Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

Pengakuan Louie membuat Steve tersentak. Sungguh sesuatu yang tidak pernah dia sangka. Selama ini dia terus melihat ke arah Manty, tapi ternyata ada Louie yang selalu memperhatikannya. Dia terlalu berfokus pada Manty hingga menutup mata dari Louie, walau gadis itu sudah berkali-kali memberi tanda. Ingatan Steve melayang pada waktu-waktu yang dilaluinya bersama Manty dan Louie.

Hari itu matahari bersinar dengan sangat terang. Steve merasa dirinya dipenuhi semangat saat itu. Dia melangkahkan kakinya menuju kelas dan langsung memberikan salam dengan senyum lebar penuh kehangatan pada Manty dan Louie yang sedang mengobrol.

"Apa yang sedang kalian perbincangkan?"

"Dirimu," jawab Louie cepat. Beberapa detik kemudian, tawanya dan Manty terdengar memenuhi ruangan. Steve menyusul setelahnya. Lalu Louie mengeluarkan sebuah kotak makan dan menyodorkannya ke hadapan Steve. "Apa ini? Makanan?"

Louie mengangguk penuh semangat. "Untukmu. Kau pasti belum sarapan."

"Kau paham sekali dengan kebiasaanku. Terima kasih, Louie." Steve tersenyum sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada Manty. "Aku mendapat tiket pertunjukan musik klasik nanti malam. Kau mau ikut, Manty?"

Manty menghela napas lalu menggeleng pelan. "Sayang sekali. Aku sudah ada janji dengan Kean, Steve."

Wajah Steve terlihat begitu kecewa, Louie bisa menangkap itu dengan sempurna. "Aku bisa menemanimu kalau kau mau, Steve," tawar Louie.

Steve menoleh secara refleks. "Bukankah kau tidak suka musik klasik?"

Louie tersenyum kecil. "Aku sudah mulai mendengarkannya karena kalian berdua selalu membincangkannya."

"Benarkah, Louie? Aku bahkan tidak pernah mendengarnya di rumah," sela Manty.

Louie melebarkan matanya, seolah memberi peringatan pada Manty. "Kau tidak selalu mendengar apa yang kudengar, bukan?"

Steve hanya tertawa mendengar perdebatan mereka berdua. "Baiklah, akan kujemput kau nanti malam, Louie."

Sewaktu mereka bertiga sedang berkumpul di rumah Steve...

"Kau seharusnya melihat bagaimana wajahmu ketika dosen kita menyurhmu maju ke depan tadi, Manty. Wajahmu terlihat benar-benar merah," ledek Steve, mengingatkan kejadian tadi siang.

Baru pertama kalinya tadi Manty menahan malu karena tertidur di kelas dan dipanggil ke depan untuk menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak didengarnya. Manty memberengut mendengar ledekan Steve yang tidak hentinya dilontarkan sejak tadi. Berulang kali dia mengacungkan tangannya seolah ingin memukul, untuk memperingatkan Steve, tapi tidak ada gunanya.

Steve tergelak melihat ekspresi Manty. Namun, beberapa detik kemudian, suaranya beubah jadi jeritan. Dia mengaduh keras saat merasakan jari kakinya menjadi kaku. Kakinya diangkat tinggi dan wajahnya terlihat begitu kesakitan. Louie langsung meraih kaki Steve dan meluruskan jari-jarinya, sementara Manty terus tertawa terbahak-bahak.

"Makanya, jangan terus meledekku, Steve. Rasakan akibatnya." Manty kembali tertawa.

"Bagaimana? Masih sakit?" tanya Louie. Wajahnya penuh kekhawatiran.

"Sudah menghilang. Terima kasih, Louie. Kau sungguh jahat, Manty. Aku sedang kesakitan dan kau malah menertawaiku."

"Kita impas. Kau juga menertawakanku tadi!"

***

Steve ditarik kembali ke alam sadarnya. Bayangan-bayangan itu baru saja berlalu. Mengingat bagaimana ekspresi bosan Louie saat menonton pertunjukkan musik klasik itu, jelas menunjukkan bahwa dirinya tidak tertarik sama sekali. Kini Steve baru tahu, Louie melakukannya untuk menyenangkan Steve yang jelas kecewa saat itu.

Lalu berbagai bayangan lain memenuhi otak Steve kini. Bagaimana Louie selalu memperhatikannya selama ini. Louie yang selalu memberikan sarapan, memberinya minum saat dia sakit perut. Bahkan Louie pernah merebut susu yang terpaksa dibeli Steve karena dijual oleh senior waktu itu, dengan alasan Steve akan sakit perut bila meminumnya di pagi hari. Louie sangat memahami Steve. Dan itu membuat Steve merasa sangat egois setelah mengetahui semua ini.

"Kau tidak akan melakukannya, kan? Kau tidak akan tinggal karena aku memintamu. Tentu saja, bahkan bila Manty yang meminta pun kau masih tidak mau. Mana mungkin aku bisa menghentikanmu." Louie menarik napasnya dalam-dalam. "Pergilah, Steve. Aku tidak akan menahanmu lagi. Maaf karena telah menyusahkanmu dengan ucapanku barusan. Dan... terima kasih... pernah hadir di hidupku."

Louie segera membalikkan tubuhnya karena dia merasa sudah tidak bisa menahan air matanya. Steve tidak boleh melihatnya menangis. Dan benar saja, baru beberapa detik berbalik, bulir kristal itu sudah menuruni wajahnya dengan derasnya. Bahunya bergetar hebat, tangannya mendekap mulut untuk menahan suara isakannya.

"Louie..."

Steve menaikkan tangannya, terlihat ada getaran di sana. Ketika sudah hampir mencapai pundak Louie, dia menghentikan pergerakannya. Membiarkan tangannya itu mengambang di udara, bersatu dengan segala kegamangan yang dirasakannya. Dia takut, menyentuh Louie hanya akan membuat gadis itu semakin terluka.

"Maafkan aku... Semoga kau berbahagia. Kau pantas mendapatkannya."

Setelah itu Steve berbalik dan menggeret kopernya berjalan menjauh. Suara langkahnya terdengar begitu jelas di telinga Louie, bersatu dengan suara tangisan hatinya yang dibawa pergi. Mata Louie terpejam, membiarkan semua kenangan menenggelamkannya sebelum akhirnya dia harus tersadar kalau Steve sudah pergi. Cintanya sudah pergi. Dia menyadari, cinta yang tidak pernah diciptakan untuknya tidak akan pernah berada dalam genggamannya, sekeras apa pun dia memperjuangkannya.

***

Louie berjalan dengan langkah lemah. Matanya tidak memiliki fokus sejak tadi. Kini dia menghentikan langkahnya dan mendongakkan wajahnya menatap langit. Dibiarkannya angin musim gugur berhembus dan menamparnya berkali-kali. Mungkin saat ini dia sangat membutuhkannya, untuk mengembalikan kesadarannya.

Matanya dipejamkan dan berbagai kenangan melintas di pikirannya bagaikan sebuah film yang sedang diputar dalam gerak lambat. Semakin banyak bayangan yang melintas, semakin erat pula dia mengaitkan kedua kelopak matanya. Tapi tidak ada satupun yang dicegah. Semua dibiarkan mengalir begitu saja. Dia juga tidak berusaha menangkapnya, karena semua kenangan itu telah berlalu. Menahannya sama saja seperti berusaha menggenggam angin, hanya menambah sayatan di luka hatinya yang masih berdarah.

Lama Louie berdiam diri di sana. Setelah menarik napas dalam, sebuah senyum singkat diangkatnya. Lalu dia memilih melangkahkan kakinya dan menjauh dari sana. Selamat tinggal, bisiknya pada dirinya dan Steve yang sedang tertawa bersama di bawah pohon besar itu. Dan kali ini dia sunguguh-sungguh melakukannya. Tidak lagi seperti dulu, yang mencoba melepas, namun kembali menggenggam dengan lebih erat.

"Louie!" seru Manty saat melihat Louie muncul dari balik pintu toko. Senyum yang diusungnya sejak tadi langsung memudar. Begitu pula dengan mulutnya, segera terkatup rapat.

Louie melangkah masuk lebih dalam dengan mengulas senyum di wajahnya, namun senyum itu terlihat begitu pedih. Senyum singkat yang tidak mencapai mata, bahkan tidak memiliki fokus di sana. Tanpa mengatakan apa pun, Louie duduk di kursi tinggi dan segera meraih tumpukan bunga di depannya dan mulai menggerakkan tangannya untuk merangkai mereka semua.

Tanpa perlu bertanya, Manty sudah sangat paham dengan hasil yang didapatkan Louie saat mengejar Steve. Walaupun tidak tahu secara pasti, tapi setidaknya Manty bisa menebak peristiwa seperti apa yang terjadi di sana. Tergambar jelas di raut wajah Louie ini. Akhirnya Manty memutuskan untuk pergi ke ruangan belakang dan kembali dengan sebuah gelas di tangannya.

"Mungkin kau mau minum kopi, Louie? Ini akan menenggelamkanmu dalam rasa pahit. Sangat bagus untuk suasana hati yang buruk."

Manty menyodorkan kopi yang baru diseduhnya. Louie menatap gelas itu beberapa saat, lalu bibirnya kembali menyunggingkan senyum. Setelah itu terdengar helaan napas yang sangat berat, menyiratkan kelelahan yang ditahannya dalam hati. Dia menggeleng pelan. Sangat pelan hingga Manty sadar, dia baru saja melakukan kesalahan.

"Ah... maaf, Louie." Manty menggigit bibir bawahnya mengingat kebodohan yang baru saja dilakukannya. Bisa-bisanya dia menawarkan minuman favorit Steve pada Louie.

"Tidak apa, Manty. Aku hanya ingin bekerja saat ini. Kita punya banyak pesanan yang harus diselesaikan, bukan?"

Setelah mengatakan itu, Louie kembali larut dalam kegiatan merangkai bunga. Dia menenggelamkan dirinya dalam-dalam di tengah bunga-bunga itu. Tidak lagi memedulikan sekitar. Bergerak ke sana kemari hingga kini sudah terselesaikan puluhan rangkaian bunga. Manty terus menggeleng sejak tadi. Matanya menatap Louie prihatin. Dia harus segera menghentikan Louie. Hatinya tidak sanggup melihat Louie terluka seperti ini.

"Sudah cukup, Louie," ujar Manty sambil menahan tangan Louie.

"Aku harus menyelesaikan ini, Manty." Louie berusaha melepas tangan Manty.

"Ini sudah lebih dari cukup, Louie. Berhenti! Jangan lakukan lagi!"

"Tidak, aku harus..." Louie masih berkelit, tangannya terus bergerak hingga tiba-tiba... "Ah!"

Jari Louie tertusuk sebuah kawat kecil yang akan dipakainya untuk merangkai bunga. Sesaat dia terdiam, menatap luka di jarinya yang mengeluarkan darah. Sementara Jenn cepat-cepat datang dan membantu mengobatinya.

"Bukankah kau yang biasanya menyuruhku berhati-hati saat bekerja, Louie?" Manty menatap Louie yang termenung dengan prihatin. Jari-jarinya yang lain mulai terlihat bergetar. Manty segera meraih Louie ke dalam dekapannya. "Kau bisa menangis, Louie. Kau bisa mengeluarkan semua kesedihanmu padaku. Bukankah itu juga yang kaulakukan saat hatiku hancur?"

Manty berharap Louie bisa menangis dan meluapkan segala emosinya. Tapi tidak. Louie tidak meneteskan air mata sedikit pun. Matanya masih menerawang, melihat ke depan tanpa memiliki tujuan. Tanpa berniat memfokuskannya pada siapa pun atau apa pun. Pandangannya kosong, seperti hatinya saat ini.

Jave memperhatikan dari kursi tinggi tempatnya duduk sejak tadi. Dia mendecak pelan. Masalah hati memang pelik. Setiap orang bisa kehilangan jati diri saat sedang terluka hatinya. Otaknya berputar, memikirkan cara terbaik yang bisa dilakukannya untuk menghibur Louie yang biasanya punya sifat ceria. Tidak lama kemudian terdengar jentikan jarinya.

"Bagaimana kalau kita berlibur untuk memperbaiki suasana hati? Aku yakin kau butuh bersenang-senang saat ini, Louie. Aku bisa merencanakan semuanya. Kalian serahkan saja padaku," ujarnya sambil melemparkan senyum lebar.

Manty dan Louie menoleh serempak, memperlihatkan raut bingung di wajah masing-masing. Tapi setelah mengucapkan itu, Jave malah langsung meninggalkan toko tanpa mem-berikan penjelasan lebih lanjut.

"Sampaijumpa. Aku akan membawa segala persiapan saat kembali nanti," ucapnya sambilmelambaikan tangan, lalu segera menghilang dari balik pintu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro