Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22

Hari baru telah datang, membawa suasana menyenangkan tersendiri bagi Manty. Tidak pernah dia duga sebelumnya kalau berdamai dengan masa lalu bisa membawa ketenangan yang sangat menyenangkan, seolah beban yang sangat berat baru saja diangkat darinya. Berkat Jave, dia bisa kembali berdamai dengan bunga matahari dan kembali memuja bunga itu tanpa hambatan.

Beberapa langkah lagi Manty akan sampai di Viccla Florist. Selama beberapa hari ini, dia dan Louie tidak lagi berangkat bersama. Biasanya Steve sudah terlebih dulu menjemput Louie untuk sarapan atau sekadar mencari alasan supaya punya waktu berdua. Walau merindukan kebersamaannya dengan Louie, Manty tetap bisa memahami keadaan itu.

Tepat sebelum dirinya membuka pintu, suara yang amat dikenalnya terdengar dari seberang. Manty menoleh cepat dan melontarkan senyum terbaik yang dimilikinya. Begitu pula dengan orang di seberang sana. Sambil mengangkat sebuah kantung berwarna cokelat, Jave tersenyum lebar dan segera mendatangi Manty.

"Kita akan sarapan. Tapi bukan di sini. Ayo ikut aku, Clam!"

Jave langsung menarik tangan Manty dan membuat dirinya yang tidak punya persiapan apa-apa terhuyung ke depan dengan kencang. Beruntung genggamannya di tangan Jave kencang, bila tidak, wajahnya sudah dipastikan akan menjadi rata karena terkena aspal. Manty mengikuti Jave dengan bingung hingga mereka tiba di sebuah taman kecil tidak jauh dari sana.

"Kenapa kau selalu melakukan sesuatu yang tidak kuduga, juga tanpa izin, May?" tanya Manty dengan suara seolah marah.

"Karena tugasku adalah memberimu kejutan," jawab Jave sambil menyeringai.

Manty mendengus lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tempat ini yang didatangi bersama ayahnya kemarin. Sejenak perasaan keruh tercampur dalam suasana hati yang sedang baik ini. Tapi Manty tidak membiarkannya bertahan lama. Dia segera mengusir perasaan itu dan memilih memandangi Jave. Setidaknya, melihat wajah lelaki itu bisa membuatnya merasakan ketenangan.

"Jadi apa yang kau bawa untuk sarapan ini?" tanya Manty.

"Sandwich spesial untukmu, Clam." Jave tersenyum bangga.

"Sandwich? Apanya yang spesial dari sandwich?"

"Spesial karena aku yang membuatnya. Makanlah. Kau akan percaya kalau rasanya benar-benar spesial. Kau sudah merasakan panekuk buatanku, dan aku jamin, sandwich ini tidak akan kalah enak."

Manty menatap Jave dengan mata disipitkan. Seperti biasa, Jave selalu terdengar percaya diri. Tapi terkadang kepercayaan dirinya itu memang terbukti benar. Manty meraih sandwich yang diberikan Jave dan menggigit ujungnya. Baru di ujung dan raut wajah Manty sudah berubah. Matanya melebar seketika.

"Dari ekspresimu, aku sudah tahu kalau sandwich ini sangat enak, bukan?"

Manty mengangguk mantap. Kali ini dia tidak bisa lagi berkelit. "Apa yang kau tambahkan ke dalam sandwich ini? Kenapa ini bisa begitu enak?"

"Cinta sepenuh hati," jawab Jave santai.

Manty memutar bola matanya dan mendengus. Sedangkan Jave justru tergelak melihat tingkah gadisnya itu. Walau merasa ucapan Jave tadi sangatlah gombal, tapi Manty tidak berniat mendebat. Pikirannya saat ini sedang tertuju pada sandwich di depannya yang terlalu enak untuk dihabiskan nanti.

"Nanti aku akan menjemput temanku di bandara. Kau mau ikut, Clam?"

"Bandara... sepertinya tidak bisa. Banyak sekali pesanan bunga yang harus kami selesaikan hari ini."

"Hmm... sayang sekali. Aku bisa mati bosan selama perjalanan nanti."

"Bukankah sebelum mengenalku kau juga sudah terbiasa pergi sendirian?"

Jave mendesis. "Kau meledekku lagi?"

Manty tertawa kecil. "Itu pilihanmu untuk merasa diledek."

"Baiklah, aku selalu kalah denganmu, Clam."

***

Jave mengantarkan Manty kembali ke Viccla Florist dan segera pamit. Manty melambaikan tangannya sambil tersenyum mengiring langkah Jave yang menjauh. Tapi lagi-lagi, sebelum sempat mendorong pintu di depannya, Manty mendengar namanya dipanggil. Tapi kali ini Manty memilih tidak menoleh.

"Apa yang kau inginkan? Kenapa datang lagi ke sini?"

"Karena kita belum selesai bicara, Akira. Kau belum mendengar penjelasanku."

Manty bersedekap dan mendesah malas. Setelah beberapa saat berdiam diri, dia baru menoleh perlahan, menatap wajah di hadapannya yang kembali menorehkan luka. Kalau saja bukan karena takut Louie atau yang lainnya keluar dan melihat kejadian ini, dia tidak akan pernah meladeni orang di hadapannya.

"Aku tidak akan pernah mendengar penjelasanmu, Mister. Aku juga tidak butuh itu. Harusnya kau tahu siapa yang lebih membutuhkannya," ujar Manty dingin.

Allegio menghela napas panjang. "Aku tahu yang kau maksud pasti ibumu. Tapi aku belum bisa kembali saat ini, Akira."

"Belum bisa kembali?" Manty menaikkan sebelah alisnya. "Aku bahkan tidak berharap kau kembali setelah mengkhianatinya."

"Aku pasti akan kembali, Akira. Aku akan kembali padanya."

Mendengar itu, amarah Manty melonjak. Darahnya seakan berdesir cepat. "Kau pikir Okaa-san itu tempat sampahmu? Kau pergi dan bersenang-senang dengan wanita lain dan akan kembali padanya? Lebih baik kau tidak kembali dan menyakitinya lagi. Atau aku sendiri yang akan bertindak melawanmu nanti!"

Manty melanjutkan langkahnya dan bersiap membuka pintu di hadapannya. Tidak dihiraukannya lagi suara ayahnya yang berteriak memanggil namanya di belakang. Tapi sebelum benar-benar membuka pintu itu, suatu hal melintas di kepalanya. Membuatnya menoleh cepat dengan tatapan tajam.

"Jangan berani masuk ke dalam! Juga jangan kembali lagi mengusik hidupku dan Okaa-san. Kalau kau ingin kami bahagia, lakukan saja itu."

***

"Jave tidak ke sini, Manty?" tanya Louie begitu Manty masuk ke dalam toko.

"Dia menjemput temannya di bandara," jawab Manty singkat. "Lalu di mana Steve? Dia juga tidak ke sini?"

"Dia sedang mengurus pekerjaan. Setelah selesai nanti baru ke sini."

Manty mengangguk-angguk, lalu berjalan pelan menuju tempat Louie duduk dan menempatkan diri di sebelahnya. Sesaat mereka berdua larut dalam pekerjaan. Masing-masing merangkai bunga di hadapannya dan tidak butuh waktu lama semua sudah terselesaikan. Pesanan hari ini memang banyak dan kenyataannya itu benar-benar membuat mereka sibuk.

"Kau mau minum, Manty?" tanya Louie sambil berdiri.

"Ya, sepertinya aku butuh air putih," jawab Manty. Dan setelah mengangguk, Louie berjalan menuju ruang belakang dan membawa dua gelas minuman.

"Kau minum kopi lagi, Louie?"

"Memangnya kenapa? Aku bukan dirimu yang minum kopi hanya saat suasana hati buruk," sindir Louie.

"Kau tahu air putih lebih sehat," sahut Manty sambil mengangkat gelasnya.

Louie mendengus dan hendak mendebat, tapi tiba-tiba terdengar suara lain di toko ini, membuat mereka berdua menoleh serempak. Kening mereka berkerut saat saling memandang. Jenn terdengar sedang berbicara di telepon. Wajahnya terlihat begitu ceria. Manty menggerakkan alisnya, seolah bertanya pada Louie. Tapi Louie hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.

"Kau sudah sampai? Syukurlah... Kau ingin kita bertemu? Sekarang? Aku tidak akan bisa pergi sekarang... Oh, nanti malam. Ya, tentu saja aku bisa... Oke, selamat beristirahat. Sampai jumpa nanti malam."

"Sepertinya kau sering menerima telepon sejak pulang dari liburan, Jenn. Apakah itu orang yang sama?" tanya Louie begitu Jenn menutup teleponnya. Manty yang juga penasaran hanya duduk diam di samping dan menunggu jawaban Jenn.

Jenn tersenyum penuh arti lalu menjawab, "Kau benar! Dia seseorang yang spesial, yang bertemu denganku saat kita liburan di pantai kemarin. Di sana kami berkenalan dan kami jadi sering berkomunikasi setelahnya."

Manty mengangguk-angguk. "Kau yakin dia orang yang baik?"

Louie seketika menoleh ke arah Manty. Tidak biasanya Manty akan bertanya seperti itu. Manty tampak berpikir saat mendapat tatapan bingung dari Louie. Dia sendiri tidak mengerti kenapa bertanya seperti itu. Tapi itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya, mungkin dia hanya ingin memastikan Jenn juga mendapatkan lelaki yang baik.

"Walau belum lama mengenalnya, tapi aku bisa merasa dia adalah lelaki yang baik." Senyum Jenn masih mengembang, membuat Louie dan Manty tertular.

Saat mereka sedang terdiam sejenak, tiba-tiba terdengar suara mesin mobil di depan. Sepertinya seseorang baru saja memarkirkan mobilnya di depan toko. Mereka bertiga serentak melihat ke depan dengan mata memicing. Dan tidak lama kemudian, Jave masuk dan menjawab semua pertanyaan mereka.

"Clam, aku membawa temanku ke sini. Masuklah," ujar Jave sambil menoleh ke belakang.

Manty tersenyum singkat lalu memajukan kepalanya, berusaha melihat teman yang dimaksud Jave. Tapi orang itu belum juga menampakkan diri. Dan saat Manty menyipitkan matanya untuk memperjelas penglihatan, dia menangkap sesosok yang membuat keningnya berkerut. Wajah itu terasa tidak asing. Tidak sering, tapi Manty yakin pernah melihatnya walau hanya satu kali. Mungkinkah?

David melangkahkan kaki dan sudah hampir masuk ke dalam toko. Tapi saat dia melihat ke dalam dan menemukan wajah yang sepertinya pernah dilihatnya, langkahnya terhenti. Sesaat dia mematung. Matanya memicing, berusaha memperjelas wajah di depan sana. Dan setelah yakin, dia mundur selangkah.

"Aku harus pergi, Jave. Lain kali saja." Lalu David berputar dan benar-benar menghilang dari sana.

"Bukankahitu David?" ujar Jenn pelan saat melihat David melangkah pergi. Manty bisamendengar kata-kata Jenn, dan itu membuat keningnya kembali berkerut.

Ibu, bahasa Jepang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro