18. Dua Sisi Koin
Uli menerima panggilan dari Nael, tepat di depan Juan. Ia langsung merasa tidak enak begitu laki-laki jangkung itu permisi ke toilet. Gadis bermata besar itu mengikuti pergerakan Juan yang melangkah menjauh. Setelah Juan tidak lagi terlihat, barulah Uli kembali menatap layarnya.
"Lagi sama Juan?"
Uli melongo seketika, ia tidak menduga kalau Nael tahu tentang Juan. Mulut Uli masih setengah terbuka ketika laki-laki berbibir tipis itu kembali bicara.
"Kalo nggak mau jawab, nggak apa-apa." Laki-laki berkulit pucat itu menunduk dan terlihat sedang mengatur napas dan mengembalikan fokus pada Uli.
"Lo nggak kenapa-napa, kan?"
Satu pertanyaan dari Uli, mempu membuat senyuman tipis di wajah Nael, menghilang seperti permen kapas yang terkena air. Air muka laki-laki berwajah oriental itu langsung berubah sedih. Ia menatap Uli dengan mata sipit yang jauh lebih sendu dari biasanya.
Uli tahu, Nael sedang tidak baik-baik saja. "Butuh temen cerita?"
Dengan gerakan lambat, laki-laki berambut hitam tebal itu langsung mengangguk.
"Mau telfon atau mau ketemu?" Uli bertanya dengan tatapan khawatir. Hanya dari matanya saja, Uli bisa tahu kalau Nael sedang menderita.
"Sebisa lo aja." Nael menjawab pelan sambil berusaha menahan air matanya dengan cara mendongak.
"Oke. Nanti gue ke rumah."
Nael buru-buru menolak. "Jangan ke rumah. Kita ketemu di luar aja."
Uli paham betul kalau rumah adalah salah satu tempat teraman bagi Nael, tetapi kali ini ia memilih untuk tidak bertemu di rumah. Mau tidak mau, gadis berponi itu jadi berpikir yang tidak-tidak. Namun, ia buru-buru menjawab, "Oke. Nanti chat aja tempat ketemunya."
Setelah itu, panggilan mereka terputus. Uli duduk tidak tenang. Ia jelas gelisah. Namun, kedatangan Juan yang kembali ke tempat duduknya membuat Uli menahan diri untuk menunjukkan kekhawatirannya pada Nael.
"Udah telfonnya?" Juan bertanya, jelas basa-basi.
Uli mengangguk saja karena sudah tidak punya energi untuk mendebat.
"Nggak mau jelasin sesuatu?" Juan melipat tangan di dada, tatapannya menusuk. "Contohnya, siapa itu Nael?
Uli menghela napas berat. Ia merasa seperti dihakimi. Ia tidak melakukan apapun yang melanggar etika, tetapi kini ia merasa tengah ditelanjangi hanya dengan tatapan sinis Juan. Uli tidak merasa harus menjelaskan apapun pada Juan. Mereka tidak dalam hubungan yang harus saling menjelaskan urusan pribadi.
Juan berdeham. Kemudian, ia melonggarkan lipatan tangannya dan bersandar. Ia masih menatap Uli sambil menunggu jawab.
"Nael, temen gue. Lagi butuh temen curhat katanya."
Tatapan sinis Juan langsung berubah menjadi lengkungan kembar. Ia tersenyum, tidak hanya matanya, tetapi juga ekspresi wajah seluruhnya. "Gue seneng lo jujur."
"Ye, gimana nggak jujur, tatapan lo kayak guru BK yang mau razia." Uli menyahut sewot.
Juan kembali tersenyum. "Lusa gue jemput, ya?"
Uli memutar bola matanya malas. "Perasaan gue bilang bisa dipertimbangkan, bukan pasti dateng."
Juan pura-pura cemberut. "Gue yakin, hasil pertimbangan lo pasti dateng."
"Ya, Tuhan, pede-nya selangit." Rasanya Uli ingin tepok jidat saja.
"Nggak apa-apa pede aja dulu. Masa lo nggak dateng, sih, yang ngundang gue, lho."
Uli kembali memutar bola matanya malas. "Lo siapa, gue tanya?"
"Juan Abednego, pariban lo." Laki-laki yang mengenakan kaus oblong dilapisi kemeja denim itu tersenyum lebar.
"Iya, iya, si paling pariban." Uli mulai lelah.
"Kan lo mau dikenalin sama keluarga besar, masa nggak dateng? Dateng, dong?" Juan mengedipkan salah satu matanya.
Kalau saja Juan bukan laki-laki pilihan Bapak, pasti garpu yang ada di meja Uli sudah melayang. Mata besar Uli memelotot sempurna. "Apa lo bilang? Keluarga besar?"
Juan langsung salah tingkah. Ia buru-buru mengoreksi. "Keluarga inti maksud gue."
"Terserah lo, deh. Terserah." Uli kembali memakan makanannya yang masih tersisa setengah.
***
Uli tiba di kafe yang dipilih Nael. Suasana kafe yang memang sering mereka datangi ketika masih kuliah itu, tidak berubah. Susunan mejanya masih sama, hanya saja ada beberapa interior yang diganti. Taman yang ada di bagian belakang juga sudah berubah bentuk. Keramaian yang menyenangkan menurut Uli, tetapi hal ini tidak berlaku untuk Nael. Laki-laki itu biasanya akan memilih meja terjauh dari keramaian. Dugaan Uli sangat tepat karena ia langsung menemukan Nael setelah melihat ke sudut ruangan yang berada di dekat tangga.
"Udah lama?" Uli bertanya, agak kikuk. Soalnya meja yang mereka tempati kini adalah meja yang biasanya mereka tempati dulu.
"Nggak baru aja. Lo nggak pulang dulu?"
Uli melihat pakaiannya sendiri, ditambah name tag yang menggantung di leher, sungguh sempurna penampilannya seperti budak korporat sesungguhnya. Namun, ia menjawab pertanyaan Nael sambil cengar-cengir. "Kalo pulang dulu, emang bakalan bisa sampe sini? Ini aja tadi harus kucing-kucingan dulu sama Bang Petra. Untung aja Si Kampret bisa diandelin hari ini. Nanti gue dijemput Pattar. Makanya bisa kabur ke sini."
Nael tersenyum tipis. Sangat tipis. Entah mengapa, Uli merasa sangat senang hanya dengan melihatnya. Rasanya ia ingin menyimpan senyuman itu untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
"Seneng bisa denger ocehan kamu lagi."
Kamu. Kata ganti yang Nael gunakan berubah. Hati Uli longsor sedikit hanya karena kata ganti kamu yang digunakan mantannya itu. Demi menjaga kewarasannya yang hampir hilang separuh, Uli celingak-celinguk mencari pelayan. Beruntung, tingkahnya langsung menarik perhatian salah satu pelayan yang ada di sana.
"Selamat sore. Udah lama sekali nggak lihat pasangan ini. Gimana kabarnya? Pasti sudah nikah, ya? Terakhir saya dengar, katanya kalian sudah mau menikah."
Wajah Uli kontan memerah. Tidak jauh berbeda dengan Nael yang juga salah tingkah, tetapi masih berusaha terlihat tenang. Wanita yang membawa menu itu adalah pemilik cafe. Uli pernah beberapa kali berbincang dengannya. Wanita paruh baya itu sangat ramah dan mengenali hampir semua langganannya.
Bukannya menjawab, Uli dan Nael malah bertukar tatap.
"Khusus untuk pelanggan favorit saya, hari ini gratis kentang goreng." Wanita tadi masih tersenyum cerah. Terlihat kelewat bahagia hanya karena menduga kalau Uli dan Nael adalah sepasang suami istri.
Setelah memesan, Nael bersikap seolah-olah kemarin ia tidak melakukan panggilan yang membuat Uli overthingking semalaman.
"Gimana kerjaan hari ini?"
Hanya diawali oleh satu pertanyaan itu, cerita Uli bisa merembet kemana-mana. Ia sampai menjelaskan silsilah keluarga kucing yang ada di kantornya.
Nael hanya diam. Menyimak dengan hikmat seolah-olah cerita Uli adalah sabda dari surga.
"Lucu banget, kan?"
Nael mengangguk. "Lucu banget."
"Ngomong-ngomong, kenapa lo nggak bilang kalo kita belum nikah?"
Nael tersenyum, lebih lebar sedikit dari yang sebelumnya. "Aku seneng kamu pakai kata belum. Itu artinya masih ada kesempatan buat aku, kan?"
Hati Uli sudah gonjang ganjing. Kalau ada back sound-nya, pastilah sudah melantun lagu Cherrybelle yang memiliki lirik, Tuhan tolong aku, ku tak dapat menahan rasa di dadaku.
"Aku, ...." Nael menatap Uli, matanya terkunci pada mata gadis yang pernah ia kencani selama bertahun-tahun. "Maaf, maksudnya gue. Maaf banget, gue lupa, gue nggak sadar kalo udah ganti sapaan ke lo kayak tadi."
Jiwa-jiwa pemberontak Uli langsung berkobar. Ia mengatakan kalimatnya tanpa ragu. "Pake aku-kamu juga nggak apa-apa, kok."
Dijamin, kalau sampai Petra tahu kelakuan adiknya yang kali ini, bisa-bisa Uli diberikan ceramah setidaknya satu minggu penuh.
Untuk pertama kalinya, Uli melihat ekspresi Nael yang menggemaskan. Laki-laki berkulit pucat itu terlihat sibuk mencari benda untuk dilihat demi menyelamatkan wibawanya yang hampir ambrol. Wajah pucat laki-laki itu sudah dirambati rona dan senyum yang tidak tertahan. Tangannya juga sibuk mengusap tengkuk.
"Selamat menikmati."
Beruntung kecanggungan itu segera berlalu karena makanan mereka sudah tersaji.
Uli sengaja tidak bertanya apa-apa sebelum mereka menyelesaikan makan. Setelah selesai makan makanan berat, barulah Uli mengamati situasi sebelum bertanya, "Udah bisa cerita?"
Nael yang tadinya tersenyum cerah, langsung berubah sedih. "Aku kira kita bisa nikmati waktu sebentar lagi, tapi kayaknya kamu udah nggak sabar."
Uli buru-buru menyilangkan tangan di depan dada. "Nggak, kok. Kalo kamu belom mau cerita, nggak apa-apa."
Nael tersenyum kecut. "Kemarin, aku dapat telepon dari keluarga pihak Papa."
Hanya dari pembukanya saja, Uli sudah langsung menegakkan badan karena pastilah cerita ini sangat panjang. "Terus?"
Suara Nael bergetar sedikit. "Mereka bilang aku anak durhaka."
Hampir saja Uli menyeruduk hanya untuk memberi pelukan pada laki-laki yang ada di depannya, tetapi untung saja ia bisa menahan diri. Ia mengangguk dengan penuh perhatian.
"Mereka maki-maki, sampe bilang kalo Kakek sama Nenek nggak didik aku. Mereka marah besar cuma karena aku nggak dateng ke rumah sakit."
Uli menghela napas berat. Ia menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Nael. "Papa sakit?"
"Papa kecelakaan, butuh darah banyak. Aku sama sekali nggak tahu kalau Papa kecelakaan, tapi semua orang nyalahin karena aku nggak ada di sana waktu Papa butuh." Nael mengusap air matanya yang meluncur tanpa izin. "Padahal, selama ini, memang dia ada waktu aku butuh? Dia nggak pernah sekalipun hubungi. Kenapa cuma aku yang salah?"
Bahu Nael bergetar. Ia sudah menunduk dalam. Tangannya mengepal erat hingga buku jarinya memutih.
Uli tahu semua ceritanya. Ia tahu bagaimana penderitaan Nael yang besar tanpa orang tua. Ia juga tahu bagaimana pasangan baru dari orangtua laki-laki itu memperlakukannya.
"Boleh aku peluk?" Uli bertanya hati-hati.
Nael mengangguk singkat. Tanpa menunggu lama, Uli meraih laki-laki itu dalam pelukannya.
***
Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro