5. Es Krim
Setelah menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya, Uli tidak bicara. Ia malah terdiam dan membiarkan air matanya meluncur begitu saja. Pattar yang ada di sampingnya, bertanya tanpa suara. Bukannya menjawab, Uli malah menjauhkan ponsel dari telinganya dan segera memutus sambungan telepon.
Pattar bertukar tatap dengan Uli hanya untuk mendapati mata besar gadis itu menatapnya dengan tatapan sendu. Kemudian, tanpa aba-aba, gadis yang memeluk bantal itu langsung menutupi wajahnya dengan bantal dan menangis hingga bahunya bergetar hebat.
"Woy, kenapa? Siapa yang nelpon lo?" Pattar bangkit dari duduk dan segera menghampiri adik sepupunya.
Uli menyingkirkan bantal dan berbalik untuk menghindari Pattar. Gadis berbibir tebal itu tidak menjawab, tangisnya malah makin keras. Kini ia menangis sambil menatap ke luar jendela.
Melihat reaksi Uli yang sepertinya tidak ingin diganggu, laki-laki yang mengenakan kaus tanpa lengan itu langsung pamit undur diri dari kamarnya sendiri. Ia buru-buru merogoh saku dan melakukan panggilan darurat.
Tanpa menunggu lama, panggilan itu langsung diangkat. "Halo, lo bisa balik nggak sih?"
"Kenapa?"
"Uli nangis di kamar gue. Nggak tahu kenapa. Nangisnya lebay. Dia nangis depan jendela, drama banget." Pattar berusaha menjelaskan, tetapi ekspresi di wajahnya tetap saja julid.
"Astaga, udah dibilang jangan berantem. Kali ini karena apa?"
Pattar langsung sensi. Ia berdecak dan berkacak pinggang. "Udah dibilang, gue nggak tahu."
"Tanya."
Laki-laki berambut agak panjang itu langsung mengacak rambutnya frustrasi. "Sumpah, bukan karena gue. Dia nangis sendiri. Gimana mau ditanya, nangisnya kayak abis ditinggal mati."
"Seminarnya sampe jam 5. Nggak bisa ditinggal. Cuma kalian berdua yang ada di sana, kalo udah agak tenang, coba ajak ngobrol. Jangan diajak ribut."
"Iya." Laki-laki bermata sipit itu langsung memutuskan sambungan sebelum kembarannya menjawab.
Pattar memutar bola matanya malas. Mudah sekali kembarannya itu menyuruh bicara dengan Uli. Sebelumnya, baru juga mereka bicara agak serius layaknya saudara yang akur, kini Uli malah menangis. Bagaimana Pattar mau ngobrol dengan sukarela?
Sejak kecil, Pattar sangat tidak suka dengan kehadiran Uli. Pattar tiba-tiba merasa punya saingan ketika Uli hadir di keluarga mereka, terlebih lagi Petra memberikan perhatian lebih karena Uli satu-satunya anak perempuan di keluarga besar mereka. Awalnya mereka selalu bertengkar karena memperebutkan Petra, kemudian mulai bertengkar karena hal-hal kecil dan tidak terlalu penting. Semua pertengkaran itu bertahan hingga mereka dewasa. Namun, Pattar dan Uli bisa mengaktifkan mode akur saat berada di acara keluarga.
Setelah beberapa saat, suara tangis Uli tidak lagi terdengar. Dengan ogah-ogahan, Pattar mengetuk pintu kamarnya sendiri. "Oy, udah belom nangisnya?"
"Udah." Uli menjawab dengan teriakan.
Pattar membuka pintu kamarnya dan berdiri canggung di pintu yang baru ia buka. Melihat adik sepupunya bermata sembab, laki-laki berambut agak panjang itu langsung mengambil jaket dari balik pintu. "Yok, beli es krim. Bebas pilih, gue yang traktir."
"Beneran?"
"Iya, kalo nggak mau, ya udah, gue aja yang makan es krim."
Uli buru-buru beranjak dari duduknya dan berlari ke arah pintu. "Siapa yang bilang nggak mau?"
Pattar menyunggingkan senyum tipis. Sangat tipis, hingga Uli tidak menyadarinya.
Begitu tiba di minimarket dekat rumah, Uli langsung menuju freezer dan berdiri di sana cukup lama. Ia tengah menimbang-nimbang, es krim mana saja yang akan dibawanya pulang. Saking fokusnya, ia sampai tidak sadar kalau Pattar sudah tidak ada di sampingnya, hingga bahunya ditepuk seseorang.
"Sabar dulu. Katanya bebas. Lagi milih." Uli menjawab tanpa menoleh. Ia malah memajukan bibirnya dan mengerutkan dahi seolah-olah, memilih es krim serupa sulitnya dengan memilih jodoh.
Bahu Uli kembali ditepuk pelan. Gadis berambut panjang terikat itu langsung menepis tangan yang beberapa detik lalu mendarat di bahunya. "Sabar, sih! Nggak sabaran amat."
Belum juga lewat beberapa detik, bahunya kembali ditepuk.
Uli emosi betulan. Ia meletakkan semua es krim yang tadinya dipegang, kemudian ia menggulung lengan kausnya. "Heh! Kampret, jadi orang kok, nggak sabaran banget, sih!"
"Hai."
Seorang laki-laki jangkung berdiri di depannya. Jangkung bukan sembarang jangkung, saat Pattar dan Petra bisa dikatakan tinggi, laki-laki ini melebihi standar tinggi. Uli harus mendongak hingga lehernya sakit hanya untuk melihat wajah laki-laki itu.
"Maaf, siapa?" Gadis berkaus kebesaran itu langsung mengerjap ketika ingatannya tiba-tiba cemerlang. "Hah! Lo abang-abang es krim, kan?"
Laki-laki tadi tertawa. Tawanya diikuti dengan mata yang melengkung, mirip bulan sabit kembar. Lesung pipi kecil di dekat bibir jadi terlihat jelas. Kulitnya kuning langsat, hidungnya tinggi, meski tidak setinggi harapan Bapak buat dapat menantu Batak. Tawa itu ditutup senyum yang mampu membuat Uli agak oleng sedikit dari tempatnya.
Manis juga.
"Kenalin, gue Juan." Laki-laki bermata sipit itu mengulurkan tangan. Senyumnya tidak beranjak dari sana.
Uli berniat menyambar tangan laki-laki di hadapannya dengan cekatan, tetapi tangan Pattar lebih dulu tiba di genggaman Juan.
"Pattar. Cowoknya ini bocah." Pattar merangkul adiknya dengan erat, nyaris mencekik. Ia melepaskan rangkulan itu setelah Uli menyikut rusuknya.
"Jangan ngaku-ngaku!" Satu pukulan berhasil mendarat di punggung Pattar. Suara yang ditimbulkan cukup keras untuk menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
"Kurang ajar, ya! Gue bilangin Inanguda lo."
Uli menjulurkan lidah dan mengejek sepupunya.
Juan merogoh saku dan mengeluarkan sapu tangan yang tempo hari pernah Uli pinjamkan karena adegan es krim melompat. Ia mengulurkan benda kecil tersebut. "Gue selalu bawa sapu tangan ini karena gue yakin, suatu saat bakalan ketemu sama lo lagi."
"Preeeet." Pattar bersandar di showcase terdekat untuk mendinginkan punggungnya yang panas akibat pukulan adiknya.
Uli meminta Pattar diam dengan gerakan tangan. "Makasih, ini sapu tangan abang gue. Untung aja bisa balik. Maaf juga buat kejadian kemarin."
Laki-laki jangkung itu tersenyum. "Santai. Namanya kecelakaan, nggak sengaja."
Uli hanya bisa cengar-cengir.
"Ngomong-ngomong, rumah lo deket sini?" Juan melihat penampilan Uli dan Pattar yang sangat santai. Namun, tatapannya sangat ramah, bukan jenis tatapan menilai.
Uli balas senyum. Sok akrab. "Iya, kalo naik motor, lima menitlah."
Juan kembali tersenyum. "Deket ternyata. Keluarga gue baru pindah ke daerah sini. Semoga kita bakal sering ketemu, ya."
"Nggak bakal sering ketemu, rumah gue yang lima menit dari sini, kalo rumah dia mah, jauh, di ujung bumi." Pattar menjawab dengan tatapan sinis.
Uli mendengkus. "Ih, ya, kan, rumah lo, rumah gue juga!"
Laki-laki berjaket hitam itu menyeringai. "Nggak usah ngaku-ngaku!"
"Loh, malah ngajak ribut." Uli sudah siap menghampiri abang sepupunya hanya untuk melayangkan sebuah pukulan.
Langkah gadis itu terhenti lantaran Juan menghalanginya. "Kalian memang suka berantem, ya? Pasti kakak adek?"
Uli mengembuskan napas kasar. "Demi apapun, gue ogah anggep dia abang, cuma nggak terelak, gimana, dong?"
"Emang gue ngakuin lo gitu? Udah cepet, mana es krimnya biar gue bayar." Pattar menyodorkan keranjang belanjanya dengan ogah-ogahan.
Meski terus bertengkar keduanya tetap saling perhatian. Kalau kata Petra, love language Uli dan Pattar adalah physical attack.
"Jangan lama-lama ngobrolnya." Pattar mengarahkan telunjuknya pada Uli dan Juan. Kemudian, ia bergerak menuju kasir.
Uli menatap punggung sepupunya dengan tatapan sengit, tetapi sekejap kemudian ia tersenyum pada Juan. "Tadi kenalannya belum selesai, kenalin gue ...."
Juan memutus kalimat perkenalan Uli. "Stop, gue yakin kita bakal ketemu lagi."
Uli melongo. Gadis berbibir tebal itu kehabisan kata-kata, padahal biasanya sangat cerewet.
"Nanti kalo kita ketemu lagi, gue harus tahu lebih banyak dari nama lo. Oke?" Juan tersenyum cerah.
"Oke, meski gue rasa kita nggak bakal gampang buat ketemu lagi." Uli mengangkat sapu tangan yang ia pegang, kemudian berkata, "Makasih."
"Santai." Juan tertawa kecil sebelum menunjuk Pattar dengan dagunya. "Abang lo udah nungguin."
Uli memutar bola matanya malas. "Oke, Juan. Gue duluan."
"Oke, bye. Sampe ketemu lagi."
Uli keluar dari minimarket dengan langkah yang ringan. Ia berjalan sambil memakan salah satu es krimnya. Aura yang tadinya suram, berubah ceria.
"Jangan deket-deket sama Juan Juan itu." Pattar yang memegang kantong belanja, menghentikan Uli dengan berdiri di depannya.
"Bikin kaget aja." Untungnya keseimbangan Uli cukup bagus. Ia berhenti tepat waktu. "Kenapa emang?"
"Orangnya aneh gitu."
"Dih, nggak aneh. Itu namanya ramah. Anaknya kelihatan asyik. Nggak jail kayak lo."
Pattar balik badan dan kembali berjalan mendahului Uli. "Mending Nael kemana-mana, dah. Si Juan itu keliatan kayak playboy. Mana nggak sopan juga. Ngapain coba dia nyentuh-nyentuh pundak lo? Kan bisa pake ngomong. Pokoknya gue nggak suka."
Merasa tidak ada yang berjalan mengikutinya, Pattar langsung balik badan. Ia sempat terkejut melihat adiknya berdiri mematung di tempat sebelumnya. Ia segera berjalan mendekat.
"Lo kenapa, sih?"
"Bang, .... "
Pattar agak terkejut. "Coba ulang, apa? Tumben amat panggil Abang."
Uli membiarkan es krim meleleh mengotori tangannya. "Abang, lo tahu nggak seberapa sakitnya waktu gue terpaksa hapus nama Nael dari semua doa gue?"
Pattar terdiam. Ia bisa merasakan luka mendalam dari setiap kata yang dilontarkan adiknya.
"Abang, gue nggak tahu apa bisa jalanin hubungan lagi setelah kejadian waktu itu. Menurut lo, apa gue bisa?"
Saat itu juga, Pattar sadar kalau ia sudah melakukan kesalahan besar. Ia tidak tahu kalau Uli masih terluka karena kejadian di masa lalu. Ia tidak tahu kalau adiknya tidak menjalin hubungan lagi karena masalah itu. Ia mendekat hanya untuk menepuk pundak sepupunya. "Maaf, gue nggak tau. Maaf, ya."
Uli menarik napas banyak-banyak. Ia menghembuskannya dengan perlahan. Kemudian ia memaksakan senyum. "Kok, tumben lo baik sama gue?"
Pattar langsung menjaga jarak dan berdecak. "Terus maunya apa? Dijahatin, gitu?"
"Tolong cariin cowok Batak sebelum aku ulang tahun. Minimal biar nggak dijodohin sama pariban yang dari Jakarta itu."
Uli tahu kalau permintaannya terdengar konyol. Ia juga tahu kalau keinginannya untuk tidak dijodohkan memiliki kemungkinan sangat kecil untuk dikabulkan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tetap berharap untuk bisa mencegah perjodohan itu.
***
Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro