Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 2

Hari demi hari kian berganti, hingga genap satu bulan lamanya semenjak surat yang dikirimkan Krigg pada Cassie. Tak ada lagi surat lain yang menyusul setelahnya, sehingga meninggalkan pertanyaan di benak si perempuan. Hampir setiap hari, anak kedua keluarga Darwell selalu menanyakan hal serupa pada kepala pelayan. Kadang, ia pergi ke kantor pos hanya sekadar mencari tahu jika ada surat dari Krigg. Namun, hasilnya selalu sama. Surat yang meninggalkan pertanyaan di benak Cassie sebulan lalu itu menjadi surat terakhir.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, perempuan dengan surai cokelat kembali bertanya pada kepala pelayan sebelum ia menuju ruang makan. Gelengan kepala menjadi jawaban yang membuat dia nyaris putus asa. Cassie kembali memikirkan kecurigaan tentang kalimat terakhir sang ayah, tetapi perkataan Bibi Roxena seketika muncul dan mengenyahkan rasa khawatir itu.

Ayah pasti pulang. Dia hanya suka berkelana.

Pintu cokelat menuju ruang makan terbuka lebar, menampilkan seisi ruangan didominasi warna hijau. Meja persegi panjang diletakan di tengah ruangan, lengkap dengan delapan kursi. Di sebelah kanan ruangan, terdapat jendela besar mengarah langsung ke hutan mini belakang rumah. Pemandangannya sangat indah serta cukup menenangkan, tetapi sebaliknya jika Wezen sudah duduk di sisi yang menghadap jendela. Setidaknya, tidak menyenangkan bagi Cassie.

Perempuan itu hendak memutar badan kalau saja kakaknya tidak memanggil. Sambil mengerling, Cassie melangkah malas ke ujung meja yang berjauhan dari posisi Wezen.

"Bisa tidak sehari saja kau tidak bersikap kekanakan?" ujar Wezen seraya meletakan sendok di samping mangkuk sup.

Suara decakan keluar dari mulut si perempuan berambut ikal. "Kau sendiri bisa tidak sehari saja berhenti mencumbu si mata duitan?"

Wezen membelalak, lalu menatap sang adik tajam. "Sepertinya kau harus kembali belajar tata krama."

"Aku?!" pekik Cassie. "Asal kau tahu ya, aku sudah lulus belajar tata krama."

Wezen menahan napas sejenak seraya mengalihkan pandangan. Menatap hutan mini di hadapannya jauh menyenangkan daripada melihat perempuan berambut cokelat ikal di ujung meja. Pria itu tak mau meneruskan perdebatan yang hampir tiap hari tidak ada ujungnya. Jadi, dia lebih memilih kembali memakan sup krim kentang.

Cassie juga melakukan hal serupa. Sup krim di hadapannya tidak panas lagi, sehingga suasana hatinya semakin memburuk. Raut dongkol menghiasi wajah si perempuan. Gara-gara itu, Wezen yang melirik adiknya sejenak, merasa bersalah.

Pria berambut cokelat berdeham sebelum beranjak dari kursi. "Jangan lupa pesta di rumah bibi Roxena sore nanti. Jadi, kau punya waktu untuk memilih gaun terbaik."

Cassie mendengkus keras. "Tanpa diberitahu pun aku ingat."

Wezen sempat terdiam, sedikit tersinggung dengan jawaban yang diberikan si perempuan berambut ikal. Sebenarnya, ia mengharapkan jawaban yang lebih baik. Menjawab 'oke' atau 'iya' saja sudah cukup, tetapi mengharapkan salah satu dari dua kata itu keluar dari mulut adiknya hanyalah sekadar harapan belaka. Entah sampai kapan Cassie akan berhenti bertingkah seperti itu padanya.

Kaki si pria pergi meninggalkan ruang makan, membiarkan perempuan itu sibuk menyuapkan sendok ke dalam mulut sembari menggerutu. Tatkala netra hijau melihat hutan mini, tangannya sempat berhenti menyendok sup krim yang tinggal sedikit. Sekelebat kenangan tentang kejadian di hutan mini mengingatkan ia pada sang ayah. Mendadak saja Cassie merasa kenyang. Tangan kanannya meletakan sendok di pinggir mangkuk sembari mengembuskan napas keras. Perempuan itu tadinya berharap kalau Krigg pulang hari ini, karena ia ingin menghadiri pesta di rumah Bibi Roxena bersama sang ayah, bukan dengan Wezen.

Kenapa ayah tidak mengirim surat lagi? Pikir Cassie sembari beranjak dari kursi.

❇❇❇

Langit Eriwald tidak bersahabat sore itu, awan-awan menghalangi kehadiran mentari. Kondisi cuaca persis seperti isi hati Cassie, ditambah lagi dengan wajah muram yang tak lenyap semenjak ia meninggalkan rumah. Bukan karena dia satu kereta kuda bersama Wezen, tetapi pria itu terus mengomentari penampilan si perempuan yang katanya terkesan terlalu kekanakan. Bagi Wezen, seorang perempuan dewasa harus tampil elegan, bukan terlihat seperti anak-anak yang suka memakai gaun cerah lengkap dengan hiasan bunga-bunga mengilap. Bahkan, saat memakai gaun itu, Cassie jadi terlihat seperti manusia bunga.

"Tersenyumlah sedikit, kau akan bertemu banyak orang," ujar Wezen ketika kereta kuda mereka sudah memasuki gerbang mansion milik keluarga Rosehearts.

Cassie mengerling, lalu tersenyum tipis sebelum kembali ke wajah muram. Pria di hadapannya hanya mendengkus pelan. Matanya bahkan tidak lagi melirik sang adik, dan salah satu tangannya menopang dagu. Di sisi lain, Cassie menunduk, memperhatikan kedua telapak tangannya yang dibalut sarung tangan putih.

"Menurutmu, ayah baik-baik saja?" tanya si perempuan berambut cokelat dengan nada murung.

Wezen menoleh, ekspresi terkejut menghiasi wajah, tetapi cepat-cepat diubah. Netra cokelat menatap adiknya lekat. Tak biasanya bagi Cassie bertanya tentang Krigg, biasanya perempuan itu tak suka bertanya apa pun terkait ayah mereka, kecuali pada Bibi Roxena atau Kyle.

"Dia pasti baik-baik saja. Nanti juga dia pulang," sahut Wezen sembari menoleh kembali ke jendela.

Cassie menggeleng pelan. "Tapi, sudah sebulan dia tidak mengirim surat lagi, dan di surat terakhirnya agak ...." Perempuan itu terdiam. Kening mengerut serta bibirnya terbuka sedikit ketika menggantungkan kalimat. Rasa ragu untuk memberitahu Wezen tentang baris terakhir dari isi surat membuat dia kembali merapatkan bibir.

"Agak apa, Cassie?" Pria berambut cokelat memandangi adiknya penasaran.

Netra si perempuan bergerak, mengalihkan pandangan dari telapak tangan ke jendela di samping kanannya. Butuh beberapa saat untuk mengumpulkan niat memberitahu Wezen, ia ragu jika kakaknya akan peduli.

"Beritahu aku," ucap si pria dengan nada tegas. Kali ini sang kakak bersedekap.

Cassie mengembuskan napas pelan, mata hijau cerah menatap Wezen. "Di kalimat terakhir surat yang dikirimkan sebulan lalu membuatku khawatir. Maksudnya, kenapa ayah harus menulis 'semoga kita bertemu lagi'?"

Wezen terbelalak, lantas ia terkekeh geli. "Ya Tuhan, dia memang tidak pernah berubah."

"Apa maksudmu?"

"Ayolah, Cassie. Sejak dulu ayah selalu saja menulis kata tersebut di baris terakhir surat. Itu sudah jadi kebiasaannya, kau tak perlu khawatir."

Ekspresi si perempuan berubah tak senang, ia sudah menduga kalau kakaknya memiliki respons yang sama seperti Bibi Roxena sebulan lalu. Namun, dia menggeleng pelan, surat terakhir yang dikirim ayahnya agak berbeda dari surat-surat yang lain. Sejak menerima surat tersebut, Cassie tahu ada yang aneh. Dimulai dari tulisan Krigg yang terlihat terburu-buru, beberapa kalimat yang agak mencurigakan seperti meminta Wezen menggantikan posisinya di semua tempat, dan kata 'semoga kita bertemu lagi' yang jarang tersemat di surat-surat yang ditujukan untuknya.

"Tidak, kau salah." kalimat yang diucapkan si perempuan terdengar pelan, dan ragu. Sekarang, perempuan itu berharap kakaknya tak mendengar. Sebuah kata terlintas di benak tatkala Cassie melirik air mancur di taman mansion. "Wezen, apa yang kau tahu tentang kabut misterius Shadowglass?"

Wezen terbelalak, adiknya tak pernah menanyakan tentang hal-hal misteri yang dianggap sbeagai legenda Seprapia, sebetulnya tidak pada dirinya. Namun, hendak saja pria itu menjawab pertanyaan, pintu kereta kuda mereka terbuka. Jadi, anak pertama keluarga Darwell menyimpan jawabannya untuk sementara waktu.

Kakak beradik Darwell berjalan memasuki pintu utama mansion, di sana semua tamu undangan mengenakan pakaian terbaik. Beberapa dari mereka menyapa Wezen dan berbincang sebentar, sisanya para wanita muda tersenyum sambil menatap si pria dengan mata berbinar. Berbeda dengan Cassie, mengerlingkan mata setiap kali melihat kelakuan para wanita muda.

Mereka berdua menaiki tangga, tidak seperti kebanyakan tamu yang langsung berkumpul di rumah kaca milik keluarga Rosehearts. Sambil berjalan menuju ruangan yang dituju, Wezen teringat kembali pertanyaan yang dilontarkan sang adik.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang kabut misterius Shadowglass?" tanya si pria berambut cokelat.

"Karena ayah," balas Cassie ragu. Kening perempuan itu mengerut. "Dia menyuruhku untuk membacanya."

Wezen yang hendak membuka pintu, langsung terdiam sejenak. Mata hijau menatap lekat sang adik, berusaha untuk mencari tahu alasan dibalik wajah gundah itu. Namun, ia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat, meski hatinya juga berkata ada yang tidak beres. Hanya Cassie yang tahu alasan dilontarkannya pertanyaan mengenai kabut misteri Shadowglass.

"Aku tidak tahu banyak tentang kabut misteri Shadowglass." Tangan Wezen menggenggam kuat kenop pintu. "Menurut legenda, kabut itu bisa melenyapkan manusia. Katanya, siapa pun yang memasuki kabut, dia tak akan bisa keluar."

Si perempuan berambut cokelat membelalak, teringat kembali tentang kota terakhir yang dikunjungi ayahnya. "La-lalu ayah ...." Cassie kembali merapatkan bibir saat keraguan untuk mengatakan lokasi yang tertera di surat pada kakaknya muncul.

"Ayah? Kenapa?"

Perempuan dengan rambut cokelat ikal menggeleng cepat. "Ti-tidak ada. Cepat buka pintunya, aku ingin menemui Kyle."

❇❇❇

Seorang pria berambut cokelat berdiri dari balik jendela ruangan, memperhatikan orang-orang berlalu lalang menuju rumah kaca. Mata cokelat itu menangkap seorang perempuan dengan gaun hijau pastel dan rambut sewarna madu, berjalan keluar dari rumah kaca. Ujung bibir si pria tertarik, membentuk senyum tipis yang tak butuh waktu lama untuk memudar kembali. Selama pesta pertunangan kakak tertuanya berlangsung, Kyle sama sekali tak ada niatan untuk bergabung. Bukan benci pesta dan keramaian, dia hanya tidak suka pada mata-mata genit wanita di sana.

Seolah sadar dirinya diperhatikan, perempuan bergaun hijau pastel menengadah. Mata si perempuan mendapati Kyle tengah berdiri sembari melambaikan tangan dari balik jendela. Sebagai balasan, kakaknya itu melambai dan tersenyum sebelum kembali berjalan.

"Kyle, boleh kupinjam ini?"

Mendengar suara Cassie, pria rambut cokelat membalikkan badan. Di tangan sepupunya terdapat sebuah buku bersampul hijau dengan tulisan emas timbul.

"Boleh saja." Kyle bersandar di dinding samping jendela, memperhatikan perempuan dengan netra hijau yang sibuk membolak-balikkan halaman. Tiba-tiba, timbul rasa penasaran di benak si pria. "Kau tidak pergi berdansa?"

Cassie menggeleng, sementara netra masih berfokus pada barisan kalimat yang tertera di buku. "Tidak. Lagi pula, dansa membuang tenagaku."

"Membuang tenagamu atau kau yang tak punya teman dansa?" Bola mata perempuan berambut cokelat melayangkan tatapan tajam, dan saat itu juga Kyle mengedikkan bahu sembari tersenyum kikuk. "Aku bercanda."

Wajah perempuan itu berubah muram, Kyle merasa bersalah karena membuat sepupunya tersinggung. Jadi, dia memilih untuk tidak mengatakan apa pun lagi, setidaknya sampai suasana hati perempuan itu kembali membaik.

Alunan musik terdengar pelan, seakan-akan menemani Cassie membaca buku. Sementara si pria rambut cokelat hanya memainkan jam pasir sembari menegak wine. Detik demi detik berlalu, tidak ada obrolan yang terjadi di antara dua manusia tersebut. Semakin lama, perempuan itu terbawa hanyut dalam untaian kata, dan Kyle yang mulai bosan.

"Hei, Kyle. Apa pendapatmu tentang kabut misteri Shadowglass?" tanya Cassie masih dengan mata yang terfokus pada buku.

Yang ditanya menghampiri perempuan itu di sofa, tentunya dengan gelas berisi wine di tangan kanan. Setelah menjatuhkan bokong, barulah ia menjawab. "Itu legenda yang, yahhh, bisa dibilang populer di Seprapia, terutama kabutnya. Katanya kabut itu bisa menelan manusia."

"Menurutmu seseorang bisa mati?" Kening Cassie mengernyit, iris hijau cerahnya memandang netra cokelat Kyle.

"Sebetulnya aku tidak percaya itu. Kabut misteri Shadowglass hanya legenda, dan lagi pula kota itu sudah lama lenyap akibat perang ratusan tahun yang lalu."

"Tapi bagaimana jika kota itu sebenarnya masih ada?"

Kyle mengerutkan dahi, kemudian terkekeh pelan. "Tidak ada, Cassie. Kerajaan bahkan sudah menghapus namanya dari peta."

Mata hijau perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan ucapan sepupunya. Jika kota tersebut telah lenyap saat perang ratusan tahun lalu, lantas kenapa Krigg menulis nama kota Shadowglass di surat terakhir? Kabut misteri yang kabarnya menelan manusia, dan tak ada yang bisa keluar lagi, semua informasi itu seolah bertabrakan di benak Cassie. Ia sulit mencernanya.

"Tapi ... tempat terakhir yang dikunjungi ayahku itu kota Shadowglass," ucap si perempuan dengan nada pelan, bahkan terdengar ragu.

Kyle membelalak, tak percaya dengan perkataan sepupunya. Terlebih lagi, ia terkejut karena Krigg berada di kota yang seharusnya lenyap ratusan tahun lalu.

"Kyle, aku bersumpah. Nama kota yang tertulis di surat terakhir itu Shadowglass. Berarti dia lenyap oleh kabut misteri? Tapi, bagaimana caranya dia mengirim surat padaku kalau keluar dari tempat itu saja tidak bisa? Buku ini ...." Cassie mengangkat buku sembari menarik napas dalam-dalam. "Buku ini bilang, tak ada yang bisa keluar dari kabut itu. Berarti, Shadowglass tidak benar-benar sesuai legenda, kan?"

Kyle membisu, pikiran pria rambut cokelat mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dirinya memang yakin kalau Shadowglass dan kabut misteri hanyalah legenda. Kota itu tidak ada, lenyap akibat perang ratusan tahun silam. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa menemukan lokasi kota tersebut jika memang ternyata masih ada. Legenda-legenda semacam ini menjadi daya tarik tersendiri untuk para pencinta misteri dan penjelajah. Namun, tak satu pun dari mereka yang membuka suara tentang penemuannya.

Atau sebenarnya mereka juga sama-sama lenyap?

Hendak saja Kyle bersuara, Roxena membuka pintu. Kedua orang yang sejak tadi duduk di atas sofa saling berhadapan, lekas menoleh dengan wajah tegang. Secepat kilat, mereka mengubah ekspresi, memamerkan senyuman yang dipaksakan.

"Aku tahu kalian di sini. Cepat turun ke bawah, dan berdansalah." Wanita paruh baya itu mengambil gelas wine beserta buku dari kedua dewasa muda di hadapannya.

"Cassie tidak mau berdansa. Katanya buang-buang tenaga," ujar Kyle yang tidak berminat untuk pergi dari ruangan tersebut.

"Aku tidak bilang begitu, Kyle!" Pipi perempuan berambut cokelat ikal mengembung, netranya melempar tatapan kesal.

"Terserah apa pun itu alasannya, cepat sana pergi," usir Roxena seraya mengibas-ngibas kipas yang terlipat di tangan kanannya. "Setidaknya, beri ucapan selamat pada Arilla."

"Baiklah," timpal Kyle yang langsung menggandeng tangan Cassie. Sementara itu, kening si perempuan terlihat mengerut, dan pikirannya terus mengingat-ngingat semua info mengenai misteri kabut Shadowglass.

❇❇❇

Thank you for reading this chapter. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote atau komentar untuk memberi dukungan pada penulis ♪ ♬ ヾ(´︶'♡)ノ ♬ ♪

Jaa matane!

17 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro