6
Jave dan Manty baru tiba di kebun bunga milik keluarga Jave. Usaha ini memang sudah lama dijalankan oleh ayah Jave, dan kini semakin berkembang saat dirinya yang meneruskan. Tidak heran, bila melihat kecintaan Jave pada bunga dan segala teknik penanamannya.
Sepanjang jalan Jave berharap ada perubahan, tapi hasilnya nihil. Manty tetap seperti kemarin. Tidak berbicara sedikit pun hingga akhirnya tiba di sini, walau Jave sudah menghujaninya dengan begitu banyak pertanyaan. Terkadang Jave bingung, kenapa ada gadis yang begitu diam seperti Manty.
"Kau mau lihat yang mana dulu?" tanya Jave saat mereka berada di depan lorong-lorong yang akan membawa mereka ke kebun bunga yang berbeda-beda. Manty menunjuk lorong yang ada di sebelah kiri, dan itu membuat Jave mendesah lemah. "Haruskah kau menunjuk? Tidak maukah kau berbicara sedikit pun?"
Mendengar pertanyaan itu, Manty malah langsung melenggang pergi. Mendahului Jave dan meninggalkannya bersama segala umpatan. Begitu keluar dari lorong, Manty langsung dihadapkan pada kebun bunga yang luas. Di hadapannya kini terpampang ribuan tangkai bunga mawar kuning.
"Mawar kuning lambang kehangatan dan kasih sayang yang tulus dari dalam hati. Kau bisa membuat rangkaian bunga ini untuk simbol persahabatan, atau perayaan terhadap suatu pencapaian prestasi," ucap Jave sambil menyusul Manty dan akhirnya berdiri di sampingnya. Manty hanya mengangguk pelan.
"Berikan pada kami bunga yang paling tinggi, batangnya tidak ada kerak berwarna merah, dan yang daunnya hijau tua dan segar. Jangan yang ada bercak sedikit pun di daunnya dan jangan sampai yang ada lapisan putih," ujar Manty tanpa menoleh sedikit pun.
Jave terpana mendengar ucapan Manty. Baru kali ini Manty bicara begitu banyak di depannya dan padanya. Tanpa bisa diduga senyum Jave mengembang lebar. "Itu semua memang ciri bunga yang sehat. Sepertinya kau punya cukup banyak pengalaman mengenai bunga."
Belum sempat Jave menoleh ke arah Manty setelah selesai bicara, gadis itu sudah terlebih dahulu melangkah pergi dari sana. Jave hanya bisa memutar kepalanya dan mengiringi langkah gadis itu dengan desahan lemah. Benar-benar gadis yang terlalu sulit ditaklukkan. Sepertinya dia hanya bicara karena urusan pekerjaan.
Selanjutnya Manty berjalan menuju lorong-lorong lainnya dan kembali dihadapkan dengan berbagai jenis bunga. Setiap kali memasuki taman, hatinya seolah ikut bermekaran seperti bunga-bunga yang berada di sana. Dan setiap kali bulir-bulir aroma dari bunga-bunga itu bertebaran di udara, dia menutup matanya dan mengembangkan dada. Menghirup suatu kehangatan yang sudah lama tidak ditemukannya. Terus dan terus, hingga suatu bayangan yang mengerikan kembali menyeruak ke dalam pikirannya.
"Kau kenapa?" tanya Jave saat menyadari ada gelengan yang sangat kencang dari arah kanannya. Manty tidak kunjung menjawab. Kepalanya hanya tertunduk dan matanya tertuju pada suatu titik tanpa fokus. Sedangkan napasnya masih tersengal-sengal.
Manty masih bergeming selama beberapa saat. Dan setelah merasa bisa mengatur kembali napasnya dengan baik, aliran ludah pun sudah bisa memasuki kerongkongannya, maka dia berjalan pergi. Kembali meninggalkan Jave. Dan memang itu yang harus dilakukannya. Sebelum lelaki itu menambah bayangan mengerikan yang segera menyusul untuk menguasai benaknya.
"Kau mau ke mana?" Jave segera menahan tangan Manty.
"Pulang."
"Kita belum selesai," debat Jave lagi. Namun Manty kembali diam. Entah kenapa kali ini Jave merasakan sesuatu yang berbeda dari saat dia berdebat dengan Manty di depan restoran kemarin. Saat ini, energi yang dialirkan Manty begitu lemah. Bukan sikap yang dingin ataupun keras kepala seperti waktu itu.
Jave mencoba menjelajah dalam otaknya sendiri. Mencari segala kemungkinan yang bisa ditemukannya sebagai jawaban. Tapi, nihil. Dia ingin kembali berbicara, mendebat. Tapi dalam hati kecilnya dia takut, kalau-kalau Manty akan kembali meninggalkannya dan pergi sendirian seperti kemarin. Akhirnya dia mengalah. Dia menarik tangan Manty, membawa gadis itu keluar dan segera pulang.
***
"Steve?"
Manty melonjak kaget saat menemukan lelaki itu, sesaat setelah membuka pintu Viccla Florist. Hal itu terlalu mengejutkan. Steve menghilang selama tiga tahun tanpa kabar, dan kini berdiri dengan senyum lebar di hadapannya. Steve merentangkan tangannya dan memeluk Manty erat.
"Kau baik-baik saja, Manty?" bisik Steve saat tubuh Manty masih berada dalam dekapannya.
"Tentu. Kau bisa lihat sendiri," jawab Manty sambil melepaskan pelukan Steve.
Jave yang berdiri di belakang Manty sejak tadi hanya bisa berdiam. Entah karena melihat sikap Manty yang terbuka atau mendengar suaranya yang lembut. Entah. Dia tidak benar-benar mengerti saat ini. Yang dia tahu pasti hanya ada perasaan aneh yang menjalar di dirinya. Menguasai hati juga pikirannya hingga dia tidak bisa berbuat apa pun saat ini, selain memperhatikan tingkah kedua orang yang ada di hadapannya dengan saksama.
"Dan ini?" tanya Steve saat menyadari keberadaan Jave.
"Ah, ini Jave. Orang yang akan memasok bunga untuk toko kami. Perjalanan bisnis yang kubicarakan tadi, ini maksudnya." Louie mengambil alih penjelasan.
Steve mengangguk-anggukkan kepala lalu mengulurkan tangannya. "Steve Hadson. Senang bertemu denganmu. Kuharap kau bisa bekerja sama dan menjadi rekan bisnis yang baik untuk mereka."
Jave tertawa kecil sambil membalas jabat tangan Steve. "Tentu. Bukan hanya yang baik, aku bahkan akan mengupayakan segala yang terbaik untuk toko bunga ini."
Sebelah alis Steve seketika terangkat begitu kata-kata Jave selesai terlontar. Lalu matanya menyipit, seolah berusaha mempelajari diri Jave seutuhnya. Pandangannya seolah menguliti Jave. Memecah lelaki itu ke dalam kepingan-kepingan kecil yang mempermudah penyelidikannya.
Kau berbahaya, simpulnya dalam hati.
"Bagaimana kalau kita makan bersama nanti malam?" usul Steve sambil tersenyum ceria ke arah Manty dan Louie.
"Itu usul yang bagus. Kita sudah lama tidak berkumpul. Iya kan, Manty?" sahut Louie yang ditanggapi dengan anggukan pelan dari Manty. Dan setelah itu Louie beralih ke arah Jave, lalu berkata, "Kau bisa ikut dengan kami, Jave?"
Sontak mata Manty dan Steve melebar, sedangkan Jave tersenyum lebar mendapat ajakan Louie. Tanpa menunggu lama, Jave segera menyetujui ajakan itu, sehingga membuat Manty mendesis. Dan saat Louie berpaling, dia menemukan pandangan penuh penyudutan dari Manty dan Steve. Dia memiringkan kepala dan menaikkan kedua alisnya, seolah sedang bertanya, apa kesalahan yang telah kuperbuat?
***
Manty, Louie, Jave, dan Steve duduk melingkar di meja bundar. Mereka baru saja tiba di salah satu restoran terbaik di Pittsford, Richardson's Canal House. Suasana di restoran ini terasa begitu hangat. Mereka bergerak melewati area yang didominasi warna putih untuk menuju area yang lebih santai dengan batu-batu keabuan menghias dindingnya.
Mereka segera menarik bangku dan mengambil posisi masing-masing. Tanpa terduga Manty dan Jave bergerak ke arah bangku yang sama. Jave yang terlebih dahulu menyadari itu segera menarikkan bangku untuk Manty. Tapi begitu menyadarinya, Manty segera beralih ke dua bangku setelahnya. Jave menghela napasnya, sedangkan Steve tersenyum puas melihat kejadian itu. Namun sepertinya tidak ada yang menyadari hal itu.
"Kau suka bistik kan, Manty? Mereka punya menu spesial, bistik ayam madu. Aku yakin kau pasti akan suka," tanya Steve begitu pelayan menyerahkan menu pada mereka.
Manty yang dari tadi membolak-balikkan menu langsung berhenti dan mengangguk setuju. Kebetulan sekali dia sedang tidak tahu apa yang harus dimakannya, jadi tidak perlu waktu banyak baginya untuk menyetujui usul Steve. Manty menaruh menu ke atas meja tanpa perhatian sedikit pun. Lalu dia menunduk, mengalihkan tangannya untuk memainkan kuku.
"Lalu bagaimana denganmu, Louie?" Kini Steve beralih pada Louie.
"Kurasa aku sama dengan Manty."
Setelah memutuskan semuanya, Steve segera memanggil pelayan. Dia sibuk dengan urusan makanan, sementara Jave sibuk memperhatikan Manty dari kursi seberang. Otak Jave dari tadi tidak berhenti berpikir. Ada apa lagi dengan gadis itu? pikir Jave dalam hati, melihat tingkah Manty yang tepat seperti orang depresi.
"Oh ya, Steve. Kau benar akan kembali tinggal di sini? Bukan untuk persinggahan sementara saja, kan?" Suara Louie mulai terdengar setelah pelayan tadi meninggalkan meja mereka.
Steve tersenyum lebar lalu mengangguk mantap. "Aku akan tinggal di sini selamanya, Louie. Aku harap kau percaya pada ucapanku kali ini." Mendengar Louie tertawa kecil karena ucapannya, Steve kembali melanjutkan, "Kita bisa kembali menghabiskan waktu bersama. Bukan begitu, Manty?"
Steve memalingkan wajahnya dan menunggu reaksi Manty. Tapi gadis itu masih tetap menunduk. Tidak merespons sedikit pun. Seolah jiwanya sedang melayang-layang di dunia lain dan meninggalkan raganya di tempat ini.
"Manty," panggil Steve lagi.
Panggilan ketiga terdengar dan baru membuat Manty tersentak. Seolah jiwanya baru ditangkap kembali. Manty segera mengangkat kepalanya. Namun tanpa terduga, dia malah menghadapkan wajahnya pada Jave. Semua orang di sana terlihat bingung, termasuk dirinya sendiri. Alis Manty seketika mengerut. Sekian detik dia terdiam, dan setelah menyadari kesalahannya, dia kembali menarik kepalanya ke bawah lalu menggeleng pelan. Baru setelah itu dia mengarahkan wajahnya pada Steve dan memberi ekspresi bertanya.
"Maaf, aku tidak mendengar. Apa yang kau tanyakan, Steve?"
"Ada apa denganmu, Manty? Kau sakit?" tanya Steve penuh kekhawatiran.
Manty tersenyum simpul lalu menggeleng pelan. "Sepertinya hanya lelah. Jadi apa yang kulewatkan tadi?"
Steve terdiam sejenak. Seketika keinginannya untuk kembali bertanya jadi tidak menyenangkan. Semua akan terasa hambar, pikirnya. Akhirnya dia memilih menggeleng, lalu tersenyum menenangkan ke arah Manty. Dan untungnya, pelayan restoran datang menyelamatkan situasi itu dengan mengantarkan makanan pesanan mereka.
"Kita makan saja," ujar Steve akhirnya.
Meski ragu, akhirnya Manty mengangguk. Perasaan tidak enak menyelimuti dirinya seutuhnya. Sungguh, rasanya dia benar-benar merusak suasana di sana. Juga suasana hati Steve, sepertinya. Tapi dia benar-benar tidak bermaksud seperti itu. kembali, dia merutuki dirinya yang terlalu bodoh untuk termenung karena hal yang sudah berlalu dan tak bisa diubah. Hal-hal itu hanya semakin merusak hidupnya. Mengurungnya erat hingga waktu-waktu terbaik mungkin saja terlewatkan olehnya.
"Jave, bisa kau ceritakan kenapa kau menyukai bunga dan memilih bisnis ini?" Louie berusaha mencairkan suasana dengan mengalihkan topik pembicaraan.
Jave tersenyum singkat. Dia suka sifat Louie yang cepat tanggap seperti ini. "Sebenarnya ini adalah bisnis ayahku. Aku hanya meneruskannya. Tapi, sejak dulu pun aku memang menyukai bunga. Mungkin karena sering ikut bersama ayahku untuk memeriksa kebun-kebunnya. Dan bunga pertama yang kusukai adalah bunga yang tidak dijual di toko kalian. Sayang sekali, bukan?"
Steve tersenyum hambar, begitu juga dengan Manty. Louie ingin kembali bertanya, tetapi segera mengurungkan niatnya mengingat topiknya adalah bunga matahari.
"Kenapa harus bunga itu?" Manty bertanya tanpa mengangkat kepalanya, bahkan tanpa fokus di matanya. Sepertinya pertanyaan itu diucapkannya tanpa sadar, melihat sikap acuh tak acuhnya saat meluncurkan pertanyaan itu. Tangannya terus bergerak menggesekkan pisau di piringnya, menimbulkan suara berderit yang mengerikan.
"Karena bunga matahari memiliki warna yang cerah, yang bisa membuat bahagia hanya dengan melihatnya." Manty tersenyum singkat mendengar jawaban itu. Sama dengan alasanku, pikirnya. "Dan bunga itu melambangkan kesetiaan. Itu yang terpenting," lanjut Jave.
Kali ini, jawaban Jave mampu membuat Manty mendongak menatap mata abu-abu di hadapannya. Mata itu memancarkan kesungguhan. Juga ketulusan. Dan sorotnya terkesan begitu menenangkan. Sama sekali bukan sorot mata yang harus dihindari. Tapi entah kenapa Manty selalu merasa tidak mampu menatapnya.
Suatu pikiran menyusup ke otak Manty, membuatnya terguncang sekali lagi. Kilasan memori kembali terputar. Dan wajah Jave berubah sedikit demi sedikit hingga kini terganti dengan wajah Kean. Manty segera menutup matanya. Kenapa dirinya selalu menemukan Kean di dalam diri Jave? Hal itu membuatnya begitu frustrasi.
Mantykembali membuka mata dan berusaha melawan pikirannya sendiri. Kali ini diamemberanikan diri untuk terus menatap Jave. Tapi kenyataannya masih sama. WajahKean masih berada di sana. Bagaimana mungkin Jave memiliki senyum Kean?Bagaimana mungkin cara bicara mereka sama? Bahkan kata-kata yang merekalontarkan pun serupa? Tidak bisakah Jave memilih kata-kata lain? Atau mungkinyang lebih tepat, tidak bisakah Manty berhenti mengingat Kean dan melihat Javesebagai dirinya sendiri?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro