Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23

Wajah Jave jelas terlihat bingung. Dia tidak mengerti dengan kepergian David yang begitu tiba-tiba. Selama obrolan mereka di perjalanan, temannya itu berkata tidak ada urusan apa-apa dan bisa ikut ke sini. Tapi kenapa sekarang dia pergi begitu saja? Jave membalikkan tubuhnya dan menemukan Manty di hadapannya. Ekspresi gadisnya pun membuatnya tidak mengerti sama sekali.

"Ada apa, Clam?" tanya Jave penasaran.

"Ah... tidak," jawab Manty sambil menggeleng pelan.

Walau berkata tidak ada apa-apa, tapi Jave bisa melihat kerutan di wajah Manty yang belum menghilang. Jave baru membuka mulutnya dan hendak bertanya lebih lanjut, tapi gerakannya itu dihentikan oleh dering teleponnya. Jave menjawab teleponnya, tapi matanya tidak berpaling dari Manty.

"Baiklah," jawab Jave mengakhiri pembicaraan di telepon. Lalu dia menoleh ke arah Manty dan berkata, "Maaf, Clam. Ibuku memintaku menemuinya sekarang. Aku akan kembali lagi nanti malam."

Manty tidak merespons. Dan itu membuat Jave memanggilnya berkali-kali hingga akhirnya dia tersentak, seolah baru kembali dari lamunannya. "Ah... tidak usah. Kita bisa bertemu besok saja."

Alis Jave bertaut. "Kenapa?"

"Umm... tidak ada apa-apa. Hanya saja, kau sepertinya sudah cukup lelah bolak-balik sejak tadi. Lagipula kita tidak punya rencana apa-apa. Jadi lebih baik besok saja kau kembali."

Walau sempat ingin mendebat, tapi akhirnya Jave memilih mengikuti saran Manty. Dia segera keluar dari toko setelah mengucapkan sampai jumpa. Beberapa saat dia berdiri di luar, mengamati keadaan Manty dari sana. Dan perasaan tidak enak menguasainya seketika.

"Kau mengenal orang tadi, Jenn?" tanya Manty ketika Jave sudah keluar dari sana.

"Orang yang bersama Jave barusan?" Manty mengangguk, dan Jenn melanjutkan, "Iya, dia David yang kuceritakan barusan."

"Kau punya fotonya?"

Jenn mengangguk. "Kami sempat berfoto bersama waktu liburan."

"Bisa aku melihatnya?" tanya Manty.

Jenn terlihat bingung, tapi akhirnya dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Dia terlihat menekan layar sentuh ponselnya beberapa kali, lalu menyodorkan ponsel itu ke hadapan Manty. Dan saat Manty melihat rupa orang yang ada di layar itu, jantungnya berdetak sangat kencang.

Berulang kali Manty menyipitkan matanya. Dia meraih ponsel itu dan memperbesar foto yang ditampilkan di sana. Dia harus benar-benar memastikan apa yang dilihatnya saat ini. Manty memejamkan matanya setelah mendapat gambaran yang paling jelas. Berusaha mengingat dengan jelas kejadian waktu itu. Pejaman di matanya semakin mengerat, bibir bawahnya pun digigit sekuat tenaga. Tidak salah lagi, dia orangnya.

"Ada apa, Manty?" tanya Jenn saat melihat ekspresi Manty.

Manty tidak menjawab sedikit pun. Dia hanya berusaha sekuat tenaga untuk membuka matanya. Dan suara deru napasnya terdengar kencang setelah dia berhasil membuka mata. Kepalanya didongakkan dan dadanya masih bergerak naik turun tak keruan. Tanpa memedulikan siapa pun lagi, dia bergerak ke meja tempatnya mengerjakan rangkaian bunga tadi. Dia segera meraih kopi Louie yang tergeletak di atas meja dan menghabiskannya dalam sekali teguk.

"Hei, Manty! Ada apa denganmu?" tanya Louie panik.

Manty tidak menjawab. Matanya menatap kosong ke arah dinding di hadapannya. Dia sendiri belum mengerti apa-apa saat ini. Dia hanya bisa berharap, apa yang diingatnya barusan merupakan sebuah kesalahan. Karena kalau itu benar, dia tidak yakin bisa bertahan dengan baik. Apalagi di sisi Jave.

***

Manty berdiri diam di teras rumahnya. Matanya menatap tajam ke depan tanpa fokus. Di tangan kanannya terdapat sebuah gelas yang masih lengkap dengan asap mengebul. Sesekali, dia menyesap isi dari gelas yang digenggamnya itu. Matanya tidak berpindah. Wajahnya pun tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

"Kopi lagi?" tanya Louie sambil memantapkan posisi di sebelah Manty.

Manty menoleh pelan dan melemparkan senyum formalitas. Kemudian kembali menghadapkan wajahnya ke depan dan mengunci mulutnya rapat-rapat. Suasana saat ini sangat hening. Bahkan angin yang berhembus di antara mereka pun terdengar begitu nyaring. Louie mendesah melihat keadaan Manty yang seperti ini.

"Kau kenapa, Manty? Jangan katakan tidak terjadi apa-apa, karena aku tidak akan percaya! Kau meminum kopi untuk kesekian kalinya hari ini, jadi jangan coba-coba berbohong padaku. Apa ini tentang ayahmu?"

Manty menggeleng pelan. Kepalanya diangkat perlahan hingga akhirnya mendongak sempurna. Mulutnya terbuka dan kepulan asap tipis terlihat di sana, seiring terdengarnya suara desahan napasnya. Saat ini dia tidak ingin berbicara sedikit pun, pada siapa pun. Yang dia inginkan hanya ketenangan untuk bisa berpikir dengan jernih.

"Kau tahu, Manty. Kau selalu diam kalau ada masalah. Dan aku benci itu," ujar Louie tajam.

Kali ini ucapan Louie mampu membuat Manty menoleh. Lalu dia kembali mengembuskan napas sebelum berkata, "Maaf, Louie. Bukannya aku tidak ingin menceritakannya. Hanya saja, saat ini aku masih bingung. Aku sendiri masih tidak mengerti dengan semua ini. Akan kuceritakan bila semuanya sudah terbukti."

Kening Louie berkerut mendengar penjelasan Manty. Tidak ada satu pun kata-kata Manty yang bisa dimengerti olehnya. Manty baru akan bercerita bila semuanya sudah terbukti? Apa yang akan terbukti? Ada masalah apa sebenarnya? Semua pertanyaan itu melintas begitu cepat dan tidak menemukan jawaban.

Tiba-tiba ponsel Manty berdering. Louie sontak menoleh dan menemukan Manty yang masih berdiam diri. Setelah beberapa saat, barulah Manty merogoh saku dan mengeluarkan ponsel itu. Manty menatap layar ponselnya cukup lama, lalu menekan satu tombol di bagian samping dan ponsel itu pun kembali gelap.

Hal itu terjadi berulang kali dan membuat Louie tidak tahan untuk bertanya, "Kenapa tidak kau angkat teleponnya? Itu dari Jave, kan?"

"Aku hanya melakukan kebiasaanku."

Louie bersedekap dan memandang Manty kesal. "Jangan terlalu banyak berpikir, Manty. Atau kau akan menyesal nantinya karena menyia-nyiakan lelaki sebaik Jave. Ingat, masalah hati bukanlah hal yang bisa kau kontrol selamanya. Jangan sampai kau melakukan hal bodoh yang bisa membuatmu kehilangan hal terbaik yang sudah kau miliki."

Ucapan Louie terdengar begitu tajam di telinga Manty. Mungkin saja itu benar. Mungkin saja. Tapi saat ini, semuanya terasa begitu gamang baginya. Dia tidak bisa menggunakan logika ataupun perasaannya, karena semuanya kosong saat ini. Hampa. Hingga ketakutan itu menelannya dalam-dalam. Membuatnya terperangkap di jurang masa lalu yang ternyata belum tertutup sepenuhnya.

***

Manty melangkahkan kakinya keluar rumah dengan ragu. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya hari ini. Dia ingin menghindari Jave. Tapi mungkinkah? Bila kenyataannya lelaki itu terus menemuinya. Bahkan meneleponnya tanpa henti tadi malam. Manty mengeluarkan ponsel dari sakunya, berniat mematikan benda itu. Tapi sebelum sempat menekan tombol apa pun, ponsel itu sudah terlebih dulu berdering.

Tadinya Manty berniat langsung mematikan ponsel itu, karena dia mengira Jave yang menelepon. Tapi begitu nomor tidak dikenal muncul di layar, keningnya langsung berkerut. Rasa penasaran membawanya pada suara seorang wanita di seberang sana. Matanya membelalak seketika saat wanita itu menyelesaikan penuturannya.

Tanpa pikir panjang lagi, Manty langsung menghentikan taksi yang melintas saat itu. Setelah mengucapkan alamat yang ingin ditujunya, Manty meminta pengendara taksi itu untuk mempercepat laju mobil. Otaknya tidak bisa lagi memikirkan apa pun saat ini. Tangannya yang dibekap di mulut bergetar hebat.

Tidak sampai lima belas menit, Manty sudah tiba di sebuah gedung berwarna putih. Segera setelah menutup pintu taksi, dia berlari sekencang mungkin. Bertanya di sana sini dan kini berlari menaiki tangga. Kakinya terus dipacu untuk berlari kencang hingga kini dia berada di depan sebuah ruangan yang terbuka.

"Anda Akira Clamanty?" tanya seseorang yang keluar dari ruangan itu.

Manty mengangguk pelan. Tubuhnya masih bergetar, begitu pula dengan detak jantungnya. "Bagaimana keadaannya?"

"Dia baru saja mendapat penanganan. Masa kritisnya baru bisa dipastikan telah lewat saat dia sadar nanti."

"Apa aku bisa masuk ke sana?"

"Tentu. Silakan," jawab suster itu sambil memiringkan badannya, memberi ruang lebih bagi Manty untuk masuk ke dalam. Setelah itu, dia melangkah keluar dan menutup pintu itu rapat.

Manty bergerak pelan menuju ranjang di hadapannya. Matanya tidak bisa melihat apa pun saat ini. Semuanya terlalu kabur. Begitu juga perasaannya. Di antara semua kekalutan yang dirasakannya, hal ini sungguh memperburuk keadaan. Membuat hatinya semakin remuk dan tidak bisa digapai.

Tangannya dijulurkan pelan ke depan, meraih wajah yang terlihat pucat di depan sana. Jelas ada kesedihan di hatinya, tapi tidak satu tetes air mata pun terlihat di sana. Bahkan dia sendiri menantikannya. Saat terlalu sedih, air mata mungkin menjadi sesuatu yang paling dibutuhkan. Setidaknya, itu akan mencuci semua kesedihan yang ada di dalam hati.

"Akutidak akan memaafkanmu bila kau tidak sembuh. Berjanjilah, kau harus sembuh."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro