15
Hari baru telah datang. Angin musim gugur pun sudah mulai berembus. Tapi itu tidak membuat suasana cerah ikut hilang bersama musim panas. Manty bahkan merasa hari ini begitu cerah. Masalah kemarin telah terselesaikan dan terbangun hari ini dengan Louie kembali di sampingnya membuat hatinya sangat tenang.
Saat ini mereka sedang duduk berhadapan di meja makan. Menikmati sarapan yang jarang sekali mereka lakukan di rumah. Manty menyendok makanannya dengan penuh semangat. Senyum tidak pernah absen dari wajahnya, membuatnya terlihat semakin manis. Hal serupa terjadi pada Louie. Ini seolah hari baru bagi mereka. Hari di mana masa kelam dan luka dikubur dalam-dalam.
Mereka baru saja selesai dan bersiap-siap untuk pergi. Louie membuka pintu depan dan menemukan sebuah kotak kecil tergeletak di lantai. Mereka saling menatap, sama-sama menampilkan wajah bingung. Namun akhirnya Manty membungkuk untuk mengambil kotak itu. Dia segera membukanya dan seketika air mukanya berubah.
Maafkan aku, Manty dan Louie. Aku benar-benar menyesal akan kejadian itu, Manty. Dan Louie, maaf karena aku tidak menepati janji untuk menetap di Pittsford selamanya. Aku kembali harus pergi dari sini. Aku yakin, ini yang terbaik. Sekali lagi, maaf. Aku sangat bersyukur bisa mengenal kalian, walau mungkin kalian yang menyesal karena pernah bersinggungan denganku di hidup kalian ini.
Steve
Manty terperangah saat membaca surat kecil itu. Dia menoleh pelan ke arah Louie dan mendapatkan ekspresi yang sama di sana. Manty menunggu tanggapan Louie, tapi sahabatnya itu seolah masih sibuk dengan pikirannya. Mencari-cari suaranya yang tiba-tiba hilang entah ke mana.
"Louie..."
Panggilan pelan dari Manty itu tidak digubris oleh Louie. Matanya masih menatap surat kecil itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan secara pasti. Semua ekspresi bercampur di sana. Marah, kecewa, sedih, dan bahkan... takut. Sebelah alis Manty langsung terangkat begitu pikiran itu menghampirinya. Ada rasa takut di mata Louie? Ketakutan akan apa? Kehilangan Steve selamanya?
"Louie..." panggil Manty sekali lagi. Kali ini berhasil membuat Louie menoleh ke arahnya lalu melemparkan senyum singkat. Senyum tanpa ketulusan, penuh paksaan. "Kau tidak ingin menemuinya? Kau mungkin masih bisa mengejarnya di bandara, atau bahkan dia mungkin masih ada di rumahnya saat ini."
Louie mengangkat kedua alisnya lalu kembali melayangkan senyum palsu tadi. Matanya berkedip berkali-kali dan kini melihat ke segala arah, mencoba mencari titik fokus, tapi tidak menemukannya. Manty bisa melihat dengan jelas perubahan di mata Louie. Di mana kedua bagian putihnya sudah berubah menjadi merah.
"Tidak usah menahan diri, Louie. Jangan sampai kau menyesal nantinya."
Terdengar helaan napas dalam dari Louie. Bibirnya terasa berat untuk terbuka, namun akhirnya dia berhasil membalas kata-kata Manty. "Tidak ada yang harus kulakukan, Manty. Sejak awal dia tidak pernah melihatku. Sejak awal, tidak pernah ada kata kami. Dan mungkin ini saat terbaik untuk melepasnya. Merelakannya pergi, walau itu juga berarti membiarkan hatiku menghilang bersamanya."
Manty bisa mendengar seluruh kesedihan di setiap kata yang diucapkan Louie. Suaranya yang bergetar hebat menjelaskan semuanya. Semua harapan yang pernah dibumbungkan kini luluh lantak, pergi bersama kepingan hati yang terbang jauh. Begitu sempurna hingga mungkin tidak akan kembali.
"Setidaknya kau harus mencoba, Louie. Setidaknya, kau harus memberitahunya tentang perasaanmu. Dia berhak tahu, dan... kau berhak hidup bebas tanpa terkungkung penyesalan. Kau tidak akan pernah tahu takdir apa yang akan kau terima bila tidak pernah berusaha mengejarnya. Kalaupun pada akhirnya dia tetap pergi, setidaknya kau tidak memendam sesuatu lagi."
Louie tertunduk sambil meremas kedua tangannya bergantian. Manty bisa merasakan keraguan itu dengan sangat jelas. Dan itulah sebabnya, dia harus meyakinkan Louie untuk tidak melakukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal nanti. Manty menggenggam tangan Louie dan menghentikan remasannya.
"Pergilah. Katakan padanya. Aku akan menunggu ceritamu, apa pun hasilnya." Louie mengulum senyum ketika mendongak dan mendapati keyakinan dari Manty.
***
Manty melangkah masuk ke Viccla Florist dengan wajah yang sangat ceria. Dia menyapa Jenn dan langsung disambut dengan wajah bingung, setelah terlebih dulu mendapat balasan sapaan. Jenn mengangkat kepalanya dan terus mencari ke arah belakang. Kerutan di keningnya bertambah dalam saat tidak menemukan siapa pun di sana.
"Di mana Louie?" tanya Jenn tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
Manty tersenyum kecil lalu menjawab, "Mengejar impian. Doakan saja dia berhasil."
Ucapan Manty mampu membuat wajah Jenn semakin tidak keruan. Lipatan di keningnya bertambah berkali-kali lipat. "Kukira hidup dan impiannya semua berpusat di toko bunga ini."
"Mana mungkin. Manusia hidup dengan banyak aspek. Setiap aspek pasti menyimpan impiannya masing-masing," jawab Manty dengan senyum lebar.
Jenn mengangguk-angguk pelan. "Kurasa kau benar. Jadi, hari ini hanya akan ada kita berdua?"
"Masukkan aku ke dalam hitungan!"
Manty dan Jenn menoleh dengan serempak saat seruan itu terdengar dari belakang mereka. Jave muncul dari balik pintu dengan senyum lebar khasnya, membuat Manty melemparkan senyum serupa.
"Memangnya kau bisa merangkai bunga?" tanya Manty dengan nada yang dibuat sesinis mungkin.
Jave menyipitkan matanya. "Tentu..." Nada bicaranya terdengar menggantung. Manty mengangkat sebelah alisnya seolah sedang menyelidik. "Kau harus mengajariku," tambah Jave dengan senyum yang lebih lebar lagi.
Manty tertawa kecil mendengar ucapan Jave. Lalu dia mengangguk beberapa kali dan menarik kepalanya ke arah belakang, memberi isyarat agar Jave ikut dengannya. Manty bergerak ke arah meja tinggi dan duduk di sana. Jave mengikuti dan menempatkan dirinya tepat di samping Manty.
Tanpa berkata-kata, Manty segera meraih beberapa tangkai bunga dan kemudian larut di dalamnya dengan cepat. Jave memperhatikannya dari samping dengan saksama. Matanya tidak bisa terlepas dari wajah Manty. Berulang kali senyum terulas di sana. Dia mengangkat tangan untuk menopang kepalanya, masih terus menatap Manty. Sepertinya dia sudah sangat menikmati hal itu dan tidak akan pernah merasa bosan.
"Bukankah kau bilang ingin belajar?" tanya Manty tanpa melirik.
"Aku sedang memperhatikan sejak tadi." Jave masih belum mengubah posisinya sama sekali.
"Benarkah?"
Manty menoleh dan menemukan Jave sedang menatapnya lekat-lekat. Selama beberapa saat, mereka beradu tatap dalam diam. Sesuatu yang aneh menjalar di tubuh Manty, membuat jantungnya memacu dengan sangat cepat. Pandangannya tidak lagi fokus, bahkan kini bernapas pun rasanya sulit untuk dilakukan. Dia segera memalingkan wajahnya agar bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya.
Matanya berkedip beberapa kali. Dadanya naik turun dengan cepat untuk mendapatkan pengganti udara yang hilang tadi. Jave memandangnya dengan bingung sekaligus cemas. Beberapa kali dipanggil dan Manty tetap tidak menoleh. Akhirnya Jave meraaih pundak Manty dan membuatnya berbalik perlahan.
"Apa yang terjadi? Kau sakit?"
Manty cepat-cepat menggeleng. "Tidak. Kurasa aku harus mengambil minum dulu."
Kakinya ditarik turun dari kursi dengan cepat dan langsung dilangkahkan lebar-lebar menuju ruangan belakang. Sesampainya di sana, dia langsung menuangkan segelas air penuh dan meneguknya dengan cepat. Tangannya bergerak ke dada sebelah kirinya. Jantungnya masih berdebar cepat. Manty menarik napas berkali-kali. Rasanya aneh sekali.
"Aku akan membuat kopi. Kau mau?"
Sontak Manty menoleh kaget. "Tidak... aku tidak minum kopi saat ini." Setelah mengucapkan itu, dia segera memacu langkahnya keluar.
Manty kembali duduk di kursinya tadi. Dia berdiam diri beberapa saat. Termenung. Tiba-tiba sesuatu memenuhi pikirannya. Sesuatu yang tidak diketahuinya secara pasti. Dia menghela napas beberapa kali dan akhirnya bisa kembali tenang. Saat itu juga, dia merasa Jave sudah kembali dengan segelas kopi panas di tangan kirinya. Jave menyodorkan sebuah gelas ke depan Manty.
"Kau tidak meminum kopi, mungkin teh?" Jave melemparkan senyum lebar.
"Terima kasih," sahut Manty sambil meraih gelas yang disodorkan Jave.
"Sebenarnya Louie ke mana? Aku dengar tadi kau bilang dia mengejar impian. Tapi apa?"
Manty tertawa kecil. "Rupanya kau orang dengan rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Dia mengejar Steve. Tadi pagi kami menemukan surat yang ditaruh Steve di rumah, yang berisi salam perpisahan."
Jave mengangkat sebelah alisnya heran. "Kenapa dia harus mengejar Steve?"
"Kenapa? Kau cemburu?"
"Tidak. Tentu tidak," jawab Jave cepat. "Aku hanya heran, dia masih suka dengan Steve setelah mengetahui kejadian itu."
Manty tersenyum singkat. "Ketika kau mencintai seseorang, kau akan selalu memberi toleransi. Tanpa sadar, kau akan selalu memberi maaf walau kenyataannya kau sudah tersakiti, mungkin berkali-kali. Dan... awalnya dia ragu, tapi aku meyakinkannya."
"Dan kau yang meyakinkannya?" Jave semakin heran. "Kenapa? Dia sudah..."
"Aku hanya akan menjadi orang egois bila menahan Louie melakukan apa yang diinginkan hatinya. Dia tidak pantas menyesal karena tidak berterus terang tentang perasaannya. Bahkan aku akan mengutuk diriku sendiri kalau Louie tidak mendapat kebahagiannya hanya karena memikirkan perasaanku."
Javekembali menatap Manty lekat-lekat. Dia tidak begitu mengerti kenapa Manty bisabersikap seperti itu. Tapi tanpa bisa dimungkiri, sebersit rasa kagum munculdan kini memenuhi hatinya. Pada akhirnya, seulas senyum kembali terlukis diwajahnya. Senyum hangat yang memancarkan kekaguman.
***
Louie baru tiba di bandara setelah mencari ke rumah Steve dan tidak menemukan hasil. Dia berlari ke sana kemari, melihat setiap sudut bandara dengan saksama. Menyusuri setiap lorong dan memutar kepalanya ke segala arah, tapi matanya tetap tidak menemuka sosok Steve.
Dia berhenti di depan sebuah bangku panjang. Sekelilingnya sepi. Napasnya berkejaran hingga membuatnya merasa sesak. Segala usaha telah dilakukannya, tapi dia tetap tidak bisa menemukan Steve. Dia bahkan sudah mencoba menelepon, tapi ponselnya tidak aktif. Otaknya kini sudah buntu memikirkan cara. Mungkin memang takdir tidak memperbolehkannya bertemu dengan Steve.
"Louie..."
Langkah Louie yang baru dipacu satu kali terhenti. Suara itu begitu menusuk telinganya, membuat selaput bening yang sejak tadi menghalangi pandangannya hampir jatuh. Dia berusaha menahannya sekuat tenaga, lalu membalikkan badannya. Napasnya tertahan begitu dalam saat menemukan wajah Steve di hadapannya.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Steve.
"Aku... aku..." Louie menahan emosinya sebisa mungkin. "Aku ingin menagih janjimu. Kau tidak bisa pergi begitu saja, Steve."
Wajah Steve terlihat begitu sendu mendengar ucapan Louie. Seulas senyum dia paksakan agar terlihat di wajahnya. "Bagaimana mungkin aku menghadapi Manty lagi, Louie? Aku telah berbuat salah padanya. Amat salah."
Louie mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya. Bahkan hingga saat ini, Steve masih menyebut Manty. Tidak bisakah aku ada di pikiranmu?
"Kalau Manty memaafkanmu, maukah kau kembali?"
Steve menggeleng. "Itu tidak mungkin. Kesalahanku sudah terlalu fatal kali ini."
Suara pemberitahuan keberangkatan terdengar. Pesawat Steve akan segera terbang. "Aku tidak bisa tetap tinggal, dan sekarang aku sudah harus pergi. Maaf, Louie."
Sebelum Steve berbalik, Louie cepat-cepat berkata, "Kalau Manty memintamu tinggal. Apa kau akan tetap pergi?"
Steve mengulum seulas senyum tipis. "Itu juga tidak mungkin."
"Aku tidak membicarakan kemungkinan, Steve. Apakah kau akan tinggal?"
"Sekalipun dia memaafkanku, dan menyuruhku tinggal, tapi aku telah kehilangan wajah di depannya, Louie. Perasaan bersalah ini sudah terlalu menguasai. Selamat tinggal."
Kali ini Steve berbalik, setelah melemparkan senyum terakhir. Otak Louie berpikir keras. Benarkah dia harus kehilangan Steve? Benarkah dia tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya pergi? Benarkah dia bahkan tidak bisa mengatakan perasaannya yang sejujurnya?
"Kalau aku yang memintamu jangan pergi..."
Suara Louie terdengar begitu jauh, bahkan bagi dirinya sendiri. Tapi suara itu justru mengunci langkah Steve. Dia tidak bisa melangkah sedikit pun. Tubuhnya mengeras layaknya patung. Otaknya masih belum bisa mencerna ucapan Louie dengan baik. Saat Louie melanjutkan kata-katanya, Steve semakin tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.
"Apakah kau mau tinggal demi diriku?"
Steve kembali membalikkan tubuhnya, menatap Louie yang matanya sudah berkaca-kaca. Mata itu memancarkan ketulusan, juga harapan yang rapuh. Begitu pula keraguan, tergambar jelas di kedua mata berwarna biru itu.
"Akumemintamu untuk tinggal, Steve. Kalau kukatakan aku mencintaimu, bisakah kaumemalingkan wajahmu dan melihatku?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro