Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24

Jave memulai hari ini dengan tergesa. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal. Tidak bisa menghubungi Manty membuatnya resah semalaman. Sejak malam, dia berharap hari cepat berganti. Bahkan karena itu, dia tidak tidur sama sekali. Hanya menatap ponselnya yang melakukan panggilan tapi tidak pernah dijawab oleh Manty.

Kau ke mana, Clam? gumam Jave dalam hati. Sepanjang jalan matanya menatap lurus ke depan. Dia berusaha sebisa mungkin untuk mengemudi dengan baik, walau tidak bisa dimungkiri, pikirannya sedang sangat kacau saat ini. Semua fokusnya tersita pada satu orang. Dia harus segera menemukan Manty agar harinya bisa kembali berjalan baik, begitu pula dengan hatinya.

"Clam! Clam!" seru Jave sambil berlari ke dalam Viccla Florist. Tangannya bergerak meremas rambut ketika tidak menemukan Manty di hadapannya. "Clam di mana, Louie?"

"Aku tidak tahu, Jave. Kami sudah lama tidak berangkat bersama. Mungkin dia baru keluar rumah. Kau bisa menunggunya di sini," jawab Louie berusaha santai. Dia bisa melihat wajah frustrasi Jave. Wajah lelaki di hadapannya benar-benar terlihat cemas dan lelah.

"Kau bisa meneleponnya? Dia tidak mengangkat panggilan dariku," ujar Jave dengan nada lirih. Suaranya terdengar benar-benar seperti orang frustrasi.

Walau ragu, tapi Louie mengabulkan permintaan Jave. Dia meraih ponselnya dan segera menelepon Manty. Beberapa lama terdiam dan hening. Tidak terdengar suara apa pun di sana. Kening Louie langsung berkerut. Dia menghentikan sejenak, lalu kembali mengulanginya. Hal yang sama kembali terjadi.

"Tidak aktif," ujar Louie lemah sambil menggeleng.

Kini otaknya berputar keras memikirkan ke mana Manty bisa pergi. Tidak biasanya dia mematikan ponselnya. Keningnya yang berkerut disambut dengan hal serupa oleh Jave. Selama beberapa saat, keheningan menguasai toko itu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Mencoba memecahkan masalah Manty, walau kenyataannya mereka tidak bisa.

"Mungkinkah ini masalah ayahnya, Jave?" tebak Louie.

Jave menggeleng pelan. "Aku tidak terlalu yakin."

"Lalu apa yang membuat Manty jadi seperti ini? Aku yakin dia punya masalah. Aku benci Manty yang tidak mau berbagi masalahnya!"

Jave kembali meremas rambutnya. Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Tidak ada yang bisa membuatnya tenang selain kehadiran Manty, selain memastikan bahwa gadisnya itu baik-baik saja. Saat itu juga, dia tidak bisa menunggu lebih lama. Dia segera meraih kuncinya dan berlari keluar, tanpa memedulikan pertanyaan Louie di belakang sana.

"Apakah mungkin ada hubungan dengan David?" tanya Jenn setelah Jave keluar.

Louie langsung menoleh dengan wajah bingung. "David?"

Jenn mengangguk. "Kau ingat, Louie? Kemarin dia memintaku menunjukkan foto David. Dan setelah itu dia meneguk segelas kopi sekaligus. Bukankah itu mencurigakan?"

Kerutan di kening Louie bertambah dalam. Otaknya masih tidak bisa memikirkan kemungkinan ini. Dan lagi, dia tidak bisa menemukan benang merah antara Manty dan David. Tapi memang kejadian kemarin itu mencurigakan, dan mungkin menjadi satu-satunya hal yang paling mungkin menjadi penyebab masalah saat ini. Louie menghela napas dalam. Dia sama sekali tidak bisa mengerti dengan keadaan sekarang.

"Kuharap kau baik-baik saja, walau itu tidak mungkin, Manty," gumam Louie lirih.

***

Mobil Jave dilajukan kembali ke rumahnya. Akhirnya dia kembali ke tempat ini setelah melajukan mobil itu ke segala tempat yang dipikirnya mungkin didatangi Manty. Erie Canal, taman tempatnya sarapan bersama kemarin, bahkan taman tempat mereka bersepeda bersama pun didatanginya. Tapi hasilnya nihil. Manty tidak ada di manapun.

Jave masuk ke dalam rumahnya dengan langkah lemah. Lalu duduk di sofa besar cukup lama hingga akhirnya David turun dari tangga. Jave melipat tangannya dan membenamkan keningnya di sana. Dia juga menghela napas berkali-kali hingga terdengar suara langkah David yang mendekat. Kini David sudah duduk di sampingnya dan menyodorkan gelas berisi minuman ke hadapannya.

"Kau kenapa? Wajahmu terlihat seperti orang depresi," tanya David sambil mengedikkan dagunya. Baru kali ini dia melihat raut wajah Jave yang sefrustrasi itu. Biasanya Jave selalu punya bahan bercandaan saat mereka sedang bersama.

"Clam menghindariku. Dia tidak mau bertemu denganku," jawab Jave lemah.

"Clam?" David mengerutkan keningnya.

"Kekasihku."

"Gadis yang..." Ucapannya terputus saat dia mengingat sesuatu. Suara terkesiap terdengar setelahnya. Wajahnya jelas menunjukkan keterkejutan

"Kau kenapa?" tanya Jave sambil mengamati wajah David.

"Ah tidak. Apa kau punya fotonya?"

Jave menunjukkan foto Manty yang ada di ponselnya. Setelah melihatnya, wajah David semakin menunjukkan keterkejutan. Dan hal itu sontak membuat Jave bingung. "Kau mengenalnya?"

"Ti...tidak," jawab David terbata.

Jave terdiam sejenak, lalu mengangguk-angguk pelan. "Tentu. Mana mungkin kau mengenalnya. Dia gadis yang sangat tertutup."

"Lalu bagaimana?" tanya David akhirnya.

Jave yang sedang termenung tiba-tiba tersentak dan menoleh bingung. "Apa maksudmu?" Seolah baru menyadari maksud pertanyaan David, Jave langsung menambahkan, "Kalau kau berpikir aku akan menyerah padanya, itu sepenuhnya salah. Menyerah padanya adalah hal yang tidak akan pernah terjadi. Karena itu jauh lebih sulit daripada mengorbankan hidup."

"Kau yakin? Walau jalan kalian di depan sana akan sangat sulit?" David memicingkan matanya, seolah sedang menyelidiki sesuatu.

Jave mengangguk mantap. "Sekalipun jalan di depan sana sulit, akan lebih sulit lagi bila aku harus berpisah dengannya. Apa pun akan kulakukan agar kami bisa tetap bersama. Agar dia tetap berada di sisiku."

***

Manty menatap ayahnya yang terbaring lemah di hadapannya dengan tatapan pilu. Walau dia selalu marah saat Allegio menghampirinya, tapi jauh di dalam hati dia sangat merindukan ayahnya ini. Sudah terlalu lama dia tidak merasakan kehangatan dari ayah yang selalu dipujanya. Sudah terlalu lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama.

Setelah berdiam cukup lama, Manty memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Dia ingin berada di sana lebih lama, tapi mengingat Viccla Florist membuatnya harus segera meninggalkan tempat itu. Tidak mungkin dia meninggalkan Louie sendiri lagi, dan kini bahkan tanpa kabar sama sekali. Sahabatnya itu bisa mengamuk nanti.

Dengan langkah pelan, Manty menyusuri lorong yang ada di hadapannya saat ini. Beberapa kali terdengar suara desahan lemahnya. Entah kenapa semua jadi terasa sangat berat saat ini. Semua terjadi bertubi-tubi dan tidak ada yang bisa dipastikan. Manty mengangkat kepalanya sejenak dan tiba-tiba sesosok wanita yang ingin dimusnahkannya dari bumi ini muncul di depan sana.

Seketika hatinya berubah panas melihat wanita paruh baya namun tetap modis yang berjalan dari arah berlawanan dengannya itu. Tangannya mengepal erat. Dia sedang berusaha sekuat mungkin untuk menahan emosi. Kalau tidak, dia ingin sekali langsung meloncat ke hadapan wanita itu dan mencabiknya habis.

Manty menutup matanya erat-erat saat wanita itu melintas di hadapannya. Wanita itu tidak mengenalnya. Tentu. Tidak ada alasan bagi wanita itu untuk mengenalnya. Bahkan seharusnya dia pun tidak mengenal wanita mengerikan itu. Napasnya ditahan kuat-kuat dan kakinya diseret paksa untuk meninggalkan tempat itu sesegera mungkin.

Setelah perjuangan keras melawan hatinya sendiri, kini Manty akhirnya berhasil keluar dari rumah sakit itu. Dia mengembuskan napas lega sesaat. Lalu matanya berkeliling, menyusur jalanan yang cukup sepi ini hingga tatapannya terpaku di sebuah kafe kecil di seberang jalan sana. Segelas kopi mungkin akan baik, pikirnya.

Manty memacu langkahnya pelan dan penuh kehati-hatian hingga kini dia sudah berada di depan kafe itu. Dia mendorong pintu di depannya dengan sekuat tenaga dan langsung memesan segelas kopi. Tidak ada yang bisa dilakukannya sambil menunggu pesanan itu, kecuali termenung dengan mata tidak fokus.

Beberapa saat kemudian, segelas kopi hitam yang sangat pahit sudah berada dalam genggamannya. Tanpa menunggu lagi, dia langsung menyesap kopi itu dan merasakan sensasi rasa pahit menjalar di seluruh tubuhnya. Kakinya bergerak hendak meninggalkan kafe itu. Tapi tepat di depan pintu, dia berhadapan dengan seseorang yang wajahnya membuatnya kesusahan sejak kemarin. Manty terdiam sejenak, begitu pula dengan orang di hadapannya. Setelah tersenyum singkat, orang itu memilih melangkah melewati Manty.

"Sepertinya kita perlu bicara. Kau teman Jave, bukan?"

***

Mendengar ucapan Manty tadi dan berdiri berhadapan dengannya saat ini membuat David merutuki dirinya sendiri. Tidak seharusnya dia datang ke kafe ini. Penyesalan itu terus saja berputar di otaknya. Tidak heran dia merasakan firasat yang tidak menyenangkan tadi. Ternyata ini yang akan terjadi. Harusnya tidak ke sini, umpatnya sekali lagi dalam hati.

Kini Manty dan David berdiri berhadapan dalam diam. Keduanya saling menatap, tapi tidak ada yang bersuara sedikit pun. Manty menatap David tajam. Tidak satu kali pun matanya melepaskan David dari pandangannya, seolah dengan melakukan itu dia bisa menguak segala yang ingin diketahuinya.

"Aku yakin kau mengenalku," ujar Manty akhirnya.

"Ya, aku mengenalmu sebagai kekasih Jave."

"Kau tahu betul bukan itu maksudku," cecar Manty.

Kening David kini berkerut. Alisnya terangkat setengah. "Aku tidak mengerti maksudmu," elaknya. Dia berusaha mengontrol ekspresinya sebisa mungkin. Membuatnya tetap terlihat datar atau bahkan bingung agar bisa menutupi ketegangannya. Dan tidak bisa dimungkiri, jantungnya sedang berdetak tidak keruan saat ini. Dalam hati dia berharap semua ini bisa selesai secepatnya.

"Sekitar dua tahun lalu kita pernah bertemu, di sebuah jalan sepi. Kurang lebih seperti ini keadaannya," ujar Manty sambil mengedarkan pandangannya. Lalu dia melanjutkan, "Ah, bukan bertemu tepatnya. Karena aku hanya melihatmu sekilas, sementara kau lari dengan sangat cepat setelahnya. Tapi entah kenapa, aku merasa kau juga sempat melihat wajahku saat itu."

Mendengar suara Manty yang datar dan dingin membuat David bergidik. Seolah gadis di hadapannya itu bisa saja mencabiknya secara tiba-tiba. Mata David berkedip berkali-kali, lalu pandangannya dialihkan ke tempat lain. Ke mana pun, asal tidak ke mata Manty. Di sana terlalu mengerikan. David tidak berhenti menyusur segala tempat dengan pandangannya hingga rasanya dia benar-benar tidak sanggup lagi bertahan.

"Maaf, tapi aku harus pergi sekarang juga." Lalu David berbalik cepat meninggalkan Manty.

"Mungkin kau takut. Tapi tenang, aku tidak akan mengotori tanganku dengan melakukan hal yang pernah kau perbuat itu."

UcapanManty itu menohok David. Menusuk hatinya dan membuat lubang yang sangat dalamdi sana. David menutup matanya erat. Napas beratnya diembuskan perlahan. Laludia melangkahkan kakinya dengan beribu penyesalan kali ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro