya itu, kemudian menyentuh jemari Langit. "Angit mau bobo?"
"He'em. Bobo ditemenin Abang, ya, di rumah." Bunda memberi seulas senyum manis.
Ragas mengangguk semangat. "Iya, Bunda!"
Alhasil Ragas minta turun dari gendongan dan hanya ingin dituntun Bunda selama mereka jalan ke parkiran mobil. Saat itulah Bunda baru menyadari sandal Ragas tidak hanya hilang satu, melainkan dua-duanya. Ragas tak tau ke mana sandalnya pergi, namun dia langsung sigap mencarinya di sepanjang dermaga.
"Abang!" Bunda berseru ketika Ragas bergerak terlalu cepat mencari sandal.
Dalam rengkuhan hangat sang ibu, Langit membuka mata lagi dan menatap laut yang membentang luas di depannya dengan dagu menempel di pundak Bunda. Karena posisi Bunda membelakangi laut, maka otomatis Langit menghadap laut.
Mata bulat Langit mengedip melihat dua ekor lumba-lumba melompat ke udara hanya sepersekian detik. Langit takjub dan senyum kecil terukir di bibirnya.
Lalu, tubuh Langit berguncang karena Bunda berlari kecil mengejar Ragas yang turun melewati tangga dermaga tanpa berhati-hati.
"Hati-hati, Abang!" ujar Bunda.
Ragas berhasil keluar dari area dermaga dan ia langsung menemukan sandalnya yang terjatuh di pasir. Ia memamerkan sandal ke Bunda penuh rasa bangga. Bunda ikut senang dan lega melihat cengiran anaknya itu.
Di satu waktu, mata Langit menangkap sesuatu berukuran kecil yang terombang-ambing menuju bibir pantai.
"A?" Langit bersuara.
Bunda menengok dan tersenyum lucu, "Iya, Sayang? Enggak sabar buat mimi, ya? Ooo, anak Bunda yang kecil imut udah enggak sabar mau bobo."
Langit memainkan bibirnya seakan ingin segera diberikan susu. Kemudian, tatapannya teralih ke laut lagi. Selama Bunda dan Ragas berjalan ke parkiran, Langit terus mengamati makhluk kecil.
Langit tidak mengerti apa-apa, namun ia nampak betah menatap makhluk tersebut. Itu bukan ikan karena memiliki sepasang kaki, tangan, dan rambut cokelat panjang.
Sampai akhirnya, Langit lihat sebuah kapal kecil berhenti di tepian dan dua orang lelaki muda berlomba-lomba menolong makhluk kecil tadi.
Empat belas tahun kemudian.
Langit menyapukan pandangan ke sekelilingnya. Permukaan air laut berkilau karena matahari menembak sinar terik. Di tempat ia berdiri, Langit memerhatikan kapal kecil yang tanpa ia sadari pernah melihatnya belasan tahun lalu.
Dua orang lelaki berada di kapal dan sedang bergegas meninggalkan tempat membawa wadah berisi ikan segar. Langit tidak akan membicarakan mereka karena tujuannya ke pantai untuk sekadar menyegarkan pikiran.
Di genggamannya terdapat sosis bakar yang dibeli di tempat langganannya. Kedai itu berada di dekat lahan parkiran kendaraan. Langit memakan makanan tersebut seraya melanjutkan perjalanannya yang sempat terhenti.
Tubuhnya masih dibalut seragam khas SMA Raden 2. Rambutnya sudah berantakan karena tertiup angin kencang. Tiba di dermaga, Langit menapak hingga ke ujung.
"Bentar lagi matahari ngumpet," gumamnya seraya duduk bersila.
Langit menaruh jajanan dan tasnya di samping paha. Ia kemudian melepas kemeja sekolah hingga menyisakan kaus hitam polos di badan. Kalungnya seketika terpampang, senada dengan gelang-gelang di tangannya.
Bertepatan Langit menaruh kemeja ke tas, ponselnya berbunyi. Ia mengambil benda itu dari saku celana dan melihat sinyal yang sedikit. Meski sedikit, ternyata cukup mampu menerima notifikasi baru.
RAGAS:
Dede angit di mana, kok wujudnya udah ga keliatan di sekolah
Langit membalas dengan satu tangan, satunya lagi sibuk mencomot sosis. Tadi itu ketika bel pulang sekolah berbunyi, Langit cepat-cepat pergi karena tidak ada jadwal piket juga. Dia ngacir ke parkiran dan menjadi yang pertama pulang.
LANGIT:
🏝
RAGAS:
Mo nyusul ah
Langit tidak membalas lagi. Dia menyimpan ponselnya di tas dalam keadaan mati. Langit harap Ragas tidak membawa teman-temannya yang kalau datang bareng seperti ingin tawuran itu. Kepala Langit pening melihat orang terlalu banyak.
Sore ini lumba-lumba tidak muncul. Tatapan Langit kosong karena sedang melamun, tetapi mulutnya tak berhenti mengunyah. Ketika bengong begitu, ukuran matanya selalu sedikit membesar.
Beberapa menit berselang, terdengar dari arah belakang suara-suara mendekat ke Langit. Suara mereka terlalu sering Langit dengar sehingga ia sangat mudah menebak siapa orang-orang itu tanpa melihatnya.
"Kiw, Langit!" Suara Bintang.
"Demen banget sendirian di sini. Enggak takut kesambet?" celetuk Ragas.
Dua lelaki itu mendatangi Langit, lalu duduk di sisi kiri dan kanannya. Bintang di kanan, Ragas di kiri. Mereka merampas sosis Langit untuk dimakan bersama penuh kenikmatan. Selain sosis, Bintang juga merebut minuman es punya sepupunya itu.
"Aduh, gila, seger banget!" Bintang merasa lega karena sejak tadi dia kehausan.
"Bagi, atuh!" Ragas menyambar minuman tadi dan meneguknya sampai sisa setengah.
Langit menatap miris minuman dia yang sedikit lagi habis diminum Ragas. Setelah sekian detik terlewat, barulah Langit protes dan menabok dua kakaknya itu. Satu kakak kandung, satu kakak sepupu.
"Dateng-dateng ngerampok. Tuman pisan ih!" kesal Langit.
"Berbagi, Angit! Ayah Bunda sering ngajarin buat saling berbagi." Ragas tersenyum manis, lalu menatap Bintang, "Iya, kan, Bi?"
"Iya, dong." Bintang mengangguk.
Langit tiba-tiba beranjak dan meninggalkan dua lelaki itu di sana. Kepergian Langit membuat mereka semakin gencar mencicipi semua jajanan Langit. Ada sosis bakar, bakso bakar, dan satu burger.
Tak lama, Langit kembali lagi dan membawa tiga minuman sekaligus. Meskipun kesal, ternyata dia masih menyayangi kakak-kakaknya.
"Nih!" Langit menyerahkan minuman tadi ke mereka.
"Maaci, Dede Angit." Ragas menebar cengiran lebar, begitu pula Bintang yang pamer gigi kelincinya.
Mereka makan dan minum bersama seraya mengobrol membahas banyak hal. Obrolan utamanya mengenai suasana Pantai Savarna yang akhir-akhir ini menjadi sepi. Padahal baru minggu lalu ramai usai diadakan festival meriah di tiap tahun.
"Ngit, lo sering banget sendirian ke sini tuh ngapain?" tanya Bintang.
"Enggak tau. Suka aja soalnya adem." Langit menjawab.
"Nunggu jodoh, ya, Ngit?" Ragas menyambar dan menggoda. "Siapa tau nongol dari laut."
"Tau-taunya yang muncul siluman," ceplos Bintang dan seketika ia terbahak bersama Ragas.
"Kecian Dede. Emangnya di daratan ga ada cewek yang menarik? Sampe nyarinya di pantai," celetuk Ragas lagi.
"Cewek daratan serem. Angit pasti tatut." Bintang yang menyahut.
"Itu mah lo! Dideketin cewek langsung kabur berasa dikejar setan." Ragas menertawakan Bintang.
Bintang memang ajaib. Dia takut bila di dekatnya ada perempuan, kecuali ibu ataupun keluarganya sendiri. Kalau dia sudah datang ke sekolah dan masuk kelas, sekujur tubuhnya langsung merinding melihat cewek-cewek itu.
"Hiiih, ogah deket-deket cewek." Bintang bergidik.
"Nanti kemakan omongan sendiri baru tau rasa," tutur Ragas disertai senyum miring.
"Enggak. Pokoknya enggak mau berurusan sama cewek. Biarin aja enggak pacaran sampe seumur hidup." Bintang bertutur sangat berani dan yakin.
Di saat itulah Langit melirik Bintang dengan rasa curiga. Ia menyipitkan mata, lalu menunjuk wajah Bintang. "Lo suka cowok, ya?!"
"Heh, ngomong sembarangan!" tepis Bintang.
"Heleh ... pantesan nemplok sama Agas mulu. Emang cocok sih lo berdua," seloroh Langit.
Ragas bukannya menjauh, dia malah makin mendekat ke Bintang sampai bersandar ke badannya. Ini posisi yang nyaman untuk Ragas, tapi berat bagi bahu Bintang. Saat Bintang bergeser cepat, maka Ragas terjengkang.
Bunyi gemuruh di langit membuat kebisingan yang tiga cowok itu ciptakan seketika terhenti sejenak. Awan kelabu mendadak datang dan bergumpal menjadi tebal. Mereka mengernyit, tapi juga terperangah melihatnya.
"Walah, tiba-tiba mau ujan?" Langit bingung.
Dalam hitungan detik, rintik gerimis turun dan perlahan berubah menjadi serbuan hujan lebat. Tiga orang itu bersicepat kabur menyelamatkan diri dari hujan. Mereka lari-lari kencang di sepanjang dermaga, melewati pasir basah, lalu mencari tempat untuk berteduh.
Tadinya Ragas dan Bintang ingin ke saung, tapi Langit tetap berlari lurus dan dua orang di belakangnya otomatis ikutan.
Maka, tibalah mereka di kedai penjual martabak. Keadaan badan sudah setengah basah dari kepala sampai kaki. Mereka kompak mengusap wajah, serta menyibak rambut.
"Cihuy! Pada keujanan, nih." Seorang bapak pemilik kedai ini menghampiri mereka sambil senyam-senyum.
Langit mengamati seisi kedai. Kedua tangannya melipat dan sesekali menggigil terkena tiupan angin. Lantas, mata Langit berhenti di gerobak bersih nan terawat punya Si Bapak.
"Hah ... beneran ketemu jodoh di pantai." Langit menatap loyang martabak dengan tatapan penuh cinta.
◽️ to be continued ◽️
😄🌷🤪💕HAAAI BABYGENG🦄😛🍃🤩
mamigeng dateng buat menghibur kalian, kali ini bareng para bujang sebelum mereka semua menikah 🍃 CIHUY 🥰🤩🤪
cerita ini bakal ringan-ringan aja dan konfliknya ga gede kayak Alaïa 1 atau 2 kok 🥲🤭
MAU LANJUT? COMMENT "NEXT" DI SINI
▫️▫️▫️
LANGIT, 16 tahun
RAGAS, 18 tahun
BINTANG, 18 tahun
▫️◻️▫️
follow instagram
@langitshaka
@ragascahaya
@nyxreaperr
@radenchedid
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro