Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 11

Tak ada satu pun yang berbicara, karena ketiga orang itu kalut dengan pikiran masing-masing. Terlebih lagi Cassie yang tampaknya terguncang akibat perkataan Ace. Perempuan itu berjalan dengan kepala menunduk, iris hijaunya hanya melihat tanah dan ujung gaun. Sementara itu, Kyle memikirkan berbagai cara untuk menghibur sepupunya nanti setelah sampai di penginapan, meski ia sendiri kebingungan harus melakukan apa. Di sisi lain, Ace jadi merasa bersalah, sebab ia baru saja mematahkan harapan seorang perempuan muda yang rela masuk ke Shadowglass hanya untuk mencari anggota keluarganya.

Lama mereka tak berbicara satu sama lain, sampai akhirnya mereka kini memasuki bangunan milik Roland. Si empunya yang sedang membaca buku langsung mendongak. Alisnya naik saat melihat wajah ketiga tamunya. Dengan cepat, Roland menutup buku lalu meletakannya di meja. Ia berniat membuka suara, tetapi diurungkan ketika Ace mendekat. Lagi, tatkala Ace ingin berbicara, Roland terkejut saat melihat perempuan dengan surai gelap menangis.

"Sebenarnya ada apa?" bisik pria itu pada Ace.

"Sepertinya aku salah bicara," jawab Ace dengan nada pelan. Mata cokelatnya melirik Cassie yang kini menunduk memandangi buku-buku.

Roland berkacak pinggang diikuti decakan. "Kau ini selalu saja membuat masalah."

"Ya, bagaimana lagi, dia bertanya jadi aku jawab saja." Ace mengendikkan bahu seraya menyengir.

Melihat kelakuan pria di sampingnya, muncul rasa ingin memukul. Namun, Roland tak sejahat itu untuk memukul Ace, walaupun harus dia akui kalau pria itu memang menyebalkan. Hutang-hutangnya belum dibayar, padahal si pemilik kedai yakin kalau lelaki dengan rambut hitam itu sudah mendapat pemasukkan dari informasi yang dijual pada Cassie dan Kyle. Ace memang pandai dalam mencari peluang cuan.

Kyle menghampiri Roland dengan wajah sendu, dari langkahnya saja terlihat kalau ia seperti tidak bersemangat. Pria dengan rambut cokelat hendak meminta segelas air, tetapi ucapannya tertahan ketika Roland mendahuluinya.

"Beritahu aku apa yang si bodoh ini katakan," kata si empunya kedai sambil menunjuk Ace dengan ibu jari kanan.

"Aw, Pak Tua jahat sekali memanggilku begitu," sahut Ace sebelum terkena pukulan pelan di lengan kiri.

Netra cokelat Kyle menatap dua pria itu bergantian, lalu ia menghela napas. "Tadi sepupuku menemukan barang-barang ayahnya di sebuah toko, dan dia bilang semua barang itu didapatkan dari orang mati."

Sontak saja Roland terbelalak, sedangkan Ace mendengkus keras. Tak lama, si pemilik penginapan melayangkan tatapan tajam. Tak ada perkataan yang mampu dikeluarkan oleh pria itu, lagi pula tampaknya Ace juga merasa menyesal berkata jujur. Suara embusan napas berasal dari Kyle mengalihkan dua orang di hadapannya.

"Boleh aku minta segelas air untuk sepupuku?" tanya Kyle pelan dan diangguki Roland sebelum beranjak ke dapur.

Sambil menunggu si pria pemilik kedai kembali, Kyle menoleh sebentar memperhatikan Cassie yang kini tengah membaca buku. Hatinya terasa dicubit, ia tak bisa membayangkan berada di posisi sepupunya yang baru saja mendapat berita mencengangkan. Meskipun demikian, Kyle tahu seharusnya ia mencari tahu dulu fakta tentang pamannya.

Roland baru saja kembali dari dapur, tangan kanannya memegang gelas kayu berisi air. Kemudian, ia meletakan gelas tersebut di hadapan Cassie. Sebelum kembali menuju dapur, pria itu menepuk pelan pundak si perempuan. Seulas senyuman tipis terlihat di wajah yang mulai muncul keriput.

Mata Cassie yang sembab memperhatikan Roland, kemudian beralih ke gelas di atas meja. Tak ada niatan sama sekali untuk menyentuh gelas tersebut, sebab saat ini pikirannya masih terus mengingat tentang kenyataan yang ia dapatkan. Sejenak, Cassie melirik buku-buku milik Krigg, perlahan ia meletakan ketiganya di atas meja, lalu membuka salah satunya. Buku itu hanya buku favorit sang ayah, kumpulan puisi yang ditulis oleh penyair dari luar negeri. Cassie ingat betul kalau puisi-puisi di buku tersebut pernah ditampilkan di salah satu pertunjukan musikalisasi puisi di ibu kota. Perempuan itu bahkan pernah mengunjunginya bersama sang ayah, tetapi karena ia tak menyukai pertunjukan musikalisasi puisi, Cassie memilih untuk meninggalkan tempat saat acaranya masih setengah jalan.

Halaman demi halaman ia buka, memperhatikan tulisan hitam yang tercetak di atas kertas kusam. Bau khas aroma buku lama menguar tatkala si perempuan membuka halamannya dengan cepat. Setelah selesai dengan satu buku, ia melihat buku Krigg yang lain dan terus mengulangi hal serupa. Kemudian, bahunya turun, embusan napas lelah terdengar, juga mata yang tampak sayu. Terbawa hanyut oleh pikirannya sendiri, Cassie sampai tak sadar kalau Roland kini kembali sambil membawa sepiring berisi roti.

"Jangan dengarkan Ace, masih ada kemungkinan ayahmu masih hidup. Lagi pula barang-barang yang di toko itu sebagiannya didapatkan dari hasil mencuri."

Mata perempuan itu membelalak, ia langsung saja menatap si pemilik rumah dengan tatapan tak percaya. Dalam hatinya, Cassie bertanya-tanya tentang percaya atau tidak pada ucapan Roland. Namun, wajah pria itu terlihat serius, bisa saja perempuan itu untuk mempercayainya.

❇❇❇

Makan malam yang disajikan kala itu adalah tiga ikan bakar yang dibuat oleh Ace juga Roland, kemudian roti baguette seukuran kepalan tangan, dan air putih hangat. Karena kabut di luar bangunan sudah mulai menebal, Ace memutuskan untuk menginap. Pria itu bilang kalau dia lebih baik tidur di kursi kayu rumah Roland ketimbang jalan kaki di tengah kabut. Dia tidak mau berurusan dengan parade bayangan.

Sementara Ace diseret Roland untuk cuci piring, Cassie tengah duduk di kursi lantai dua sambil membaca jurnal Krigg. Wajahnya menyiratkan keseriusan, sampai-sampai Kyle tertawa pelan. Sepupunya itu baru saja kembali dari lantai bawah, niat hati ingin mengajak berbicara dengan Cassie. Tanpa berkata apa-apa, Kyle mendudukkan dirinya di samping si perempuan.

Cassie menatap Kyle sebelum berkata, "Ternyata perjanjiannya sulit untuk dihancurkan."

"Kau berniat untuk menghancurkan perjanjian?" tanya Kyle dengan kening mengerut.

"Tentu saja! Tuan Roland bilang kemungkinan masih ada harapan ayahku masih hidup. Kalau aku bisa menghancurkan perjanjiannya, ayah bisa kutemukan ... dan lihat di sini." Telunjuk kanan Cassie menunjuk sebuah kalimat yang ditebalkan di halaman sebelah kiri.

"Jika perjanjian dihancurkan, kabut yang mengelilingi Shadowglass akan hilang," ucap Kyle. Setelah membaca kalimat itu, si pria menatap lekat iris hijau cerah sepupunya. "Wah, sepertinya penduduk kota akan senang kalau tahu soal ini."

"Ya, betul. Sayangnya perjanjian ini sangat sulit dihancurkan." Tangan kanan Cassie bergerak membuka halaman lain seraya membaca cepat. Ia penasaran dengan ciri-ciri dan cara menghancurkan perjanjian.

"Sebenarnya, Shadowglass membuat perjanjian apa?" kata Kyle pelan sambil bersandar. Netra cokelat miliknya memperhatikan langit-langit rumah Roland.

"Ah, aku tahu di mana letaknya!" seru Cassie. Membuat pria di sampingnya langsung terlonjak kaget.

Hendak saja Kyle membuka mulutnya, Ace dan Roland menghampiri mereka. Senyum lebar khas pria berkulit kuning langsat menghiasi wajah. Kedua pria tersebut langsung duduk di kursi single, dan seperti biasa Ace mengangkat kakinya ke atas kursi.

"Hmm, sepertinya kalian sedang membicarakan sesuatu yang menarik. Mind if I join?" Ace menaikkan sebelah alis, senyum menggoda yang dibuat-buat berhasil memunculkan rasa tidak suka dari Cassie.

"Kami hanya membicarakan tentang jurnal yang ditinggalkan pamanku," sahut Kyle.

"Oh, menarik. Jadi, apa yang ditulisnya?" Nada bicara Ace terdengar antusias.

Cassie meletakan jurnal Krigg di atas meja, kemudian dengan telunjuk kanan ia menunjuk tulisan tangan dengan huruf sambung yang rapi di atas halaman kusam. "Perjanjian Shadowglass yang menurut ayahku harus dihancurkan, ada di rumah keluarga Obumbratio."

Seketika antusias dari wajah Ace lenyap, bersamaan dengan itu tak ada yang menjawab si perempuan. Hanya suara kayu dilahap si jago merah di perapian dan deru napas masing-masing. Semua orang, kecuali Cassie, tercengang.

"Sudah kuduga," pungkas Ace pelan.

"Nona, kau tidak berpikir untuk menerobos rumah keluarga Obumbratio, kan?" tanya Roland hati-hati seraya memicingkan mata.

Mata Cassie membesar, ia terkejut karena si pemilik kedai mengetahui niatnya. "Tadinya aku berniat begitu."

"Itu gila! Kau tak bisa pergi ke sana," pungkas Ace.

"Memangnya kenapa?" Cassie bersedekap, matanya menyorotkan tatapan tajam pada Ace.

"Karena kau bisa terjebak di sana selamanya."

Sontak saja perempuan dengan rambut cokelat tertawa, meremehkan peringatan Ace. Sebenarnya ia sudah bosan dengan semua rumor yang beredar di kota kabut itu. Cassie merasa kalau jurnal Krigg yang saat ini ada di hadapannya adalah senjata ampuh untuk menghancurkan perjanjian. Jurnal itu juga bisa menjadi pemandu untuk semua tindakannya.

"Dengar, aku akan tetap mencari ayahku. Kalau memang dia sudah menjadi bagian dari bayangan, di jurnal ini tertulis kalau masih ada harapan untuk menyelamatkannya." Cassie mengangkat jurnal Krigg, lalu meletakannya di pangkuan.

"Apa yang ditulis di sana, Nona?" tanya Roland dengan wajah khawatir.

Cassie membuka beberapa halaman yang pernah ia baca, setelah ketemu barulah ia membacakan tulisan tersebut. "Semua orang yang dijadikan bayangan saat ritual bulan baru masih bisa bertahan hidup sampai tiga bulan ke depan. Kecuali orang yang dijadikan bayangan sebelumnya dibunuh terlebih dahulu."

"Tiga bulan?" ujar Kyle. Matanya membesar dan keningnya mengerut. "Bukankah terakhir kali dia mengunjungimu sebelum kita berangkat ke sini?"

"Yaps, dan itu artinya aku masih punya kesempatan. Belum genap sebulan." Senyum lebar dan pancaran semangat terlihat di wajah Cassie.

Ace berdehem, berusaha menarik perhatian dua orang yang berasal dari Eriwald. Sebelum mengeluarkan suaranya, pria berambut hitam sempat bertukar pandang dengan Roland. "Maaf harus menggagalkan euforiamu, tapi ritual bayangan terakhir diadakan dua bulan lalu."

Bagai tanah yang dipijak Cassie baru saja runtuh, membawa perempuan itu jatuh lagi ke jurang kenyataan yang menyakitkan. Perkataan Ace berhasil membuat dia terdiam, netranya membulat, dan sesuatu yang terasa menyakitkan di dada muncul. Namun, cepat-cepat ia berusaha mengenyahkan hal itu. Sebulan lalu ia menerima surat, ayahnya pasti masih hidup. Jika ritual bayangan terakhir diadakan dua bulan lalu, berarti kemungkinan Krigg Darwell selamat dan mungkin saja bersembunyi di suatu tempat itu besar.

"Tapi suratnya terakhir kali sampai sebulan lalu," ucap Cassie pelan. "Dan dia datang ke mimpiku—"

"Dengar, aku tidak berniat untuk menghancurkan harapanmu. Tidak seperti seperti dia." Roland menunjuk Ace dengan jempol kiri. "Adakalanya ritual itu diadakan tertutup, tapi adakalanya mereka mengadakan ritual itu secara terang-terangan."

"Apa maksudmu mereka?" Kyle bertanya dengan nada gugup.

"Keluarga Obumbratio," sahut Cassie pelan. Netra hijau cerahnya miliknya mulai bergerak membaca jurnal lagi, meski hatinya masih terasa sakit. Bahkan perubahan ekspresi perempuan itu membuat tiga pria di sana jadi merasa iba padanya.

"Di Shadowglass, orang yang punya sihir nyaris tidak ada dan mereka satu-satunya memiliki kemampuan sihir, bisa dibilang bagian dari sihir hitam. Karena kemampuannya mengerikan, tak ada yang berani menentang mereka," pungkas Roland sembari memperhatikan jemarinya.

"Mereka itu suka sekali menakuti kami, sampai aku muak," imbuh Ace. Tanpa sadar tangannya sudah mengepal kuat, sampai buku-buku jarinya memucat. "Mereka mengambil keluargaku."

"Apa yang sebenarnya mereka inginkan? Kenapa harus menakuti penduduk kota dengan sihir hitam?" Kyle menatap semua orang satu per satu.

"Tidak ada yang tahu," jawab Roland.

Ace bangkit dari duduknya, sebelum berjalan menuju jendela yang ditutupi tirai, pria itu menatap Cassie. "Aku rasa kalian akan menemukan jawabannya di jurnal itu. Tapi, saranku jangan pernah mendekati rumah keluarga Obumbratio kalau masih sayang nyawa."

Iris hijau cerah Cassie bergerak memperhatikan Ace. Pria dengan kulit kuning langsat itu kini menyibak tirai sedikit, netra cokelatnya menatap ke luar jendela. Kabut tebal yang menghalangi jarak pandang seakan tidak menyurutkan niatnya untuk melihat-lihat. Sebab, bukan pemandangan di luar bangunan milik Roland yang Ace ingin cari tahu, tetapi Parade Bayangan yang selama ini tidak terlihat wujudnya.

Ketika suara lantunan musik terdengar, tiga orang yang masih duduk di kursi langsung menoleh ke jendela. Tak ada satu yang berani berbicara. Mereka diam mendengarkan lantunan alat musik yang semakin lama semakin dekat. Ketika suaranya terdengar seperti berada di pekarangan samping rumah Roland, Ace tersenyum miring.

"Seperti biasa mereka tidak terlihat," gumam Ace pelan.

Sementara itu, Cassie mengembuskan napa keras. Netra hijaunya kembali menatap jurnal yang ada di pangkuan. Apa pun yang terjadi, dan bagaimanapun caranya aku tetap akan menghancurkan perjanjian itu. Dengan begitu aku bisa selamatkan ayah, pikir Cassie sambil mencari informasi lain di dalam jurnal.

❇❇❇

A/N
Udah sampai bab 11, tiba-tiba saya kena godaan ingin rombak. Hmm, sepertinya sehabis tamat Shadowglass Covenant akan direvisi.

Jujur, saya sendiri greget pengen namatin. Cuman akhir-akhir ini, tiap kali lagi ngetik, kepala langsung sakit. Semoga saja cerita ini tamat sesuai jadwal. Aamiin.

Oh iya, jangan lupa klik vote atau komen untuk memberikan dukungan yaa~

Thank you for reading this chapter.

14 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro