Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Pertanyaan Bapak

Pesta pernikahan pariban kandung stok terakhirnya Uli membuat gadis bermata besar itu mengalami kelelahan parah. Satu minggu sebelum acara, Uli, Petra dan Pattar sudah dibuat sibuk karena mereka kebagian tugas untuk menukarkan uang untuk keperluan acara adat, memasukkannya ke dalam amplop, mengurusi seragam keluarga besar, membagi tugas pada sepupu-sepupunya yang lain, memastikan semua anggota keluarga mendapatkan tempat penginapan dan terasportasi, juga memastikan hadiah paket liburan untuk pengantin baru, siap dan tidak ada kekurangan apapun. Urusan lainnya sudah diurus oleh wedding organizer. 

Uli dan sepupu kembarnya ketiban tugas mengurusi itu semua karena mereka adalah anggota keluarga inti yang belum menikah. Uli sebenarnya senang-senang saja, tetapi yang membuatnya tidak senang adalah roasting dari keluarganya sendiri. Setelah pesta, keluarga besar kembali ke kediaman Amangboru alias orang tua pengantin untuk lanjut makan malam bersama dan mengadakan syukuran sekaligus memberi wejangan pada pengantin baru. Sialnya, Uli juga jadi ikut-ikutan dapat wejangan. Berbagai jenis wejangan bagi gadis yang belum menikah diterima Uli meski harus bertarung dengan mata yang sudah mengantuk. Tidak tanggung-tanggung, wejangan itu berakhir ketika ayam berkokok. 

Uli baru saja menarik kembali selimutnya ketika Mamak masuk ke kamar dan membuka hordeng kuat-kuat. "Uli, jam berapa ini, nggak gereja lagi kau?"

Gadis berbaju tidur itu menggeliat dan kembali tidur.

Satu pukulan mendarat di paha Uli. "Udah berapa kali Mamak bilang, anak gadis nggak boleh bangun siang."

"Ah, Mak. Masih capek aku. Libur dulu gerejanya."

"Amang tahe, banyak kali alasan kau. Kalo masih bisa kau jawab Mamak, sehat berarti. Ayo, cepat. Kalo nggak gereja kau, Mamak buang semua bukumu itu, ya." Mamak kembali melayangkan pukulan di paha anak semata wayangnya. 

Uli langsung mengacak rambut dan bangkit duduk dengan cepat. "Mamak nggak ngerti, lho, capek aku ini."

"Kau kira kau aja yang capek? Mamak lebih capek lagi. Kau, duduk-duduk aja-nya kerjamu di pesta, capek kau bilang." 

Sebuah tinju melayang ke udara karena Uli tidak mampu lagi menahan emosinya. 

"Oh, mau melawan kau?"

Uli mendengkus. "Nggak melawan, cuma kesal aja."

Mamak menatap anak semata wayangnya, kemudian tatapannya berubah setelah mereka bertukar tatap beberapa detik. Mamak yang tadinya berkacak pinggang, kini mengubah posisinya dan duduk di tepi ranjang Uli. "Yang pusing-nya kau karena omongan yang semalam itu?"

"Nggak pusing, cuma capek aja. Kenapa cuma aku yang diserang sampe pagi? Bang Petra sama Si Kampret, ..., " Uli menutup mulutnya, "maksudnya Pattar, nggak ada yang disinggung gitu. Lagian, itu namanya nggak semalam. Kita pulang aja udah jam lima subuh."

"Karena kau perempuan. Abang-abangmu itu, yang penting kerjanya bagus, dapatnya nanti jodohnya." Mamak menghela napas dan memelankan suaranya. "Nggak kasihan rupanya kau sama Bapak?"

Uli mengikat rambut panjangnya asal dan menyisakan anak rambut di sekitar dahinya. "Kasihan kenapa? Bapak senang-senang aja gitu."

"Kau kira kenapa Mamak paksa kau terima bunga kemaren?"

Uli berani bersumpah, seumur hidupnya, kemarin adalah kali pertama Mamak kelihatan kelewat memaksa. Meski agak keras, biasanya Mamak tidak suka memaksa sesuatu yang seharusnya bisa diputuskan sendiri oleh Uli. Sejak kecil Uli sudah dididik untuk memilih baju, sepatu, dan semua hal untuk kepentingannya secara mandiri. 

"Kenapa?"

"Dua tahun ini Bapakmu sering nanya Mamak, ada-nya pacarmu, kenapa nggak pernah lagi bawa laki-laki ke rumah, kenapa kau di rumah aja kalo libur. Takut dia nanya kau. Takut tersinggung katanya. Itulah, sayang kali sama kau bapakmu itu." Mamak tidak langsung melanjutkan kalimatnya. Wanita gemuk berdaster bunga-bunga itu meraih tangan Uli dan menggenggamnya erat. "Yang takut-nya, kau nikah? Atau masih belum selesai urusanmu sama Si Nathanael itu?"

Uli mengerjap setelah mendengar nama mantan terindahnya. Bagaimana tidak indah, mereka tidak pernah bertengkar hebat, hubungan mereka selalu adem ayem dan tujuan mereka saat itu sangat jelas. Sebuah pernikahan. Namun, saat pertama kali Uli mengenalkan Nael ke Bapak dan Mamak, mereka langsung menunjukkan kecewa yang luar biasa. Bapak sampai menolak bicara dengan Uli hingga berhari-hari. Alasannya hanya satu, Nael bukan orang Batak.

"Kenapa jadi bawa-bawa Nael, Mak?"

Mamak mengusap punggung tangan Uli dan menatap anak gadisnya yang terlihat bingung. "Kalo memang belum selesai urusan kau sama Nael, biar Mamak bantu ngomong sama Bapak."

Tiba-tiba mendapat lampu hijau, Uli langsung semangat. Ia sampai melonjak dan mengubah posisi duduk yang tadinya bersila menjadi berlutut. Ia juga mengambil alih genggaman Mamak. "Bantu buat dapat restu? Terima kasih Mamakku yang paling cantik sedunia. Uli sayang kali sama Mamak." 

Mamak menarik tangannya dan ekspresinya menjadi kecut. "Bantu buat cari laki-laki yang nggak bisa ditolak sama bapakmulah."

Uli batal bahagia. Bisa-bisa ia menjadi korban perjodohan mendadak.

***

Sepulang dari gereja, Uli, Mamak dan Bapak mampir ke rumah makan khas Batak. Bapak lagi pengen sayur singkong katanya. Sayur singkong adalah olahan daun pucuk ubi yang ditumbuk dan diolah dengan bumbu rempah serta santan. Selain sayur singkong, mereka juga memesan ayam pinadar panggang. Olahan ayam panggang dengan rempah khas Batak, yaitu andaliman.

Seperti biasa, mereka menikmati makan bersama sambil berbagi cerita. Namun, tiba-tiba pembicaraan itu berbelok ke arah tidak terduga.

"Enak-nya, Nang?" Bapak bertanya setelah mencuci tangan dan mengelapnya dengan kain lap yang tersedia di meja.

Uli yang sedang menikmati sayap ayamnya langsung mengangguk dengan semangat. 

"Kerasa kali andalimannya, ya?"

Uli kembali mengangguk. "Iya, dong. Mantap."

"Itulah, ya, kan? Kalo nggak orang Batak, manalah suka makan kek gini." Mamak bersandar di sandaran kursi dan meletakkan tangan kanannya ke atas sandaran kursi Bapak, seperti merangkul. "Iya, kan, Pak?"

"Iyalah. Cuma orang Batak asli yang suka andaliman." Bapak bicara dengan suara pelan dan menekankan pada kata 'Batak asli'.

Tiba-tiba, Uli merasa seolah-olah Bapak baru saja menjadi sekutu Mamak. Ia menghentikan kegiatan menggerogoti tulang ayam dan langsung mengerutkan dahi. "Ini nggak ada udang di balik bakwan, kan? Aku udah curiga tadi, baru kemaren makan daging di pesta, kok, Bapak tiba-tiba ngajak makan di luar."

Mamak langsung berkedip memberi kode pada Bapak. 

"Wah, nggak betul ini." Uli buru-buru cuci tangan dan berniat melarikan diri karena ia melihat Bapak sudah menautkan tangan di atas meja. Terakhir kali Uli melihat pose seperti itu adalah ketika Bapak memintanya putus dari Nael. 

"Uli, duduk, Bapak mau ngomong." Bapak bicara dengan wajah tegas. Tidak ada senyuman ramah atau tawa lucu seperti sebelumnya.

Mau tidak mau, wanita berbibir tebal itu hanya bisa mengunci mulut dan diam di tempatnya. Ia sudah menatap Mamak untuk meminta bantun, tetapi jelas tidak ada harapan karena Uli yakin, pergerakan Bapak adalah akibat dari laporan Mamak.

Bapak bicara sambil menatap anak kesayangannya dengan tenang. Setenang laut, yang bisa menghanyutkan kapan saja. "Bapak dengar, kau masih berhubungan sama laki-laki yang bukan Batak itu?" 

Astaga. Mamak memang paling jago buat kesimpulan tanpa konfirmasi. Gadis berambut panjang terikat itu langsung menggeleng dan menyilangkan tangan di depan wajah. "Enggak, Pak. Aku sama Nael udah selesai dari dua tahun lalu."

Bapak mengangguk, tetapi alis tebalnya tertaut. "Tapi, masih sayang kau sama dia?"

Menjawab tidak, rasanya Uli sudah punya terlalu banyak dosa, tidak perlu repot-repot ditambah satu lagi. Menjawab iya, sama saja seperti bunuh diri atau malah melayangkan serangan pemicu perang. Akhirnya, Uli memilih diam. Kepalanya sibuk sendiri, berusaha mencari jawaban yang pasti dan tidak membuatnya terjepit, tetapi belum sempat jawaban brilian keluar dari mulutnya, Bapak lebih dulu mengajukan pertanyaan lain.

"Masih sayang atau nggak, bisa dikondisikan itu nanti. Jadi,mau-nya kau dikenalkan sama anak Bou yang dari Jakarta itu?"

Dunia sudah edan. Menurut Uli, ia cukup dewasa dan mandiri untuk mencari pasangannya sendiri. Bapak dan Mamak tidak perlu repot-repot sampai turun tangan. Terlebih lagi, jika keluarga sudah ikut campur, bakal ada tendensi pencitraan besar-besaran. "Nggak usahlah, Pak. Aku cari sendiri aja. Lagian, belum tentu dia mau sama aku."

Bapak mengurai tautan tangannya dan kini melipat tangan di dada. Bagi Uli pemandangan itu menggemaskan, tetapi kini mereka sedang dalam kondisi superserius. "Oke."

Uli melongo. Ia memiringkan kepala karena mustahil Bapak mengiyakan dengan sangat cepat. 

"Kamu bebas memilih pasanganmu sendiri sampai umur 27 tahun, lewat dari itu, Bapak turun tangan."

Kepala Uli pening seketika. Matanya mengerjap berkali-kali. Ia sampai harus mencubit tangannya sendiri saking tidak percayanya. Ia benar-benar tidak menduga kalau Bapak akan mengajukan penawaran yang lebih mirip ancaman. 

"Tapi, lima hari lagi aku ulang tahun yang ke-27, Pak." Uli berusaha menjelaskan dengan terbata-bata. 

"Nah, pas itu." Mamak mulai memanaskan situasi. "Berarti lima hari lagi waktumu untuk bawa laki-laki pilihanmu."

Belum juga Uli berhasill menyerukan protes, Bapak kembali angkat bicara. "Kriterianya, harus punya marga. Titik. Nggak ada tawar-menawar."

Uli hanya bisa tersenyum pasrah. Bagaimana bisa ia menemukan laki-laki pilihannya hanya dalam waktu lima hari? Ini bukan penawaran, tapi pemaksaan!

Catatan :

Amangboru : Suami saudara perempuan ayah/ suami Namboru/ ayah pariban

Amang tahe : Ungkapan kekesalan (aduh/ ya ampun)

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote. 

"Satu-satunya yang bisa dilakuin, cuma nopang dagu aja. Udah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro