Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Menuju Pesta Pernikahan

Tidur Uli yang terasa baru sekejap mata, langsung berubah menjadi mimpi buruk ketika ia mendengar suara hordeng yang disibak dengan kasar. Perlahan-lahan, suara repetan Mamak turut merusak tidur yang tidak ada indah-indahnya itu. Kesadaran gadis berusia 27 tahun itu segera terkumpul sempurna ketika satu pukulan mendarat di pahanya.

"Uli, Uli, macam mana kau mau kawin kalo bangun pagi aja susah kali? Ayo, bangun. Terlambat nanti kita."

Uli berniat menarik kembali selimutnya, tetapi ia kalah cepat karena Mamak sudah lebih dulu menarik selimut dan mengubahnya menjadi gulungan besar.

"Kebaya kau udah Mamak setrika itu, cepatlah mandi."

Uli mengubah posisinya menjadi duduk. Ia langsung melayangkan tatapan sengit pada Mamak yang tengah memeluk gulungan selimut.

"Ayo, masih mau marsalon lagi kita."

Uli menghela napas berkali-kali sebelum berbicara dengan nada setenang mungkin. "Mamak aja yang ke salon, aku make up sendiri aja."

Mamak langsung meletakkan selimut yang sedari tadi dipeluk hanya untuk melayangkan satu pukulan pelan di lengan anak tunggalnya. "Kau nggak pandai bermekap sendiri, malu nanti Mamak. Siap-siaplah cepat. Udah ditunggu ini kita."

Dengan niat yang hanya setengah, akhirnya Uli mandi dan turut ikut ke salon langganan Mamak. Selama di salon, ia berkali-kali menyerukan protes tentang warna mekap yang terlalu mencolok atau sanggulnya yang terlalu besar, tetapi mulutnya langsung dibungkam dengan tatapan Mamak yang siap menerkam.

Pasangan ibu dan anak itu selesai bersolek setelah menghabiskan waktu hampir tiga jam. Mereka disambut oleh Bapak yang malah tertidur di sofa tamu salon tersebut.

"Pak." Mamak membangunkan Bapak dengan pukulan pelan di lengan.

Bapak terbangun, tetapi bukannya terpesona akan kecantikan istri dan anak semata wayangnya, Bapak malah melonjak kaget. Tanpa bisa dielak, perdebatan kecil sesuai prediksi Uli, akhirnya terjadi.

"Kok, kaget kali kau lihat aku? Udah macam baru lihat hantu aja." Mamak mulai pemanasan.

"Ih, nggak kaget pun aku." Bapak berusaha meredam emosi Mamak.

"Kau kira nggak lihat aku? Jelas-jelas kau kaget tadi!" Kilatan emosi di mata Mamak makin menjadi-jadi.

Untuk mengamankan situasi, Bapak buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Ih, cantik kali boru Bapak."

Uli tersenyum lebar. "Iya, dong. Boru Bapak gitu lho."

Mamak yang masih emosi langsung menimpali, "Oh, jadi aku nggak cantik? Boru kau aja yang cantik?"

Akhirnya, Uli langsung turun tangan. "Cantiknya Mamak aku. Cantik kayak artis film. Tadi Bapak kanget pasti  karena Mamak terlalu cantik, tuh."

Mamak langsung tersipu. "Iya, nya?"

"Iya, dong." Uli mengirimkan kode pada Bapak, untuk segera melanjutkan dengan pujian, tetapi pria bertubuh pendek dan gemuk itu malah melengos pergi setelah mengambil kunci mobil dari atas meja.

"Nggak bisa kali dipujinya Mamak!" Tensi Mamak mendadak naik lagi.

Uli yang memang sudah sangat paham akan kelakuan orang tuanya, hanya bisa tersenyum geli. "Yang malunya Bapak itu. Udah cantik, kok, Mamak."

Akhirnya, mereka bisa pulang dengan tenang. Setelah sampai di rumah, mereka bersiap-siap, kemudian berangkat ke gereja yang jaraknya cukup jauh dari rumah.

Setelah tiba di gereja, Uli mengamati dekorasi yang menghias sekelilingnya. Bunga yang ada di setiap sudut dan bangku, mampu membuatnya merasa baru saja memasuki kastil di negeri dongeng. Langit-langit tinggi yang dihiasi berbagai bunga dan tanaman gantung, serta lampu hias berbentuk kristal membuat Uli semakin terkagum. Tanpa adanya bunga dan aksesoris dekorasi lain, gereja yang dimasukinya kini memang sudah kelihatan indah. Namun, tidak ada orang lain di sana, bahkan pengantinnya pun belum tiba. Uli dan keluarganya adalah yang pertama masuk ke sana. 

Wajah Uli yang bermekap penuh, akhirnya hanya bisa cemberut. Ketepatan waktu Mamak memang tidak perlu diragukan lagi. Saat ibu-ibu lainnya cenderung lebih suka santai dengan alasan harus ke salon, Mamak malah kebalikannya. Selama masih bisa datang tepat waktu, kenapa harus terlambat? Beliau paling anti sama yang namanya terlambat. Uli tidak kaget ketika melihat gereja yang masih kosong, soalnya mereka tiba satu jam sebelum acara dimulai. Bahkan, Bapak masih bisa mengobrol dengan pendeta yang duduk di teras rumah dinas. 

"Uli, senyumlah, Nang. Kenapa pulak kau bensut macam bebek gitu?"

Uli mendengkus, kemudian memaksakan senyumnya. "Kan, aku udah bilang, Mak. Ke salonnya nggak usah jam 4 pagi. Jam 6, juga masih bisa. Gara-gara Mamak, sekarang aku ngantuk."

"Lho, siapa suruh kau tidur tengah malam? Kan, Mamak sudah bilang, jam 3 harus bangun. Nggak enak, lho, kalo sampe terlambat kita. Yang nikah ini pariban kau. Nggak mungkinlah Mamak bersolek biasa-biasa aja." 

"Kan yang pesta paribanku, kenapa Mamak yang repot?"

"Peran Mamak penting di sini." Mamak membuka kipasnya dengan cepat, kemudian mengibaskannya dengan gerakan penuh kekesalan. "Gara-gara kau, jadi panas gereja ini."

"Mamak yang bikin panas." Uli langsung menggeser duduknya untuk menjaga jarak dari Mamak. 

Belum juga Uli sampai di ujung bangku gereja, Mamak sudah kembali memanggil. Tadinya, ia ingin menyahut dengan nada kesal, tetapi ia langsung mengurungkan niat begitu melihat Maktua-nya. 

"Salam dulu Maktua-nya." Mamak sudah kembali pada mode ramah. Senyumnya sangat lebar sampai-sampai Uli lupa kalau tadi Mamak baru merepet lumayan panjang.

Uli langsung bangkit dan menghampiri wanita yang juga mengenakan sanggul, tidak kalah heboh dari Mamak. "Bang Petra sama abang satu lagi mana, Maktua? Paktua ikut, kan?"

Maktua tertawa karena tahu kalau Uli malas menyebut nama salah satu anak kembarnya. Sejak kecil, entah mengapa Uli tidak bisa akur dengan Pattar, padahal Uli sangat dekat dengan Petra. "Ada, lagi parkir mobil mereka. Paktua-mu udah ngobrol sama Bapak di depan."

Setelah itu, satu per satu keluarga mempelai tiba. 

"Ih, ini-nya Si Uli yang dulu pendek hitam itu? Kok, udah tinggi kali sekarang?" Seseorang yang Uli kenali sebagai sepupu jauh ayahnya menyapa setelah menepuk lengannya lumayan keras.

"Iya, Bou." Uli tersenyum ramah meski baru saja terkena body shamming.

"Inilah paribanmu yang terakhir, ya? Udah kawin semua mereka." Sahut salah satu kerabat yang Uli tidak tahu harus dipanggil apa.

"Udah berapa-nya umurmu?" 

"Seminggu lagi dua puluh tujuh, Bou."

"Udah tua itu. Jadi, kapan marpesta kita?"

Gadis yang memiliki mata besar itu langsung mengerjap. Ia sudah menduga pertanyaan itu akhirnya akan tiba juga. Uli adalah satu-satunya anak perempuan dari garis keluarga ayahnya. Kata orang-orang, ia beruntung karena punya lima pariban sekaligus padahal hanya memiliki satu namboru. Namun, kini ia merasa dirugikan karena memiliki banyak pariban. Terlebih lagi, paribannya yang akan menikah ini adalah stok terakhir dan berusia lebih muda satu tahun darinya. 

Wanita lain yang biasanya Uli panggil Bou juga, bergabung meramaikan perkumpulan yang sedang me-roasting Uli. "Jangan pilih-pilihlah. Jangan karena PNS itu kau, jadi milih-milih. Udah sampe habis paribanmu, nggak ada pulak yang jadi sama kau. Anak Bou juga udah kawin semua, nggak ada lagi yang bisa sama kau."

Uli hanya bisa cengar-cengir. Rasanya ia ingin berseru, 'siapa juga yang mau sama anak Bou!'

Uli ingin melarikan diri dari sana, tetapi rombongan lain malah tiba di depannya. Ia menyalami keluarga yang baru saja tiba. Pertanyaan serupa kembali menyerang Uli  dengan berbagai versi. 

Tidak lama setelah itu, ada keluarga lain yang tiba. Ada seseorang yang langsung Uli kenali, ia segera berlari untuk menghampiri. "Ompung! Sehat, Pung?"

Wanita renta yang berjalan dibantu tongkat itu langsung tersenyum. "Sehat. Mana-nya calonmu, Nang? Kenalkanlah sama Ompung."

Cengar-cengir Uli yang kali ini, lebih garing dari yang sebelumnya. "Tunggulah, Pung. Makanya Ompung sehat-sehat, ya. Biar bisa datang ke pesta Uli."

Ompung tersenyum dan menepuk tangan Uli. "Semoga cepat datang jodohmu, ya, Nang. Ompung doakan."

Akibat acara sapa menyapa yang tidak kunjung usai --Uli harus menyalami semua orang yang datang dengan senyuman yang dipaksa semringah-- gadis berkebaya merah itu menyelamatkan diri dengan berpindah tempat duduk ke samping Petra. 

Petra langsung berdiri dan mempersilakan Uli masuk dan duduk di sampingnya. "Kok, pindah?"

Uli meniup poninya yang sudah kaku seperti kanebo akibat disemprot hair spray terlalu banyak. "Udah capek pencitraan. Diajak ngobrol terus sama ibu-ibu."

Pria yang mengenakan kemeja putih dilapisi jas itu langsung tersenyum. 

Senyumnya mampu membuat Uli ikut tersenyum. Namun, ia langsung cemberut begitu kakinya disenggol oleh seseorang yang lebih mirip preman daripada keluarga pengantin. Kembaran Petra itu menyampirkan jas di bahu, kemejanya digulung sampai siku, dua kancing teratasnya dibuka dan dasi yang longgar berbentuk tidak karuan. Sangat berbanding terbalik dengan Petra yang seperti pangeran, Pattar malah seperti preman nyasar. 

"Lo mandi nggak, sih?" Uli menatap Pattar dengki.

"Gue mandi sama nggak mandi juga sama aja. Udah ganteng." Pattar malah meletakkan tangannya di atas sandaran bangku Uli, setengah merangkul. 

"Bang, tolongin." Uli langsung mengadu pada Petra yang terlihat baru selesai berdoa. 

Petra tertawa pelan dan memberi kode agar Pattar menyingkirkan tangannya dari Uli, tetapi pria itu malah menyeringai dan mengeratkan tangannya di bahu Uli. "Lipstik lo merah banget, kayak cabe aja."

"Diem nggak." Uli menjawab dengan bisikan.

Pattar masih saja jail. "Lo keliatan kayak mamak-mamak kalo disanggul gitu." 

Uli langsung menyikut rusuk Pattar dengan sekuat tenaga. Beruntung abang sepupunya itu tidak mengerang, ia hanya menatap Uli dengan tatapan siap bertengkar. 

Petra langsung bergerak cepat dan berpindah duduk di antara keduanya. "Kita lagi di gereja, tolong dikondisikan, ya." Petra mengalihkan pandangannya pada saudara kembarnya. "Adeknya jangan diganggu, udah. Kalian kayak anak kecil kalo lanjut berantem."

Uli dan Pattar kompak buang muka. 

"Dia duluan yang mulai, Bang." Uli melipat tangan di dada.

"Abang bilang udah. Udah, ya. Kamu udah 27 tahun, lho." Petra harus menghela napas berkali-kali.

"Lah, Si Kampret itu udah mau 30 tahun, kelakuannya kayak bocil."

Petra menghadap Uli. "Uli, berapa kali Abang bilang, nggak sopan panggil Pattar kayak gitu. Dia itu abang kamu."

"Dih, kalo kelakuannya kayak Abang, sih, nggak usah disuruh juga bakal kupanggil Abang."

Lagi dan lagi, pria berjas rapi itu harus menghela napas panjang. 

"Kelakuan gue baik-baik aja. Gue ngomong apa adanya, kok. Lo ngapain pindah ke sini? Ini barisan cowok."

Demi menjaga ketertiban, Uli tidak lagi menyahut, ia pura-pura sibuk memainkan ponselnya.

"Tumben nggak betah kumpul sama keluarga? Biasanya kamu paling semangat kalo ketemu saudara-saudara kita?" Petra bertanya dengan suara pelan.

"Mereka pada nanya kapan aku nikah. Umurku yang udah mau 27, dikatain tua." Uli cemberut, tetapi ia tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel. 

Petra menepuk pundak Uli pelan. "Nggak usah dipikirin, kalau udah waktunya, jodohmu bakalan dateng, kok. Lagian 27 tahun itu nggak tua."

"Umurku baru 26, cuma kelebihan banyak. Belom 27, Bang!"

Petra tertawa kecil. "Iya, iya."

"Umur 27 itu nggak tua, cuma udah dewasa aja." Pattar menyahut sambil mencondongkan badan ke arah saudara kembarnya. 

Uli sudah siap untuk membalas kata-kata sepupu semarganya itu, tetapi jarinya yang menggulir sosial media langsung berhenti ketika satu nama pengguna yang sudah sangat lama tidak aktif, muncul di berandanya. Uli mengerjap, perhatiannya teralih sepenuhnya. 

Foto pertama adalah pemandangan yang familier. Hal itu membuat rasa penasaran mendorong Uli untuk mengusap ke samping dan ia langsung membekap mulutnya sendiri karena menemukan foto tidak terduga.  Foto  seorang gadis yang tengah duduk sambil menengadah menatap langit yang dipenuhi bintang dan Uli tahu siapa yang ada di foto itu. 

Catatan:

Nang/Inang : Panggilan pada anak perempuan atau wanita yang dihormati

Bensut : Cemberut

Maktua/Mamatua : Istri saudara laki-laki ayah (lebih tua)

Paktua/Bapatua : Saudara laki-laki ayah (lebih tua)

Boru : Panggilan pada anak perempuan

Bou/Namboru : Saudara perempuan ayah, ibu dari pariban

Ompung : Kakek/Nenek

Terima kasih sudah membaca dan berkenan memberi vote. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro