Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Patahkan Aturan

Waktu masih SMP, sangat mudah bagi Uli untuk menolak cinta cowok yang mengejar-ngejarnya tanpa ampun. Saat itu, ia tidak perlu repot berpikir sampai-sampai harus membongkar seluruh isi lemari pakaian, lemari buku dan lemari sepatu di kamarnya sekaligus. Gadis yang sudah menggulung rambut secara asal itu, masih sibuk melepas semua baju dari gantungan, ketika Bapak pamit untuk berangkat kerja.

"Nggak usah semua kau bongkari. Kayak lagi banyak aja pikiranmu." Bapak melangkah melewati tumpukan baju yang berada dalam plastik.

Uli tersenyum. Berusaha menutupi kalau isi kepalanya sedang semrawut. Sebenarnya, ia menyusun ulang semua barang yang ada di kamarnya karena ada banyak hal yang perlu di rapikan. Bukan di kamar, tetapi di kepalanya.

"Pergi dulu Bapak, ya."

Uli bangkit dari duduknya dan menyalami Bapak. "Hati-hati."

Demi menyusun segala pertanyaan dan benang kusut yang ada di kepalanya akibat pertanyaan sederhana dari Pattar, Uli sampai harus mengambil cuti. Ia memilih rehat sejenak demi menjawab pertanyaan itu.

Nael atau Juan?

Kalau hanya berdasarkan rasa sayangnya saja. Uli pasti langsung memilih Nael, tetapi kalau sudah berhubungan dengan marga, mau dicoba ratusan kali juga, Juan akan tetap jadi pemenangnya. Kalau keduanya dibandingkan, kemudian diukur berdasarkan standar Bapak, maka, Juan akan menang telak. Namun, jika yang digunakan adalah standar pribadi Uli, jelas Nael yang akan keluar sebagai pemenangnya.

Tanpa terasa, Uli sudah berkutat dengan berbagai benda di kamarnya hingga tengah hari. Ia juga tahu karena Mamak datang ke kamarnya. "Udah jam 12 ini, sarapan pun belum kau. Makanlah dulu! Pingsan nanti kau!"

Wanita yang mengenakan baju daster batik itu langsung menggeleng dan mendekat begitu melihat Uli yang menyusun buku dengan tatapan kosong. Tidak lagi bertanya atau melontarkan repetan khas yang bisa membuat Uli pening jika mendengarnya lebih dari semenit, Mamak menepuk pundak anak gadisnya dan menatap dalam. "Kau nggak apa-apa, Nang?"

Entah karena sedang galau gundah gulana atau memang ia sedang cengeng saja, bahu Uli yang tadinya kokoh langsung merosot. Mata yang sebelumnya kosong, berubah menjadi sendu. Saat itu juga, Uli menangis. Air matanya mengalir deras tanpa kompromi layaknya kran bocor.

Mamak memeluk anak semata wayangnya dengan segera. "Kenapa kau?"

Bukannya menjawab, tangis Uli malah makin kencang. Tidak hanya bahu, kini seluruh tubuhnya juga gemetar.

Mamak menangkup wajah Uli dan menatapnya dengan lembut. "Cerita sama Mamak, siapa yang buat kau sampe nangis kayak gini?"

Uli hanya bisa diam. Tangisnya sudah tidak lagi bersuara.

"Juan yang udah bikin kau nangis?" Mamak bertanya dengan agresif. Jiwa-jiwa premannya yang selama ini dipendam dalam-dalam, langsung keluar tanpa diundang. Mamak menggulung lengan bajunya, bergaya layaknya anak SMK yang siap tawuran.

Uli menggeleng.

"Oh, berarti si Nael." Mamak bangkit berdiri tanpa berpikir panjang.

Uli langsung berseru. "Bukan, Mak."

Mamak menoleh dengan dramatis. "Terus siapa? Si Pattar? Kalo dia, yakin Mamak, kau bisa lawan. Masa sampe nangis begini. Mamak udah curiga karena kau tiba-tiba cuti cuma buat rapikan kamar. Tadinya Mamak udah mau undang pendeta, takutnya kau kesurupan hantu rajin."

Uli yang tadinya sedih tak terhingga, malah dibuat hampir tersedak karena jawaban random Mamak. "Mak, ih."

"Lho, aku tahu boruku kayak gimana. Nggak mungkin kau cuti cuma mau rapikan kamar kalo nggak karena ada apa-apa." Mamak kembali duduk di samping Uli. "Ceritalah dulu sama Mamak, kayak mananya?"

Uli mengutarakan semua masalah yang ada di kepalanya. Tentang Nael dan juga Juan. Ia berharap, setidaknya jika Mamak bisa berpihak padanya, ia bisa punya sedikit keberanian untuk memperjuangkan Nael. Kalau Mamak saja tidak bisa berpihak padanya, maka satu-satunya jalan adalah menerima perjodohan itu dan ia harus belajar mencintai Juan.

"Apa rupanya kurangnya Juan di mata kau?"

Uli menarik napas panjang sebelum menjawab dengan hati-hati. "Kalo cuma ngikuti standar Bapak, Juan 99% lulus seleksi."

"Nah, apa lagi rupanya masalahmu?"

"Aku merasa jadi trofi aja buat dia, bukan partner. Dia kenalin aku ke keluarganya pakai label kerjaan dan alamamaterku. Aku ngerasa dia suka sama Uli yang bisa dipamerin sama orang-orang, bukan sama diriku yang apa adanya."

Setelah mendengar jawaban Uli, Mamak langsung terdiam. Wanita berbibir tebal serupa milik Uli itu tersenyum dan menggenggam tangan putri tunggalnya. Tidak ada kata setelahnya, yang ada hanya tatapan yang sulit diartikan dengan kata-kata.

Tidak lama setelah itu, Mamak bangkit dari duduknya. "Makan dulu kau."

***

Setelah seharian mengurung diri di kamar, Uli cukup terkejut ketika Petra datang ke kamarnya dengan membawa kantung plastik transparan yang berisi es krim.

"Mau makan es krim bareng?"

Uli tersenyum, ia langsung menerima es krim yang disodorkan abang sepupunya itu. "Makasih, Abang."

Petra mengambil kembali es krim Uli, setelah ia duduk di sampingnya. Dengan telaten, ia membuka bungkus es krim itu dan mengembalikannya pada adik sepupunya. "Kenapa nggak masuk hari ini?"

Uli yang baru memulai jilatan pertama es krimnya langsung menoleh. "Males aja."

Petra mengangguk. Ia membuka bungkusan es krimnya dan memakan es krim itu sambil menatap lurus ke depan. Ia sempat mengaduh ketika membuka mulut terlalu besar.

Seruan laki-laki berbibir tipis itu langsung merenggut perhatian Uli. Matanya melakukan pemindaian singkat dan menemukan satu bekas luka di ujung bibir abang sepupu kesayangannya. "Abang kenapa? Abis berantem?"

Petra tertawa pelan. "Iya."

Uli langsung mengabaikan es krim yang mulai meleleh di tangannya. "Please, jangan bilang karena cewek?"

Petra tertawa lagi.

Satu pukulan melayang ke lengan laki-laki yang masih mengenakan pakaian kerja itu. "Abang! Masa mau kayak Si Kampret, sih? Kerjanya nyari keributan."

Dengan santai, laki-laki bermata sipit itu melanjutkan kegiatan memakan es krimnya. "Emang berantemnya sama Pattar."

Uli melongo sempurna. Saking terkejutnya, ia sampai menjatuhkan es krim yang ada di tangannya. Seumur hidupnya, ia tidak pernah mendengar apalagi melihat kedua abang sepupunya itu baku hantam. Setiap bertengkar, Petra biasanya mengalah lebih dulu. Pada kasus tertentu, Pattar akan meminta maaf lebih dulu. Namun, pertengkaran mereka tidak pernah sampai adu fisik. Kalau bagian adu jotos dengan Pattar, itu adalah jobdesk Uli.

"Astaga. Abang! Serius? Jangan bilang Abang rebut ceweknya Si Kampret?"

Petra langsung berdecak. "Kamu kira abangmu ini sehina itu?"

"Terus kenapa?" Uli sudah penasaran setengah mati.

Laki-laki yang masih sibuh memakan es krim itu malah sibuk sendiri dengan ponselnya. Kemudian, ia menunjukkan sebuah foto yang membuat Uli menganga. Pattar dan Nael gereja bersama. Mereka kelihatan cukup akrab.

"Kok, bisa?" Uli malah tambah kaget.

"Salah satu temen Abang, ada yang kirim foto ini. Nggak biasanya Pattar gereja sore, kan? Dan kamu tahu, dia sama Nael udah gereja bareng seenggaknya dua bulan terakhir." Petra menjelaskan dengan sabar.

"Terus?"

Petra menghela napas. "Dia udah putus sama cewek yang dikenalin keluarga kita. Abang tanya alasannya apa dan dia cuma diem. Pas ditunjukin foto ini, dia malah emosi."

Uli menghela napas berat. "Abang, aku tahu Pattar emang suka agak gila, tapi dia nggak akan murka kalo nggak dipancing."

Laki-laki berhidung mancung itu lantas mengusap hidungnya dengan sengaja. "Abang cuma bilang, jadi lo putus sama cewek pilihan keluarga karena sibuk ngurusin Nael?"

Uli memutar bola matanya malas. "Abang tahu nggak, sih, kalimatnya ambigu."

"Makanya Abang ke sini. Awalnya kami nggak sampe tonjok-tonjokan, cuma, ya gitu. Dia nyalahin Abang karena udah bantu Juan deketin kamu. Makanya dia nggak terima, terus milih buat berpihak sama Nael. Akhirnya, jadi ini, deh." Petra menunjuk luka di ujung bibirnya.

Uli menghela napas berat. "Abang berhasil nonjok Pattar juga?"

Petra tertawa. "Enggak, sih. Abis nonjok Abang, mukanya langsung ngerasa bersalah banget. Hari ini kami belum tegoran." Laki-laki yang mulai membersihkan bekas es krim Uli yang sudah mengotori lantai itu tersenyum geli. "Jadi Abang yang curhat. Kamu, kenapa nggak masuk kerja sampe bongkar semua isi kamar? Ada yang mau kamu beresin juga, di kepalamu?"

Uli hanya bisa tersenyum kecut. Hanya dengan mendengar adegan adu jotos kedua abangnya, kini Uli sadar kalau ia tidak boleh lagi bertanya pada salah satunya. Bertanya tentang masalahnya pada Petra akan percuma karena abang kesayangannya itu pasti memihak Juan. Begitu juga dengan Pattar. Abang sepupunya yang doyan ribut itu, mutlak akan memihak Nael. Kini, Uli hanya bisa memutuskan pilihannya seorang diri. Setidaknya ia tahu kalau Pattar akan berada di pihaknya jika ia nekat menerjang aturan keluarga.

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro