Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

Matahari bersinar terang. Sinarnya menyengat tepat di atas kepala. Musim panas memang sedang berada di puncak. Di kejauhan, terlihat dua orang yang wajahnya begitu ceria. Senyum mereka merekah dengan lebarnya, dan sesekali jerit bahagia dari sang gadis menggema di jalanan kosong ini.

Akira Clamanty dan Kean Alvaro sedang berjalan beriringan di sebuah jalan kecil. Entah kenapa jalan ini sangat sepi, tidak seperti biasanya. Walau populasi di Pittsford tidak banyak, tapi biasanya ada saja orang yang melintas. Hal ini sempat membuat Manty bingung dan ragu untuk memilih jalan pulang ini, tapi akhirnya Kean berhasil meyakinkannya.

"Sudah kubilang tidak ada apa-apa, kan? Tidak ada yang harus ditakutkan, Man. Kau hanya terlalu banyak berpikir," ujar Kean setelah melihat Manty sudah cukup tenang berada di jalan ini.

Manty mengangguk sekilas, lalu menoleh ke arah Kean dengan senyum manisnya. Lalu matanya menangkap sesuatu di belakang Kean. "Bunga matahari!" pekiknya girang saat melihat bunga matahari di seberang jalan. Manty memang penggila bunga matahari. Di mana pun dia melihat bunga itu, dia akan langsung melonjak girang. Sama seperti saat ini, dia sudah meloncat-loncat bagai bola yang dipantulkan ke lantai.

Kean melirik sekilas, lalu tersenyum dan mengusap kepala Manty. Tidak lama kemudian, dia sudah berada di seberang jalan untuk mengambilkan bunga matahari yang dilihat Manty tadi. Kean mengangkat bunga matahari itu tinggi dengan ekspresi penuh kemenangan setelah berhasil mengambilnya. Sedangkan Manty terus saja bersorak girang di seberang sana.

Beberapa langkah lagi, Kean akan tiba di depan Manty. Tapi suatu yang mengejutkan terjadi begitu cepat. Terlalu cepat hingga membuat Manty tidak bisa memercayai apa yang baru saja dilihatnya. Kean bersujud lemah di depan sana, dengan tangan mendekap bunga matahari. Tidak lama kemudian, cairan merah mulai mengalir deras dari mulutnya. Membuat wajahnya memucat dengan cepat dan akhirnya tubuhnya terbaring di aspal.

Manty terperangah. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Matanya belum mengedip sedikit pun, juga belum beranjak dari tubuh penuh darah Kean. Hingga suatu pergerakan membuatnya sadar. Seseorang berlari dengan cepat. Manty bisa melihatnya, namun tidak jelas. Tidak. Tidak ada yang jelas saat ini. Bahkan perasaannya sendiri terasa begitu gamang, termasuk kenyataan yang harus dihadapinya sekarang. Kean pergi dari hidupnya. Selamanya.

"KEAN!"

Manty terduduk di atas kasurnya dengan napas yang memburu, juga air mata yang memenuhi wajahnya. Tangannya bergetar hebat. Terlalu kencang hingga tidak bisa memegang apapun, dan akhirnya didekapnya di bibir.

"Manty! Manty!" seru Louie, sahabat yang tinggal serumah dengan Manty. "Kau pasti memimpikan kejadian itu lagi," lanjutnya saat Manty tak kunjung menjawab.

Melihat tatapan Manty yang masih penuh kengerian, Louie turun dari kasur yang mereka tempati dan bergerak ke arah meja kecil di dekat pintu untuk mengambil minum. Dia menyodorkan segelas air putih ke hadapan Manty, tapi gadis itu tidak merespons. Tidak. Manty masih terlalu syok untuk bergerak. Dia masih takut tangannya yang bergetar hebat itu akan memecahkan semua barang yang disentuhnya.

"Minumlah. Itu hanya mimpi," pinta Louie pelan. Tangannya bergerak meraih tangan Manty dan menaruh gelas itu di dalamnya. Tangan Manty kini sudah memegang gelas itu. Oh tidak, dia bukan hanya memegang, tapi menggenggam gelas itu dengan sangat erat. Bahkan terlalu erat hingga membuat Louie takut gelas itu akan segera pecah berkeping-keping.

"Tidak, ini bukan mimpi," bantah Manty lirih.

Benar, apa yang dialaminya bukan mimpi. Louie tahu betul akan hal itu. Bahkan dia yang selalu mengatakan hal itu pada Manty selama dua tahun ini. Hingga kini Manty sendiri bisa mengatakan kenyataan itu.

Ada sebersit kelegaan di hati Louie saat mendengar Manty mengatakan hal itu. Bukannya kejam, tapi setidaknya sahabatnya ini sudah mulai bisa menerima kenyataan. Tapi melihat keadaan Manty sekarang sungguh bertolak belakang dengan hal itu. Alih-alih menerima kenyataan, Manty bahkan belum memulai aktivitas di luar rumah selama dua tahun ini. Perkembangannya masih sekadar mulai berbicara.

Benar, mulai berbicara. Mengingat hal itu membuat Louie kembali bergidik. Mengingat bagaimana Manty mengunci mulutnya rapat-rapat. Mengingat saat-saat sunyi yang dilaluinya sendiri. Kenyataannya dia tinggal bersama Manty, tapi keadaan saat itu membuatnya tidak berbeda dengan orang-orang yang tinggal di rumah tua sendirian.Di tahun pertama kehilangan Kean, Manty terlihat persis seperti mayat hidup.

Mata terbuka, tapi pandangan kosong. Lidah masih menempel tapi tidak menyuarakan apapun. Masih bernapas tapi tidak bergerak sedikit pun. Sungguh, setelah setahun berlalu, Louie baru bisa merasa lega. Selama setahun itu dia hanya bisa menemani Manty dengan sabar. Membantu Manty melakukan apapun, termasuk hal sepele seperti kegiatan sehari-hari. Dan selama setahun pula, usaha toko bunga yang mereka jalankan terbengkalai. Louie hanya bisa menyerahkannya pada pegawai di sana.

"Aku tahu, Man. Tapi kau harus tetap menjalani hidup." Lidah Louie mendadak kelu. Dia sudah terlalu sering mengucapkan hal itu, mungkin Manty sendiri sudah bosan mendengarnya. "Nanti ikut aku ke toko, ya. Banyak klien yang merindukan rangkaian bungamu, Man," bujuk Louie.

Manty tidak menjawab. Dia hanya meneguk air dari gelas yang digenggamnya sejak tadi. Lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela, melihat langit yang masih gelap di luar sana dari celah kecil gorden.

***

Louie keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi. Dan ketika melihat Manty masih duduk termenung sambil membekap kedua lutut di atas kasur, bahunya sontak merosot dan dengusannya terdengar. Sambil berdecak, dia bergerak ke arah lemari besar yang terbuat dari kayu mahoni. Setelah memilih beberapa saat, Louie menyodorkan blus lengan pendek dan jins ke arah Manty. Persis seperti yang biasa dikenakan Manty untuk keluar rumah.

Manty menatap Louie dengan alis terangkat setengah. "Cepat mandi dan kenakan ini nanti," kata Louie sambil menggoyangkan blus dan jins yang dipegangnya.

"Tidak hari ini." Manty menggeleng, lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah jendela.

Louie mendesah lalu melemparkan blus dan jins itu ke atas kasur. "Lalu kapan? Kau sudah bersembunyi selama dua tahun, Man." Manty masih bergeming. Dan itu membuat Louie gemas. Sambil berkacak pinggang dia berkata, "Selama ini aku yang terus mengikuti dan mendengarkanmu. Maka kali ini giliran kau, Manty. Ikuti dan dengar kata-kataku. Kau harus keluar dari kamar ini dan beraktivitas. Hari ini, Manty. Hari ini!"

Manty menoleh sesaat, lalu kembali melihat ke arah luar. "Masih musim panas," ujarnya lirih. Entah apa maksudnya. Itu jelas di luar konteks pembicaraan.

"Akhir musim panas. Hanya tinggal sebentar, dan musim ini akan segera berlalu. Tapi jangan berharap aku akan percaya bahwa itu alasanmu untuk tidak keluar rumah. Ayolah, Manty. Bukan hanya musim panas yang berlalu selama dua tahun kau di dalam rumah ini. Musim apapun yang terjadi, kau tetap tidak keluar rumah." Louie menghela napas sesaat, lalu melanjutkan dengan nada lebih lembut, "Apa kau tidak lelah seperti ini? Aku yang hanya melihatnya saja lelah."

Benar, tiba-tiba rasa lelah merambati Louie. Dia lelah melihat Manty mengurung diri seperti ini. Dia lelah melihat tatapan Manty yang kosong. Dia lelah terus berdebat dengan Manty yang tidak punya semangat. Dan lebih dari semua itu, dia lelah merasakan keremukan hati sahabatnya yang belum kunjung terobati.

"Maaf." Jawaban singkat Manty membuat Louie menoleh dengan cepat. Suara Manty terdengar sangat lirih saat mengucapkan kata itu. Dan benar saja, saat menoleh Louie bisa melihat selaput bening di mata Manty yang siap meluncur kapan pun dia mengedip.

"Oh sungguh, bukan itu maksudku, Manty." Louie segera mendekati Manty dan berlutut di depannya. "Kalau kau berpikir aku lelah menghadapimu, itu berarti nada bicaraku salah. Kau ini sahabat terbaik yang kupunya. Yang membuatku lelah bukan dirimu, Manty. Tapi kenyataan kalau aku tidak bisa membujukmu untuk membaik. Kenyataan kalau luka hati yang membuatmu sakit itu belum kunjung sembuh."

Dan setelah Louie selesai mengucapkan kata terakhirnya, saat itu pula bulir air yang sudah mengintip di mata Manty sejak tadi mengalir. Louie bangkit dan membawa Manty ke dalam dekapannya. Hatinya juga sakit melihat sahabatnya itu menangis. Tapi harus selalu ada yang lebih kuat saat yang satu menangis, bukan? Kalau dia ikut menangis, itu hanya akan membuat Manty semakin terpuruk. Louie sadar betul akan hal itu.

"Maka berjuanglah, Manty. Berjuanglah untuk menyembuhkan luka hatimu. Kau sudah terlalu lama bersedih, dan itu sudah lebih dari cukup. Aku tahu, ini bukan hal yang mudah. Kean tunanganmu dan kalian hampir menikah saat itu. Tapi kau masih punya hidup. Kau masih punya segala sesuatu yang harus dijalani dan dipertanggungjawabkan," ucap Louie lembut sambil menghapus air mata di wajah Manty.

Dan akhirnya, untuk pertama kali semenjak dua tahun yang kelam berlalu, Louie kembali merasakan dekapan hangat sahabatnya. Juga senyum manis yang sudah lama menghilang dari wajah Manty. Maka hidup baru mereka pun dimulai.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro