8
Jave berjalan perlahan. Kali ini kepercayaan dirinya melorot drastis. Setelah membuat Manty emosi tadi, dia terus memikirkan hal yang harus dilakukannya. Dan akhirnya, setelah melakukan banyak pertimbangan, kini dia melangkah kembali menuju Viccla Florist dengan membawa kantung berisi makanan di tangannya.
Dia menatap kantung kertas berwarna cokelat muda yang ada di tangan kanannya dan mendesah pelan. Dia tidak tahu apa ini hal yang tepat untuk dilakukan. Mungkin saja dia akan dikira memberi sogokan, atau dicap sebagai orang yang tidak kreatif karena selalu membawa makanan ke sana. Tapi benar-benar tidak ada hal lain yang ada di pikirannya untuk meminta maaf pada Manty. Terpikir untuk membawakan bunga, tapi itu jelas tidak mungkin, bukan?
Akhirnya kini dia sudah berada di depan toko bunga itu. Berbeda dengan tadi, kini dia mendorong dengan tenaga seadanya dan penuh kehati-hatian. Bahkan dia sempat melongok ke dalam terlebih dahulu. Setelah matanya bertemu dengan mata Louie, maka dia tidak punya pilihan lain selain mendorong pintu itu lebih lebar dan masuk.
Jave mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Di mana Clam?"
Louie bersedekap. Wajahnya terlihat tidak seramah biasanya. "Dia sedang pergi."
Jave menelan ludahnya susah payah. Bahkan kali ini suara Louie yang biasanya ramah pun terdengar dingin. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana sikap Manty. "Apakah dia akan lama?"
"Ada urusan apa?"
"Aku... ingin meminta maaf."
"Dengan memberikan ini sebagai sogokan?" tanya Louie sambil menunjuk kantung yang dibawa Jave. Benar dugaannya, makanan ini pasti akan dikira sebagai sogokan. "Apa kau tidak punya barang lain yang bisa dibawa ke sini selain makanan?"
Jave menggaruk-garuk kepalanya. "Aku tidak tahu harus membawa apa lagi." Setelah berhenti sejenak, dia kembali melanjutkan, "Apa dia sudah tenang?"
"Menurutmu?"
"Dia pergi untuk menenangkan diri?" tebak Jave. Lalu detik kemudian dia kembali menebak, "Ah... kurasa dia menghindariku. Benar?"
"Uoh... aku bahkan tidak terpikir hal semacam itu. Maksudku dia pergi karena sudah tenang. Mana mungkin aku membiarkannya pergi saat emosinya masih meletup-letup." Kali ini Louie sudah terdengar lebih santai. Cara bicaranya pun sudah kembali seperti biasa. Jave menghela napas lega. Lalu Louie kembali bertanya, "Sebenarnya apa maksudmu membawa bunga matahari tadi? Kau benar-benar mau dibunuh?"
Jave tersenyum kaku. "Sebenarnya aku hanya ingin tahu ada apa antara dia dengan bunga matahari. Dan juga, itu sebagai pancingan, agar dia bereaksi. Selama ini suaranya lebih banyak terdengar kalau membicarakan soal bunga itu. Jadi aku ingin melihat reaksinya."
"Dan kau salah besar, Mister. Reaksi yang diberikannya di luar dugaan, bukan? Mengerikan, huh?"
"Ya... tidak kusangka dia akan seperti itu. Jadi sebenarnya ada apa dengan bunga matahari? Kenapa kelihatannya dia sangat membenci bunga itu?"
Louie menghela napas lalu mengangkat bahunya. "Well, aku tidak punya hak untuk menceritakan hal itu padamu. Menceritakan tentang tunangannya saja sudah merupakan suatu kesalahan. Jadi, lebih baik kau tanyakan sendiri padanya."
Jave mendesah lemah, seiring dengan bahunya yang melorot di kursi. "Bagaimana mungkin aku bertanya padanya. Dan bagaimana mungkin pula dia menceritakan hal itu padaku. Aku yakin, melihat wajahku saja dia tidak mau."
Louie tertawa kecil. "Sejak kapan kau jadi begitu pesimis?"
"Sejak bertemu dengan Akira Clamanty," jawab Jave singkat.
Louie mengoyang-goyangkan telunjuknya. "Kurasa itu kurang tepat, Mister Mayder. Sampai tadi, kau masih terlihat cukup percaya diri."
"Baiklah, sejak Clam menunjukkan emosi yang tak terduga," ralat Jave. Lagi, dia mendesah lemah. Lalu menatap Louie dan kembali melanjutkan, "Entahlah. Dia benar-benar gadis yang tidak terduga. Bahkan mungkin satu-satunya gadis yang tidak bisa kutebak. Sudah berulang kali aku memperkirakan sikap yang akan diberikannya, dan tidak pernah sekali pun tebakanku itu benar."
"Kau tidak sendirian, Jave. Bahkan aku yang sudah lama bersahabat dengannya pun tidak bisa selalu menebak dirinya dengan benar. Manty memang punya pikiran dan cara bersikap yang tidak terduga."
Lama mereka berdua terdiam. Larut dalam keheningan dan pikiran masing-masing, yang mempunyai isi serupa, Manty. "Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Louie akhirnya.
Jave berpikir sejenak. "Kalau kau memberikan petunjuk ke mana dia pergi, aku akan mencarinya dan berusaha mengajaknya bicara."
Louie tersenyum singkat mendengar jawaban itu. Mungkin ini memang terlalu dini untuk menyimpulkan, tapi dia bisa merasakan sesuatu yang berbeda di diri Jave untuk Manty. Dan kalau itu benar, dia mendukungnya seratus persen.
***
Hari sudah mulai gelap. Jave melajukan mobilnya setelah mendapat petunjuk di mana Manty berada. Sepanjang jalan dia hanya berdiam diri. Mencoba memikirkan kata-kata yang bisa diucapkannya untuk meminta maaf pada Manty. Sekian banyak skenario melintas di otaknya, dan semuanya berakhir buruk. Jave mendesah keras. Sungguh, dia tidak pernah setegang ini menghadapi seorang wanita.
Tidak lama kemudian Jave sudah tiba di gedung yang diberitahukan Louie. Gedung perkantoran yang tidak terlalu besar setinggi lima lantai, dihiasi kaca berkeliling. Dia tidak yakin akan menyusuri ruangan di perkantoran ini satu per satu untuk mencari Manty. Oleh sebab itu dia menghentikan langkahnya saat bertemu dengan seorang lelaki yang melintas.
"Maaf, di mana ruangan Mister Tonn?" tanya Jave.
Lelaki berkacamata di depannya menjawab sambil menunjuk ke atas, "Di lantai tiga. Anda tinggal naik dan berjalan lurus saja. Ruangannya yang paling ujung."
Setelah mengucapkan terima kasih, Jave segera melangkah ke arah lift. Sambil menunggu, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kantor ini. Dan saat matanya mencapai lantai tiga, dia melihat sosok Manty berjalan ke arah yang sama dengan tempatnya berdiri saat ini. Sepertinya dia mau turun, pikirnya. Akhirnya Jave tidak jadi naik dan menunggu Manty di lantai ini.
Jave memperhatikan angka dan tanda yang bergerak terus di bagian atas lift. Dia menunggu cukup lama tapi Manty tidak juga muncul dari benda kotak dari besi itu. Tiba-tiba dia merasa sekelilingnya sudah bertambah ramai. Setiap orang menilik jam tangan masing-masing, dengan tas yang sudah tersampir di pundak ataupun ditenteng di tangan. Sepertinya sekarang ini sudah jam pulang kerja.
Orang di sekeliling Jave semakin banyak dan mendesak. Akhirnya Jave memilih mundur beberapa langkah. Tapi dari sana, dia tetap melirik ke arah lift. Memastikan apakah ada wajah Manty di sana. Beberapa kali pintu lift itu terbuka tapi tidak sekali pun dia melihat Manty. Bukankah dia hanya turun dari lantai tiga? Kenapa lama sekali? tanyanya dalam hati.
Merasa tidak bisa bertahan lebih lama lagi, Jave memutuskan untuk mencari Manty ke lantai tiga. Lift yang selalu penuh sejak tadi membuatnya memutuskan untuk menggunakan tangga yang berada di pojok ruangan. Pintu darurat di kantor ini cukup tersembunyi ternyata. Cukup sulit diraih.
Jave membuka pintu darurat itu dan suara terkesiap menyambutnya. Suara itu berasal dari seorang gadis yang berada beberapa anak tangga di bawah tempatnya berdiri. Mata Jave membelalak saat menemukan bahwa suara tadi berasal dari Manty.
"Jangan tutup pintunya!" seru Manty cepat.
Sekian detik Jave baru menyadari maksud Manty dan itu membuatnya langsung berlari ke belakang untuk menghentikan laju pintu yang baru saja dilepasnya. Tapi semua terlambat. Dentuman keras pintu yang terbanting dan menutup rapat sudah menggema dan memenuhi tangga darurat ini. Melihat itu, Manty mendesah. Sedangkan Jave berusaha memutar-mutar gagang pintu, berharap pintu itu bisa terbuka.
"Tidak akan ada gunanya. Aku sudah berusaha melakukan itu sejak tadi," ujar Manty pelan sambil mendudukkan dirinya di salah satu anak tangga.
Jave menoleh kaget. Baru kali ini Manty berbicara cukup panjang dengan dirinya tanpa ditanya. Jave memberanikan dirinya untuk mendekati Manty dan duduk di sebelahnya. Entah atas alasan apa, jantungnya berdegup sangat cepat. Iramanya sangat kacau. Jauh dari kata harmonis. Membuat Jave sendiri ketakutan. Bagaimana kalau jantung itu tiba-tiba meledak?
"Kenapa kau bisa berada di sini?" tanya Jave akhirnya.
Manty bersedekap. Terdiam cukup lama, namun akhirnya menjawab, "Bukankah itu seharusnya pertanyaan untukmu?"
"Aku senang kau mau menjawab. Walau, ya... jawabanmu tetap terasa sinis," ujar Jave sambil tertawa kecil. "Kau tidak meminta pertolongan?"
Manty menghela napasnya perlahan. Ucapan Jenn sejak tadi masih terngiang-ngiang di telinganya, membuat dirinya akhirnya meluluh. "Pada siapa? Dari tadi aku sudah berusaha menggedor-gedor pintu dan memanggil, tapi tidak ada yang datang kecuali kau yang langsung menutup pintu itu kembali."
Jave mengangguk-angguk mendengar penjelasan Manty. Walau sebenarnya, dalam hati dia masih bingung akan perubahan mendadak gadis di sampingnya itu. "Kenapa kau tidak menelepon untuk meminta bantuan?"
"Menelepon Louie dan menyuruhnya datang ke sini hanya untuk membukakan pintu? Brilian! Itu sungguh menyusahkan Louie, Mister!"
"Dan kau lebih memilih terkurung di sini?"
Manty terdiam sejenak. Setelah dipikir-pikir, usul Jave ada benarnya. Dia segera merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Dia menekan tombol tengah berkali-kali, tapi ponselnya tidak menunjukkan perubahan apa pun. Layarnya tetap berwarna hitam gelap, menampilkan pantulan wajahnya dan bukan foto yang dipajang sebagai latar.
"Mati di saat yang sangat tepat," gerutu Manty.
Mendengar gerutuan Manty, Jave langsung berinisiatif untuk mengambil ponselnya. Dia merogoh sakunya, dan mengulangi kegiatan itu berkali-kali. Bahkan kini dia mencoba meraba saku kemejanya, walau terlihat jelas tidak ada apa pun di sana. "Sial! Ponselku tertinggal di mobil."
Setelah itu suasana menjadi hening. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mengeluarkan suara, hingga akhirnya Jave berkata, "Umm... aku ingin... meminta maaf padamu."
"Untuk?"
"Kejadian di toko bunga tadi. Karena membawa bunga matahari ke hadapanmu."
Manty tertawa kecil. "Sudahlah, lupakan saja. Karena hal itu aku justru mengetahui hal baik yang selama ini tidak kusadari."
"Apa itu?" tanya Jave cepat. "Eh, tunggu! Ini berarti kau memaafkanku? Apa berarti sekarang aku bisa mengetahui alasanmu membenci bunga matahari?"
Manty memutar bola matanya. "Aku sungguh menyesal meladenimu bicara!"
Jave tersenyum lebar. "Sudah terlambat, Clam!"
"Clam? Kau sungguh memanggilku seperti itu?"
"Bukankah sudah sejak awal?"
"Tapi aku tidak pernah setuju!"
"Tentu, kau bahkan tidak pernah benar-benar bicara padaku. Siapa suruh saat itu kau bersikap sangat dingin. Kesempatanmu menolak sudah lewat, Clam. Sekarang terima saja panggilan itu!"
Mantykembali memutar bola matanya. Kali ini desahan lelah mengiring bersamaan denganbahunya yang merosot di samping tangga. Sedangkan Jave kembali tersenyum lebar.Senyum penuh kemenangan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro