Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Acara Keluarga

Satu bulan sudah berlalu sejak kejadian Uli menghindari Nael dan Juan. Sudah satu bulan juga Juan menjadi abudemen pribadi bagi Uli. Gadis bermata besar itu senang-senang saja karena ia mendapatkan tumpangan gratis, paling mentok laki-laki jangkung yang doyan nyengir itu hanya minta makan malam bersama sebagai balasan untuk jasa antar jemputnya.

Setelah dijemput di kantor, Uli pasrah saja ketika dibawa Juan ke salah satu restoran terbaru di daerah pusat kota. Menurut Uli ia mendapat keuntungan dua kali lipat karena mendapatkan abudemen pribadi plus makan malam yang bervariasi. Belum lagi Bapak yang minim protes ketika tahu anak perempuannya pergi dengan laki-laki Batak yang punya marga.

"Jadi mau indoor atau outdoor?" Juan bertanya, senyumnya tidak ketinggalan.

"Indoor aja kayaknya. Soalnya mendung."

Juan langsung mengangguk dan tersenyum lebih lebar lagi. Kemudian, mereka berjalan melewati beberapa meja dan berakhir di salah satu meja yang berada di sudut ruangan.

"Mewah banget, ya, malem ini. Kenapa nggak makan pecel lele pinggir jalan aja, sih, kita?" Uli bertanya setengah berbisik soalnya gengsi sama pengunjung meja sebelah yang penampilannya kayak orang habis kondangan.

"Di sini ada pecel lelenya juga, kok." Juan tertawa kecil.

Uli langsung menatap sinis pada deretan pisau dan garpu yang diletakkan di atas tisu dengan cap nama restoran tersebut. "Orang yang makan pecel lele pake pisau sama garpu, fix psikopat, sih."

Juan tertawa. Kali ini cukup keras untuk membuat penghuni meja sebelah menoleh. "Oke, biar nggak jadi psikopat, kita makan steak aja, ya?"

Uli tersenyum. "Bilang aja lo pengen makan steak. Mana ada resto modelan begini jual pecel lele."

Juan salah tingkah sedikit. Ia kehilangan fokus sejenak ketika Uli tersenyum padanya. "Sekali-sekali. Masa kita makan di pinggir jalan terus."

"Iya, sekali-sekali, sekalinya nggak di pinggir jalan langsung di restoran sultan." Gadis berponi itu tertawa kecil. Ia melipat tangan, kemudian menatap Juan, lebih lama dari biasanya.

"Kenapa? Kok liatnya gitu banget?" Juan langsung berlagak sok keren dengan menyisir rambutnya ke belakang. Ia juga berinisiatif menggulung lengan bajunya hingga siku. Dasi yang ia kenakan sebelumnya juga dilepas dengan gerakan lambat.

Mata besar Uli mengerjap, ia menggeleng cepat. "Nggak apa-apa."

Setelah makanan tersaji, Juan langsung memotong steak-nya sendiri. Ia kelihatan begitu fokus sampai melupakan Uli yang duduk di depannya.

Begitu makanan disajikan di depannya, harapan Uli sudah keburu tinggi ketika Juan sibuk memotong steak di piringnya. Namun, espektasinya langsung bubar jalan begitu melihat Juan memakan steak yang ia potong. Gadis berbibir tebal itu sampai kehabisan kata karena melihat Juan sibuk dengan piringnya sendiri.

Uli menatap steak yang ada di depannya, kemudian ia teringat pada Nael. Kalau saja laki-laki yang ada di hadapannya adalah laki-laki berkulit pucat itu, pastilah kini Uli sudah makan dengan indah karena Nael pasti akan mengambil alih piringnya dan memotong semua daging. Yang paling membuat Uli terharu adalah ketika Nael yang berada di depannya, maka semua hidangan yang ia suka akan berada di dekatnya, tanpa diminta. Uli bukan gadis manja, tetapi ia terlalu biasa diperlakukan dengan baik oleh sepupu-sepupunya, kecuali Pattar. Namun, ia mudah terharu dengan sikap sederhana dari Nael.

"Lo nggak makan?" Juan bertanya setelah menghabiskan hampir setengah dari hidangan yang ada di piringnya.

Uli mengerjap dan meraih garpu dan pisau yang ada di kiri dan kanan piringnya. "Ini baru mau makan."

Belum juga satu potong daging berhasil mendarat di mulut Uli, Juan keburu bicara, "Sabtu ini, ikut ke acara di rumah gue, ya?"

Uli yang sudah mangap, langsung mengatupkan mulutnya dan menatap Juan heran. Dalam adat Batak, gadis yang dibawa ke rumah adalah tanda kalau hubungan yang tengah dijalin dalam kondisi serius. Seingat Uli, mereka tidak memiliki hubungan yang sedekat itu sampai-sampai ia harus dibawa ke rumah Juan. "Dalam rangka?"

"Bapak sama Mamak ulang tahun pernikahan."

Uli hampir tersedak padahal ia belum makan apapun. "Berarti acara gede, dong?"

Juan tersenyum sebelum meletakkan pisau dan garpunya, kemudian ia menopang dagu. "Nggak, kok. Cuma keluarga inti aja. Tulang sama Nantulang juga diundang, kok."

Hanya dengan membayangkan ikutnya Mamak dan Bapak pada acara tersebut, sudah mampu membuat Uli pusing tujuh keliling. Kalau sekelas Mamak dan Bapak yang memiliki hubungan kekerabatan yang jauh saja diundang, Uli tidak bisa membayangkan berapa banyak orang yang akan hadir di acara itu.

Uli mengangkat tangan ke udara. "Sebentar, ini keluarga inti versi orang Batak atau bukan? Soalnya suka blunder."

Uli tidak asal bicara. Ia tahu betul arti dari keluarga inti, tetapi ia tahu dalam dua versi. Yang pertama adalah versi normal. Keluarga inti terdiri dari orang tua dan anak, kalau keluarga inti yang lebih besar, maka termasuk kakek dan nenek. Namun, ada versi yang kedua, yaitu keluarga inti versi Batak. Bagi orang Batak, semua yang satu marga dan satu kampung halaman bisa dikategorikan keluarga inti, meski hubungan kekerabatannya sejauh ujung ke ujung Danau Toba. Keluarga inti versi Batak termasuk Bapatua, Mamaktua, Bapauda, Inanguda, Tulang, Nantulang, Opung, dan serombongan anak-anaknya.

"Bukan, acaranya biasa aja, kok. Lo takut rame, ya?"

Uli berdecak. Ia menatap makanannya dan mengayunkan garpunya dengan gerakan lembut dan lambat. "Nggak juga, sih. Cuma agak parno aja."

"Parno kenapa?" Juan bertanya sambil mengunyah makanannya.

Uli merasa percuma menjelaskan hal semacam ini pada Juan yang notabenenya seorang extrovert parah dan bisa berbaur di mana saja. Masalahnya Uli hanya jago kandang alias cupu. Bertemu dengan keluarga Juan mungkin bisa jadi salah satu cobaan terberat nomor dua dalam hidupnya, soalnya yang nomor satu masih ditempati oleh Nael.

"Nggak apa-apa, keluargaku nggak ada yang kanibal, kok. Pasti kamu baik-baik aja."

Uli memutar bola matanya malas. "Dikira zaman kapan? Orang Batak yang kanibal udah punah."

Juan tertawa sendirian. Soalnya Uli keburu sebal.

"Jadi, bisa, kan?" Juan bertanya setelah menyelesaikan makan malamnya.

Uli menyipitkan mata untuk menyelidiki maksud dan tujuan terselubung dari ajakan Juan. "Bisa dipertimbangkan."

Juan tertawa karena tingkah Uli. "Mau pakai baju samaan, nggak? Kalo mau, abis ini kita cari baju."

"Pake baju samaan? Maaf, gue sukanya pake baju sendiri-sendiri. Terus kalo mau cari baju, tenang aja, gue bisa sendiri. Gue bisa cari baju di lemari."

Juan sempat melongo sebelum kembali tersenyum tipis. "Lo lagi kesel, ya? Kesel sama gue? Kenapa?"

Uli menghela napas berat dan mengikat ulang rambutnya yang sudah agak berantakan. "Itu nanyanya bisa nggak pake borongan nggak, sih?

"Ekspresi lo nggak familier, kayak cewek ngambek."

Uli benar-benar harus menyabarkan diri. Setelah satu bulan sering berbincang dengan Juan, Uli baru sadar kalau laki-laki jangkung dengan hidung layaknya perosotan anak TK itu punya bakat membuat darah tinggi seperti Pattar. Bedaya, kalau Pattar semuanya sudah direncanakan dengan matang, sedangkan Juan, memiliki hobi membuat kesal dengan metode cicilan.  "Kayak, cewek, ngambek. Jadi selama ini lo kira gue cowok?"

"Nggak gitu maksudnya. Lo kelihatan kesal. Gue ada salah, ya? Ngomong aja."

"Dengan ngajak gue ke rumah lo aja, itu udah salah, mana pake acara bawa-bawa orang tua segala." Uli tersenyum diplomatis, kemudian ia menggeleng. "Nggak, kok, nggak apa-apa."

"Ada baiknya semua diomongin baik-baik. Kalo lo kesel bilang aja, jangan pura-pura baik-baik aja."

Untuk pertama kalinya dalam bulan ini, Uli sangat merindukan Nael. Biasanya kadar rindu Uli pada Nael hanya rindu saja. Ia merindukan sosok laki-laki yang tidak langsung menuntut jawab pada setiap pertanyaan. Laki-laki yang menunggu dan pandai membaca situasi.

Entah karena sedang gabut atau kelewat rindu, tiba-tiba Nael menelepon Uli dengan mode video call. Hati kecil Uli sudah meraung-raung, memohon agar panggilan itu diangkat, tetapi secuil logikanya memerintahkan untuk menahan diri.

Sejak Juan rutin mengantar jemput Uli, Nael terlihat mundur diam-diam. Meski masih doyan mengirim makanan ke kantor Uli, laki-laki itu tidak mengirimkan banyak pesan atau melakukan panggilan. Setelah satu bulan, ini yang pertama kalinya.

Uli melirik ponselnya dan melirik Juan bergantian. Meski melihat penolakan dari sorot mata Juan, gadis berkemeja putih itu tetap ngotot mengangkat panggilan itu.

"Halo, iya, Nael."

***

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro