4
"Kurasa kau lebih suka berbincang dengan ibuku," ujar Jave saat baru saja memasuki mobil.
Mereka baru keluar dari rumah besar Jave. Setelah kurang lebih setengah jam berada di dalam sana, akhirnya Manty bisa membuat suatu alasan untuk segera mengundurkan diri.
Kini Manty kembali dalam posisi yang sama seperti saat datang. Duduk diam sambil menghadap kaca mobil. Tidak merespons dan mengeluarkan sepatah kata pun terhadap Jave. Sepertinya lelaki itu harus mulai terbiasa melakukan monolog.
Mobil yang dilajukan Jave kini sudah memasuki jalan besar. Dan saat belum jauh, Jave melihat sebuah restoran di pinggir jalan.
"Kau sudah makan? Ah... kau pasti tidak akan menjawab. Baiklah, ini masih pagi, dan tadi kau menolak makan di rumahku. Jadi, kusimpulkan kau pasti belum sarapan. Kita akan mampir dulu. Oke?"
"Tidak." Akhirnya sebuah kata meluncur dari bibir Manty. Tapi terlambat. Jave sudah terlebih dahulu memarkirkan mobilnya di depan restoran itu.
"Aku senang akhirnya kau bicara, Clam. Namun sayang, kali ini kau terlambat."
Jave berbicara dengan ceria. Wajahnya tersenyum seolah baru saja memenangkan suatu pertandingan. Dia segera melepas sabuk pengamannya dan bergegas turun dari mobil.
Jave sempat menebak kalau Manty tidak akan ikut dengannya. Namun di luar dugaan, gadis itu akhirnya turun juga dari mobil. Senyum di wajah Jave semakin melebar. Akhirnya...
Jave berpikir dia bisa menaklukkan Manty. Namun sedetik kemudian, dia tahu itu hanya suatu kepercayaan diri yang berlebihan dan tak berdasar.
Alih-alih mendekati Jave, Manty malah berjalan ke arah sebaliknya. Tanpa berkata sedikit pun, kini gadis itu bahkan sudah hampir menyeberangi jalan.
"Hei! Kau mau ke mana? Kita akan makan, Clam." Jave segera mengejar Manty dan menahan tangannya.
Manty menoleh cepat, lalu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Jave. Namun, semakin dia berusaha, genggaman Jave justru semakin mengerat.
"Aku tidak pernah bilang bersedia," ujar Manty dingin.
"Kenapa kau menghindariku, Clam?" tanya Jave penasaran. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa Manty harus bersikap sedingin itu padanya.
Manty segera memalingkan wajah. Tapi Jave belum juga melepaskan tangannya. Dia berniat terus mengunci mulutnya, tapi lelaki itu terus saja mengusik dengan suara beratnya.
"Tidak ada alasan bagiku untuk meladenimu," jawab Manty tanpa menoleh.
"Kita akan jadi rekan bisnis," bantah Jave.
"Kau bisa melakukan itu dengan Louie."
"Kalau aku maunya denganmu?" Jave masih berusaha membujuk Manty.
"Maka lupakan saja," jawab Manty lagi. Suaranya bahkan terdengar semakin dingin kali ini. "Dan sekarang singkirkan tanganmu."
"Tidak!" bantah Jave lagi. Kali ini aku harus berhasil membuatmu melihatku, batinnya.
Jave benar-benar tidak berniat melepaskan tangan Manty. Dan gadis itu sama keras kepalanya dengan Jave. Manty tetap tidak menoleh. Keduanya berdiri sekian lama dalam posisi seperti itu. Benar-benar menyerupai patung.
Dan tentu saja, tindakan mereka begitu mengundang perhatian. Setiap orang yang melintas melirik ke arah mereka dengan bingung.
"Kalau ada masalah, kalian bisa selesaikan dengan baik di restoran itu, atau di mobil kalian," celetuk salah satu pejalan kaki yang melintas.
Ucapan pejalan kaki tadi membuat Jave sadar. Dia segera mengedarkan pandangan. Dan benar, semua orang sedang memperhatikan mereka.
"Kau ingin terus seperti ini?" tanyanya pada Manty. Dan setelah beberapa detik tidak mendapat jawaban, dia kembali berkata dengan nada lemah, "Baiklah, aku akan mengantarmu ke toko bunga. Kau bisa masuk ke mobil sekarang."
Jave melepaskan tangan Manty dan mulai melangkah menuju mobilnya dengan gontai. Dia tidak pernah merasa sepayah itu. Dan saat tiba di depan mobil, dia baru sadar bahwa Manty tidak pernah memikirkan hal yang sama dengannya.
Ketika menoleh, dia sudah melihat gadis itu menaiki taksi di seberang jalan sana. Jave hanya bisa mengembuskan napas panjang. Perjalanan bersama gadis itu akan jauh lebih panjang dari yang diperkirakannya.
***
Taksi yang dinaiki Manty berhenti tepat di depan Viccla Florist. Sesaat, sebersit kelegaan menghampirinya. Entahlah. Dia belum lama meninggalkan tempat itu, tapi perasaannya terasa begitu kalut.
Dia tidak mengerti benar apa alasannya. Entah efek terlalu lama tidak beraktivitas di luar atau harus menghadapi Jave yang mengingatkannya pada Kean.
Jave. Satu nama itu tiba-tiba mengusiknya. Membuatnya merasakan sesuatu yang aneh -yang bahkan dia sendiri tidak mengerti- bahkan hanya dengan memikirkan nama itu. Manty menarik napas panjang, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah tindakan itu bisa membersihkan semua kekacauan di pikirannya.
"Manty!" seru Louie saat dia baru saja memasuki toko. Dan setelah memastikan tidak ada orang di belakang Manty, Louie bertanya, "Kau tidak bersama Jave?"
Manty masuk dengan langkah-langkah kecil, lalu mendesah pelan sebelum duduk di atas kursi tinggi di depan Louie. "Seperti yang kau lihat."
Louie mendecak mendengar jawaban Manty. Bisa-bisanya Manty menjawab seperti itu. Tentu dia bisa melihatnya dengan jelas. Dan itulah alasannya bertanya.
Sungguh, Louie berpikir keras, apa dua tahun tidak berinteraksi dengan dunia luar membuat Manty jadi tidak sensitif? Atau mungkin dia terlalu sensitif? Mengingat sikap yang ditunjukkan pada Jave.
"Kau tahu maksudku, Manty. Ke mana lelaki itu? Dia tidak mengantarmu kembali?" tanya Louie akhirnya.
Manty mengangkat bahu, seolah tidak mau menjawab pertanyaan Louie. Oh... bahkan dia benar-benar tidak memberi tanggapan sedikit pun. Kini dia turun dari kursi tinggi dan mendatangi sudut yang ditempatinya tadi.
Tidak butuh waktu lama dia sudah larut dalam aktivitasnya bersama bunga-bunga di sana. Louie hanya bisa memperhatikan sikap Manty itu sambil menghela napas.
"Kopi?" tawar Louie sambil berdiri di samping Manty yang masih sibuk mengutak-atik bunga.
Manty menoleh sekilas, lalu tersenyum. Tangannya bergerak pelan meraih cangkir yang berisi kopi, lengkap dengan asap mengebul di atasnya. Setelah meniup pelan, Manty meneguk kopi yang sudah lama tidak dirasakannya. Sebuah rasa mampir di hatinya.
Dia memang jarang minum kopi. Sangat jarang. Dia sendiri lebih menyukai minuman manis. Namun, untuk situasi tertentu, dia lebih memilih kopi. Saat perasaannya sedang kacau, misalnya.
Mengingat hal itu membuatnya menoleh secara refleks ke arah Louie. Gadis itu selalu tahu kebiasaannya ini. Kebiasaan kapan dia baru akan meminum kopi. Mungkin memang dia yang menerima tawaran kopi, tapi jelas Louie menyeduhnya dengan sebuah keyakinan yang kuat. Apa Louie bisa membaca dirinya?
Tanpa disangka, Louie tertawa. Dia merasa ekspresi Manty saat melihatnya sangatlah lucu. Dia bisa merasakan keterkejutan Manty.
"Sebenarnya aku bingung kenapa kau ikut bersama Jave tadi. Dan kenapa kau bersikap dingin padanya? Namun dari sikapmu, aku tahu suasana hatimu sedang tidak baik. Ini hari pertamamu keluar rumah, dan pasti sulit."
Manty menghela napas. Pikirannya salah. Louie tidak bisa membaca dirinya. Tidak pikirannya, juga perasaannya. Sesaat dia merasa lega karena hal itu.
Tapi pertanyaan Louie justru membuatnya bertanya-tanya. Apakah Louie tidak bisa melihat seberapa miripnya lelaki itu dengan Kean? Ataukah hanya dia yang merasa seperti itu, karena masih terbayang-bayang Kean?
"Kurasa kau teringat pada Kean," ujar Louie lagi. Kali ini Manty menoleh cepat. Jawaban dari pertanyaan yang berputar di otaknya tadi sepertinya akan segera diketahui. "Dilihat sekilas... mereka memang mirip."
Ucapan Louie membuat Manty menarik napas lega. Setidaknya itu bukan delusi, pikirnya. "Tapi mereka berbeda, Manty. Jangan bersikap tidak adil seperti itu."
Sesaat dahi Manty berkerut. Tidak adil? Benarkah dia sudah bersikap tidak adil? Entahlah. Itu mungkin saja. Tapi dia tidak bisa bersikap baik pada Jave. Tidak saat ini.
Dia masih membutuhkan waktu untuk melupakan kejadian memilukan itu. Dan tidak berurusan dengan lelaki itu akan mempercepat prosesnya. Setidaknya itu yang dia yakini.
"Entahlah," sahut Manty pendek.
Louie menoleh singkat. Baginya, jawaban pendek itu adalah isi hati Manty yang kalut. Sepertinya semua hal berkecamuk dan membuatnya benar-benar bingung. "Kau bisa memikirkannya. Dan pasti, semua butuh proses."
Manty tersenyum mendengarnya. Louie memang selalu punya kata-kata yang bisa membuatnya lega. Louie mengangkat cangkir kopinya, seolah memberi ajakan untuk meneguknya bersama-sama. Manty tidak bisa menahan tawa melihat gerak dramatis sahabatnya itu.
Dan tiba-tiba, terdengar suara pintu toko dibuka.
"Hai, Clam! Aku membawakan makanan untukmu. Kau menolak makan bersamaku tadi, jadi tidak ada pilihan lain selain mengantarkannya ke sini," ucap Jave saat mendapati tatapan penuh pertanyaan dari Manty dan Louie.
Dia bergerak ke depan Manty, lalu menyodorkan kantung sambil berkata, "Aku tidak tahu makanan seperti apa yang kau suka. Jadi kubawakan sandwich dan kentang goreng. Oh ya, berhubung kau orang Jepang, kubelikan juga sushi. Kuharap kau memakannya."
Manty terdiam melihat tingkah lelaki itu. Kata-katanya yang terus saja dilancarkan membuat Manty tidak bisa merespons. Ah tidak, memang dia tidak ingin menanggapinya. Tapi senyum lebar itu... Manty menghela napas panjang. Bahunya merosot dan bola matanya memutar.
Entah terbuat dari apa lelaki itu. Sudah ditinggal seperti tadi oleh Manty, dia masih saja datang ke sini dan memberikan makanan. Ternyata menghadapi lelaki di hadapannya benar-benar tidak mudah, keluhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro