11
"Bagaimana pakekuk buatanku? Enak, bukan?"
Manty melirik sekilas. Suapan terakhir di tangannya masih melayang di udara. Sebisa mungkin dia mengontrol ekspresinya. Sejak tadi dia memang terus saja melahap panekuk di piringnya tanpa memikirkan apa pun. Tidak ada yang bisa diperhatikan selain adonan bulat pipih dengan saus maple yang menggoda di depannya ini.
"Lumayan," jawab Manty sambil mengangguk-angguk sebelum memasukkan suapan terakhir itu ke mulutnya.
"Hanya lumayan?" Suara Jave terdengar meninggi, tidak percaya dengan komentar Manty yang baru didengarnya. "Kau bahkan melahapnya terus-terusan. Berani-beraninya kau hanya berkata lumayan."
Manty tergelak melihat ekspresi Jave. "Kalau sudah tahu kenapa masih bertanya? Kau hanya minta dipuji, kan?"
"Aku hanya ingin mendengar jawaban jujur," elak Jave.
"Kau ini." Manty mendecak, lalu melanjutkan, "Kalau kau begitu ingin dipuji, baiklah. Ini memang enak. Dan aku tidak pernah memakan panekuk seenak ini seumur hidup. Kau memang hebat, Jave Mayder."
Mata Jave menyipit seketika, lalu dia mendengus. "Kau ini bermaksud meledek atau bagaimana? Mengesalkan!"
Lagi, Manty tergelak. Dia tidak menyangka Jave yang memiliki rahang tegas seperti itu bisa mengeluarkan ekspresi yang sangat lucu. Dia bahkan seperti sedang melihat anak kecil. Melihat Manty tertawa seperti itu, seulas senyum bahagia timbul di wajah Jave. Entah kenapa perasaannya jadi sangat bahagia saat melihat gadis itu tertawa lebar.
"Kau bisa bersepeda, Clam?" tanya Jave tiba-tiba. Manty menghentikan tawanya dan terlihat bingung, tapi akhirnya mengangguk pelan. "Bagus!"
Jave bangkit dari kursi lalu menarik tangan Manty untuk ikut dengannya. Manty dituntun ke sebuah ruangan, yang ternyata adalah garasi. "Ayo!" Jave menggerakkan kepalanya, menyuruh Manty naik ke sepeda satunya.
***
Louie memperlambat langkahnya ketika hampir tiba di tempatnya berjanji dengan Steve. Sepanjang jalan dia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan. Belum lagi alasan yang harus dikarangnya sesempurna mungkin. Ini semua karena Manty. Dia tidak pernah menyangka sahabatnya itu bisa menjebaknya seperti ini.
Dirinya terus saja merutuk hingga kepalanya membentur sesuatu. "Kenapa kau terus berjalan menunduk, Louie. Aku yang sebesar ini pun tidak kau lihat?"
Louie tersentak. Kepalanya langsung terangkat dan matanya langsung bertemu dengan tatapan dalam Steve. Detak jantungnya seketika menjadi tidak normal. Begitu juga dengan napasnya. Susah payah dia mencoba menarik napas dan menelan ludah. Tangannya yang memegang tas kecil sudah memelintir talinya dengan hebat.
"Maaf." Hanya itu kata yang bisa diucapkan Louie saat ini. Otaknya tiba-tiba kosong. Semua rangkaian kalimat yang sudah disusunnya pun menghilang seketika.
Steve tersenyum singkat lalu melarikan pandangannya ke belakang Louie. Dalam hitungan detik pandangannya sudah berpindah ke arah lain, dan terus seperti itu hingga seluruh tempat yang masih bisa dijangkau matanya sudah ditelusuri.
"Di mana Manty?" tanya Steve akhirnya, setelah mencari ke mana-mana.
"Ah... Umm... Manty... Dia tidak enak badan, jadi tidak bisa ikut." Louie berusaha mengontrol suaranya sebisa mungkin.
Steve mendesah lemah lalu berusaha menampilkan senyum. Tapi Louie bisa melihat dengan jelas raut kecewa di wajahnya. "Sayang sekali. Kalau begitu... kita jalan-jalan di sekitar sini saja. Bagaimana?"
Louie tersenyum singkat. Dia jelas merasakan perubahan sikap Steve, tapi akhirnya dia setuju. Steve segera berbalik dan berjalan dengan langkah lebar-lebar setelah mendapat anggukan dari Louie. Dari belakang, Louie hanya bisa mendesah. Mengejar Steve yang berkaki panjang membuatnya lelah. Terlebih lagi dengan sepatu hak tinggi seperti ini.
Tiba-tiba langkah Steve berhenti, membuat Louie kembali menabraknya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi raut wajahnya terlihat seperti sedang memendam amarah. Karena penasaran, Louie segera mengikuti arah pandang Steve. Dia menggigit bibir bawahnya erat saat melihat sesuatu di seberang sana.
"Itu yang kau bilang sedang tidak enak badan?"
Suara Steve yang dingin sekaligus menyimpan marah di dalamnya membuat Louie menciut. Ada kilatan mengerikan di mata Steve yang membuat perasaannya semakin tidak enak. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Steve meninggalkan Louie yang terdiam di sana. Sendirian. Lalu dirinya menghilang dari pandangan Louie. Entah ke mana.
***
"Kau lambat sekali, Clam!"
Jave terus mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh. Sedangkan Manty yang sejak tadi berada di belakangnya mengayuh sekuat tenaga untuk mengejar. Tapi upaya itu tidak pernah berhasil. Jave selalu berada di depannya. Bahkan menyamakan posisi saja Manty tidak bisa. Mendengar ejekan yang terus dilontarkan Jave membuat dirinya kesal.
"Kau itu laki-laki, May! Jangan samakan kekuatan kita!" seru Manty di sela napasnya yang memburu.
"Apa kau bilang? May?" Jave menghentikan laju sepedanya dengan menurunkan kaki secepat mungkin. Kata itu terlalu janggal di telinganya.
"Bukankah kau memanggilku Clam? Jadi kita seimbang kalau aku memanggilmu May. Bukan begitu?" Wajah Manty terlihat sangat senang saat mengucapkan itu. Seperti ada kepuasan tersendiri bisa meledek Jave. "Kali ini kau kalah, May!" seru Manty sambil mengayuh sepedanya melewati Jave.
Jave yang masih terdiam langsung sadar begitu Manty melewatinya. "Kau curang!" serunya. Dia kembali mengayuh sepedanya dan mulai mengejar Manty yang sudah cukup jauh. Mereka terus saja berlomba mengadu kecepatan sambil sesekali tertawa dan tidak menghiraukan sekitar, termasuk tatapan mengerikan dari arah seberang.
"Kita akan ke mana?" tanya Manty. Dia menghentikan sepedanya karena tidak tahu arah mana yang harus dituju.
Jave berhenti sejenak lalu berpikir. "Ikuti saja aku! Ada tempat yang bagus!"
***
Manty terus mengayuh sepedanya mengikuti arah Jave. Kali ini posisi mereka sudah berjajar dan tidak saling berlomba lagi. Mereka mengayuh dengan santai dan menikmati udara juga pemandangan sekitar. Sesekali mereka berhenti untuk minum ataupun sekadar mengistirahatkan kaki.
Mereka melalui jalanan kecil dengan pohon berjejer di samping. Tidak lama kemudian Jave menghentikan laju sepedanya dan mengajak Manty turun. Sepeda mereka ditaruh di dekat sana lalu mereka mulai berjalan kaki. Manty mengedarkan pandangan dan menemukan plang bertuliskan Mendon Ponds Park Nature Center.
"Apa yang akan kita lakukan di sana?" tanya Manty sesaat sebelum melewati plang kayu tadi dan masuk lebih dalam.
"Lihat saja nanti. Ini akan menyenangkan," jawab Jave sambil menarik tangannya.
Walau sempat ragu, tapi akhirnya Manty mengikuti tuntunan Jave. Sebelum masuk lebih dalam, Jave sempat berhenti sebentar dan membeli sekantung biji bunga matahari. Manty bertanya-tanya dalam hati, tapi tidak menyuarakannya. Dia yakin Jave akan memberi jawaban yang sama dengan tadi. Lalu mereka kembali berjalan dan berhenti di tepi pohon-pohon kecil.
"Ulurkan tanganmu," suruh Jave. Lalu dia menaburkan biji-biji bunga matahari yang dibelinya tadi ke tangan Manty dan melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri. "Berdiri diam dan lihat apa yang akan terjadi nanti."
Manty menuruti perintah Jave dengan wajah bingung. Sungguh, dia tidak mengerti apa yang ingin dilakukan lelaki itu dan apa yang akan terjadi nanti. Mereka berdiam beberapa saat dan belum terjadi apa pun. Manty baru membuka mulutnya dan hendak bertanya atau protes pada Jave. Tapi tiba-tiba dia melihat seekor burung kecil terbang dan hinggap ke atas tangannya. Burung kecil itu memakan biji bunga matahari yang ditadahnya.
Jave mendesis lalu berbisik pelan, "Jangan bergerak, nanti burungnya pergi."
Walau berniat menurut pada Jave, tapi kenyataannya Manty tidak bisa menahan rasa terkejut sekaligus senangnya. Berkali-kali tubuhnya bergerak karena tertawa kecil. Setelah cukup lama, dia mulai mengangkat tangan kirinya yang sejak tadi hanya ditaruh di samping tubuh. Tangannya itu digerakkan lambat ke arah burung kecil berwarna hitam putih yang sedang makan, lalu mengelusnya perlahan.
Jave memperhatikan Manty dari samping. Wajah gadis itu terlihat sangat bahagia, apalagi saat mengelus-elus burung yang hinggap di tangannya. "Sepertinya burung itu menyukaimu," ujar Jave setelah mereka selesai memberi makan burung.
"Aku juga suka saat dia hinggap tadi," jawab Manty sambil tersenyum ceria. "Oh, rusa!"
Mantymelihat sekawanan rusa di seberang dan langsung berlari ke sana. Jave hanyabisa menggeleng-gelengkan kepala saat melihat tingkahnya. Sepertinya gadis itumemang sangat menyukai alam. Saat ini dia sudah berada di tengah-tengahkumpulan rusa itu, memberi mereka makan dan sesekali memeluk lalu mengelusbulu-bulu halusnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro