12
"Tempat ini sangat menyenangkan!"
Manty merentangkan tangannya lebar-lebar lalu menghirup dalam-dalam udara segar yang ada di sekitarnya. Setelah sekian detik, dia baru menyusul Jave dan mendudukkan diri di atas kursi panjang. Mereka kini duduk menghadap sebuah kolam yang ada di taman itu. Kolam itu terlihat sangat tenang, membuat Manty merasakan hal yang sama saat melihatnya.
"Sudah kubilang ini akan menyenangkan." Manty bisa menangkap nada bangga di suara Jave. Dan tidak salah, ekspresi yang sama diberikan saat Manty menoleh ke arahnya.
"Kali ini kau benar, May."
Jave kembali tersenyum bangga. Lalu mereka terdiam beberapa saat. Menikmati ketenangan sekitar yang menghanyutkan jiwa. "Bagaimana kau bisa tahu tempat ini?" tanya Manty akhirnya.
"Aku sering ke sini. Ini tempat favoritku." Jave mengalihkan pandangan dan menatap Manty yang ada di sebelahnya. "Bukankah kau sudah lama di Pittsford? Dan kau tidak tahu tempat ini?"
Manty tertawa kecil. "Aku memang tidak banyak pergi-pergi saat di sini. Kalau daerah Jepang, aku tahu banyak. Aku besar di sana, jadi bukan masalah."
"Bagaimana rumahmu yang di sana?"
"Menyenangkan! Rumah kami memang sederhana, terbuat dari kayu. Tapi suasananya sangat tenang, juga nyaman. Di sekitar ada taman bunga. Rasanya seperti di surga, setiap membuka mata kau bisa menemukan bunga-bunga bermekaran dan menghirup aromanya."
Jave tersenyum singkat mendengar cerita Manty. "Sepertinya benar-benar nyaman. Lalu kenapa kau pindah ke sini? Sendirian?"
Manty terdiam sejenak. Wajahnya terlihat seperti sedang berpikir. "Karena... aku kuliah di sini."
"Kenapa tidak di sana?"
Manty melirik tajam. "Kenapa kau bertanya terus? Kau seperti pemerintah yang tidak suka menerima keberadaanku di negara ini."
Jave tergelak. "Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu saja. Lagipula kau tidak sepenuhnya orang Jepang, kan? Jadi kau pun sebenarnya punya hak untuk tinggal di sini."
Manty melihat langit yang sudah mulai gelap lalu melirik jam tangannya. "Ah, sudah sore hampir malam."
"Dan aku lapar. Kita makan?" tawar Jave cepat.
Manty menggeleng sambil menggerakkan telunjuknya. "Sayang sekali, May. Aku harus segera pulang. Aku sudah berjanji untuk mendengar cerita Louie dan Steve. Sebenarnya aku sendiri tidak sabar untuk segera mendengar."
"Lalu sepedanya?"
"Aku akan ke rumahmu dulu, May."
***
"Kau yakin tidak mau kuantar, Clam?" tanya Jave saat mengantar Manty di depan pintu rumahnya.
Manty menggeleng lalu tersenyum singkat. "Tidak usah, May. Daerah ini aman dan aku sudah biasa berjalan sendiri. Baiklah, aku pulang dulu!"
Kaki Manty mulai dilangkahkan perlahan. Dia terlihat begitu menikmati setiap langkahnya. Walau dia sudah melewati rute beberapa kali dan tidak ada pemandangan yang begitu menarik, tapi tetap ada rasa menyenangkan saat ini. Mungkin ini efek dari suasana hatinya yang sedang baik setelah melihat pemandangan yang menenangkan di taman tadi.
Manty memalingkan wajahnya ke kanan kiri. Terdapat lampu jalan yang menerangi di atas sana, beberapa restoran yang dilewati, tapi keadaan jalan terasa sepi. Entah ke mana orang-orang yang berada di tempat ini. Tiba-tiba ketakutan menyelip di hati Manty. Keadaan sepi seperti ini membawanya kembali ke saat-saat Kean terbunuh. Manty segera menggeleng cepat.
"Oh Tuhan!" seru Manty di sela suara terkesiapnya. "Kau mengagetkanku, Steve!"
Napas Manty masih memburu saat ini. Peristiwa mengerikan itu baru melintas di otaknya dan membuatnya takut, lalu tiba-tiba dia menemukan Steve berdiri di hadapannya dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Harusnya dia sudah bisa tenang karena yang dilihatnya adalah Steve dan bukan orang asing yang jahat, tapi entah kenapa perasaan aneh tiba-tiba membungkus dirinya saat ini.
Steve memiringkan wajahnya lalu menatap Manty lekat-lekat. Tatapan Steve yang seperti itu membuat Manty bergidik. Entah kenapa rasanya Steve agak berbeda saat ini. "Kau kenapa Steve?"
Suara terkesiap Manty kembali terdengar ketika Steve mencengkeram pundaknya. "Kenapa kau lebih memilih lelaki itu daripada aku, Manty?"
Rasa takut semakin memenuhi Manty, apalagi saat mencium aroma alkohol di mulut Steve. "Ap... apa maksudmu, Steve?"
"Dulu aku membiarkan Kean merebutmu. Tapi sekarang, aku tidak akan membiarkan kau direbut orang lain lagi, Manty! Tidak oleh lelaki yang baru itu! Aku sudah lebih lama mengenalmu, jadi aku lebih berhak darinya!"
Manty bisa merasa cengkeraman Steve di pundaknya semakin menguat. Jantung Manty berdebar tidak keruan. Kengerian demi kengerian melintas di benaknya. Membawanya pada skenario-skenario terburuk yang mungkin saja terjadi saat ini. Terutama saat Steve menyeretnya ke sebuah jalan kecil yang lebih gelap. "Jangan gila Steve! Tidak ada yang merebutku! Sejak dulu kita berteman, dan tidak lebih!"
Manty memberanikan diri untuk melontarkan kalimat tadi. Dia berharap kata-katanya bisa menyadarkan Steve. Dia bahkan tidak pernah menyangka kalau selama ini Steve menaruh perasaan padanya. Yang dia tahu mereka hanya berteman dan tidak lebih. Namun kenyataannya Manty salah.
"Aku tidak peduli! Kau harus bersamaku!"
Kegilaan yang menguasai Steve membuat Manty semakin takut. Dia segera berteriak dan berharap bisa mendapat bantuan, tapi Steve langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Manty merasa sudah tidak mengenal Steve saat ini. Apalagi saat lelaki itu mulai menceng-keram leher belakangnya dengan erat. Napasnya yang memburu mengalir di setiap lekuk leher Manty, membuat bulu kuduknya meremang. Sungguh, seseorang harus menolongnya saat ini dari Steve yang sudah kehilangan akal sehat.
Tekanan yang diberikan Steve membuat kepala Manty beberapa kali membentur tembok belakang hingga tidak terasa setetes air kembali lolos dari matanya. Perlakuan Steve kali ini membuat Manty seolah menjadi tersangka yang sedang diperiksa anjing pelacak. Diendus di setiap titik tubuh hingga Manty bisa merasa napas itu semakin mendekati bibirnya dan siap melumatnya habis.
Manty memejamkan matanya erat-erat, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun kenyataannya semua terasa begitu nyata. Sangat nyata hingga Manty bisa merasakan sakit di bibir dan bagian tubuh lainnya. Manty sudah hampir kehilangan napas ketika dia merasa tubuhnya ringan. Tidak ada lagi tekanan dari Steve. Seolah lelaki itu ditarik menjauh darinya atau bahkan tubuhnya yang terangkat entah ke mana meninggalkan tempat itu.
Sedikit rasa lega menghampiri Manty. Dia memberanikan diri untuk membuka matanya perlahan. Ketika setitik cahaya masuk ke dalam matanya dan memantulkan bayangan dua orang sedang bergelut di aspal, matanya seketika membelalak. Suara terkesiapnya kembali terdengar saat dia sudah bisa melihat apa yang sedang terjadi dengan jelas. Jave sedang mendaratkan beberapa tinjuan ke atas wajah Steve yang terkapar di aspal.
"Ayo pergi dari sini!"
Manty masih bergeming di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun beberapa saat kemudian, dia bisa merasakan tubuhnya yang masih gemetar itu ditarik pergi dengan cepat oleh Jave. Dia masih sempat menoleh dan melihat Steve yang wajahnya dipenuhi darah terkapar tak berdaya di atas aspal yang mulai mendingin. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Semuanya berkecamuk dan membawanya pada sesuatu yang tak berujung.
***
Jave mendudukkan Manty di trotoar kosong. Jalanan ini sudah benar-benar sepi saat ini. Sebenarnya Jave ingin membawa Manty ke rumahnya, tapi dia takut gadis itu masih trauma dengan kejadian barusan. Dia juga berpikir untuk membawa Manty pulang, tapi dia tidak tahu di mana rumahnya dan saat ini Manty masih belum bisa diajak berkomunikasi. Gadis itu masih terlihat gemetaran. Sejak tadi tangannya masih didekap di bibir.
Pandangan Manty terlihat begitu kosong. Sepertinya jiwanya benar-benar melayang entah ke mana meninggalkan raganya di sini. Jave bersimpuh di hadapan Manty. Dia tidak melakukan apa-apa, juga tidak berbicara sedikit pun. Hanya menatap Manty dan berharap kehadirannya bisa menenangkan, juga memberi gadis itu kekuatan.
Sekian lama mereka berdiam diri, tiba-tiba bulir-bulir kristal kembali muncul dari mata Manty dan menuruni wajahnya dengan cepat. Pandangannya masih terlihat kosong, tapi Jave bisa merasakan kesedihan yang sangat dalam saat gadis itu terisak tanpa suara. Jave mengangkat tangannya, hendak mengelus pundak Manty, atau bahkan memberinya pelukan untuk menguatkan. Tapi Manty refleks memundurkan tubuhnya, membuat Jave kembali menurunkan tangan dan mengurungkan niatnya.
Jave paham dengan sikap Manty barusan. Dia pasti masih trauma dengan kejadian yang baru dialaminya. Terlebih lagi, Steve itu temannya sejak masa kuliah. Itu pasti sangat membuatnya terpukul. Tapi melihat keadaan Manty yang seperti ini membuat hati Jave terasa sakit. Melihat sorot ketakutan di matanya, melihat tangannya yang bergetar dan saling meremas, melihat air matanya yang tak kunjung berhenti tapi tidak disuarakan. Jave merasa ingin sekali membunuh Steve saat itu, tapi dia sadar, itu hanya akan menambah kepedihan hati Manty.
"Apa yang harus kukatakan pada Louie?"
Mata Jave melebar saat mendengar pertanyaan yang diucapkan Manty dengan lirih itu. Air matanya belum mengering, bahkan kembali menetes. Jave tidak pernah menyangka alasan Manty berdiam sejak tadi adalah memikirkan Louie, bukan karena trauma atau sedih mendapat perlakuan seperti itu dari Steve. Dia kembali menatap Manty. Sejenak dia terdiam, bingung bagaimana harus menanggapi ucapan Manty tadi.
"Kau harus menceritakan semuanya. Bagaimana pun keadaannya, walau kenyataan ini akan melukai Louie, tapi dia berhak mengetahui yang sebenarnya. Dia bahkan berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik dari bajingan itu," ujar Jave akhirnya.
Manty terdiam beberapa saat. "Mungkinkah? Dia bisa saja membenciku."
"Dia sahabatmu. Dia tidak akan membencimu setelah mendengar perlakuan Steve yang biadab seperti itu."
"Tapi dia menyukai Steve. Dan aku merebutnya."
"Kau tidak merebut siapa pun, Clam! Kau tidak pernah menggoda Steve, kau bahkan membiarkan mereka pergi berdua hari ini. Dan aku yakin, kau bahkan tidak pernah menduga kalau Steve menaruh perasaan padamu."
Mendengar perkataan Jave, Manty kembali bergeming. Ucapan Jave sepenuhnya benar. Lelaki itu bisa mengerti dirinya dengan baik. Tapi memikirkan perasaan Louie membuatnya tidak bisa tenang. Bagaimana pun, dia tahu sahabatnya itu pasti akan terluka. Menyukai Steve selama bertahun-tahun dan ternyata lelaki itu malah menyukai Manty, dan bahkan ingin melakukan hal yang...
Manty kembali menutup matanya. Memikirkan kelanjutan pikirannya itu membuat ketakutan di hatinya timbul kembali. Suasana yang begitu mengerikan tadi masih berputar di seluruh tubuhnya, siap mencabik di bagian mana pun dia membuka celah. Manty menggigit bibir bawahnya yang bergetar dengan erat. Bahkan terlalu erat hingga bibirnya berdarah.
"Clam! Apa yang kau lakukan?!" seru Jave sambil mengeluarkan sapu tangan dan mengelap bibir Manty dengan lembut.
"Aku takut," aku Manty lemah. Suaranya bergetar hebat. Air matanya kambali turun.
Javemeraih tangan Manty yang terlipat di depan dan membungkusnya dengan erat.Kehangatan dari tangannya tersalur dengan sempurna. "Jangan takut, Clam. Akuselalu di sini, dan akan selalu seperti itu. Aku tidak akan meninggalkanmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro