Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5 - Beruntung

Semua telah berakhir.

Bianca berteriak keras-keras. Girang.

Untung saja apartemennya adalah apartemen studio mewah dengan dinding-dinding kedap suara. Privasi sangat penting di sini. Karena itu, Bianca bebas melakukan sesuatu. Tempat yang sangat cocok untuknya bersembunyi selama ini.

Meski dia sangat berharap bisa kembali dalam dunianya. Kembali meniti karier sebagai selebriti yang menjadi idola. Itu adalah cita-citanya sedari kecil. Karena itu, meninggalkan dunia keartisan adalah sebuah cobaan berat dalam hidupnya.

Bianca kini dapat bernapas lega. Kariernya sebagai penyanyi idola akan dimulai lagi. Kontrak-kontrak bisa ditandatangani dengan bebas. Tidak akan ada ancaman bahwa seseorang akan membongkar rahasia. Tidak akan ada ancaman-ancaman bahwa dia akan dipermalukan. Betapa bahagianya.

Bianca tertawa-tawa seraya mengempaskan diri ke sofa empuk apartemennya. Teriakannya masih bergema di dalam ruangan. Berkali-kali, dia melihat tajuk berita koran di tangan. Membaca paragraf pertamanya dengan suka hati.

KEMATIAN MISTERIUS SANG PLAYBOY MEDIA

Ronny Suteja, kepala editor infotainment KRTV ditemukan tewas di kamar sebuah hotel berbintang. Tidak ada yang tahu, siapa pembunuh lelaki itu. Namun sebelumnya, Ronny membawa seorang wanita yang hingga kini tidak ditemukan keberadaannya. Tidak ada catatan maupun rekaman yang bisa mengidentifikasi wanita itu...

"Mati kau, Bajingan! Hahahaha! Rasakan! Kau memang pantas menerimanya!"

Bianca tertawa bagai orang gila. Bianca merobek koran itu dengan kasar. Serpihannya dibiarkan begitu saja memenuhi lantai. Ini adalah akhir yang sesuai untuk Ronny, meski Agni mengaku tak berniat membunuh Ronny.

Bajingan seperti Ronny memang harus diberi pelajaran. Bajingan yang senang menghancurkan hidup orang lain harusnya mendekam di neraka!

Bianca meraung marah. Dia tertawa lagi. Berita ini membuatnya sejenak kehilangan kewarasan. Dengan cepat, dia mengambil ponsel. Membaca pesan ancaman itu lagi.

Satu Milyar. Atau nasibmu akan seperti Yashita Gunawan.

Bianca menelan ludah. Mengenang kejadian setahun lalu.

Yashita adalah teman SMA-nya. Kebetulan, sama-sama berkarier di bidang hiburan. Suatu hari, Yashita dan Bianca diundang reuni oleh teman-teman SMA mereka yang lain. Tak diduga, Maryanti, salah satu teman yang hadir, tewas teracuni teh. Dengan mudahnya, polisi menangkap Yashita. Sementara media massa rajin memberitakan betapa buruknya sifat Yashita.

Seakan menemukan mangsa empuk, para wartawan mengekspos kasus Yashita habis-habisan. Hingga puluhan persidangan digelar. Sementara stasiun-stasiun televisi berbondong-bondong menyiarkannya secara langsung. Konon, rating acara sidang Yashita sampai mengalahkan rating acara reality show Tendang Pacar dan acara Cinta Sejati Rafli-Vivie.

Hingga kini, nasib Yashita makin tak jelas. Kejamnya opini masyarakat sungguh bisa membawa seseorang pada kehancuran. Saat itu, masyarakat hanya tahu kalau mereka harus membenci kesalahan. Lepas dari kenyataan kalau masyarakat tidak terdiri dari sekumpulan orang-orang suci, melainkan kumpulan orang-orang bermulut tajam.

Gosip-gosip menyebar bagai wabah. Dalam sekejap, bukan hanya Yashita, namun seluruh keluarga Yashita dikabarkan sebagai keluarga pembunuh berdarah dingin. Rumah mereka dilempari batu. Anggota-anggota keluarga lain tak bisa keluar rumah tanpa pengawalan ketat.

Yang paling parah, hingga kini, pelaku sebenarnya belum tertangkap. Bianca tahu karena dia sendiri ada di lokasi kejadian. Waktu itu, ada orang misterius yang duduk di dekat mereka. Memandang Yashita dengan sorot membenci.

"Sudahlah, Bianca. Mungkin ini memang nasib, untuk menebus dosa-dosaku di masa lalu," kata Yashita saat Bianca menemuinya di penjara.

Dan benar saja, baik polisi maupun pihak pengadilan, memilih menghukum Yashita demi memuaskan rasa keadilan masyarakat. Pemberitaan yang terlanjur viral adalah alasan mengapa harus ada seseorang untuk disalahkan. Sementara orang satu-satunya yang bisa dipergunakan hanya Yashita. Sebab gadis itu terlihat sedang menggaruk-garuk bokong di rekaman CCTV.

Tidak ada jurang yang lebih curam dari publikasi dan pemberitaan yang berat sebelah. Mengatur pemberitaan seperti itu, adalah satu-satunya keahlian Ronny. Bianca pernah tahu, bagaimana kerja sama Ronny dengan parpol atau pejabat yang ingin menaikkan popularitas. Sayangnya, Bianca terlambat mengetahui kalau Ronny juga suka memeras artis baru.

Memuakkan.

Bodohnya, Bianca juga terjebak dalam permainan Ronny. Namun atas kasus berbeda.

Bianca berjalan ke dekat lemari es. Tangannya membuka pintu, lalu mengambil sebotol bir. Saat Bianca hendak membuka botol itu, tangan seseorang mencekal Bianca.

"Masih tak kapok juga?" wajah dingin Agni menyambut Bianca. Botol bir berpindah tangan dengan cepat. Agni berdecak seraya meletakkan botol itu kembali di kulkas. Berjejer dengan botol-botol lain yang ingin dibuang Agni.

"Dengan semua masalah itu, kau masih juga mabuk-mabukan?"

Bianca tertawa, memandang sahabat kecilnya sambil mengangkat tangan, "Oke, oke... aku mengerti. Aku tidak akan menyentuh minuman keras lagi, selama-lamanya. Puas?"

"Sekali sudah cukup, Bianca," Agni menuding Bianca, "Aku tidak mau mengerjakan pekerjaan seperti itu lagi. Lebih baik kau menyuruhku membunuh orang, daripada mendekati pria bajingan semacam Ronny Suteja."

"Tapi dia memang tewas," kata Bianca penuh kepuasan, "Kau yakin, bukan kau yang membunuhnya?"

"Kau tidak percaya aku tidak bersalah?" pandangan tajam itu menusuk Bianca. Bianca tercenung. Ingat pandangan sedih Agni di masa kecil. Rasa bersalah sempat menyentuh hatinya. Kawan kecil yang malang. Mungkin Agni benar, dia tidak akan mengotori tangannya dengan darah bajingan kecil seperti Ronny.

Bianca tersenyum, lalu membuka kulkas untuk mengambil sebuah apel. Jalan keluar yang pas untuk situasi seperti ini. Minimal, rasa asamnya akan mengurangi pahit di mulut Bianca.

"Sebenarnya aku tidak pernah berpikir kalau dia akan tewas dengan cara ini," kata Bianca lagi, "Si Pembunuh terlalu berbelas kasih."

Sebuah tawa dingin terdengar dari Agni, "Kalau aku yang melakukannya, aku jamin dia tidak akan mati semudah itu."

"Benarkah?"

Mendadak, Agni terdiam. Matanya berkilat-kilat saat mengatakan, "Sebenarnya, aku sempat berpikir akan memeriksa apakah orang itu masih memiliki hati!" Agni ikut mengambil sebuah apel. Dia menusuk apel dengan sebuah pisau. Dengan gerakan cepat, Agni menyambar pisau. Beberapa detik kemudian, apel itu telah terbelah menjadi delapan bagian.

Melihat gerakan membelah yang sangat terlatih itu, Bianca jadi merinding. Apakah seperti ini cara Agni membunuh orang? Jika ya, maka sungguh malang nasib korban-korban Agni.

"Apa gunanya manusia bejat itu hidup di dunia?" sambung Agni, "Dia mencelakakan Yashita—kekasihnya sendiri."

Ya, ketampanan Ronny memang membuatnya dengan mudah meluluhkan hati para gadis. Wajah Ronny imut dan polos. Berbanding terbalik dengan sifat aslinya.

"Dia hanya berpura-pura menyukai Yashita," komentar Bianca.

"Itu juga kan yang dia lakukan saat dia memper—"

"Cukup, Agni," Bianca berkata seraya menggigit apel di tangan, "Semua sudah berakhir. Tak ada yang perlu dibicarakan lagi mengenai Ronny."

Bianca menghela napas. Kali ini dia memperhatikan Agni lekat-lekat. Berusaha mengalihkan pembicaraan, "Kau sudah banyak berubah. Tidak sepolos dulu."

Bianca kembali menggigit apel malang yang tadi diambilnya, "Bukankah seharusnya kau sudah pergi dari Indonesia?"

"Ada sesuatu." Agni mengeluarkan sebuah laptop dari tasnya, mengetik berpuluh-puluh huruf, "Aku ingin menyelidiki Lee Shin. CEO grup Siddharta itu."

"Wow," Bianca mendecakkan lidah, "Mantanku?"

"Mantanmu?" Agni tersenyum lucu, "Jadi kalian sudah putus?"

"Dia datang dan pergi sesuka hati. Jadi aku memutuskan sementara menghilang dari kehidupannya," kata Bianca "Iya. Dia terlalu angkuh untuk bisa dimiliki seorang perempuan."

Agni memamerkan senyuman aneh di wajah. Tangannya masih sibuk mengetik dan menggerakkan kursor.

Bianca berbaring di dekatnya sambil mengunyah apel pelan-pelan, "Kenapa kau tertarik padanya?"

"Karena dia tidak seperti laki-laki lain yang kukenal," jawab Agni, "Laki-laki itu kebanyakan seperti Ronny Suteja. Tidak sepertinya."

Agni mengingat pertemuan pertama mereka di Bali setengah tahun lalu. Sikap Shin saat itu lebih mementingkan berita daripada perempuan cantik yang ada di depan.

"Memangnya menurutmu Shin seperti apa?"

"Dia pria dingin," kata Agni, "Bertemu dua kali tapi tidak ada rayuan."

"Sungguhkah?" Bianca berguling hingga telungkup, "Kau sudah bertemu dua kali?"

Agni mengangguk. Ingat kejadian di Bali dan pekan raya. Saat di Bali, memang situasi tidak kondusif. Tapi kemarin, dengan kesempatan seperti itu...

"Kemarin kami hanya berjalan-jalan di pekan raya," Agni menunduk untuk menyembunyikan semburat merah di wajah. Ah, sial. Mengapa malah Agni yang malu karena soal itu? Padahal kemarin aktingnya sangat meyakinkan.

"Kau hebat sekali! Bisa mendekati Shin. Aku saja memerlukan waktu berbulan-bulan," kata Bianca, "Perlu banyak taktik untuk bisa menarik perhatiannya. Apalagi membuatnya mendekatiku."

"Anggap saja keberuntungan."

"Kau memang pantas disebut penakluk," Bianca bangkit, dan bersila di dekat Agni, "Bagaimana kau bisa mendekatinya?"

"Aku bertemu dengannya waktu mengambil laptop itu. Dia membantuku menghindari kejaran polisi."

"Kau berhadapan dengan polisi?" Bianca mengernyitkan alis, "Tapi kau tidak apa-apa, kan?"

Agni menggeleng, "Tidak apa-apa. Sudah biasa."

Bianca kembali menggeleng tak mengerti. "Mengapa kau melakukan semua ini? Tidakkah kau ingin berhenti? Maksudku, berhenti terlibat dengan dunia kriminal?"

Agni mengangkat wajahnya. Ekspresinya mengeras. Mendadak membuat Bianca tidak mengenali sahabatnya itu. Sedetik, pandangan Agni menajam. Bianca merasakan tubuhnya merinding hanya karena ditatap seperti itu.

"Dalam beberapa hal, tahu akan membuatmu berada dalam bahaya," Agni mendesah, lalu kembali mengetik.

"Baik, aku mengerti," Bianca menarik nafas, mencoba melucu, "Dan bagaimana malammu dengan Shin? Apa dia sempat mengajakmu ke tempat tidur?"

"Jadi pria itu benar-benar pria hidung belang? Sebenarnya..." Agni menghela napas, "Dia hanya memegang tanganku. Dan pegangannya membuatku merasa nyaman."

Oh, itu memang pegangan yang terlalu nyaman. Kehangatannya membuat Agni terlena. Seperti dia bisa menggantungkan hidupnya pada Shin.

"Nyaman?" Bianca terkikik. Tampaknya baru pertama kali mendengar cerita macam ini tentang Shin, "Kau yakin itu bukan gairah?"

"Tidak. Itu perasaan nyaman," kata Agni, "Tidak mengingat kejadian mengerikan di masa lalu saja adalah kenyamanan untukku."

"Jadi bolehkah aku tahu kenapa kau ingin mendekati Shin?"

Segaris senyum misterius hadir di wajah Agni, "Shin... ia mengingatkan aku kepada seseorang yang paling berarti dalam hidupku."

"Apakah itu dia? Penyelamatmu?"

Agni mengangguk, Kenapa aku merasa kau begitu mirip dengannya? Gadis itu memegang dadanya yang mendadak berdebar, Sikapmu yang angkuh, matamu yang dingin. Aku tak boleh mencintaimu Aku adalah kekasihnya. Kekasih sang bayangan.

"Dia rupawan," jawab Agni pada akhirnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro