Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13

Jave mengantar Manty kini ke rumahnya, setelah mendapat alamat lengkap beberapa saat lalu. Sepanjang jalan Jave memapah manty, dan gadis itu hanya berdiam diri. Tangannya tidak henti mempererat cengkeramannya pada tangan Jave. Bahkan tubuhnya yang terkadang masih bergetar, terlalu lemah dan bisa jatuh kapan saja bila Jave tidak menahan dengan kuat.

Ketukan yang Jave layangkan pada pintu itu sudah terdengar untuk kelima kalinya, tapi pintu itu masih saja tertutup rapat. Bahkan tidak terdengar sedikit pun suara dari dalam yang menandakan pintu itu akan segera terbuka. Jave masih menahan tubuh Manty sekuat tenaga sedangkan udara malam di luar sini semakin menusuk tulang.

Jave menoleh ke arah Manty. Mata gadis itu sudah terlihat semakin sayu. Bibirnya terlihat semakin pucat, dan tubuhnya terasa semakin lemah. Jave bersyukur sempat menyematkan jaketnya di tubuh gadis itu sebelum mereka berjalan. Kini dia mempererat dekapannya dan mengetuk pintu itu sekali lagi.

"Oh kau sudah pulang, Manty?" Suara Louie terdengar begitu pintu terbuka. Dia menatap Manty dan Jave bergantian, dengan senyum tidak simetris dan alis terangkat setengah yang penuh sindiran. "Dalam... dekapan Jave. Oh, tentu saja! Kalian pasti bersenang-senang hari ini, bukan?"

"Louie..." Ucapan Jave tertahan saat Manty mempererat genggamannya, memberi isyarat untuk tidak melanjutkannya.

Louie kembali melayangkan senyum anehnya. Senyum yang sama sekali tidak terlihat tulus. Tapi kini ada genangan di matanya. Manty bisa melihatnya dengan jelas. Manty berusaha menahan dirinya sekuat tenaga untuk tidak segera memeluk Louie dan menceritakan segalanya.

"Kau ingin mendengar ceritaku kan, Manty?" Louie menarik napas perlahan. "Hari ini sangat menyenangkan. Tidak lama setelah aku mengatakan pada Steve –seperti yang kau suruh- kalau kau tidak bisa ikut karena tidak enak badan, kami segera berjalan dan menemukan kalian yang sedang bersepeda dengan wajah ceria. Berkat ide brilianmu itu aku mengetahui banyak hal, Manty. Aku jadi punya banyak waktu... untuk berpikir. Untuk melalui hari ini sendirian. Untuk menyadari... bagaimana posisiku di depan Steve dan siapa yang selama ini mengisi hatinya. Terima kasih, kau memberiku kesempatan yang baik."

Manty merasa hatinya terenggut saat itu juga. Dia bisa merasakan semua kesedihan Louie saat menceritakan semuanya. Dia tidak pernah menyangka ternyata mereka melihat dia bersama Jave tadi siang. Dan dia juga tidak menduga, Steve akan meninggalkan Louie. Hari ini sama buruknya bagi Louie, ternyata.

"Ah... aku bahkan sampai lupa menyuruh kalian masuk."

Louie menggeser tubuhnya dan Jave langsung menuntun Manty masuk. Tapi Louie tidak mengikuti mereka, dia bahkan bersiap untuk melewati pintu itu dan keluar dari sana. Manty melihat itu dan langsung menahan tangan Louie. "Kau mau ke mana, Louie?"

"Aku tidak bisa berada di sini malam ini, Manty," jawab Louie sambil sedikit menoleh. Tapi Manty bisa melihat kesedihan yang dalam dan air yang sudah meluncur perlahan dari mata Louie.

"Kalau kau tidak mau bertemu denganku, seharusnya aku yang pergi dari sini, Louie." Manty masih mendebat sambil menahan tangan Louie. Dia tidak bisa membiarkan sahabatnya itu pergi dari sini. Tidak dengan cara seperti ini.

Louie menurunkan tangan Manty dari tangannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia melangkah keluar dari rumah itu. Tanpa menoleh. Tanpa menghiraukan usaha Manty untuk menahannya. Jave mengalihkan pandangannya ke arah Manty dan mendapati gadis itu tanpa ekspresi. Wajahnya menyimpan kesedihan yang dalam, tapi sikap dingin malah mengelilinginya dan menjadi dominan di sana.

***

Louie memandang Steve yang terbaring di depannya dengan tatapan sendu. Wajah tampan yang biasa dikaguminya kini dipenuhi luka. Sudut bibir yang biasa menyunggingkan senyum, kini terdapat jahitan. Louie masih bergidik saat mengingat bagaimana pertama kali dia menemukan Steve terkapar di jalanan semalam.

Tangan Louie meraih tangan Steve yang tergeletak di tepi ranjang dan mengelusnya pelan. Hatinya seolah teriris melihat setiap luka dan memar di wajah lelaki itu. Louie tidak tahu apa yang terjadi pada Steve dan siapa yang melakukan hal ini padanya. Tapi hatinya menjadi panas setiap memikirkan hal itu.

"Kenapa kau jadi seperti ini, Steve?" Louie berucap lirih.

Tidak terasa setetes air hangat mengalir di wajahnya. Membayangkan apa yang terjadi pada Steve membuat hatinya perih. Mungkin saja Steve dirampok oleh sekawanan penjahat, atau dia dihadang sekelompok gangster yang mabuk. Atau bahkan dirinya sendiri sedang mabuk karena kenyataan yang dilihatnya tadi siang dan akhirnya berkelahi dengan...

Louie tidak sanggup melanjutkan pemikirannya. Mereka-reka skenario yang mungkin terjadi hanya membuatnya semakin ngeri. Dia mengangkat tangannya dan mengusap wajah Steve pelan. Menatap wajah tak berdaya itu ternyata hanya membuat aliran air matanya jadi semakin deras. Dia membenamkan wajahnya dalam-dalam di lengan Steve.

"Mm... Mmm... Manty..."

Louie segera mengangkat kepalanya dan sudah hampir bangkit dari kursinya saat mendengar racauan Steve barusan. Tapi dia kembali mundur dan menyandarkan punggungnya ke kursi saat mendengar kelanjutan yang lebih jelas. Bahkan di saat seperti ini, Steve masih menyebut nama Manty. Di alam bawah sadarnya, dia hanya mengingat Manty.

Mata Louie terpejam erat memikirkan kenyataan itu. Dia menghela napasnya dengan susah payah, seolah seluruh tenaganya habis hanya untuk menerima kenyataan kalau Steve tidak pernah melihatnya dan hanya memikirkan Manty. Dia mendongak dan mengembuskan napasnya perlahan, lalu berusaha bangkit dari kursi itu dan berjalan menjauh.

"Tolong jaga dia, Suster. Dan hubungi saya bila dia sudah sadar."

Lalu Louie melangkah pergi meninggalkan rumah sakit itu setelah menyerahkan selembar kertas kecil berisi nomor teleponnya pada suster yang berjaga di sana. Entah ke mana lagi dia akan pergi, yang pasti, dia harus menenangkan diri saat ini.

***

Jave masih setia duduk di samping ranjang dan memperhatikan Manty setiap detik. Itu yang dilakukannya sejak tadi malam. Manty hanya berdiam diri di atas ranjang, tanpa berkata apa-apa. Manty seperti kembali pada saat-saat pertama mereka bertemu. Setiap Jave bertanya, tidak akan mendapatkan jawaban apa pun. Sampai di sebuah pertanyaan yang akhirnya membuat Manty menjawab.

"Ada yang bisa kulakukan untukmu?" tanya Jave lemah.

"Berikan obat penenang padaku," jawab Manty datar.

Jave terdiam. Dirinya tidak langsung bergerak, karena otaknya menolak untuk melakukan hal itu. Bagaimana kalau obat itu memberi efek buruk pada Manty? Bagaimana kalau gadis itu meneguknya sekaligus?

"Kurasa aku butuh tidur. Dan itu tidak bisa kulakukan saat ini tanpa obat penenang." Manty memberi penjelasan seolah bisa membaca keraguan Jave. "Obatnya ada di dalam laci," tambahnya.

Beberapa saat setelah meminum obat itu, Manty benar-benar tertidur. Dan hingga kini gadis itu masih terlelap. Jave terjaga sepanjang malam karena terlalu mengkhawatirkan Manty. Sejujurnya dia bisa sedikit bernapas lega karena akhirnya Manty bisa tidur dengan nyenyak. Gadis itu benar, memang itu yang dibutuhkannya.

Kini Jave bergerak ke arah dapur. Dia mulai mempersiapkan semua yang dibutuhkannya untuk membuatkan makanan sederhana bagi Manty. Senyum terulas begitu dia melihat isi kulkas dan lemari atas. Sepertinya gadis ini jarang sekali makan dan memasak. Dan karena keterbatasan itu, niat awal Jave jadi benar-benar terlaksana. Makanan yang dibuatnya benar-benar sederhana.

Jave selesai dengan segala urusannya di dapur dan segera kembali ke kamar Manty. Gadis itu terlihat masih begitu lelap di balik selimutnya. Jave mendekati Manty perlahan dan menatapnya lekat-lekat. Wajah cantiknya terlihat lelah saat ini. Setelah menaikkan selimut ke batas leher Manty, Jave segera berbalik dan keluar dari rumah itu.

***

Jave menyusuri jalan dan setiap celah dengan mata nyalang. Otaknya berpikir keras di mana dia bisa menemukan Louie. Entah Manty akan suka atau tidak akan keputusannya untuk ikut campur dalam masalah ini, tapi dia tidak bisa tinggal diam. Dia benar-benar tidak bisa hanya melihat keadaan semakin memburuk, sementara dia tahu sesuatu hal.

Pandangannya masih diedarkan ke sekeliling hingga ekor matanya menangkap sosok yang dicarinya di atas jembatan. Louie sedang menatap pemandangan di hadapannya dengan mata menerawang. Tatapannya itu tidak mempunyai fokus sama sekali. Jave segera mendekat dan berdiri di sampingnya.

"Kau juga suka melihat pemandangan di sini?" tanya Jave sambil menempelkan tangannya di atas besi jembatan Erie Canal.

Louie tersentak dan segera menoleh. Tatapannya terlihat tidak bersahabat saat ini. "Untuk apa kau ke sini?"

"Kau benar-benar marah pada Manty? Dia mencemaskanmu dan tidak bisa tidur semalaman, hingga harus meminum obat penenang sebagai bantuan."

Louie terdiam. Mendengar cerita yang dituturkan Jave membuat hatinya sakit. Dia tahu kebiasaan Manty, yang akan selalu meminum obat penenang bila merasakan masalah yang begitu berat dan menguras emosinya. Dia juga ingat bagaimana Manty selalu mengonsumsi obat itu setelah kematian Kean dan baru benar-benar lepas setelah setahun. Dan kini dia kembali meminumnya? Sebersit rasa bersalah perlahan terbit di hati Louie.

"Apa dia sudah tenang sekarang?"

Jave mengangguk, walau Louie tidak menoleh ke arahnya. "Dia sudah tidur nyenyak dan belum bangun ketika aku meninggalkannya tadi. Tapi aku tidak yakin dia masih akan setenang itu setelah bangun. Pikiran dan perasaannya pasti masih sangat kalut. Kau tidak ingin menemuinya?"

Louie menghela napas dalam. Mengingat bagaimana Steve terus memanggil Manty selama tidak sadarkan diri membuat perasaannya kembali kacau, bahkan sebelum dia mendapatkan ketenangan sepenuhnya. Dia menggeleng pelan, lalu berkata, "Aku masih belum bisa melihat wajahnya saat ini."

Mendengar ucapan Louie dan membayangkan apa yang dilakukan Steve pada Manty kemarin membuat amarah Jave meningkat drastis. Darahnya seolah memanas dan meletup-letup tanpa terkendali. Dia mengepalkan tangannya dengan sangat kencang dan berusaha mengendalikan emosinya agar nada bicaranya bisa terdengar senormal mungkin nanti.

"Kau harus tahu suatu hal, Louie. Suatu kebenaran yang dialami Manty kemarin."

Louie sontak menoleh ke arah Jave. Matanya memicing cepat, meneliti setiap kata dan memikirkan segala kemungkinan. Tapi otaknya buntu. Saat ini dia tidak bisa memikirkan apa pun dengan baik. Terlalu banyak hal yang berlalu lalang di benaknya. "Apa?"

"Kemarin, lelaki yang kau puja itu, yang membuatmu menghindari Manty sekarang, melakukan hal yang sangat biadab." Amarah terdengar di setiap kata yang Jave lontarkan. "Dia melecehkan Manty."

Napas Louie tercekat demi mendengar penuturan Jave. Pikirannya terus menyuarakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak ingin didengarnya. Dia harus memperjelas hal itu untuk menepis segala hal buruk yang tidak diinginkannya. "Apa maksudmu dengan melecehkan?"

Jave menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menekan emosinya sebisa mungkin. "Aku yakin dia berniat memperkosa Manty. Dia bahkan menarik Manty ke jalan kecil yang gelap. Bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi bila aku tidak datang saat itu? Keadaan di sekitar sana begitu sepi."

Louie merasa tubuhnya terhempas begitu jauh saat cerita itu meluncur dari mulut Jave. Setiap kata di dalamnya mengandung pisau yang terus menyayat hati Louie. Membayangkan itu semua terasa begitu mustahil baginya. Semua terdengar begitu samar. Tidak ada satupun yang bisa dipercayanya.

"Itu tidak mungkin," ujarnya lemah. "Steve tidak mungkin melakukan itu!"

"Lalu menurutmu lebih mungkin Manty yang menggodanya? Aku bersumpah wajah Manty terlihat sangat takut saat itu. Dan percayalah, Louie. Manty tidak pernah berpikir untuk membuatmu malu atau apa pun di hadapan Steve. Dia hanya berniat memberi waktu agar kalian bisa lebih dekat. Bahkan dia tidak pernah menyangka kalau Steve menyimpan perasaan untuknya."

Louie memejamkan matanya erat. Jave mengutarakan itu dengan nada normal, walau tetap ada marah yang terdengar di dalamnya. Tapi mendengar itu seolah menusuk telinga Louie, bakkan hati dan seluruh tubuhnya. Di antara segala hal yang menenggelamkannya dalam bingung, Louie mencoba mencari tempat untuk berpijak. Dan saat ucapan selaknjutnya terdengar dari Jave, Louie tahu pijakannya itu telah ikut luruh bersama hatinya.

"Kauharus tahu, Manty menangis karena memikirkan perasaanmu. Kukira dia menangiskarena takut, tapi aku salah. Dia mencemaskanmu. Bahkan setelah mendapatperlakuan mengerikan seperti itu, dia tetap mengkhawatirkan perasaanmu, Louie."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro