Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2

"Ayo!" seru Louie pada Manty yang masih diam saja di depan pintu. Tahu kalau Manty tidak akan merespons, Louie langsung menarik tangan sahabatnya itu hingga mereka berdua berada di luar sekarang.

Manty menengadah ke langit lalu melihat sekitar. Saat itu juga perasaan aneh menjalarinya. Semua terasa begitu asing. Seolah ada singa yang mengaum-ngaum di sekitarnya dan siap menerjang kapan pun dia lengah. Bulu kuduknya seketika meremang saat membayangkan itu semua. Dia langsung berbalik, tapi Louie segera menghadang langkahnya setelah selesai mengunci rumah kecil yang mereka tempati.
"Tidak apa, Manty. Tidak akan ada yang menggigitmu," ujar Louie setengah bercanda, seolah bisa membaca pikiran Manty.

Raut wajah Manty masih dipenuhi ketakutan. Tenggorokannya bergerak dengan susah payah untuk sekadar menelan ludah. Sungguh, bibirnya terasa begitu kering saat ini. Padahal belum sampai lima menit dia berada di luar. Sejenak, Manty merasa telah mengambil keputusan yang salah. Tidak seharusnya dia menuruti Louie dan berada di luar. Namun semua sudah terlambat. Dia tahu itu saat Louie menarik tangannya dan membawanya melangkah menjauh dari rumah yang selama ini menjadi tempatnya mendekam.

Belum jauh mereka melangkah, namun Louie sudah merasakan sesuatu yang aneh. Genggaman Manty pada tangannya mengerat. Louie mengedarkan pandangan dan segera sadar, ini tempat peristiwa mengenaskan itu terjadi. Manty menahan napasnya dalam, Louie bisa melihat itu dengan jelas.

Dan sebelum ingatan mengerikan itu kembali merasuk ke dalam otak Manty, tubuhnya sudah terlebih dahulu terhuyung ke depan. Dia menoleh sekilas dan melihat Louie tersenyum ke arahnya sambil terus berlari kencang. Tangan mereka yang saling terkait membuat Manty mau tidak mau ikut berlari bersama Louie.

"Sudah kubilang tidak akan ada yang menggigitmu. Termasuk bayangan itu sekalipun," kata Louie sambil berlalu. Manty tersenyum menanggapi ucapan Louie. Tapi secepat angin berlalu, secepat itu pula senyum Manty meninggalkan wajahnya.

Melihat kafe di sampingnya membuat paru-paru Manty kosong. Dia meraba-raba napasnya, tapi tidak berhasil menemukan apapun. Tidak. Tidak sedikit pun, sampai suatu bayangan melintasi otaknya. Menghempas tubuhnya hingga terbaring tak berdaya di kilasan masa lalu. Masa di mana Kean masih di sisinya. Saat di mana lelaki itu melamarnya, di kafe itu.

"Kau sedang berusaha menggodaku, bukan?" tanya Manty sambil tertawa kecil.

"Tidak. Sungguh. Aku hanya berkata aku menyukai ekpresimu saat melihat bunga matahari, dan itu kenyataan. Kau terlihat begitu ceria, seperti anak kecil mendapatkan mainan baru," sahut Kean. Matanya memancarkan kesungguhan.

Senyum Manty kembali merekah saat menatap bunga matahari yang baru saja diberikan Kean. Lelaki itu memang selalu tahu bagaimana cara menyenangkan hati Manty. Dia tahu segala hal yang disuka dan dibenci Manty. Sedetail itu. Bahkan sampai hal yang Manty sendiri ragu dan tidak menyadarinya.

"Sudahlah. Lebih baik aku memakan es krimku," ujar Manty, pura-pura tidak peduli dengan ucapan Kean.
"Tentu, itu memang kesukaanmu." Kean menunjuk semangkuk es krim vanilla besar dengan remahan biskuit cokelat di atasnya.

Manty mulai menyendok es krimnya. Dan setelah sendokan pertama, dia terus melakukannya tanpa henti. Terlalu berkonsentrasi hingga dia tidak melihat sedikit pun ke arah Kean yang tengah memperhatikannya lekat-lekat. Senyum menghiasi wajah Kean selama melihat gadis di depannya melahap olahan halus yang bisa membuat giginya ngilu itu dengan penuh semangat.

"Kau belum memakannya sedikit pun?" tanya Manty dengan suara agak tinggi. Bagaimana tidak, bila yang dilihatnya adalah piring di depan Kean yang masih berisi panekuk utuh. Belum disentuh sama sekali.

Kean hanya tertawa, lalu mulai memotong panekuk cokelatnya. Berbeda dengan Manty, dia tidak pernah memesan es krim dan selalu memilih kue ini untuk santapan ringan. Selain memang menyukai kue ini, es krim terlihat terlalu kekanakan baginya. Tapi bila Manty yang melakukannya, segala hal kekanakan itu menjadi wajar.

"Orang di depan lebih menarik perhatian dibanding panekuk ini," ucap Kean. Dia mengatakan hal yang sebenarnya, tapi entah bagaimana ucapan itu jadi terdengar gombal.

"Teruskan saja gombalanmu," sindir Manty sambil terus menyendok es krimnya yang sudah hampir habis.

"Sungguh. Entahlah..." ujar Kean akhirnya. Setelah dipikir memang terasa berlebihan. Dan itu membuatnya tidak bisa mendebat apapun, walau kebenarannya berbeda dengan itu.

Mendengar ucapan pasrah dari Kean membuat Manty tergelak. "Kau harus melihat ekspresimu tadi. Sungguh lucu!"

Saat mata Manty masih terpejam karena tertawa begitu lebar, Kean mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Dan tepat saat Manty sudah kembali membuka matanya, dia berkata, "Kau mau menikah denganku, Manty?"

Mata Manty yang baru kembali normal langsung melebar. Mulutnya menganga lebar mendengar penuturan Kean yang begitu tiba-tiba. Sungguh, itu terlalu mendadak. Tanpa bisa diduga, hingga membuat detak jantungnya melonjak cepat. Selama beberapa saat Manty kehilangan napasnya. Entah dia meninggalkannya di mana. Ah bukan, dia menahannya dari tadi. Dan setelah berusaha dengan keras, akhirnya dia bisa mengembuskan napas itu dengan perlahan.

Melihat Manty terkejut seperti itu, kini Kean yang tergelak. "Kau harus melihat ekspresimu tadi. Sungguh lucu!" sindir Kean, mengulang ucapan Manty. Dan saat Manty memberengut, Kean cepat-cepat melanjutkan, "Aku tahu, ini jauh dari kata romantis. Tapi aku bersungguh-sungguh, Manty. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Hanya bersamamu."

Louie memegang pundak Manty dan mengelusnya pelan. Dia tahu betul Manty sedang menahan sesuatu. Semuanya terlihat jelas dari napasnya yang tercekat dan air matanya yang mengalir. Saat berusaha mengingat sedikit, Louie akhirnya sadar. Masa lalu manis bersama Kean pasti sedang menarik Manty ke dalam dekapannya dan mengurung gadis itu hingga tidak ada lagi yang tersisa di dalam dirinya.

"Tidak ada cara lain untuk membebaskan diri dari masa lalu selain menghadapinya. Kau pasti bisa, Manty. Berjuanglah," bisik Louie lembut sambil terus mengusap pundak Manty.

***

Louie dan Manty menghentikan langkah mereka di depan sebuah toko kecil dengan dominasi warna pastel. Toko itu dipenuhi dengan bunga berwarna-warni. Manty mendongak dan mendapati plang bundar bertuliskan Viccla Florist berada tepat di atas kepalanya. Selembar kenangan kembali singgah di benaknya melihat nama itu, Viccla. Gabungan nama Louie dan dirinya. Diambil dari nama belakang masing-masing, Vicente dan Clamanty.

Tanpa terduga bibir Manty terangkat dan menampilkan seulas senyum. Masa-masa dia berjuang bersama Louie untuk mendirikan toko bunga ini terlalu indah untuk dilupakan. Tidak heran kalau Louie geram akan sikapnya selama dua tahun ini. Semua perjuangan mereka menjadi sia-sia saat dirinya mendadak bisu dan menolak melakukan apa pun.
Manty mendesah. Mengingat itu membuatnya kesal sekarang. Dengan sikapnya saat itu, secara tidak langsung dia memaksa Louie untuk tidak beranjak dari sisinya dan membuat segala impian mereka lenyap tak bersisa. Dan mungkin kini saatnya untuk memperbaiki semuanya, pikirnya dalam hati.

Tapi tunggu, keraguan kembali menggerogoti keyakinan hatinya saat pintu baru saja dibuka dan aroma bunga menyapa hidungnya. Benar-benar sudah terlalu lama dia tidak mencium aroma seperti ini. Dan pandangan dari pegawai yang ada di sana...entahlah. Dia tidak bisa mengartikannya sama sekali. Yang dia tahu hanya semua itu membuatnya resah. Membuatnya merasa begitu asing dan kecil.

"Ini Manty, Jenn. Dia sahabat yang sama-sama mendirikan tempat ini bersamaku. Jadi perlakukan dia sama seperti bagaimana kau bersikap padaku," ucap Louie pada Jenn yang memberi tatapan kurang berkenan pada Manty. Dia tahu, Jenn memang bukan orang yang mudah diatur dan terkadang akan sangat menyebalkan.

Jenn menatap Manty dengan sebelah alis terangkat. Lalu matanya bergerak dari atas kepala hingga ujung kaki, seolah sedang menguliti Manty. "Mendirikan tempat ini bersama denganmu? Lalu kenapa aku baru melihatnya hari ini? Ke mana saja dia selama kau mengurus tempat ini hanya dengan bantuanku?" tanyanya sinis.

"Kau tidak perlu tahu, Jenn. Berhenti bertanya dan lebih baik kerjakan rangkaian bunga itu! Kau pasti belum menyelesaikannya!" seru Louie tegas sambil menunjuk buket yang terbengkalai di sudut ruangan.

Jenn menoleh dengan tatapan kesal ke arah Louie, lalu menghentakkan kakinya keras-keras sembari mendengus. Louie memutar bola matanya dan mendesah. "Menerimanya bekerja di sini memang kesalahan besar," gerutunya.

Manty melihat Louie dengan tatapan bingung. "Di mana Cloe?"

"Dia sudah berhenti bekerja, Manty. Dua tahun yang bagimu tidak ada bedanya sama sekali, membawa banyak perubahan di dunia luar. Semua bisa berubah, termasuk hati seseorang. Cloe yang kau kenal sangat mencintai bunga dan kesederhanaan berubah menjadi gadis pecandu harta. Dia bertemu dengan lelaki kaya yang mengubah seluruh hidupnya. Dan di saat membingungkan seperti itu, manusia menyebalkan seperti Jenn datang meminta pekerjaan. Sungguh, aku menerimanya dengan sangat terpaksa. Andai kau ada di sini saat itu, aku pasti tidak akan pernah menerima gadis yang mulutnya tidak bisa diatur seperti dia."

Manty terdiam mendengar penjelasan itu. Dia benar-benar merasa salah saat ini. Semua yang terasa benar untuk dilakukan selama dua tahun ini, berubah menjadi kebodohan tak terampuni. Bagaimana dia bisa seegois itu? Hanya memikirkan kesedihan dan dirinya sendiri yang tidak siap menghadapi dunia luar, lalu membiarkan Louie berjuang sendiri menghadapi segala tekanan yang mungkin sama besar dengan yang dihadapinya.

"Maaf, Louie." Lagi, kata itu mengalir dari mulut Manty dengan lirihnya.

Louie mengibaskan tangannya. "Sudahlah, Manty. Aku mengatakan itu bukan untuk membuatmu meminta maaf dan menyalahi diri sendiri terus menerus. Aku mengatakan itu supaya kau tahu, hidup terus berjalan walau kau tidak menginginkannya. Dan masih banyak yang harus kau lakukan. Juga banyak orang yang membutuhkanmu. Salah satunya aku, temanmu yang tak berdaya menghadapi klien yang terlalu mencintai rangkaian bungamu."

Senyum Manty kembali mengembang. "Baiklah, mari mulai bekerja!"

Louie baru membuka mulutnya hendak menjawab, tapi suara telepon menahannya. "Tunggu," katanya pada Manty dan mulai bergerak ke arah telepon di meja belakang.

Sementara Louie pergi, Manty mulai menyusuri toko ini. Membuka kembali lembaran kenangan dan semangatnya akan bunga. Tangannya mulai bergerak mengambil setangkai bunga, dan saat itu terdengar suara pintu dibuka.

"Kau mencari bunga seperti apa, Mister?"

Manty mendengar suara Jenn di belakangnya. Ternyata benar, ada orang yang masuk ke toko ini. Seorang lelaki, kalau mendengar penuturan Jenn tadi. Manty tidak berniat menoleh. Dirinya sudah telanjur nyaman bergelut dengan beberapa tangkai bunga di tangan-nya. Tidak butuh waktu lama, buket indah yang baru sudah tercipta dari tangan Manty.

"Manty! Ada kabar buruk! Oh Tuhan...buket itu indah sekali!" seru Louie yang baru selesai menerima telepon.

"Kabar buruk?" Sebelah alis Manty terangkat. Sungguh, jantungnya masih belum kuat mendengar kata-kata itu. Dan wajahnya yang seketika memucat itu tidak bisa berbohong. Semua orang yang melihatnya akan tahu kalau dia sedang ketakutan saat ini.

"Oh maafkan aku, Manty. Aku tahu kau baru kembali menghadapi dunia dan belum siap menerima kabar buruk. Tapi aku harus mengatakannya. Yang menelepon tadi Mister James. Dia menelepon untuk memberitahu kalau dia mau beralih ke usaha lain dan tidak bisa memasok bunga untuk toko kita lagi mulai minggu depan. Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan, Manty?" tanya Louie panik. Tangannya terus mengibas-ngibas dan tubuhnya meloncat-loncat pelan. Dia memang selalu seperti itu kalau sedang panik.

"Maaf, apa kalian..."

"Oh maaf, Mister. Kami terlalu sibuk membicarakan masalah toko ini hingga tidak menghiraukanmu. Kau mencari bunga seperti apa? Untuk kekasih?" tanya Louie memotong ucapan lelaki itu.

"Sungguh bagus bila seperti itu, tapi kenyataannya tidak. Aku mencari bunga yang diminta ibuku, dia ingin memberikan pada temannya yang baru saja mendapat cucu," jawab lelaki itu dengan nada menyesal. Seolah dia benar-benar menginginkan ucapan Louie menjadi kenyataan.

Louie tertawa pelan, lalu melihat sekeliling. Dan matanya tertuju pada buket yang baru saja diselesaikan Manty. "Bagaimana kalau ini?" tanyanya sambil menyodorkan buket itu, membuat Manty kebingungan.

"Hei, itu belum selesai!" seru Manty sambil mengikuti arah buket yang dirampas Louie, dan itu membuatnya mau tidak mau menoleh ke arah lelaki yang sudah datang dari tadi tapi tidak dilihatnya sedikit pun.

"Apa lagi? Menurutku ini sudah bagus," sahut Louie. Lalu detik kemudian dia menyadari reaksi Manty. Sahabatnya itu hanya terdiam, seolah ada salju lebat yang membuat-nya membeku.

"Ya, itu lumayan," ujar lelaki itu.

Mendengar ucapannya membuat darah di tubuh Manty berdesir hebat. Meletup-letup dengan ganasnya. Wajah itu... Entah kenapa melihat wajah lelaki itu membuat Manty ingat pada Kean. Dilihat sekilas memang ada kemiripan di wajah keduanya. Sama-sama memiliki rahang yang tegas. Dan mata itu, mata abu-abu yang memancarkan kehangatan. Persis seperti mata Kean yang selama ini membuatnya terpana.

"Oh ya, tadi kalian membicarakan tentang pemasok bunga, bukan?" tanya lelaki itu akhirnya. Dan setelah mendapat anggukan dari Louie sebagai jawaban, dia kembali melanjut-kan, "Kalau begitu, sepertinya aku datang di saat yang tepat. Aku memiliki beberapa kebun bunga, dan kudengar toko bunga ini cukup bagus. Jadi, aku bisa memasoknya ke sini. Bila kalian mau tentunya."

"Ah! Sungguh kebetulan yang bagus!" Louie berlonjak girang sambil menepuk tangannya. "Tentu saja kami mau. Tawaranmu tepat waktu. Nah, aku Louie Vicente. Dan ini sahabatku, Akira Clamanty," seru Louie sambil mengulurkan tangannya dengan wajah ceria. Pertanyaannya tentang ekspresi Manty menguap seketika.

"Jave Mayder," ujarnya sambil menyambut uluran tangan Louie. Lalu dia berpaling ke arah Manty yang masih terdiam. "Dan ini...Akira?"

"Oh tidak. Panggil dia Manty, Jave. Dia tidak suka mendengar orang memanggil nama depannya," sahut Louie seolah dia sudah akrab dengan Jave.

"Kau ada keturunan Jepang?" tanya Jave lagi. Matanya masih belum berpindah dari Manty. "Entah apa yang terjadi padamu, tapi sepertinya kau tidak berniat menjabat tanganku atau sekadar menjawab semua pertanyaanku."

Akhirnya Manty mengedip, diikuti dengan embusan napasnya. Alih-alih membalas jabatan tangan Jave, dia malah langsung berbalik dan berjalan menjauh. Dia bukan Kean, tegasnya pada diri sendiri.

"Hei! Kenapa kau malah pergi?" seru Jave saat melihat Manty berjalan menjauh. Jave mendecak saat tidak mendapat jawaban. Dan akhirnya, dia memilih memalingkan wajahnya dan mengamati sekitar. "Omong-omong kenapa tidak ada bunga matahari di sini?"

"Itu karena..."

"Tidak akan ada bunga matahari di sini!" potong Manty cepat.

"Oh akhirnya kau bersuara juga. Tapi sayang sekali kalau kalian tidak memasukkan bunga matahari ke toko ini. Bunga itu adalah hasil terbesar. Aku punya kebun yang sangat luas untuk menanam bunga cantik itu, Clam." Jave berbicara panjang lebar, sementara Manty menatapnya dengan tatapan membunuh.

Bunga cantik? Iya, itu dulu. Sebelum warnanya berubah menjadi merah karena darah Kean mengalir deras di atasnya, jawab Manty dalam hati. Dia enggan berbicara panjang lebar, apalagi terhadap lelaki ini. Entahlah. Melihat Jave seperti membuat lubang baru di hati-nya. Membawanya pada luka lama yang bahkan belum mengering.

"Clam?" tanya Louie bingung.

Jave mengangguk yakin, lalu menatap Manty lekat-lekat. "Kau tidak suka dipanggil Akira, dan aku tidak suka memanggilmu Manty. Maka Clam menjadi jalan tengah yang menyenangkan, bukan?"

Manty memutar bola matanya mendengar penjelasan Jave. Dan lelaki itu malah tersenyum ceria. Saat melihat senyuman Jave, Manty tahu, hari-hari berikutnya akan terasa semakin berat karena harus menghadapi lelaki itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro