47. Terhalang
Agaknya keberuntungan telah kembali berpihak pada Boy. Setelah menghabiskan hari-hari tanpa bayangan sama sekali, sekarang ia seolah mendapatkan secercah cahaya.
Ini adalah hari kedua Boy menemukan pemandangan yang sama. Yaitu, Velia turun dari taksi.
Boy mengamati dengan penuh fokus. Tanpa kedip, ia lihat Velia menyusuri trotoar. Wanita itu menunggu Metta sejenak sebelum keduanya masuk melewati gerbang kantor, menghilang dari pandangan Boy.
Semua terekam dengan baik dan sempurna dalam ingatan. Boy tidak hanya memfokuskan mata pada Velia, melainkan juga pada setiap orang yang disapanya.
Boy menarik napas dalam-dalam. Sedikit, ia mengubah posisi duduk. Ia berpikir dalam diam dan memutuskan rencana hari itu.
Waktu terus berjalan. Boy terdesak, tapi ia harus bermain bersih. Itulah satu-satunya alasan mengapa ia belum bertindak kemarin. Ia harus memastikan terlebih dahulu keamanan dalam setiap tindakan yang akan diambil. Harus tanpa cela.
Boy bergeming di dalam mobil. Ia amati setiap mobil yang keluar dan masuk ke gedung Greatech. Berjaga-jaga untuk kemungkinan yang bisa terjadi, ia tak akan kecele bila seandainya ada yang menjemput Velia.
Penantian Boy berakhir ketika sore tiba. Jam pulang tiba dan ia bersiaga. Punggung tegap dan tangan memutar kunci mobil.
Mata Boy lurus melihat pada pantulan spion mobil. Warna merah kemeja Velia langsung tertangkap fokusnya. Ia menaiki taksi dan Boy langsung melajukan mobil.
Boy mengikuti taksi yang membawa Velia dengan penuh kesabaran. Ia ciptakan jarak aman untuk menghindari kecurigaan. Tak boleh mencolok, ia sadar betul dengan keberadaan kamera pengawas di beberapa titik lampu lalu lintas.
Satu kerutan hadir di dahi Boy ketika mendapati taksi tak melaju jauh. Nyaris terlalu sebentar hingga akhirnya taksi berbelok, masuk ke satu kawasan apartemen elite yang berdiri megah dan mencolok.
Boy terus mengikutinya. Ia memarkirkan mobil di parkiran luar yang tersedia untuk para tamu. Belum bergerak, ia melihat Velia yang baru turun dari taksi. Wanita itu menyapa petugas keamanan dan masuk.
Penutup kepala jaket terpasang sempurna. Kacamata hitam cukup mampu menyamarkan wajah asli. Boy segera turun dan menuju pintu masuk.
Boy melihat Velia. Ia akan mengikutinya dan mencari tahu di mana tepatnya Velia tinggal.
"Maaf, Pak."
Satu tangan mengadang jalan Boy. Ia terpaksa berhenti dan melirik pada petugas keamanan yang mencegat.
"Ya?"
Petugas keamanan tersenyum ramah. "Maaf sebelumnya. Apakah Bapak pengunjung atau penghuni? Saya tidak pernah melihat Bapak."
"Saya pengunjung. Ada teman saya di dalam."
Boy melihat ke seberang. Velia berdiri di depan lift. Ia masuk dan menghilang dari pandangan Boy dalam waktu singkat.
Sial!
"Baiklah, Pak. Kalau begitu Bapak bisa ke resepsionis untuk menyerahkan KTP dan mengambil akses. Atau Bapak bisa menghubungi teman Bapak untuk menjemput di lobi."
Dua pilihan yang sama tidak bagusnya untuk Boy. Ia mengangguk seraya memutar otak. Keadaan tak memungkinkan untuk meneruskan rencana dan ia harus pergi tanpa menimbulkan kecurigaan.
Petugas keamanan berniat mengarahkan Boy menuju resepsionis. Namun, ia justru melihat seorang karyawan yang telah ditunggunya sedari tadi.
"Adnan!"
Boy memanfaatkan situasi dengan cepat. Ia beranjak ketika petugas keamanan kembali berseru.
"Apa kau sudah memperbaiki wastafel 2002? Tadi ada yang melaporkan kalau wastafel mereka mampet lagi."
Boy memutar tubuh. Ia ingin pergi dari sana secepat mungkin sehingga sedikit abai. Ketergesa-gesaan membuatnya menabrak seorang pria berbadan tinggi di belakang. Ia membawa satu set tas berisi perlengkapan pipa di pundak kiri.
"Maaf, Pak. Saya kurang berhati-hati."
Boy hanya mengangkat tangan sekilas tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Ia segera beranjak dan secepat mungkin masuk ke mobil.
Sialan!
Boy memukul kemudi setelah melihat nama apartemen. Tak pelak, Velia tinggal di tempat yang sulit untuk disentuh.
Namun, Boy tidak menyerah begitu saja. Saat ia melihat mobil mewah keluar dari lorong sisi gedung, ia mencoba peruntungan.
Boy menuju ke parkiran penghuni gedung. Sayang, ia harus kembali menelan kecewa. Pintu belakang gedung yang terhubung dengan area parkir meminta kata sandi. Akses rahasia yang tentunya tidak ia miliki.
Kekesalan Boy meningkat. Ia segera menghubungi Rino.
"Saya sudah menemukan keberadaan Velia, Pak."
Rino terkesiap di seberang sana. "Kau tidak berbohong?"
"Tidak, Pak. Hanya saja ini bukan hal mudah."
"Bukan hal mudah? Apa maksudmu? Ah, yang penting adalah kapan kau bisa menculiknya? Malam ini?"
Boy menarik napas panjang. "Ini sedikit sulit, Pak."
"Apa maksudnya sedikit sulit? Kau masuk saja dan beri dia obat tidur. Gampang bukan?"
"Tidak segampang itu, Pak," bantah Boy dengan kepala berdenyut. Beberapa rencana yang sudah disusun harus disingkirkan. "Masalahnya adalah dia berada di tempat yang tak terjangkau oleh saya, Pak. Dia tinggal di apartemen mewah."
"A-apa kau bilang? Apartemen mewah? Ck. Seberapa mewahnya apartemen itu?"
"Ya, Pak. Dia tinggal di apartemen mewah. Sangat mewah untuk menjamin keamanan penghuninya."
Boy mengangkat wajah. Tatapannya terlempar ke seberang sana, tepatnya pada nama mewah yang terpampang.
"Dia tinggal di The Istana."
*
Rino menggenggam erat ponsel. Telepon dari Boy tidak bisa dikategorikan berita bagus atau buruk.
Boy mengetahui keberadaan Velia, itu jelas berita bagus. Sayangnya nama apartemen yang menjadi tempat tinggal Velia jelas adalah berita buruk
Rino menggeleng berulang kali. Boy tidak mungkin menculik Velia di apartemen.
Tidak mungkin tanpa berakibat fatal.
Rino tidak ingin gegabah dan memutuskan untuk menghubungi Merita. Setidaknya ia harus melaporkan kemajuan pekerjaan walau mungkin Merita akan memberikan reaksi serupa sepertinya.
Nyonya tidak mungkin senang.
Panggilan tersambung. Rino menunggu dengan jantung berdebar penuh khawatir.
"Halo, Rino."
Rino menguatkan diri. "Halo, Nyonya. Maaf mengganggu, tapi saya memiliki informasi penting mengenai keberadaan Velia."
"Cepat katakan."
"Orang saya sudah menemukan keberadaan Velia, tapi sepertinya sedikit sulit untuk membereskannya."
"Jangan berbelit-belit, Rino. Apa maksudmu dengan sedikit sulit?"
Rino mengerjap. Keringat terbit dan menggelincir masuk ke dalam mata, menimbulkan sedikit perih.
"Saya memang sudah curiga sejak lama kalau Velia sekarang menjadi wanita simpanan pejabat. Ternyata dugaan saya benar."
"Wanita simpanan pejabat? Apa maksudmu, Rino? Kau jangan mengada-ada. Bagaimana mungkin Velia menjadi wanita simpanan pejabat? Kau jangan asal bicara untuk menutupi pekerjaan tak beresmu itu!"
Rino meneguk ludah. "Saya tidak berbohong, Nyonya. Saya bahkan punya buktinya."
"Apa?"
"Velia sekarang tinggal di apartemen mewah, Nyonya. Tepatnya di The Istana. Dia tak mungkin bisa tinggal di apartemen seelite kalau tidak menjadi wanita simpanan pejabat."
"Kau serius?"
"Saya tidak berbohong, Nyonya. Saya berani bersumpah. Orang suruh-"
Telepon diakhiri sebelah pihak. Merita memutuskan panggilan dan itu membuat Rino gemetar.
Rino terduduk lemas. Kepala berdenyut pening, tapi tak ada yang bisa dilakukannya.
Sementara itu Merita di rumahnya yang baru saja memutuskan panggilan Rino dilibuti beragam tanya. Informasi yang diberikan Rino membuatnya terkejut dengan rasa tak nyaman.
Velia menjadi wanita simpanan pejabat? Bagaimana mungkin? Siapa orang yang akan memberikan apartemen semewah itu untuk tempat tinggal seorang wanita simpanan?
Tentu saja Merita tahu pasti apartemen yang disebutkan Rino. Terkenal mewah, The Istana memasang harga di atas 150 juta rupiah untuk per meter perseginya.
Orang yang tinggal di The Istana bukanlah orang sembarangan. Alhasil bukan hanya kemewahan yang ditawarkan, melainkan keamanan. Sebagai bukti remehnya adalah tidak sembarang orang bisa masuk ke sana.
Dengan semua fasilitas keamanan di sana?
Tubuh Merita gemetar. Ia terduduk membeku di kursi malas kesayangan. Tangan mengepal dengan satu kemungkinan yang membuatnya ketakutan.
Jangan katakan kalau itu Lucas.
Dada Merita sesak. Amarah timbul dan membuncah seolah ingin meledakkan jantung. Ia ingin menampik kemungkinan tersebut, tapi hal lain membuat ketakutannya semakin menjadi-jadi.
Lucas sudah lama tidak tinggal di rumahnya. Aku pun tidak tahu di mana ia tinggal sekarang. Apa mungkin dia yang memberikan apartemen itu untuk Velia?
Merita menghirup udara sedalam mungkin. Perkataan Lucas mengiang di benaknya.
"Belum. Aku belum menemukan Velia dan itulah satu-satunya alasan mengapa aku belum ingin menikah."
Mata Merita terpejam. Satu hal hadir membantah ketakutannya.
Dilihat dari gilanya Lucas terhadap Velia, sudah bisa dipastikan dia akan langsung membawa wanita itu ke rumah kalau memang dia sudah menemukannya.
Sangat masuk akal. Bahkan Merita berani bertaruh bahwa Lucas bukan hanya sekadar membawa Velia ke rumah, melainkan lebih dari itu. Lucas pasti akan segera menyusun rencana pernikahan.
Tenang. Lucas belum menemukan Velia.
Raut kecemasan berangsung meninggalkan wajah Merita. Ia merasa sedikit lebih lega walau rasa penasarannya masih bergejolak.
Kira-kira siapa orang yang bersama Velia sekarang?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro