46. Dilepas
Mata berbulu lentik Velia masih terpejam. Napanya berangsur normal kembali. Tidak menggebu dan kacau seperti sepuluh menit lalu di mana Lucas menggaulinya dengan begitu bernafsu.
Lucas mendekap Velia. Ia ciptakan kesan damai setelah melalui percintaan dengan berapi-api. Sekarang nyalanya telah mati dan tergantikan lembab yang perlahan mendingin. Untuk itu adalah lembut rengkuhan yang lantas Lucas beri.
Penuh kehati-hatian. Tak ingin menyakiti. Lucas khawatir seolah tubuh Velia akan patah karena beban tubuhnya.
Lucas berikan kecupan lembut di sisi kepala Velia. Perlahan pindah dan menjalar ke sisi rahang. Lanjut pada pipi. Lalu Velia mengangkat wajah agar Lucas bisa mengecup leher.
Senyum mengembang di wajah Lucas ketika dilihatnya Velia menikmati tiap kecupan yang ia labuhkan. Velia tampak terbuai dan sungguh apa adanya.
Sedikit acak-acakan. Rambut berantakan dengan pipi merona. Itu adalah pemandangan yang membuat Lucas candu lebih dari zat adiktif mana pun.
Lucas bangkit. Ia meringis tertahan tatkala melihat payudara Velia dalam keadaan sedikit tak lazim di bawah bra yang masih terpasang.
Menciptakan jarak secukupnya, Lucas bertopang pada kedua tangan dan belum memutuskan untuk keluar. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri sementara kejantanannya mulai mengendur di dalam sana.
Velia membuka mata. Sorotnya terlihat sendu dan lelah. Ia menghela napas seraya tersenyum tipis, berusaha bicara dengan sisa tenaga tak seberapa.
"Apa kau mau makan malam sekarang?"
"Makan malam?" tanya balik Lucas. Ia mengerjap, lalu tertawa. "Kau benar. Seharusnya sekarang adalah waktu untuk makan malam."
Senyum Velia melebar. Bahkan sejurus kemudian berubah menjadi tawa kecil.
"Jadi apa kau menu makan malamku? Aku merasa benar-benar seperti sedang memakanmu."
Velia berguncang karena gelak. Ia terlihat amat bahagia dan merefleksikan panorama indah yang membuat Lucas terpana.
Tawanya serupa petikan dawai harpa. Musik yang melantun dan membuat riuh surga. Meriah dalam rasa terindah sepanjang masa.
Lucas yakin ia bisa habiskan waktu hanya untuk melihat tawa itu dan tak akan merasa bosan sama sekali. Namun, paling tidak ia harus memastikan Velia tak akan masuk angin lantaran pakaiannya yang tersingkap di mana-mana.
Untuk itulah Lucas segera memperbaiki bra di payudara Velia. Memastikan keduanya kembali pada tempat semula. Berikut dengan merapikan kausnya.
Sekarang Lucas benar-benar menarik diri. Ia keluar dan cekatan memperbaiki keadaan celananya sebelum membantu Velia untuk hal yang sama. Setelahnya ia menurunkan Velia dengan perlahan.
"Kau bisa berdiri?"
Jawaban Velia adalah tepukan lemah di dada Lucas. Sontak membuat Lucas menyeringai, tapi refleksnya seketika menyala tatkala menahan Velia.
"Kau sudah memasaknya," cegah Lucas ketika dilihatnya tanda-tanda Velia akan beranjak demi menyajikan makan malam. "Sekarang biar aku yang menyiapkannya."
Velia tak keberatan sama sekali. Ia sadar bahwa tak banyak kesempatan yang bisa didapat untuk melihat seorang pria bertelanjang dada menyajikan makan malam. Hal tersebut tak boleh disia-siakan begitu saja.
Lucas menyiapkan keperluan makan malam mereka dalam waktu singkat. Ia tak butuh waktu lama untuk menyajikan hidangan di atas meja. Saat mereka duduk bersama sesaat kemudian, ia berkata.
"Nah! Ini baru makan malam sesungguhnya. Bukan seperti setengah jam yang lalu."
Velia tak bisa menahan diri. Beruntung ia belum memulai suapan pertama. Jelas, tawanya kembali berderai.
Makan malam berlangsung menyenangkan. Selepas apa yang terjadi di meja makan, hidangan yang mengenyangkan tentu adalah hal paling tepat yang bisa didapatkan Lucas dan Velia.
Terlebih lagi ada perbincangan hangat yang tercipta. Pun tak jarang ada tawa yang menyela.
"Aku hampir lupa menanyakan sesuatu padamu," ujar Lucas sesaat setelah menutup sendok dan garpu. "Apa kau sudah memutuskan kapan ingin pergi melihat rumah barumu?"
Velia berpikir sejenak. "Aku juga hampir melupakannya. Bagaimana kalau Jumat besok? Mungkin aku bisa melihatnya sebentar bersama Iwan. Sepulang dari kantor."
"Jumat sore. Sepulang dari kantor. Sepertinya itu pilihan tepat. Aku akan mengatakannya pada Iwan."
"Terima kasih."
Lucas mengangguk. Ia meraih gelas dan berniat untuk melegakan tenggorokan ketika dahinya mengernyit.
"Ada apa?"
Lucas menunda sejenak niatnya. Ia taruh kembali gelas di meja seraya menjawab.
"Iwan menghubungiku tadi dan mengatakan ada yang bermasalah dengan mobilmu."
"Mobilku rusak?"
"Sepertinya begitu," angguk Lucas. "Besok Iwan akan membawanya ke bengkel dan mungkin kau harus menggunakan taksi untuk beberapa hari. Kau tak keberatan bukan?"
Bukan hal besar. Velia menggeleng dan tak keberatan sama sekali. Lebih dari itu, ia pikir ada sedikit hal bagus di sana.
Lucas menyipitkan mata. Samar perubahan ekspresi Velia tak akan lepas dari pengatamannya.
"Ada sesuatu? Kau terlihat ..."
Agak ragu. Sayangnya Lucas tahu dirinya jarang keliru.
"... sedikit senang."
Velia bergeming untuk sesaat. Ia mengerjap dan menuntaskan makan. Kaku, ia tersenyum.
"Bukannya senang," ralat Velia seraya mencari kata tepat. "Hanya saja kupikir itu bukan hal buruk. Sejujurnya aku sempat berpikir kau tidak akan mengizinkanku bekerja karena mobil tengah rusak."
Bukan tanpa sebab sehingga Velia menduga demikian. Berkaca dari sikap dan ketegasan Lucas yang menegaskan bahwa dirinya harus pergi dengan mobil dan Iwan bila ingin bekerja, apa lagi yang Velia pikirkan ketika mobilnya justru rusak? Ia sungguh tak mengira kalau Lucas malah langsung menawarkan taksi sebagai opsi.
"Tak apa. Naik taksi juga menyenangkan."
Kali ini barulah Lucas minum. Ia legakan tenggorakan dengan tiga tegukan besar.
"Menyenangkan?"
"Ya. Setidaknya aku bisa melihat jalanan pagi. Berjalan dan berbaur dengan karyawan lain. Itu terasa me—"
Velia tak meneruskan ucapannya. Kata-kata menggantung di udara dan kesenangannya terjeda seketika. Ia tatap Lucas dengan perasaan tak enak.
"Aku tidak bermaksud, Luc," ucap Velia cepat. "Aku hanya ... ehm."
Lucas membalas tatapan Velia. Sorotnya tampak lembut sehingga menenangkan untuk Velia menuntaskan perkataannya.
"Terkadang aku merasa sedikit bosan dan semua berjalan dengan menjemukan."
"Kau ingin mengatakan bahwa selama ini aku mengekangmu? Aku mengurungmu?"
Velia tertegun. Ia menggigit bibir bawah sementara Lucas kembali mendesak.
"Benarkah seperti itu? Kau merasa aku mengurungmu?"
"Aku tidak bermaksud mengatakan demikian. Aku bukannya tidak suka berada di sini, tapi sejujurnya memang ada kalanya aku ingin keluar. Sekadar jalan-jalan."
Sekarang adalah Lucas yang tertegun. Ia diam dengan ekspresi tak terbaca.
Velia menunggu. Sedikit lebih lama dari yang diduga sehingga ia pikir Lucas mungkin tersinggung dengan perkataannya.
"Apa kau tahu kalau semua ini aku lakukan untukmu?"
Sekilas emosi asing di mata Lucas membuat Velia tercengung. Pun pertanyaan tersebut menghadirkan perasaan aneh yang meremangkan bulu kuduknya.
"Apa maksudmu, Luc?"
Lucas menarik napas dalam-dalam. Sejenak, ia pejamkan mata dan lantas senyum mengembang ketika kembali ditatapnya Velia.
"Aku harus memastikan kalau kau tidak akan melihat pria lain di luar sana. Aku harus memastikan kalau hanya aku satu-satunya pria di matamu."
"Luc," kesiap Velia dengan mata membesar. "Kau—"
"Aku memang sengaja mengurungmu agar aku yakin kau tak akan kabur dariku lagi. Agar aku yakin tak akan ada pria lain yang akan menyentuhmu."
Velia tertegun. Emosi asing itu kembali melintas di mata Lucas.
"Aku hanya tak ingin kehilanganmu lagi, Ve."
Velia mengerjap. Persetan dengan emosi asing yang sedari tadi muncul dan pergi di mata Lucas. Apa yang pria itu katakan membuat jantungnya diremas-remas.
Perasaan Velia bergejolak. Menarik hangat untuk hadir di mata dan ia refleks berpindah kursi.
"Maafkan aku."
Velia duduk di sebelah Lucas dan meraih jemarinya. Ucapan Lucas menarik perasaan bersalah di dalam hati.
"Maafkan aku."
Lucas menggeleng dalam senyum tipis. "Tak apa. Itu semua sudah berlalu dan sekarang aku akan melakukan apa pun agar kita tak akan berpisah lagi."
Ketulusan kata-kata Lucas membungkam Velia. Berikut menghadirkan sesal yang tak bisa ditepis.
"Aku tak akan pernah melepaskanmu lagi, Ve."
Ucapan Lucas bertentangan dengan harapan Velia. Ia ingin pergi dan kembali melarikan diri, tapi Lucas meluluhkannya dalam kehangatan.
Bisikan hadir dan mencemooh. Sisi lain di diri Velia mengejek. Seharusnya ia tak berharap muluk. Bagaimana mungkin ia berpikir bisa pergi dari Lucas untuk yang kedua kali?
Bahkan bila Lucas tak bisa mempertahankannya, adalah diri sendiri yang menjadi keraguan Velia. Persis manusia pada umumnya, serakah hadir dalam kebersamaan setiap hari.
Velia sadar bahwa tak seharusnya ia berharap lebih. Namun, ia hanya wanita biasa. Satu-satunya yang paling diinginkan alam bawah sadarnya adalah bersama dengan pria yang dicintai.
"Kau tahu itu bukan?"
Velia mengangguk. Terlebih dengan tekad yang Lucas pastikan, seharusnya ia bisa meraba masa depan.
"Aku tahu."
Pembicaraan berakhir. Lucas menuntaskannya dengan satu kecupan lembut yang membuat Velia memejamkan mata.
Agaknya sulit untuk berbohong. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, Velia sekarang menginginkan hal yang sama.
Jangan lepaskan aku, Luc. Kumohon jangan.
Keinginan tak terucap Velia adalah janji Lucas. Ia tak akan melepaskan Velia bahkan bila itu artinya ia harus bertaruh nyawa. Sebisa mungkin ia akan tetap mempertahankan Velia di sisi atau setidaknya dalam lingkup terpercaya. Salah satunya adalah Iwan.
Sayang tidak demikian adanya di keesokan hari. Iwan yang selama ini dipercaya Lucas sebagai sopir Velia harus mengurus mobil. Berat, tapi Lucas tak punya pilihan lain.
"Tak apa," kata Velia tersenyum. "Aku akan baik-baik saja."
Lucas meraih jemari Velia, meremasnya pelan. Ia tatap Velia dengan sorot yang tak mampu diartikan.
"Maafkan aku. Aku tak bisa mengajakmu pergi bersamaku."
"Aku mengerti, Luc. Lagi pula aku juga tak ingin ada orang kantor yang mengetahui hubungan kita."
Wajah Velia menunduk tanpa sadar. Tindakan refleks ketika ada nyeri yang menyengat perasaannya dengan tiba-tiba.
Lucas meraih dagu Velia. "Aku janji, Ve. Semua ini akan selesai sebentar lagi."
"Selesai sebentar lagi?" tanya Velia dengan dahi mengernyit. Perkataan Lucas terasa sedikit janggal. "Apa maksudmu?"
Untuk kesekian kalinya Velia menangkap sekelebat emosi asing di mata Lucas. Anehnya pria itu justru tersenyum seperti tak terjadi apa-apa.
"Perbaikan mobilmu."
Lucas dan Velia turun. Ia mengantar Velia menuju taksi yang telah menunggu. Wajahnya menyiratkan berat ketika harus melepas kepergian Velia, tapi ia menguatkan diri.
Tenang dan kembali terkendali. Lucas menaikkan sekat pembatas ketika mobil melaju di jalan. Ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.
"Jangan sampai ada kesalahan sedikit pun."
*
Lalu lalang kendaraan di pagi hari bisa dipastikan selalu padat. Tak heran bila akhirnya Velia memutuskan berhenti tidak tepat di depan kantor.
Ada jarak tersisa tak lebih dari sepuluh meter. Velia turun dari taksi dan tak keberatan untuk berjalan beberapa menit.
Pagi yang cerah. Langit biru tanpa awan. Sungguh awal hari yang menyenangkan.
Velia tersenyum, spontan menyapa pada karyawan yang kebetulan dikenal. Ia tampak bersemangat dan menonjol di antara orang-orang yang memadati trotoar.
Cukup menonjol untuk membuat sepasang mata yang melirik dari spion mobil berubah melotot seketika. Menyiratkan syok bercampur antusias.
Boy menatap lurus pada spion. Masih sedikit ragu, ia memutar kepala dan melihat secara langsung dengan lebih jelas. Fokusnya tertuju tanpa kedip pada wanita berkemeja hijau mudah.
Tidak salah lagi.
Di depan gerbang kantor, Velia melambai. Ia menunggu sejenak hingga Metta menghampiri.
Akhirnya kau lepas juga, Velia.
Boy menyeringai. Ia terus mengamati hingga Velia melewati gerbang dan hilang dari pandangan.
Akhirnya pekerjaanku akan selesai sebentar lagi.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro