Bab 4 - Penyamaran
Agni mengejang. Tubuhnya berontak. Tak ingin merasakan trauma yang selalu berhasil menghancurkan keberanian. Agni amat terganggu dengan ketidaksopanan Ronny. Ingin sekali dia mengakhiri permainan ini. Akan tetapi, dia sadar... jika aktingnya gagal, bisa jadi Ronny akan mencelakainya.
Agni bisa saja melawan, bahkan membunuh pria itu. Akan tetapi, kehadirannya bisa diketahui. Dan itu bisa berakibat fatal. Masuk penjara mungkin hanya akan jadi opsi teringan. Hukuman dari Death Hand adalah hal yang lebih menakutkan.
Agni mengambil segelas air putih, lalu menghabiskannya dengan satu tenggakan besar. Dia tak mau meminum wine yang ditawarkan. Tak ingin alkohol mempengaruhinya. Apalagi merusak rencana yang telah disusun dengan baik.
Bianca yang mengatur penampilan Agni. Bianca juga yang memohon pada manager pub agar memberi Agni kesempatan tampil, sekali saja. Pertunjukan itu memang diatur untuk menarik perhatian Ronny.
Suara gemericik air beserta suara sumbang Ronny masih terdengar dari kamar mandi. Sudah jelas bahwa lelaki itu memang sedang bernafsu. Hanya keluhan Agni yang membuatnya mandi. Hanya itu kesempatan agar Agni ditinggal sendirian.
Agni menelan ludah. Setengah menyesal menyanggupi permintaan Bianca. Membunuh jauh lebih mudah daripada menggoda seorang pria hidung belang. Rayuan pria itu lebih mendatangkan ketakutan daripada nafsu. Peristiwa traumatik itu kembali muncul dalam benak Agni. Membuat batinnya bertarung sengit. Antara terus menjalankan sandiwara ini, atau segera mematahkan leher Ronny.
Ronny Suteja tak bisa menyakitimu, Setelah berkali-kali meyakinkan diri, Agni mengendap-endap menuju sebuah laptop yang berada tak jauh di dekatnya. Hati-hati, diambilnya laptop itu. Hanya ini yang bisa dia perlukan.
Agni memeluk laptop Ronny. Hati-hati, Agni berjalan tanpa suara. Sayangnya, karena langkahnya terlalu pelan, Ronny keburu tahu kalau mangsanya akan melarikan diri.
"Mau kemana?"
Wajah Agni sepucat kertas. Apalagi saat Ronny menghampirinya, hanya dengan mengenakan sehelai handuk.
"Rupanya kau hanya seorang pencuri kecil," Ronny tersenyum licik. Segera, Ronny menangkap pinggang Agni. Ronny mengambil laptop lalu meletakkannya di atas meja.
Tak mau melepaskan Agni, Ronny menampar gadis itu. Membuat Agni jatuh tersungkur di atas lantai berkarpet. Belum puas, Ronny berjongkok, lalu mencekik Agni sambil tertawa penuh kemenangan.
Agni baru hendak mengarahkan lutut ke bagian vital Ronny. Menyerang pria itu. tapi rupanya, Ronny segera melepaskan Agni. Senyum kejam terlihat di wajah pria itu. dengan kasar, dia merobek bagian atas blus Agni.
"Sebenarnya, kau cantik sekali," nada suara itu sarat ancaman, "Sayang sekali, setelah bersenang-senang nanti, kau harus mati." Katanya dengan tanpa perasaan. Agni merasakan tengkuknya merinding. Kata bersenang-senang adalah kata yang lebih menakutkan daripada kematian.
Agni merasakan tulang-tulangnya mulai ngilu. Pikirannya kosong saat Ronny meraup lalu membantingnya ke atas ranjang. Tidak. Ini tidak boleh terjadi lagi. Air mata Agni sempat luruh saat Ronny mulai mengarahkan jemarinya membelai bagian-bagian sensitif. Berharap agar Agni tergoda dan hilang kendali.
Menjijikkan! Ingatan Agni sungguh menyiksa. Beberapa menit, gadis itu tak mampu berkutik. Hingga akhirnya, Agni mengingat sosok Joong yang memeluknya sepanjang hari. Joong yang memancing emosi dan kesadarannya kembali pulih.
"Joong, berikan aku kekuatan."
Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Agni menyambar lampu meja beserta kabelnya. Dalam sebuah gerakan teramat cepat, Agni telah berhasil memukulkan lampu kristal itu ke kepala Ronny. Kuatnya pukulan itu mampu merobohkan Ronny seketika. Tidak membuang-buang waktu, Agni segera mengikat Ronny dengan kabel-kabel yang dia temukan di dekat mereka.
"Sayang sekali, aku bukan sekadar pencuri kecil," kata Agni. Keinginan membunuh Ronny sungguh membuatnya tergoda. Akan tetapi, Agni sadar, jika Ronny mati, keberadaannya akan diendus polisi.
Agni menyambar kain hiasan di ujung tempat tidur. Dengan gerakan terlatih, dia mengikatkan kain itu untuk menutupi robekan di blusnya. Kini, Agni terlihat seperti mengenakan pakaian modifikasi yang keren.
Sungguh ironis.
Agni mengambil tas rajutnya di atas meja. Tanpa melirik Ronny lagi, Agni mengambil tas rajutnya. Agni merentangkan pegangan di tas rajut itu, besi bundar yang salah satunya dikaitkan Agni ke sebuah teralis.
Agni membuka jendela. Dengan sebuah loncatan, dia meluncur mulus sambil memeluk laptop. Berpegangan pada benang tas rajut yang terbuat dari serat baja halus. Benang yang terburai pelan dari tas rajutnya.
Desain tas rajut itu sungguh menolong. Tanpa halangan berarti, Agni meluncur ke bawah. Agni telah melewati sekitar sepuluh lantai. Kakinya menapak jalan raya. Lampu-lampu mobil menghampiri wajahnya. Jalanan amat ramai saat itu. tak ada seorang pun memperhatikannya. Namun sirine polisi terdengar begitu saja dari kejauhan.
Agni menarik napas. Resah kalau-kalau polisi itu datang karena Ronny. Adakah orang yang melihat aksinya tadi? Atau apakah Ronny berhasil melepaskan diri lalu melapor?
Agni berdeham sekali. Dia mengamati keadaan di sekitar. Hanya sebuah kalimat yang menyadarkan, kalau seseorang telah melihat tindakannya.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Suara itu membuat Agni terkejut. Sosok Lee Shin di depannya membuat Agni ingin segera melarikan diri.
Tapi kemana?
***
Lee Shin berdiri di depan Agni. Sungguh penasaran dengan aksi terjun bebas yang baru saja terjadi di hadapannya.
Shin dapat melihat keterkejutan di sorot mata Agni. Namun ekspresi dingin itu lebih berbicara banyak. Kekejaman Agni terlihat hanya dari ekspresi itu. Lagi-lagi aura kematian.
"Kau ingin memuat beritanya di majalahmu?" gadis itu tersenyum mengejek.
Shin tidak dapat menyembunyikan kemarahan dari suaranya, "Kau gila."
"Terserah," Agni mengangkat salah satu tangan sambil mundur menjauhi Shin. Karena berjalan mundur, Agni menjadi tidak hati-hati. Seseorang menyenggolnya hingga hampir terjatuh. Saat berbalik, Agni kaget karena yang menyenggolnya tadi adalah seorang polisi.
"Maaf, Nona," polisi tadi hendak membantu Agni berdiri tegak. Agni menepis pegangan si polisi. Dengan cepat, dia hendak berlalu dari depan si polisi.
"Tunggu!" panggil si polisi, "Kami sedang mengadakan pemeriksaan terhadap orang-orang di sekitar sini. Terutama wanita. Begini, baru saja terjadi kejadian serius di salah satu kamar hotel. Seorang pria terbunuh..."
Agni tak dapat menahan rasa terkejut. Bukankah dia meninggalkan Ronny dalam keadaan hidup?
Agni berpura-pura mendengarkan penjelasan polisi itu. Padahal, dalam hatinya kalut. Pikirannya sibuk mencari cara melarikan diri dari tempat ini.
"Anda sendirian?"
Agni tersentak mendengar pertanyaan itu. Dia berdeham beberapa kali. Satu ide mendadak datang ke pikirannya.
Dengan cepat, Agni menarik tangan Shin, "Saya bersama Pak Lee Shin. Dia wartawan dari Siddharta group."
Melihat sikap mesra yang diperlihatkan Agni, polisi itu menunduk karena malu.
"Maafkan saya," katanya dengan sikap sangat sopan, "Silahkan lanjutkan kencan anda."
***
Shin tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
Agni menggandeng tangannya. Meremas jemarinya dengan lembut. Tubuh Shin bereaksi terhadap sentuhan itu. Gelenyar-gelenyar hangat dan ketegangan membuat Shin sulit memberikan reaksi yang tepat.
Mereka telah berjalan jauh. Berjalan hingga ke arena pekan raya. Biasanya, pekan raya ini selalu diadakan setahun sekali. Untuk memperingati hari ulang tahun Jakarta.
"Katakan padaku, siapa dirimu?" akhirnya Shin bertanya.
"Panggil saja Agni," Agni tersenyum seraya melepaskan tangan Shin. Berbeda dengan keinginannya, Shin kembali meraih tangan Agni. Membuat gadis itu memandangnya dengan bingung.
Mereka memasuki arena pekan raya. Shin menggenggam tangan Agni erat-erat. Tidak membiarkan gadis itu meloloskan diri. Dia harus tahu, mengapa Agni menggunakannya untuk melarikan diri. Dia harus tahu, apakah Agni memang membunuh Ronny Suteja.
Pendaran lampu berwarna warni menghiasi pekan raya. Jika terlihat mata biasa, Agni dan Shin yang berada di pekan raya itu terlihat sebagai pasangan serasi. Alih-alih takut, Agni malah tersenyum senang sambil berkeliling berbagai stan di sekitar mereka. Terlalu tenang hingga tak terlihat kalau dia baru melakukan satu adegan laga tanpa double stunt.
Agni berhenti di sebuah stan menembak. Sepuluh balon terpampang di depan, sementara hadiah-hadiah berjejer di sebelahnya. Agni tersenyum riang, mengambil pistol-pistolan dan berkata pada penjaga stan, "Bagaimana caranya mendapatkan boneka beruang itu?"
"Anda harus memecahkan semua balon itu," Pak Tua Penjaga Stan menjawab ramah.
Shin berdiri di dekat Agni. Iseng, dia menimang salah satu pistol-pistolan yang tersambung oleh kabel panjang, alat tembak di stan. Kalau saja kemampuan menembaknya tidak terganggu, dia mungkin bisa mencoba tantangan disini.
"Aku pernah melihatmu bersama seorang artis," Agni tersenyum seraya menggerakkan pistol untuk memperkirakan jarak tembak, "Kau kekasih Bianca bukan?"
Shin tertawa masam, kekasih? Tidak ada seorang pun yang dapat menjadi kekasihnya. Mereka hanya gadis-gadis boneka yang menginginkan uang dan prestise berdekatan dengan penerus keluarga Siddharta.
"Mau main?"
Perkataan Agni membuyarkan lamunan Shin. Dia meletakkan pistol-pistolan kembali ke tempat. Lalu menggeleng lemah.
"Yakin?"Agni menelengkan kepalanya ke arah Shin.
Shin kembali menggeleng lemah, "Tidak."
Agni tertawa, mulai mengukur jarak antar balon dengan matanya.
"Tidak mungkin memecahkan sepuluh balon dengan sembilan peluru," kata Shin skeptic. Pak Tua turut mendukung dengan mengangkat dua jempol.
Agni tertawa. Dia menyerahkan dua lembar sepuluh ribuan ke tangan Pak Tua. Agni menggerakkan bahu. Matanya mulai terpicing saat mengarahkan pistol-pistolan ke arah balon. Beberapa kali suara letusan terdengar, diikuti suara ledakan kecil. Agni telah menghabiskan delapan pelurunya. Menghabiskan delapan balon secara berurutan.
"Wow," Pak Tua kaget sekali.
"Darimana kau belajar menembak?"
Agni tersenyum, mengalihkan pistol-pistolan dari dua balon di depannya. Agni melirik pilar besi yang menopang stan. Letaknya berseberangan dengan balon-balon. Agni menembakkan pistolnya ke besi itu. Suara klontang terdengar sebelum peluru itu memantul menuju arah balon, membuat dua suara letusan yang memecahkan balon-balon itu.
Agni tersenyum puas. Boneka beruang itu kini berada di tangannya. Shin mengikuti langkah Agni menyusuri keramaian pekan raya.
Tanpa sadar, Shin menyentuh tangan Agni. Hangatnya tangan itu memberi Shin kenyamanan. Ini sangat tidak mungkin. Bagaimanapun, Shin baru bertemu Agni. Dan ada satu kemungkinan kalau gadis itu adalah seorang pembunuh.
"Ada apa?"
"Tidak apa-apa."
Agni menyodorkan boneka itu kepada Shin, "Untukmu," kata Agni, "Terima kasih atas semuanya hari ini.
Shin menarik napas. Sadar kalau momen ini akan mengubah hidup Shin selamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro