BAB 4
Angin bertiup pelan, menerbangkan helai rambut milik seorang perempuan dengan gaun ungu. Mata hijau cerahnya memperhatikan pergerakan beberapa anak berumur 8-13 tahun yang berlarian keluar dari sebuah bangunan dengan cat abu-abu. Bangunan itu terlihat agak tua, ditambah beberapa retakan dan tanaman rambat menghiasi pojokan dinding luar. Bingkai jendelanya tampak rapuh karena dimakan rayap. Bahkan, taman di depan bangunan tersebut tak terawat, dengan menyisakan pot-pot kosong dan tanah gersang.
Cassie enggan untuk berjalan lebih jauh, sehingga ia memutuskan untuk berdiri di depan pagar setinggi perut sambil mengasah bakat sihir. Tangan kanan perempuan itu menyentuh tanaman morning glory yang terlihat kurang sehat, sementara mata dan pikiran terfokus untuk menumbuhkan tanaman itu. Butuh belasan detik bagi Cassie menghasilkan pendar hijau dari telapak tangan kanan. Lambat laun, pendar itu mengitari tanaman sembari menumbuhkan lebih banyak lagi daun-daun dan bunga bundar berwarna biru bermekaran, bahkan sampai menutupi bagian atas pagar walau hanya sedikit. Setelah itu, pendar hijau tak lagi muncul dari telapak tangannya.
"Keren," ujar Kyle yang kini sudah berdiri di belakang perempuan berambut cokelat.
Cassie berbalik dengan ekspresi terkejut karena tak menyadari kehadiran pria itu. Ia terlalu fokus dengan sihirnya sampai tidak mendengar suara langkah kaki Kyle. Dengan senyuman, si perempuan mengedikkan bahu, merasa kalau pujian yang dilontarkan sepupunya belum pantas untuk didapatkan. Cassie masih merasa jika kemampuannya tidak sehebat orang lain dan pria yang kini berdiri di sampingnya.
"Aku bahkan belum bisa mengeluarkan sihir lebih dari satu menit," sahut Cassie sambil memperhatikan tanaman morning glory.
Telunjuk tangan Kyle menyentuh salah satu daun, mencoba untuk merasakan energi sihir di sana. "Setidaknya kau berhasil membuat tanaman ini hidup lebih lama. Peningkatan yang bagus."
Sudut bibir perempuan rambut cokelat bergerak melengkungkan senyum, rasa senang membuncah di dada kala si pria memuji kemampuan sihir. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Kyle memuji bakat sihir Cassie, tetapi kalimat yang dilontarkan pria itu memberikan semangat baru untuk terus mengasah sihir.
"Jadi, kita mau ke mana sekarang?" Kyle menoleh pada kereta kuda hitam yang sudah terparkir di luar pagar. Ia sudah tahu jika sepupunya datang berkunjung ke tempatnya mengajar, pasti ada sesuatu yang diinginkan perempuan itu.
"Ke tempat Tuan Moran, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya," kata Cassie sambil berjalan menuju gerbang kayu terbuka yang nyaris lepas dari engsel.
Ketika keduanya sudah mendekati kereta kuda yang terparkir tak jauh dari gerbang, seorang pria membuka pintu kemudian mempersilakan kedua orang itu masuk. Sesuai dengan intruksi dari si perempuan berambut cokelat, kereta kuda membawa mereka ke tempat milik Tuan Moran di pusat kota Eriwald. Jalanan kota terlihat lumayan dipadati penduduk yang beraktivitas, belum lagi hilir mudik transportasi membuat kota di sebelah tenggara kerajaan Seprapia terkesan sangat ramai.
Bangunan yang lokasinya berada di ujung pertigaan jalan menjadi tempat perhentian kereta kuda. Bangunan itu memiliki tiga lantai dengan balkon penuh pot-pot bunga di lantai dua dan tiga. Terdapat jendela besar yang menampilkan etalase berbagai macam buku-buku best seller juga terbitan baru, bersamaan pena berhias bulu sewarna pelangi yang sedang trend diletakan di dalam kotak berlapis beludru. Saat Cassie turun dari kereta kuda, ia sangat berharap jika toko Tuan Morran sedang sepi. Bukan karena ia tidak ingin toko itu ramai, tetapi urusannya kali ini tidak ingin sampai didengar orang lain atau saat sedang berbincang malah diganggu.
Embusan napas pelan mengawali langkah perempuan itu untuk memasuki toko buku Tuan Moran. Suara lonceng berdenting terdengar tatkala Cassie mendorongnya. Aroma buku baru dan kayu bercampur satu terhidu oleh hidung dia, aroma yang paling disukainya. Tak perlu waktu lama bagi Cassie menemukan Tuan Moran, sebab pria dengan rambut hitam legam yang hobi menghirup tembakau tengah duduk manis di balik meja kasir sembari membaca koran.
"Selamat siang, Tuan Moran," sapa perempuan itu ramah. Kedua kakinya berjalan menghampiri meja kasir.
"Siang." Pria itu menurunkan korannya, mata abu-abunya memperhatikan si penyapa. Barulah selama beberapa saat tak ada perbincangan di antara mereka berdua, Tuan Moran melipat korannya dan diletakan di atas meja. "Nona Darwell apa yang kau butuhkan? Novel karangan Raveinde Rave yang terbaru? Dia belum membuat karya baru, tapi setidaknya kau sudah bisa melihat novel thriller terbarunya di meja pertama."
Cassie terkekeh pelan. "Aku sudah punya koleksi terbarunya, Tuan Moran. Sebenarnya tujuanku datang kemari untuk meminta bantuanmu."
Pria dengan rambut hitam mengernyit, ia merasa kalau perempuan di depannya ini tidak akan meminta bantuan yang biasa. Saat hendak bersuara untuk memberikan keputusannya, lonceng pintu berdenting, sehingga kedua orang tersebut menoleh ke sumber suara. Kyle memasuki toko dengan cengiran ramah khas dirinya sambil cepat-cepat menghampiri Tuan Moran untuk menyapa.
"Dan kalau Nona Darwell sudah membawa Tuan Muda Rosehearts, berarti ada sesuatu yang serius," ujar Tuan Moran.
Netra hijau si perempuan menatap sepupunya sejenak sebelum memegang ujung meja kasir. Timbul rasa ragu untuk meminta bantuan Tuan Moran, sebab ia khawatir jika si pemilik toko tak mau menolong. Namun, Cassie juga tak ingin terus dihantui oleh rasa penasaran serta ketakutannya.
"Sejujurnya, aku juga penasaran," celetuk Kyle sembari menatap si sepupu.
Cassie menatap iris abu-abu sang pemilik toko seraya berkata, "Tuan Moran aku ingin meminjam kemampuan sihirmu untuk mendeteksi keberadaan ayahku."
Kalimat itu sontak membuat pria rambut hitam membelalak. Permintaan itu benar-benar bukan sekadar permintaan biasa, ditambah lagi ia mencurigai sesuatu terjadi pada Tuan Darwell sampai-sampai putrinya datang meminta bantuan menggunakan sihir miliknya.
"Keberadaan ayahmu? A-apa dia hilang?" tanya Tuan Moran masih sedikit terkejut.
Cassie menunduk dengan ekspresi sedih, ia sendiri menduga kalau ayahnya memang hilang. Namun, sampai saat ini tak ada yang menyadari hal itu karena Krigg Darwell dikenal menyukai petualangan oleh penduduk Eriwald.
"Sebenarnya, aku khawatir jika dia memang menghilang. Sudah sebulan ini dia tak mengirim surat, biasanya setiap minggu atau dua minggu surat darinya sampai di rumah." Cassie mendongak dengan mata yang berkaca-kaca. "Semalam dia datang ke mimpiku, tapi aku melihat dia berubah jadi ... makhluk bayangan."
Baik Kyle maupun Tuan Moran kembali tercengang, terutama ketika mereka mendengar kata 'makhluk bayangan' di perkataan Cassie. Makhluk bayangan yang dikenalkan melalui legenda Shadowglass juga menjadi alat untuk menakuti anak-anak di Seprapia agar tidak bermain hingga larut malam, kini mengubah seorang Krigg Darwell di mimpi putrinya.
"Anu ... apa kau yakin itu bukan mimpi belaka?" tanya Tuan Moran yang tampak ragu akan kebenaran mimpi.
"Aku yakin, Tuan Moran. Sihir ayahku adalah sihir mimpi, dia bisa mendatangi mimpi siapa saja meskipun jarak orang yang ditujunya berjauhan," balas Cassie cepat. Kedua tangannya memegang erat ujung sisi meja. "Aku tahu ini terdengar seperti bohongan, tapi percayalah, dia memang datang ke mimpiku semalam."
"Begitu ya?" Tuan Moran bersedekap sambil memikirkan keputusan. Sebenarnya, ia ingin membantu perempuan itu, mengingat ia sudah sangat mengenal Krigg bahkan sejak pria pengusaha anggur tersebut masih muda. "Kau tahu di mana terakhir kali ia terlihat? Mungkin kau bisa mencarinya ke sana."
"Mustahil," sosor Kyle. Sontak dua manusia lain di ruangan menoleh padanya.
Alis Tuan Moran terangkat. "Kenapa mustahil? Memangnya dia pergi ke mana? Laut?"
"Dari surat terakhirnya, dia mencantumkan Shadowglass," sahut Cassie yang tampak ragu saat jujur soal Shadowglass yang menjadi kota terakhir tujuan ayahnya.
"Shadowglass? Kota itu tidak ada." Tuan Moran memutar badannya, berjalan menghampiri peta kerajaan Seprapia yang tertempel di dinding. Peta itu kemudian diambil sebelum dibentangkan. Besarnya ukuran peta nyaris menutupi seluruh meja kasir. Telunjuk kirinya menunjuk bagian barat laut Seprapia. "Lihat, hutan di sini dulunya merupakan sebuah kota yang bernama Shadowglass. Yah, kata rumornya begitu. Utara Shadowglass menjadi tempat konflik bersenjata ratusan tahun lalu."
"Karena itu juga Shadowglass hancur," tambah Kyle yang mendapat anggukan dari si pemilik toko. "Tapi setelah itu muncul rumor soal kabut misterius yang menutupi Shadowglass."
"Nah, sebenarnya aku juga tidak terlalu tahu kisah aslinya seperti apa." Tuan Moran lantas bergerak mendekati Cassie dan Kyle sebelum melanjutkan bicaranya dengan pelan. "Yang aku tahu, katanya Shadowglass tidak sepenuhnya hancur. Kota itu bertahan berkat sihir hitam."
"Kau yakin?" Mata hijau si perempuan membesar, terlihat semangat untuk mencari tahu kebenaran soal kota itu.
"Entahlah, tak ada saksi hidup yang pernah melihat Shadowglass lagi semenjak perang berakhir." Tangan kiri Tuan Moran lantas terulur seolah meminta sesuatu pada Cassie. "Tapi aku penasaran soal Tuan Darwell, jadi ada benda miliknya yang bisa kujadikan acuan untuk mencarinya?"
Kepala si perempuan mengangguk, ia lekas mengeluarkan sebuah sapu tangan putih yang tadi pagi diambilnya dari lemari Krigg. Sapu tangan itu lantas diberikan pada Tuan Moran, sementara pria itu mengambil serbuk kapur dari botol kaca yang tersimpan di laci meja. Serbuk kapur tersebut ditaburkan ke atas peta, lalu tangan kanannya meremas sapu tangan milik Krigg dengan tangan kiri di atas serbuk kapur. Kelopak mata pria rambut hitam terpejam, bibirnya mulai berkomat-kamit mengucap mantera. Perlahan-lahan, pendar kuning muncul dari kedua telapak tangan, membungkusnya.
Sementara itu Cassie dan Kyle menatap bubuk kapur yang kini mulai bergerak ke ujung barat daya Seprapia, ke tempat yang dulunya merupakan kota Shadowglass. Saat cahaya kuning lenyap dari kedua telapak tangan Tuan Moran, Cassie juga Kyle terkesiap. Sihir pelacak milik si pria rambut hitam mendeteksi keberadaan Krigg di sana, menimbulkan pertanyaan baru di benak mereka.
Sedang apa Tuan Darwell di hutan bekas kota Shadowglass? Pikir Tuan Moran.
"Itu artinya ... Shadowglass ada, tapi bukannya-" perkataan Kyle terpotong oleh Cassie.
"Tempat itu ditutupi kabut?"
"Kalau dari rumor beredar memang betul hutan bekas kota Shadowglass ditutupi kabut," timpal Tuan Moran.
Mereka bertiga terdiam, memandangi peta dengan ekspresi tak percaya. Namun, setidaknya sihir pelacak milik si pemilik toko bisa memberikan Cassie harapan bahwa ayahnya masih hidup, walau ia tak yakin dengan kondisinya. Sekelebat ingatan seputar mimpinya muncul, lalu ucapan sang ayah kembali terngiang. Tanpa sadar, perempuan itu mengucapkannya dengan nada pelan layaknya bergumam, membuat Kyle menoleh seraya menaikkan alis.
"Tak ada yang pernah bersaksi kalau Shadowglass ada, kan?" Netra Kyle menatap Tuan Moran dengan berbinar. "Bagaimana kalau ternyata kota itu masih ada dibalik kabut misterius yang menjadi legenda Seprapia?"
"Terdengar bagus." Tuan Moran tertawa sejenak, lalu sorot matanya berubah tajam. "Tapi tidak mungkin ada."
"Kalau begitu, aku akan ke sana untuk membuktikannya," tukas Cassie. "Aku akan melakukan apa pun untuk menemukan ayah."
❇❇❇
A/N dulu.
Saat saya nulis Tuan Moran, yang terngiang di kepala itu Sebastian Moran dari anime Moriarty The Patriot ≧∇≦ tapi dia masih muda sih wkwk.
Oh iya, jangan lupa untuk tinggalkan jejak sebagai bentuk apresiasi yaa. Bisa dengan vote atau komentar.
Sampai jumpa di bab selanjutnya.
Sukabumi, 15 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro