21
"Clam ada di mana, Louie?" tanya Jave begitu memasuki Viccla Florist.
Melihat Manty tidak ada di sana begitu mengejutkan baginya. Dia dan Steve baru saja kembali dari membeli sarapan untuk mereka semua, dan itu tidak memakan waktu yang lama. Benar-benar hanya sebentar dan Manty sudah menghilang sekarang. Mungkin setelah mem-perlihatkan ekspresi seperti itu, dirinya akan dianggap kekasih yang posesif oleh Louie. Tapi siapa peduli, dia hanya mengkhawatirkan Manty karena perasaan aneh mulai menguasainya.
"Dia pergi dengan seorang lelaki paruh baya. Dia tidak menjawab saat kutanya, jadi aku pun tidak tahu siapa lelaki itu."
"Lelaki paruh baya?" Jave berpikir sejenak. "Mungkinkah... ayahnya?"
Louie dan Steve menoleh bersamaan. Mereka saling tatap dengan alis terangkat dan kening berkerut. "Ayah Manty ada di sini? Selama ini kami tidak pernah mendengar tentang ayah ataupun keluarganya," ujar Steve yang disetujui Louie.
"Yang aku tahu, keluarga Manty ada di Jepang. Apa mungkin mereka sedang berlibur di sini?" Louie mencoba menerka-nerka.
Jave menggaruk-garuk kepalanya pelan. Keningnya berkerut dalam. "Aku tidak begitu yakin. Kami bertemu saat liburan kemarin. Tapi sikap Clam tidak ramah. Terlihat sama seperti pertama kali bertemu denganku."
Lalu mereka terdiam. Masing-masing memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Menerka-nerka segala hal yang terlintas di otak mereka. Namun tidak ada satu pun yang menemukan hasil. Mereka terlalu buntu tentang masalah ini. Dan mereka masih larut dalam keheningan hingga ponsel Jave memecahkannya.
Jave segera merogoh saku, dan mengeluarkan ponselnya. Dia berharap yang menelepon adalah Manty, begitu juga dengan Louie dan Steve. Tapi begitu melihat nama yang tertera di layar, dia langsung menggeleng, memberi isyarat pada Louie dan Steve kalau itu tidak sesuai yang mereka harapkan.
"Kau ke mana saja, David? Teman macam apa yang menghilang tanpa kabar seperti ini?" cecar Jave setelah mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya.
Sementara David yang berada di ujung telepon sana tergelak. "Kau masih saja begitu banyak bicara, Jave. Aku hanya menunggu situasi aman."
"Aman? Aman dari apa? Di sini sangat damai, Dav. Tidak ada bencana, atau bom, atau apa pun yang bisa mengganggu keamananmu. Jadi apa yang kau tunggu? Kapan kau akan kembali?"
"Minggu depan. Aku akan kembali minggu depan, Jave. Lebih baik kau tidak lupa untuk menjemputku," jawab David sambil tertawa.
"Minggu depan ya... Aku akan melihat jadwalku dulu," canda Jave. "Lalu di mana kau sekarang?"
"Di suatu tempat yang aman. Nanti saat aku kembali, sudah dapat dipastikan kalau Pittsford juga merupakan tempat yang aman."
Jave memutar bola matanya. "Lagi-lagi aman. Kau benar-benar tidak mau memberitahu di mana keberadaanmu sekarang?"
"Tidak. Baiklah, aku akan menutup teleponnya. Sampai jumpa minggu depan, Jave!"
Jave mendecak begitu David memutuskan panggilan. Dia menatap ponselnya dan menggerutu sendiri. Begitu larut dalam kegiatan itu hingga tidak menyadari Manty sudah berdiri di sebelahnya dan memperhatikannya lekat-lekat sambil tertawa.
"Siapa yang kau omeli, May?" tanya Manty, membuat Jave tersentak.
"Kau membuatku kaget, Clam. Sejak kapan kau ada di sini? Dan ke mana saja kau? Baru kutinggal sebentar dan kau sudah menghilang."
Manty menggeleng sambil tertawa. "Mulutmu benar-benar tidak bisa direm sepertinya. Kau terdengar seperti seorang kakek yang posesif sekarang ini."
Jave melihat Manty yang berlalu di depannya dengan bingung sambil berkata, "Kakek yang posesif? Lebih cocok kau sebut diriku sebagai kekasih yang posesif, Clam!"
***
"Kau ke mana tadi, Manty?" tanya Louie begitu Manty membuka pintu.
Mendengar pertanyaan itu, Manty malah tertawa lalu menggeleng-geleng. "Kenapa hari ini kalian jadi sangat posesif? Yang satu sudah kunobatkan sebagai kakek yang posesif, maka kau cocok menjadi nenek, Louie." Manty segera menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Kuharap kau tidak marah padaku karena memanggil May dan Louie sebagai kakek dan nenek, Steve. Aku jamin, May tidak akan merebut Louie darimu."
Jave, Louie dan Steve terdiam, lalu saling menatap. Masing-masing menyiratkan ke-bingungan. Pertanyaan yang sama tergambar jelas di wajah mereka. Apa yang terjadi pada Manty? Kenapa dia bersikap seperti itu? Mungkin ada yang ingin mengatakan padanya kalau yang diucapkannya tidak lucu, namun semuanya menutup mulut rapat-rapat.
"Tidak. Tentu tidak. Itu tidak akan mungkin. Tenang saja, Steve. Dan kau juga, Clam. Tenang saja, aku tidak akan berpaling," sahut Jave sambil mengerlingkan matanya.
Manty kembali tertawa kecil. "Kau benar-benar baik padaku, May. Terima kasih sudah menanggapi gurauanku yang tidak lucu itu. Aku sangat menghargainya. Dan percayalah ini, aku sangat terharu."
Louie menatap Manty dengan bingung, sekaligus prihatin. Saat ini Manty dalam keadaan sadar, tapi kenapa cara bicaranya terdengar seperti orang yang sedang mabuk? Apa yang sebenarnya terjadi pada Manty? Kenapa sahabatnya ini tidak pernah menceritakan apa pun? Semua pertanyaan itu begitu berkecamuk di pikiran Louie, membawanya ke dalam sebuah ruang kosong yang tidak bisa ditembusnya.
"Jadi yang tadi itu siapa, Manty?" Louie masih tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Ayahku," jawab Manty singkat. Tidak ada petunjuk apa pun di wajahnya. Ekspresinya datar.
"Ayahmu? Kenapa kau tidak pernah menceritakannya? Kapan dia datang? Sedang berlibur?" cecar Louie.
"Karena memang tidak ada yang bisa diceritakan darinya," jawab Manty sambil berlalu. Kemudian dia bergerak meraih kantung yang diletakkan di meja tinggi. "Ini sarapan untuk kita? Ayo, makan."
Louie masih menatap Manty dengan saksama. Memperhatikan ekspresi sahabatnya itu, tapi dia tidak bisa menemukan apa pun. Wajahnya terlihat begitu datar, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi. Padahal Louie yakin, pasti ada sesuatu. Pasti ayahnya itu membawa masalah tersendiri bagi Manty. Jave dan Steve ikut duduk di bangku depan meja tinggi, sementara Louie berjalan lurus ke depan dan masuk ke ruang belakang.
"Mungkin kau ingin kopi, Manty?" tawar Louie.
Manty segera menoleh dan tersenyum tulus. "Tidak saat ini, Louie."
"Kau yakin?"
"Sangat!" jawab Manty mantap. "Saat ini suasana hatiku sedang baik. Sama sekali tidak buruk."
Louie masih menatap Manty cukup lama, namun akhirnya dia mengangkat bahunya, menyerah. Lalu menyodorkan kopi itu pada Steve. Manty masih mempertahankan senyum di wajahnya, walau mungkin itu senyum palsu. Kalau saja bisa, dia sangat ingin mengambil kopi itu dan langsung meneguknya sampai habis. Sayangnya, tidak ada yang perlu tahu saat ini. Dia tidak harus merusak suasana baik seperti sekarang ini.
"Louie, apa nanti aku bisa mencuri Clam selama beberapa jam?" tanya Jave, membuat Manty sontak menoleh dengan wajah bingung. Tapi Louie mengangguk mantap sambil tersenyum penuh arti. Dan itu membuat Jave bersorak, menghilangkan keheningan yang sempat menguasai toko ini.
***
Manty duduk di sebelah Jave dengan otak penuh pertanyaan. Sejak meminta izin pada Louie untuk mencurinya selama beberapa jam, Jave belum memberitahu sedikit pun tempat yang akan mereka datangi. Manty menoleh pelan, dan melihat Jave mengemudi dengan tampang serius. Tapi tunggu. Ada sebersit senyum mencurigakan yang Manty tangkap barusan.
"Kau mau membawaku ke mana sebenarnya?" tanya Manty. Dia tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
Jave kembali tersenyum. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya. "Kau akan tahu nanti. Bersabarlah."
"Hei! Kau tidak bisa menyembunyikan tujuan padaku. Aku harus tahu kau akan mem-bawaku ke mana!"
"Kenapa? Aku tidak akan menculikmu. Lagipula, kau juga pasti akan suka bila kuculik," jawab Jave sambil tersenyum jahil.
Manty merengut mendengar jawaban Jave tadi. Dia bersedekap dan mulai memalingkan wajahnya ke kaca. Didengarnya dari samping ada suara cukup ribut. Keningnya berkerut memikirkan apa yang terjadi. Tidak lama kemudian terdengar Jave memanggil-manggil namanya. Sepertinya dia mulai bisa membaca situasi saat ini.
Jave terus memanggil Manty, tapi dirinya tidak berniat bergerak, ataupun sekadar memalingkan wajah. Mengeluarkan gumaman saja tidak dilakukannya saat ini. Dia sedang berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawanya. Senyumnya sejak tadi sudah mengembang lebar, apalagi mendengar nada bicara Jave yang semakin panik.
"Kau sungguh-sungguh marah, Clam? Oh Tuhan... aku hanya bercanda. Benar-benar bercanda, Clam. Apa kau semudah itu tersinggung?"
Kali ini Manty tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia segera menoleh dan mendapati wajah Jave yang terlihat sangat memelas. Sontak di saat itu juga tawanya yang ditahannya sejak tadi pecah. Dia mendekap mulutnya, tapi suara gelak tawanya terlalu besar untuk bisa ditutupi.
"Kau... sedang mengerjaiku?" tanya Jave sambil menyipitkan mata.
"Kau harus melihat ekspresimu tadi. Benar-benar lucu! Harusnya aku merekamnya tadi," ujar Manty masih sambil mendekap mulut, memperkecil suara tawanya.
"Kau akan merasakan akibatnya nanti, Clam. Aku tidak akan membiarkanmu lepas nanti," ancam Jave.
"Benarkah? Memangnya apa yang bisa kaulakukan? Aku sudah pasti bisa melepaskan diri dan kembali ke rumah bersama Louie."
"Bukan tentang hari ini. Tapi selamanya. Aku tidak akan membiarkanmu lepas dari diriku selamanya, Clam. Aku akan menahanmu untuk hidup bersama denganku. Selamanya."
Mungkin Jave mengatakannya dengan santai, tapi itu menimbulkan efek yang luar biasa pada Manty. Detak jantungnya melonjak seketika. Dan seluru tubuhnya terasa panas. Seolah dia sedang berada di bawah matahari yang begitu panas saat ini. Merasa tidak ada respons sedikit pun dari Manty, Jave menoleh pelan lalu tergelak.
"Ucapanku terlalu romantis, ya? Wajahmu sampai merah seperti itu, Clam. Kau harus melihat ekspresimu tadi." Jave mengulang kata-kata Manty.
Tangan Manty langsung bergerak menangkup wajahnya setelah mendengar ucapan Jave tadi. Benar saja, wajahnya terasa begitu panas saat ini. Dia yakin ucapan Jave yang tadi itu benar. Tanpa bisa memberikan reaksi apa-apa lagi, Manty memilih menunduk. Wajahnya dibenamkan ke bawah begitu dalam hingga Jave mengajaknya turun dari mobil.
"Kebun bungamu?" tanya Manty heran.
Jave mengangguk sambil tersenyum. Lalu Manty meraih tangan Jave yang terjulur dan berjalan beriringan dengannya memasuki kawasan kebun bunga yang sudah pernah mereka datangi bersama. Bedanya, dulu Manty masih sangat dingin pada Jave. Sedangkan kini, lelaki itu sudah menjadi salah satu bagian dari kebahagiaannya.
Jave menghentikan langkahnya di depan sebuah persimpangan. Dia berpikir sejenak, membuat Manty bingung. Tapi belum sempat Manty mengeluarkan pertanyaan yang ingin dilontarkannya, Jave sudah terlebih dulu kembali melangkahkan kakinya. Dan kini, mereka berdiri di hadapan kebun bunga matahari yang luas.
"Aku ingin kau berdamai dengannya," ujar Jave.
"Kenapa aku harus?"
"Karena aku menyukainya." Manty menoleh cepat dengan mata disipitkan. Jave tersenyum lebar lalu berkata, "Bercanda. Aku bukan orang yang otoriter. Kau tidak perlu menyukai segala hal yang kusukai. Tapi kau jangan membohongi diri sendiri dengan menolak sesuatu yang dulu kau puja hanya karena masa lalu. Dia tidak bersalah, Clam."
"Kenapa kau menyukainya?"
"Karena aku mengenal keindahan dan filosofinya yang menakjubkan dari ayahku. Dia pemuja bunga ini. Dan aku pemujanya," jelas Jave. Manty bisa melihat sorot kagum yang dalam di mata Jave. Dia benar-benar memuja ayahnya.
LaluJave maju ke depan Manty dan mengulurkan tangannya. Perlahan, dengan agak ragu,Manty menyambut tangan itu dan berjalan semakin masuk hingga dirinya kiniberada di kerumunan bunga matahari. Untuk pertama kalinya setelah lebih daridua tahun, dia akhirnya berdamai dan kembali menghirup aroma bunga itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro