Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

Louie mengetuk-ngetukkan kukunya di atas meja. Manty baru saja datang bersama Jave dan Steve. Dan entah kenapa suasana menjadi sangat canggung, bahkan bisa dibilang tegang. Sejak tadi mereka semua hanya berdiam diri. Raut wajah yang mereka tunjukkan pun tidak menyenangkan, terutama Steve. Louie bisa melihat itu dengan jelas.

"Kalian ingin aku membuatkan minuman supaya suasana bisa lebih mencair?" tanya Louie akhirnya. Mereka menggeleng serempak, membuat Louie kembali mendesah.

"Kalian ingin terus berdiam diri di sini?" Manty mencoba memberi penekanan.

Steve menatap Jave tajam. Mulutnya masih terkunci rapat, belum mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan untuk menanggapi ucapan Manty tadi pun tidak. Sedangkan Jave yang mulai terganggu memilih untuk berdiri dan pamit pada Manty dan Louie. Sepanjang jalan menuju pintu, Steve tidak berhenti mengiring langkah Jave dengan tatapan mengerikan.

Beberapa saat setelah Jave keluar dari toko, ponsel Manty bergetar. Sebuah pesan masuk ke sana. Tawa Manty tidak bisa ditahan setelah membuka pesan itu dan membaca sepenuhnya. Konyol, batinnya.

Aku akan datang lagi kalau orang mengerikan itu sudah pergi. Jangan lupa untuk mengabariku.

"Ada apa Manty? Kenapa kau tertawa begitu?" tanya Steve, merasa tawa kecil Manty itu cukup mencurigakan. Manty hanya menggeleng sambil berusaha menghentikan tawa dan mengubahnya menjadi senyuman biasa.

Setelah melihat Manty sudah bisa kembali menormalkan ekspresinya, Steve berkata, "Bagaimana kalau kita pergi akhir pekan ini? Sudah lama bukan, kita tidak pergi bersama?"

"Boleh! Tentu!" jawab Manty cepat dengan senyum yang mencurigakan, setidaknya bagi Louie. Senyuman itu benar-benar tidak bisa diartikan.

Louie mencoba memberi tatapan seolah bertanya 'apa maksud dari senyum itu', tapi yang ditemukannya justru senyum Manty yang semakin lebar dan sarat makna tersembunyi.

***

Sabtu pagi kali ini, matahari sudah tidak terlalu bersinar terang. Musim gugur memang sudah mulai menggantikan posisi musim panas. Namun cuaca yang dihasilkan masih sangat nyaman. Sejuk, tidak terlalu panas, tapi juga belum mencapai dingin. Manty dan Louie sedang memilih baju untuk pergi bersama Steve sebentar lagi.

"Kau tetap dengan gaya seperti itu, Manty?" tanya Louie saat melihat Manty memilih jins biru dengan blus lengan pendek yang ditambah jaket tipis. Dia tahu persis, itu memang gaya khas Manty, yang memang selalu lebih suka pakaian kasual yang tidak merepotkan baginya. Tapi kali ini Steve mengajak mereka menonton acara resmi, dan Manty masih saja bersikeras dengan prinsipnya.

Louie masih terheran-heran dengan kebiasaan Manty, walau dia tahu, sahabatnya itu tetap cantik dengan pakaian apa pun. Wajahnya yang oval dengan dagu berlekuk terlihat sangat manis. Belum lagi perpaduan Asia dan Barat yang sempurna, terlihat dari matanya yang sipit tapi hidung yang lancip dan rambut pirang.

"Apa yang salah? Aku biasa seperti ini, kan?" tanya Manty cuek.

Louie mendesah pelan. "Ini acara resmi, Manty. Setidaknya kau bisa memakai rok ke sana kalau gaun terlalu merepotkan bagimu."

"Tidak perlu, Louie," jawab Manty sambil mengibas-ngibaskan tangannya. "Ayo!"

Setelah selesai bersiap-siap, Manty menarik tangan Louie dan membawanya keluar rumah. Entah kenapa ada perasaan aneh yang menghampiri Louie. Sikap Manty ini terasa sangat tidak biasa. Dan tiba-tiba senyum mencurigakan yang Manty berikan waktu itu kembali melintas. Mungkinkah dia benar-benar melakukan hal aneh di luar dugaan?

"Ayo kita berangkat!" seru Louie sambil menarik tangan Manty dan berjalan ke arah kiri.

Manty tidak bergerak, malah kembali tersenyum jahil lalu menggoyang-goyangkan telunjuknya. "Arahku bukan ke sana, Louie."

Kening Louie langsung berkerut dan alisnya terangkat setengah. "Tempat kita berjanji dengan Steve ada di sebelah sini, Manty."

"Itu sebabnya aku tidak akan berbelok ke sana." Kerutan di kening Louie semakin mendalam. Manty tergelak melihat itu, lalu memajukan telunjuknya ke tengah-tengah alis Louie, seolah sedang mengurut. "Tidak usah berpikir terlalu keras, Louie. Aku hanya tidak akan mengganggu waktumu dengan Steve."

Kini mata Louie membelalak. "Apa maksudmu dengan mengganggu?"

Manty mendecak. "Kau ini... masih saja tidak mau mengaku. Kau pikir aku benar-benar mayat hidup yang tidak punya perasaan? Aku sangat sadar dengan caramu memandang Steve yang penuh kekaguman selama ini." Louie membuka mulutnya hendak mendebat, tapi Manty segera memotong. "Sudah tidak usah mengelak. Katakan saja aku sedang tidak enak badan, jadi tidak bisa ikut bersama kalian. Selamat bersenang-senang, Louie! Aku menunggu ceritamu nanti malam!" seru Manty sambil berlalu dan melambaikan tangannya.

***

"Clam?" Jave terlihat sangat bingung saat menemukan Manty di depan rumahnya.

Manty tersenyum lebar. "Apakah aku mengganggu?"

"Tentu tidak," jawab Jave ceria. Lalu dia menggeser tubuhnya, memberi ruang yang lebih lebar sehingga Manty bisa masuk ke dalam rumahnya.

Manty berjalan melewati Jave dan mulai masuk ke dalam rumahnya. Keadaan rumah Jave hari ini terlihat begitu lengang. Manty mengedarkan pandangannya ke segala arah. Sepi. Rumah itu seperti tidak ada kehidupan. Tidak ada siapa pun yang terlihat di sana.

"Orangtuaku sedang keluar kota," ujar Jave dari belakang seolah bisa membaca isi pikiran Manty. Kepala Manty mengangguk-angguk, lalu dia duduk di sofa besar setelah dipersilakan Jave. "Kelihatannya kau sedang sangat senang."

"Aku berhasil menjalankan rencanaku," jawab Manty sambil tersenyum lebar. Dia benar-benar tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Melihat wajah penuh pertanyaan Jave, dia kembali melanjutkan, "Aku berhasil membuat Louie pergi berdua saja dengan Steve. Tadinya kami memang berjanji untuk pergi bertiga. Tapi aku tentu tidak sebodoh itu untuk menjadi pengganggu."

"Louie dan Steve..."

Manty mengangguk mantap dengan wajah berseri-seri. "Aku tahu Louie sudah lama menyukai Steve, hanya saja dia tidak pernah mengaku. Tapi instingku ini sangat kuat. Tidak akan ada yang bisa ditutupi dariku."

Jave memperhatikan Manty lekat-lekat sambil bersedekap, lalu tiba-tiba dia tertawa kecil membuat Manty kebingungan. "Ternyata kalau tidak bersikap dingin, kau sebawel ini, ya."

Manty terdiam mendengar ucapan Jave. Terlebih saat melihat senyumnya. Entah perasaan semacam apa yang merasukinya saat melihat senyuman manis dan tulus dari lelaki itu. Apa karena dia sudah terlalu lama tidak melihat senyum setulus itu dari seorang pria? Atau karena itu mengingatkannya pada Kean?

Tidak, dia memang berbeda.

"Kau tersinggung?" tanya Jave ketika Manty tak kunjung menjawab.

Seolah baru tersadar dari lamunannya, Manty cepat-cepat menggeleng. "Tidak. Aku... tidak marah ataupun tersinggung. Tapi aku memang begini, hanya saja kau yang belum mengenalku."

"Itulah. Seharusnya sejak awal kau tidak bersikap dingin, agar aku bisa mengenalmu lebih dalam." Jave tersenyum lebar.

Lagi, Manty terdiam. Mendadak suasana di sini jadi begitu kikuk. Dia hanya bisa memberikan senyum yang terlihat sangat kaku. Sejenak mereka berdua terdiam, membiarkan keheningan berkuasa di sana.

"Kau mau panekuk?" tawar Jave akhirnya, memecah keheningan.

Tiba-tiba Manty merasa napasnya tercekat. Mendengar kata panekuk mampu membuat ototnya melemah. Rasanya seluruh isi tubuhnya menjadi kosong. Rongga dadanya, otaknya, juga hatinya. Semua kosong. Isinya direnggut secara paksa hingga tidak menyisakan apa pun selain kesesakan.

"Ada apa lagi dengan panekuk? Kesukaan Kean?" tebak Jave. Sepertinya dia benar-benar bisa membaca perasaan Manty lewat gerak-geriknya.

Manty mengembuskan napas dalamnya, kemudian tersenyum miris sebelum akhirnya menundukkan kepala. "Sebaiknya jangan tawarkan panekuk. Kalau terus begitu aku tidak akan pernah melupakan kenangan kami. Aku hanya akan terus... terikat di sana."

Sebuah senyum terulas di wajah Jave, kemudian dia mendekat dan berlutut di depan Manty. Tangannya memegang pundak Manty, membuat gadis itu mengangkat kepala, lalu dia menatapnya lekat-lekat. "Jangan pernah melepaskan kenangan, Clam. Karena kesalahannya bukan saat kau mengingat masa lalu, melainkan obsesimu untuk memilikinya kembali."

Mantymenatap mata abu-abu yang memberikan sinar teduh di hadapannya. Tidak adakeraguan di sana. Bahkan ketulusan memancar dengan sempurna. Tanpa celah.Ucapan Jave mampu membuatnya melahirkan senyum lepas. Senyum yang sudah lamadikuburnya. Saat itu juga dia tahu, hatinya sudah kembali terisi sesuatu. Suatuhal yang pernah dia lepaskan, tapi kini akan coba diraihnya kembali.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro