14
Manty membuka matanya perlahan dan langsung berhadapan dengan cahaya lampu dari langit-langit kamarnya. Baru terbuka sedikit dan kini mata itu sudah ditutupnya kembali. Sinar itu masih terlalu memusingkan baginya.
Dengan susah payah, dia menarik dirinya untuk bangun. Bahkan saat sudah duduk pun, sekitarnya masih terasa berputar cepat. Dia mendongak lalu mendesah pelan. Begitu mengedarkan pandangan, kesedihan kembali menyelubunginya. Tidak ada siapa pun di sana, termasuk Louie.
Perlahan, Manty menurunkan kakinya dan melangkah keluar kamar. Suatu aroma menyambut indera penciumannya, membuatnya bergerak menghampiri sumber itu. Matanya menemukan mangkuk kecil, lengkap dengan tutup di atasnya. Sebelum membuka tutup mangkuk itu, matanya menangkap kertas kecil yang ada di tepian meja. Tangannya tergerak untuk meraih kertas itu dan segera membaca isinya.
Aku tidak menemukan apa pun di dapurmu, Clam. Jadi hanya ini yang bisa kubuat. Sangat sederhana, tapi aku bisa menjamin rasanya tidak akan mengecewakan. Bahkan tidak akan kalah dari panekuk kebanggaanku yang sangat istimewa itu.
May
Sebuah senyum terulas di wajah Manty setelah membaca isi kertas itu. Diam-diam, Clam sudah menjadi panggilan yang tertanam di hatinya. Membuat bibir kecilnya mampu mengulum senyum. Dan melihat bagaimana Jave menuliskan namanya sendiri sebagai May membuat senyum itu berubah menjadi tawa kecil.
Manty tidak langsung membuka penutup mangkuk tadi, karena dia memang tidak merasa lapar. Yang ingin dia lakukan tadi hanya mencari tahu, dan rasanya sudah terjawab dari kertas yang dituliskan Jave. Kakinya kini dilangkahkan menuju sebuah meja kecil. Dia meraih mesin pembuat kopi dan tidak butuh waktu lama, kopi yang diinginkannya sudah memenuhi cangkir putihnya.
Manty duduk di atas kursi kecil, menghadap meja dan dinding krem tak berhias di depannya. Tangannya mendekap cangkir kopi yang baru diseduhnya. Kehangatan dari kopi itu mulai menjalar, walau tetap tidak bisa mencairkan hatinya yang mulai membeku saat ini. Begitu banyak pertanyaan berkelebat di benaknya saat ini. Membuatnya tidak bisa berhenti berpikir walau dia sangat menginginkannya.
Cangkirnya diangkat dan Manty menyesap kopinya pelan. Rasa pahit mulai bergerak dari tenggorokannya hingga kini memenuhi seluruh tubuhnya. Terkadang, di saat seperti ini, Manty sangat menyukai kopi. Di saat menyulitkan seperti ini, dia ingin menikmati rasa pahit dan tenggelam di dalamnya. Ya, dia membutuhkan itu. Karena setidaknya, berada di tengah rasa pahit akan membuatnya tidak bisa merasakan hal pahit lainnya. Juga tidak perlu memikirkan manisnya hidup, yang bahkan mungkin hanya kepalsuan.
Tepat saat pikirannya masih mengembara di alam yang bahkan tidak dikenalnya, dia mendengar suara yang cukup berisik di luar. Manty terdiam sejenak, berpikir. Otaknya menyuarakan harapan, yang bahkan segera hancur sebelum sempat terbangun sedikit pun. Lalu segera menggantinya dengan ketakutan luar biasa.
"Manty! Buka pintunya! Kita harus bicara!"
***
Louie berjalan tanpa arah. Pikirannya masih mengembara di antah berantah. Memikirkan ucapan Jave tadi membuat kepalanya seakan mau meledak. Dia sama sekali tidak percaya Steve melakukan perbuatan seperti itu. Tapi itu juga tidak berarti dia berpikir Manty yang bersalah di sana seperti menggoda atau apa pun sebutannya. Itu mustahil!
Dia tahu dengan jelas bahwa hal itu tidak mungkin sama sekali. Tapi hatinya masih terus menolak untuk percaya kalau Steve sanggup melakukan tindakan sekeji itu. Kini hatinya bertarung mempertahankan pendapat yang bahkan tidak bisa diyakininya.
Tidak ada yang benar-benar diketahuinya, namun satu hal yang menjadi sangat pasti. Kalau ucapan Jave benar, dia akan merasa sangat bersalah pada Manty. Karena seharusnya dia bersama Manty, memberinya kekuatan di saat hal seburuk itu terjadi. Dan bukan malah melimpahkan kesalahan pada Manty seperti yang dilakukannya kemarin.
Louie kini sudah dekat dengan rumahnya. Dia harus segera menemui Manty dan menanyakan langsung padanya. Semuanya harus dibuat sejelas mungkin, agar hatinya sendiri bisa memilih pada akhirnya. Akankah dia terus berjuang untuk mempertahankan orang yang dipujanya selama ini, atau melepaskan tanpa pernah memikirkannya lagi.
Tinggal beberapa langkah lagi Louie akan tiba di rumahnya. Tapi dia menghentikan langkahnya tepat saat matanya menangkap sosok yang menimbulkan banyak pertanyaan di benaknya sejak tadi. Louie mundur beberapa langkah dan berusaha bersikap tenang. Dia harus melihat apa yang terjadi tanpa membuat Steve menyadari keberadaannya.
"Manty! Buka pintunya! Kita harus bicara!"
Louie masih terus memperhatikan Steve dari tempatnya bersembunyi. Steve terus mengulang permintaannya agar Manty membuka pintu, tapi sepertinya tidak ada pergerakan dari dalam. Kening Louie berkerut sejak tadi, dan jantungnya terus berdegup menantikan semua kebenaran yang mungkin akan terungkap sesaat lagi.
"Manty... maafkan aku. Aku melakukannya karena terlalu mencintaimu." Steve menggeleng pelan, suaranya terdengar mulai melemah. "Tidak. Seharusnya itu tidak kujadikan alasan, tapi aku benar-benar mencintaimu, Manty. Aku sangat mencintaimu tapi aku bahkan menyakitimu. Maafkan aku... Perbuatanku kemarin memang tidak bisa dimaafkan. Maafkan aku... Manty."
Louie mendekap mulutnya erat. Kenyataan yang didengarnya seharusnya sudah bisa ditebak dan dia seharusnya sudah mempersiapkan diri. Tapi kenyataannya, hatinya masih begitu sakit mendengar kebenaran itu langsung dari mulut Steve. Mendengar pernyataan cinta penuh penyesalan dari Steve meremukkan hatinya sekali lagi. Membuatnya larut dalam isakan yang tak tertolong. Menenggelamkannya dalam kepedihan hati yang entah kapan baru akan menghilang.
Steve menurunkan tangannya dan menyandarkan keningnya di pintu. Berdiam sekian lama lalu dia berbalik dan mulai melangkah pergi. Louie maju selangkah, kemudian mundur beberapa langkah dan kembali ke tempat semula. Tidak. Dia tidak akan menemui Steve saat ini. Saat pikirannya masih sekacau ini. Semuanya hanya akan bertambah buruk. Selanjutnya dia hanya bisa mengiring punggung Steve yang menjauh dengan selaput bening yang menghalangi penglihatannya.
***
Tidak ada suara apa pun lagi yang terdengar di luar rumah. Setelah memastikannya, Manty bisa merasakan kembali napas yang ditahannya sejak tadi. Bahunya yang menegang sejak tadi langsung melorot dan menyatu sempurna dengan bentuk kursi yang didudukinya. Tiba-tiba saja, Steve menjadi sosok mengerikan yang mampu membuatnya bergetar ketakutan.
Mulut Manty tidak hentinya mengembuskan napas lega semenjak kepergian Steve. Setelah berdiam cukup lama dan yakin sudah benar-benar tenang, dia melangkah menuju pintu depan. Entahlah apa yang akan dilakukannya, Manty hanya merasa harus memastikan keadaan. Ada sebuah dorongan yang membuatnya mengecek keadaan depan rumahnya.
"Louie..."
Manty terperanjat ketika membuka pintu dan menemukan Louie duduk di kursi depan rumahnya. Louie terlihat begitu lemas. Matanya memandang ke depan dengan kosong. Tidak ada apa pun yang menjadi fokus di sana. Bahkan bekas air mata terlihat baru mengering di wajahnya. Kening Manty berkerut, matanya sayu menatap Louie. Apa yang terjadi dengan sahabatnya itu?
Manty mengulang panggilannya pada Louie sekali lagi. Selanjutnya suara terkesiapnya menggema di udara. Louie berlari dan memeluk Manty erat. Begitu erat hingga Manty bisa merasakan semua kesesakan yang ada di hati Louie. Kehangatan mengiring setelahnya. Cairan hangat mulai memenuhi pundak mereka masing-masing, diselingi isak yang mengurai setiap beban hati.
"Maafkan aku, Manty," bisik Louie lembut di sela isakannya. Dan hal itu malah membuat isakan Manty bertambah hebat. Dia mempererat pelukannya pada Louie dan mengucapkan hal serupa.
Lama mereka terdiam setelah bertukar maaf. Mengurai luka dalam balutan emosi. Menjelaskan kenyataan tanpa kata-kata. Louie yang terlebih dulu melepas pelukannya dan melemparkan senyum hangat. Dia meraih tangan Manty dan menggandeng sahabatnya itu masuk. Mereka duduk berhadapan di meja kecil dan kembali terdiam beberapa saat.
"Louie... tentang Steve..."
"Aku sudah tahu, Manty. Maafkan aku karena salah paham padamu." Louie menarik napasnya dalam-dalam. "Aku juga sudah tahu apa yang dilakukannya padamu. Maaf karena aku malah marah padamu padahal keadaanmu sangat sulit kemarin. Maaf karena aku... terlalu egois, Manty."
Manty bisa merasa matanya sudah mulai perih. Selaput bening sudah kembali mengintip di matanya dan siap meluncur. Dia meraih tangan Louie dan menggenggamnya pelan. "Kau sahabat terbaik yang pernah kumiliki, Louie. Kau sudah menemaniku dalam masa terkelam selama ini. Bagaimana mungkin aku menyebutmu egois?"
Senyum Louie mengembang saat mendengar ucapan Manty. Senyum penuh ketulusan yang lahir setelah mendapat ketulusan lainnya. Kata-kata Manty membuatnya bersyukur, namun juga menyesal secara bersamaan. Sungguh, dia masih belum bisa memaafkan dirinya karena marah pada Manty dengan alasan serendah itu. Mengingat pucatnya wajah Manty kemarin membuatnya semakin menggila. Bagaimana mungkin dia bisa tidak menghiraukan hal itu dan tetap menyakiti Manty?
Manty bisa melihat raut penyesalan yang jelas di wajah Louie, terlihat jelas dari bibirnya yang terus bergerak karena bagian dalamnya digigit. Kebiasaan Louie yang sudah sangat dipahami Manty.
"Jangan menyesal, Louie. Juga jangan menyalahkan dirimu lagi. Bukankah kau yang waktu itu menyuruhku untuk tidak menyalahkan diri sendiri? Lakukanlah hal yang sama. Ini bukan salahmu. Dan apa pun keadaannya, tidak ada yang merubah persahabatan kita."
Lagi, senyum merekah di wajah Louie. Kali ini sudah terlihat begitu lepas. Tanpa beban, juga penyesalan. Mereka baru saja tenang, tapi tiba-tiba kembali terdengar suara pintu diketuk. Wajah Manty seketika mengeras. Rasa tegang sekaligus takut merambatinya dengan sangat cepat. Membuat tangannya kembali bergetar hingga suara seseorang terdengar dari luar sana dan menggantikan ketakutan itu dengan kelegaan. Bahkan tawa lebar.
"Clam,bisakah aku masuk dan ikut memakan masakanku? Aku lapar sekali."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro