BAB 14
Suara kekehan lolos dari bibir merah muda si perempuan berambut cokelat, tentu saja membuat Lilia terkejut. Pasalnya, wanita bermata ungu mengira kalau Cassie akan ketakutan. Perempuan itu benar-benar tak terduga. Dengan gelengan pelan, Cassie berjalan menyusul Roland. Dalam hatinya, perempuan berambut cokelat sudah mengetahui maksud dari ramalan masa depan si wanita berambut pirang platinum.
Sementara itu, Kyle yang berdiri di samping Lilia langsung mendekatkan tubuhnya. Iris cokelat itu menatap lekat sang peramal. "Menurutmu dia punya rencana yang bisa membuatnya terjerumus petaka?"
Lilia mengembuskan napas keras, netra ungu itu melirik si perempuan gaun merah tua yang sudah memasuki rumah Roland. "Firasatku mengatakan dia punya rencana. Tapi apa pun itu, sesuatu yang mengerikan membuntutinya. Kecuali, dia mengubah rencananya."
"Aku penasaran, Lilia. Coba jelaskan lebih detail dari yang kau lihat," celetuk Ace sambil berkacak pinggang. Keningnya mengerut dan sorot matanya menandakan kalau ia sudah tidak sabar.
Lilia lagi-lagi mengembuskan napas keras. Kini, netra ungu itu menatap satu per satu pria yang ada di sana. "Di visiku, ada makhluk bayangan memakan seseorang yang pincang." Lilia mengalihkan pandangan, kali ini ke rumah Roland. "Dan aku melihat dia berdiri putus asa."
Baik Kyle maupun Ace langsung termenung, memikirkan ucapan Lilia. Keduanya tidak bisa membayangkan jika hal tersebut terjadi, meski makhluk bayangan itu pastinya tetap akan terus mencari korban. Namun, yang diharapkan Ace, kali ini tidak ada lagi korban yang harus ditumbalkan. Kalaupun memang harus, ia hanya berharap bukan dirinya. Tanpa berbicara lebih banyak, Lilia pergi menyusul Roland dan Cassie. Kemudian, Ace dan Kyle pun mengekori dengan pikiran yang masih memutar ulang ucapan si wanita bermata ungu.
❇❇❇
Bohong jika Cassie mengatakan ia tidak terpengaruh oleh ucapan Lilia, karena faktanya perempuan itu terus mengingatnya. Setiap kali dia sedang menyendiri, nasib buruk yang diramalkan si wanita bermata ungu muncul. Bahkan menghantui mimpinya. Namun, berkat Lilia pula Cassie jadi terus mengasah kemampuan sihir. Menurutnya, sihir akan sangat penting untuk melindungi diri sekaligus menjadi senjata jikalau sesuatu yang buruk terjadi saat melakukan rencananya.
Selama memiliki waktu luang, Cassie menyempatkan diri melatih kemampuan sihir di pekarangan samping rumah Roland. Tanaman-tanaman liar menjadi medianya. Jika Roland dan Kyle mengajak memancing di sungai lagi, Cassie secara diam-diam melatih sihirnya selagi menunggu ikan memakan kail pancing. Tak lupa ia juga menghitung lamanya kemampuan sihir bisa bertahan. Semua hal itu terus ia lakukan selama berkali-kali.
Seperti saat ini, Cassie kembali menggunakan pekarangan samping rumah Roland. Kali ini, si perempuan memilih tanaman rambat yang tumbuh di pohon. Sebelum memulai, Cassie memilih posisi duduk. Tangan kanannya bergerak hendak menyentuh tanaman rambat itu, tetapi tidak sampai benar-benar tersentuh. Sementara itu, tangan kirinya memegang jam saku untuk menghitung berapa lama sihirnya bisa bertahan.
Mata dan pikiran Cassie terfokus untuk menghasilkan mana yang lebih kuat. Kerlap-kerlip berwarna hijau kini mulai bermunculan dari telapak tangannya, semakin lama berubah menjadi gumpalan seperti bola segenggaman tangan dengan cahaya hijau menyilaukan. Tentu saja Cassie terkejut, pasalnya ia tak pernah melihat cahaya sihir yang dihasilkan bisa seterang itu. Namun, ia tidak boleh terganggu hanya karena perubahan tingkat kesilauan. Perempuan dengan netra hijau cerah kembali fokus untuk menumbuhkan lebih banyak tanaman rambat, dan mempertahankannya lebih lama dari biasanya.
Cahaya mana dari telapak tangan Cassie berhasil terserap ke dalam tubuh tanaman rambat. Dengan cepat, tanaman itu semakin tumbuh banyak. Daun-daun bundar yang awalnya tidak terlalu banyak, kini tumbuh subur hampir menutupi semua bagian pohon. Tentu saja setelah sihir dari tangannya berhenti mengeluarkan pendar cahaya menyilaukan, Cassie mulai menghitung ketahanan sihirnya terhadap tanaman. Raut wajah yang serius membuat perempuan itu seakan seperti tengah melakukan penelitian.
Tak membutuhkan waktu lama, tanaman itu mulai kembali seperti keadaan semula. Netra hijau Cassie melihat jam saku di tangan kiri, lalu terdengar suara embusan napas yang penuh kekecewaan. Ia menutup kembali jam saku sebelum dimasukkan ke dalam kantung gaunnya yang berwarna biru tua. Latihannya hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada perubahan.
"Aku tahu kau di sini," ujar Kyle yang sontak membuat Cassie membatalkan niatnya untuk mengeluarkan mana.
Kepala perempuan itu menoleh, lalu tersenyum pada sepupunya. "Sepertinya kau suka sekali mengintipku."
"Tidak juga." Netra cokelat milik Kyle memperhatikan pohon di depan Cassie. Meskipun tidak ada perubahan yang tertinggal di sana, si pria sebenarnya sudah tahu apa yang dilakukan sepupunya itu. "Tumben sekali kau melatih sihir."
Cassie melirik pohon di hadapannya, tangan kanan kini siap untuk menghasilkan pendar cahaya. Harapannya ia bisa mempertahankan lebih lama. "Daripada aku hanya memandangi langit yang bahkan tidak ada indahnya, jadi kugunakan saja untuk berlatih sihir."
Dari kalimat yang dilontarkan Cassie, Kyle sudah bisa mengetahuinya bahwa itu bohong. Namun, si pria hanya tertawa pelan tak berniat untuk memberitahu perempuan dengan gaun biru tua kalau ia tahu faktanya, sebab Kyle khawatir yang akan terjadi selanjutnya adalah pertengkaran.
"Mau kubantu?" tawar si pria dengan mantel cokelat.
Cassie menoleh, tampak sekali tengah menahan senyum. Lantas, kepala perempuan berambut cokelat mengangguk cepat. "Baiklah, kau yang hitung waktunya."
Setelah menyetujui, Kyle mengambil jam saku dari balik mantel. Ia lalu berdiri di belakang Cassie yang sibuk fokus menyalurkan kekuatan sihir ke tanaman rambat. Ketika pendar cahaya hijau mulai muncul, kali ini raut kekecewaan terlihat di wajah Cassie. Si perempuan sedikit kecewa karena sinarnya tak secerah yang tadi. Akan tetapi, walau ia merasa kecewa, perempuan dengan mata hijau tetap melanjutkan. Tanaman rambat sejenis tanaman paku-pakuan mulai tumbuh subur. Baru setelah pendar mana hilang, Kyle mulai menghitung lamanya sihir bertahan.
Mata cokelat itu tak henti-hentinya memperhatikan jarum di jam saku dan tanaman rambat di pohon. Barulah ketika tanaman rambatnya mulai kembali ke posisi semula dengan cepat, Kyle melirik sepupunya yang penasaran.
"Satu menit tiga puluh detik," ucap si pria dengan rambut cokelat. "Hebat, ketahanan sihirmu sudah ada kemajuan."
Sebagai jawaban, Cassie mendengkus keras. "Itu bukan kemajuan. Sihirku tetap saja lemah dibandingkan dengan ketahanan sihirmu, Kyle."
"Oh?" Kyle memperhatikan wajah sepupunya. Seulas senyuman terlukis di wajah. "Maksudmu begini?"
Awalnya, tangan kanan Kyle mengepal, kemudian terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang mulai mekar. Dari sana muncul pendar cahaya berwarna putih terang. Selain itu, muncul pula kerlap-kerlip putih yang mengitari telapak tangan si pria, seolah-olah menari. Cassie dibuat takjub dengan kemampuan sihir sepupunya. Lamanya pendar cahaya milik Kyle bertahan, berhasil menjadi suntikan motivasi untuk si perempuan dengan iris hijau. Ia bertekad untuk berjuang lebih keras supaya sihirnya bisa bertahan lebih lama.
"Terkadang aku penasaran caramu mempertahankan sihir selama itu." Cassie melipat kedua tangan di atas perut, netra hijau itu tak lepas dari pendar cahaya putih.
"Mudah saja. Kau hanya perlu yakin dalam hati kalau sihirmu bisa bertahan lama."
Si perempuan tertawa pelan seolah-olah mengejek. "Setiap kali aku mencoba, pasti itu yang kutanamkan. Tapi hasilnya kau bisa lihat sendiri, kan?"
"Cassie," kata Kyle sembari melemparkan pendar cahaya sihir ke udara. "Terkadang ada sesuatu yang bisa membuat sihir seseorang jadi lebih baik dari sebelumnya. Sesuatu yang menekan hati orang tersebut."
"Maksudmu seperti depresi?" Cassie menaikan sebelah alis.
"Bukan itu maksudku. Emm, apa namanya ya?" Jemari Kyle mengetuk jam saku. Kepalanya berusaha mencari istilah yang tepat. "Oh, maksudku itu pemicunya."
"Pemicu?"
"Iya. Memang, ada beberapa orang yang beruntung memiliki sihir hebat setelah mereka lahir. Tapi ada juga yang harus mengasah kemampuan mereka terlebih dahulu. Beberapa orang yang nyaris putus asa, bahkan putus asa karena sihirnya tak sekuat dia harapkan, mendadak saja menjadi kuat saat sesuatu memicunya. Misalkan, kejadian yang tak pernah ia duga."
Cassie mengangguk. "Hmm, seperti di novel saja."
Mendengar jawaban sepupunya, Kyle tertawa. Mendadak saja tawa itu menular, hingga keduanya pun tertawa bersama-sama. Tangan si pria menepuk pelan pundak Cassie ketika tawa sudah mulai mereda. Tatapan yang dilontarkan menaruh harapan besar pada sepupunya itu.
"Aku tahu kau pasti bisa. Jadi, berlatihlah. Aku yakin sihirmu bisa melindungimu jika aku tidak bersamamu."
Cassie menatap Kyle dengan mata membesar, tangan kanannya lantas memegang tangan Kyle yang tadi menepuk bahunya pelan. "Kyle, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan."
Pria bermata cokelat tak menjawab, ia hanya menatap sepupunya penasaran.
"Kau sudah tahu rencanaku bukan?" Netra hijau Cassie memperhatikan ekspresi si pria yang mulai berubah. Perempuan itu tahu kalau Kyle pastinya menyadari rencana yang ia sembunyikan.
Suara embusan napas kasar terdengar dari si pria. Matanya terpejam seama beberapa detik, lalu menatap lembut ke arah iris hijau di hadapannya. "Aku sudah tahu apa yang kau rencanakan. Tapi, kali ini sepertinya aku tidak bisa mencegahmu."
"Tentu saja kau tidak bisa mencegahku." Cepat-cepat Cassie melepaskan tangan Kyle yang digenggamnya. "Selama aku punya petunjuk dan harapan akan keselamatan ayah, aku akan melakukan apa pun. Kyle, dengar. Kalau perjanjiannya dihancurkan, bukan hanya ayahku yang selamat, tapi juga seluruh penduduk kota. Mereka bisa melihat langit yang berbeda, merasakan makanan yang biasa kita makan, dan betapa indahnya dunia luar."
"Aku mengerti keinginanmu," timpal Kyle dengan senyum lembut.
"Setidaknya aku ingin mereka bebas. Aku ingin menyelamatkan mereka."
Kyle terdiam, netranya dapat melihat bahwa Cassie bersungguh-sungguh tentang keinginannya. Kali ini, bagi si pria rambut cokelat, keinginan sepupunya itu bisa dibilang jauh lebih besar daripada keinginan pertamanya. Menyelamatkan seluruh penduduk Shadowglass dan membiarkan mereka hidup di bawah cahaya. Impian yang sebenarnya terdengar mudah, tetapi sulit untuk terealisasikan. Kyle tahu dalam menggapai impian ini, Cassie harus berkorban. Apalagi, risiko besar menanti.
"Aku pikir menyelamatkan diri kita adalah prioritas utama. Cassie, aku tidak—"
"Aku tidak bisa membiarkan mereka menderita," potong Cassie dengan wajah sedikit ditekuk. "Apa kau tidak lihat bagaimana mereka hidup? Tidakkah kau memiliki empati? Tak ada yang bisa menghancurkan perjanjian selain aku, karena aku mengetahui caranya. Sekali saja aku ingin menyelamatkan banyak orang."
Kyle mendengkus pelan. Sebenarnya ia sendiri merasakan apa yang dirasakan sepupunya. Saat ia melihat kehidupan di Shadowglass yang jauh dari kata layak. Kehidupan mereka bergantung sepenuhnya pada alam yang bahkan tidak bisa diandalkan. Selain itu, mereka juga mengandalkan para pendatang yang membawa banyak barang juga makanan. Walaupun para pendatang itu berakhir mengenaskan, setidaknya barang yang mereka tinggalkan bisa dimanfaatkan.
"Kau juga tidak ingin para pendatang menghilang lagi, kan?" tanya Cassie dengan nada yang menusuk.
"Tentu saja tidak." Kepala pria itu menggeleng pelan.
"Jadi, kumohon Kyle kali ini jangan cegah aku. Kecuali kau ingin membantuku menghancurkan perjanjiannya."
Sorot mata Cassie mampu membuat Kyle jadi tidak tega untuk menolak. Pria itu juga sebenarnya tidak bisa membiarkan sepupunya melakukan semua hal sendirian. Sihirnya saja belum terlalu kuat. Impian yang ingin digapai Cassie sangat besar, tak pernah Kyle mendengar impiannya yang seperti ini. Si pria bermantel cokelat mengembuskan napas pelan. Pada akhirnya ia membuat keputusan final.
"Baiklah, aku akan membantumu. Lagi pula aku sudah berjanji pada Wezen untuk menjagamu." Kyle memeluk sepupunya, dan kecupan ringan mendarat di kening si perempuan.
"Wezen? Kau memberitahu dia kita ke Shadowglass?" Cassie bertanya dari balik pelukan yang membuatnya terasa hangat.
"Sebenarnya aku menitipkan surat pada pelayan rumahmu. Surat yang ditujukan untuk Wezen. Entah bagaimana ekspresinya dia saat membaca surat itu."
Cassie terkikik sembari melepaskan pelukan. Lalu, keduanya kembali melanjutkan latihan sihir.
❇❇❇
Cassie memperhatikan jarum panjang di jam sakunya yang berwarna perak. Empat angka romawi tertera di sana, dan jarum panjang kali ini menunjuk ke sebuah titik di bawah angka romawi tiga. Dua jam lagi kabut akan turun dan menebal, jadi perempuan itu harus bergegas untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum melangkah ke pekarangan depan rumah Roland, Cassie menepuk-nepuk rok biru tuanya. Selagi melakukan itu, telinganya tak sengaja mendengar suara langkah kaki.
Seorang gadis dengan gaun abu-abu sebetis dan sebuah keranjang anyaman di tangan menghampiri Cassie. Siapa lagi kalau bukan Eversly. Senyum hangat merekah di wajahnya yang pucat seperti kedinginan. Kehadiran gadis itu menjadi penanda bahwa bantuan yang diminta Cassie telah tiba.
"Nona Darwell, maaf aku terlambat," kata Eversly yang langsung menyerahkan sebuah lipatan kertas dari keranjang anyaman yang bisa Cassie lihat berisi buku-buku kusam.
"Tidak apa-apa, kau datang saja aku senang." Tangan si perempuan menerima benda tersebut langsung membukanya.
"Yang itu denah ruangan di rumah keluarga Obumbratio. Aku beri beberapa tanda dari mana Anda bisa masuk dan koridor mana saja yang harus dilewati. Perjanjian Shadowglass disembunyikan di ruangan perpustakaan di lantai dua." Telunjuk kurus dan pucat Eversly menunjuk sebuah ruangan berbentuk persegi panjang di denah. "Kalau Anda masih kurang paham, aku bisa membantu untuk menyelinap ke sana."
Cassie menatap mata si gadis tak percaya. "Serius? Eve, kau mau ikut ke dalam misi? Aku sungguh berterima kasih karena kau membantuku mendapatkan denah ini."
"Nona Darwell, aku ingin membantumu. Setelah Anda memberitahuku betapa indahnya dunia luar, aku jadi penasaran. Tapi, karena aku tidak bisa keluar dari sini, aku rasa membantumu dalam rencana menghancurkan perjanjian adalah satu-satunya cara untukku melihat dunia luar."
Cassie tertegun sejenak mendengar ucapan Eversly. Perempuan dengan gaun biru tua itu tidak menyangka bahwa ucapannya bisa menyentuh seorang gadis muda yang tampak polos. Muncul rasa senang karena akhirnya ia tidak perlu lagi memohon pada yang lain untuk ikut membantu, meski Cassie yakin Ace dan Roland tidak akan sudi untuk menyelinap ke rumah yang katanya sarang iblis.
"Aku senang mendengarnya. Terima kasih." Cassie tersneyum lebar. "Nah, sekarang tinggal mencari waktu yang tepat untuk menyelinap ke sana."
"Aku bisa mengaturnya," usul Eversly. "Besok sebelum jam makan siang. Shadows biasanya tidak terlalu aktif berkeliaran di siang hari, jadi aku rasa itu waktu yang bagus untuk menyelinap."
Cassie mengangguk paham. Kemudian dia melipat kembali kertas tadi menjadi lipatan lebih kecil, setelah itu dimasukan ke dalam saku rok. Sekarang, ia berencana untuk memberitahu Kyle. Namun, Cassie mengira akan lebih baik memberitahunya malam hari karena khawatir Roland akan mengacaukan rencananya.
"Kalau begitu, besok kita bertemu di depan toko barang bekas yang kemarin. Dari saa kita bisa melanjutkan ke rumah keluarga Obumbratio," ujar Eversly yang diangguki Cassie. "Aku harus pulang sekarang. Sampai bertemu besok, Nona Darwell."
Cassie menengadah, kabut memang belum turun tapi ia punya firasat kalau Eversly mungkin saja akan sampai rumah saat kabut sudah menutupi kota dan semakin tebal. Karena khawatir, perempuan bersurai cokelat lantas memanggil si gadis.
"Eve, apa kau tidak mau menginap? Aku takut kau tidak akan sempat sampai rumah sebelum kabut turun."
Eversly tersenyum sambil menggeleng pelan. "Tidak perlu, Nona Darwell. Lagi pula rumahku tidak sejauh itu, kok. Sampai bertemu besok."
Tidak sempat Cassie berkata lebih banyak, gadis dengan gaun abu-abu berjalan cepat menuju hutan. Bagi si perempuan bermata hijau, Eversly memiliki keberanian yang tidak dimiliki olehnya. Ia tahu betul rumah gadis itu cukup jauh jika harus berjalan dari letak rumah Roland. Bisa-bisa sebelum sampai, gadis itu sudah terjebak di dalam lautan kabut. Cassie hanya berdoa dalam hati kalau Eversly baik-baik saja.
Sementara itu, dari arah jendela lantai dua rumah Roland, Kyle memperhatikan gerak-gerik sepupunya sebelum mengikuti ke mana Eversly melangkah. Setelah si gadis pucat tidak terlihat lagi, pria dengan rambut cokelat mengembuskan napas keras. Ia menaruh kecurigaan pada gadis yang pernah menolongnya itu.
"Aku punya firasat buruk tentang gadis itu," gumam Kyle sebelum menutup tirai.
❇❇❇
A/N
Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan. Chapter ini belum sempat saya revisi. Terima kasih sudah mampir, jangan lupa untuk klik vote atau komen sebagai bentuk dukungan ke penulis.
See you next chapter~
21 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro