10. Toko Kue
Tanpa menunggu lama, malam itu juga Uli berniat datang ke rumah Bapatua untuk meminta maaf. Namun, ia tahu, minta maaf tanpa modal sogokan seolah-olah memasak tanpa garam. Akhirnya, ia meminta bantuan Petra untuk menemaninya membeli kue bolu pisang kesukaan Bapatua.
"Kamu betulan mau nyogok Bapak?"
Uli langsung cemberut. "Bukan nyogok, Abang. Ini namanya upeti. Minimal kalo Bapatua merepet, ada remnya."
Laki-laki yang mengemudikan mobil itu tertawa. "Makanya jangan cari gara-gara. Nurut aja kata orang tua. Kamu, sih, pake nantangin segala."
"Aku nggak nantangin. Kan, cuma nanya. Abang juga nggak tahu, kan, gimana ceritanya Bapatua sama Mamaktua bisa sampe nikah? Padahal, kalo denger cerita Bapak, Opung Doli itu sangarnya minta ampun." Uli hampir lupa kalau abangnya yang satu ini berbeda dengan Pattar yang cenderung pro dengan pemberontakan.
Petra hanya diam, tidak berniat berkomentar.
"Abang beneran nggak pernah diceritain masa mudanya Bapatua sama Mamaktua, gitu?"
Laki-laki yang masih mengenakan kemeja dan celana dasar itu tidak langsung menjawab. "Kalo diinget-inget, kami nggak pernah bahas itu."
Uli langsung menjentikkan jari. "Kan, udah aku duga. Emang Abang nggak penasaran gitu?"
Pertanyaan Uli tidak dijawab karena mereka sudah tiba di toko roti langganan keluarga yang letaknya tidak jauh dari rumah.
"Abang beneran nggak mau turun?" Uli melepaskan sabuk pengaman dan berbalik sebelum benar-benar keluar dari mobil.
"Enggak, kamu aja."
Uli berdecak, tetapi ia langsung tersenyum begitu ingat sesuatu. "Abang mau kue kopi kayak biasa?"
Petra mengangguk pelan.
Uli bisa melihat kalau Petra memainkan ponsel setelah Uli benar-benar keluar. Dalam hati, Uli agak curiga kalau abangnya yang satu itu sedang dekat dengan seseorang karena akhir-akhir ini, laki-laki yang lebih tua tiga tahun darinya itu kelihatan lebih sering melihat hp daripada tumpukan jurnal atau buku bahan ajar.
Begitu tiba di depan toko kue, Uli langsung tersenyum cerah. Ia bisa melihat jajaran kue cantik yang selalu dibuat setiap hari demi menjaga kualitasnya. Sebelum masuk saja, ia sudah bisa menghirup aroma khas toko kue. Uli jarang memakan kue atau roti karena bagi keluarganya, nasi adalah harga mati, tetapi setidaknya sebulan sekali atau ketika ada anggota keluarga yang berulang tahun, mereka selalu membeli kue atau roti dari toko ini.
Tangan Uli baru saja mendarat di pintu kaca toko tersebut ketika satu tangan lain juga turut berada di sana. Gadis yang mengenakan kaus kuning dan celana jeans itu bisa melihat bayangan yang lebih tinggi darinya. Hal itu membuat Uli harus mendongak untuk memastikan siapakah gerangan yang sudah menyerobot jalan masuknya.
"Hai, kita ketemu lagi." Seorang laki-laki dengan senyuman ceria membuka pintu dan memberi jalan.
"Abang es krim?" Uli melongo sempurna.
"Kalo lo manggilnya gitu terus, bisa-bisa gue buka toko es krim betulan." Laki-laki jangkung yang ada di hadapan Uli itu langsung tertawa.
"Emang dikira buka toko es krim segampang itu apa?" Uli berdecak sambil memasuki toko kue tanpa hambatan karena Juan masih menahan pintunya. "Ngomong-ngomong, ya, Juan. Lo nggak mau lanjutin kenalan sama gue."
Juan tersenyum hingga matanya menghilang tenggelam dalam lengkungan yang menurut Uli menggemaskan. "Nggak nyangka banget kalo lo bakal inget nama gue."
Uli mengeluarkan senyuman diplomatis. "Nama lo cuma seuprit gitu, gimana gue bisa lupa?"
"Oke, jadi, kenalin gue Juan."
Gadis bermata besar itu tertawa kecil, kemudian memelototi Juan sambil menunjuk dengan tegas. "Awas aja kalo sampe lo stopin gue lagi. Kenalin, gue Uli. Gerdauli Natalia."
"Boru?" Juan menaik-turunkan alisnya, terkesan menggoda.
"Rahasia. Kepo amat. Lo aja cuma kasih tahu nama seuprit gitu." Uli berjalan menuju deretan bolu, sambil mengambil beberapa roti yang dilewatinya.
Juan kembali tertawa kecil. Entah mengapa, tawa laki-laki itu terdengar renyah di telinga Uli.
"Lo ke sini sama Pattar?" Juan bertanya sambil turut mengambil beberapa potong roti.
Uli menggeleng. "Kali ini sama Abang betulan, bukan jadi-jadian."
Salah satu alis Juan terangkat. "Kamu punya dua ito?"
Uli menghentikan langkahnya, kemudian berbalik dengan gerakan lambat. "Lho, ngerti juga ternyata. Lo Batak? Marga apa?"
"Menurut lo, ngapain gue dateng ke acara nikahan orang Batak?"
Uli mengerutkan dahi. "Bisa aja tamu nasional."
"Gue diundang karena masih keluarga mempelai."
Uli mengangguk, kemudian tanpa sadar ia berjalan mundur karena banyak pertanyaan yang melintas di kepalanya. Mungkin saja Juan adalah keluarga mempelai wanita, tetapi Uli bingung mengapa ia datang saat acara adat sudah dimulai? Kalau memang ia keluarga mempelai, harusnya ia hadir sejak prosesi adat baru dimulai.
Akibat terlalu banyak pikiran, Uli hampir menabrak pelanggan lain. Untung saja, Juan sigap menghentikannya. Uli memang selamat dari adengan tabrakan yang bisa membuatnya ogah datang ke toko ini saking malunya, tetapi kini jantungnya tidak selamat. Gerakan Juan yang terlalu sigap malah memangkas jarak antara mereka hingga menyisakan beberapa senti saja. Dari jarak sedekat itu, Uli bisa mencium aroma parfum yang laki-laki itu gunakan.
"Lo nggak apa-apa? Lain kali hati-hati jalannya."
Uli tiba-tiba merasa deja vu. Penyataan Juan sama persis ketika sepatu kulitnya ketumpahan es krim milik Uli. Sebelumnya, hanya Nael yang mampu membuatnya melongo hanya dengan kalimat perhatian sederhana seperti itu, kini ia melongo karena Juan.
Alamak, sudahlah tampan, ini cowok Batak pula. Tiba-tiba ide gila muncul di benak Uli. Kalau saja ia bisa menyewa Juan buat dikenalkan pada Bapak, pastilah hidupnya akan aman senantiasa sentosa. Namun, hal itu bisa jadi petaka kalau Bapak sungguh-sungguh meminta Juan menjadi menantu. Hanya dari gelagatnya saja, gadis berambut panjang itu bisa tahu kalau Juan tertarik padanya.
"Uli?" Juan menjentikkan jarinya tepat di depan wajah gadis yang sedari tadi sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Oh, iya. Lo bilang apa tadi?"
Juan terkekeh. "Gue nggak bilang apa-apa. Makanya jangan ngelamun."
Uli hampir salah tingkah. Ia buru-buru mengantre ke kasir. Gerakannya diikuti oleh Juan. "Lo udah beres?"
Laki-laki jangkung ber-hoodie itu mengangguk.
Uli berdiri tidak tenang, kemudian tiba-tiba ia ingat kalau Petra mau roti kopi. Akhirnya, gadis itu keluar dari barisan dan memilih beberapa roti kopi karena tidak hanya Petra yang menyukai roti tersebut, tetapi Pattar juga. Meski selalu perang, sebenarnya Uli juga sayang pada abang sepupunya itu.
Tidak ada orang lain yang berdiri di belakang Juan, akhirnya mereka kembali berdiri berdekatan.
"Sekali lagi kita ketemu, gue bakal kasih tahu nama lengkap bonus marga gue." Juan bicara pelan setelah mundur satu langkah dan menunduk untuk menyetarakan tingginya dengan Uli.
Uli berdecak. "Dih, pede banget. Gue nggak penasaran."
"Jujur aja, lo pasti penasaran." Juan kembali ke barisan setelah mengatakan hal yang cukup membuat wajah Uli dirambati semu merah.
Astaga, ternyata ada orang yang pede-nya bisa ngalahin Si Kampret. Meski menggerutu dalam hati, Uli tetap tersenyum sepenuh hati ketika Juan melewatinya.
"Gue duluan. Sampe ketemu lagi."
***
Kedatangan Uli disambut hangat oleh Bapatua. Gadis berkaus kuning itu jadi tambah merasa bersalah karena disambut dengan baik seolah-olah ia tidak menanyakan hal yang membuat Bapatua marah di tempo hari.
"Tumben kali bawa-bawa kue. Ulang tahunmu, kan, masih besok." Bapatua menyambut bungkusan kue yang Uli bawa.
Uli berusaha tersenyum.
"Ih, itu baju yang dibeli Mamaktuamu waktu kau lulus kuliah, kan?" Perhatian pria berkumis itu malah teralih ke kaus kuning yang Uli kenakan.
Uli mengangguk. Rasa bersalahnya bertambah dua kali lipat. Kalau melihat betapa sayangnya Bapatua dan Mamaktua padanya, Uli sudah patut dapat gelar anak durhaka karena mempertanyakan hal yang seharusnya tidak boleh ditanyakan di muka umum.
"Ih, yang datangnya boruku." Mamaktua menyambut Uli dengan pelukan hangat. "Banyak kali bawaannya."
Uli berdeham sebelum bicara. Soalnya kalau tidak berdeham, gadis itu takut kalau suaranya bakal bergetar. Ia menunduk dalam. "Bapatua, Mamaktua, maaf, ya semalam aku udah bikin masalah."
"Masalah apa, Nang?" Mamaktua bertanya dengan nada lembut.
"Nggak apa-apa itu. Nggak marah, kok, Bapatua. Jadi, kau bawa kue ini untuk menyogok, gitu?"
Air mata yang sudah siap meluncur, langsung ditarik mundur. Uli kini sudah bisa cengar-cengir. "Ih, tahu aja, lho, Bapatua ini."
Sepasang suami istri yang ada di hadapan Uli itu kompak tertawa.
"Gue nggak dibeliin apa-apa? Itu Petra masuk kamar bawa roti kopi?" Layaknya bocah tantrum, Pattar menyerukan protes sambil menunjuk kamar kembarannya. "Jahat banget lo!"
Uli menghela napas setelah memutar bola matanya malas. Ia melemparkan satu bungkus plastik berisi beberapa roti kopi. "Berisik."
Pattar berhasil menangkap bungkusan itu, kemudian ia buru-buru membukanya. "Yes, roti kopi juga. Makasih, tumben amat inget gue."
Uli sudah hampir murka.
Pattar membuka salah satu rotinya dan makan sambil bersandar di kursi. "Ngomong-ngomong, besok lo bakal ketemu sama pariban dari Jakarta itu, ya?"
Helaan napas Uli makin berat.
"Lo mau dikadoin apa? Cincin buat tunangan apa paket liburan honeymoon?"
Kini, murka Uli siap meledak. Kalau saja tidak ingat tujuannya ke rumah Bapatua, sudah bisa dipastikan ia dan Pattar akan baku hantam.
"Jadi, dong. Jam 7 acaranya besok. Sekalian perkenalan keluarga." Bukan Bapatua ataupun Mamaktua, tetapi kini Petra yang bicara.
Mendengar fakta yang terang benderang dari mulut abangnya yang paling tersayang, mampu membuat Uli kehilangan nafsu makan meski berbagai macam kue dan roti ada di hadapannya.
Kayaknya ulang tahun gue besok bakal jadi yang paling ambyar dan awur-awuran.
Catatan:
Opung Doli = Kakek
Boru = Sebutan marga untuk perempuan/panggilan untuk anak perempuan
Ito = Panggilan untuk saudara laki-laki atau perempuan (yang menyebutkan lawan jenis)
***
Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro