31. Janji
Boy menutup botol air mineral yang diminum, lalu ia lempar ke kursi penumpang selagi matanya fokus. Tatapannya terarah dan tak berkedip sama sekali ketika melihat satu persatu wajah yang memasuki kawasan gedung Greatech pagi itu.
Sesuai rencana. Senin pagi itu Boy sudah berada di posisi. Ia ingin memastikan kebenaran dari satu dugaan yang mengganjal.
Boy menunggu dengan tenang dan sabar. Namun, ia tak melihat kedatangan Velia hingga gerbang kantor menjadi sepi.
Jawaban didapat. Boy menyeringai penuh arti dan melajukan mobil.
Mungkin ini akan sedikit sulit, tapi tak apa. Semakin sulit pekerjaan maka akan semakin besar bayarannya. Aku hanya perlu mencari celah. Dia tak akan selamanya berada dalam pengawasan.
*
Velia dan Metta baru saja selesai menikmati makan siang tatkala ada dering terdengar. Berasal dari ponsel Velia. Nama yang mengisi layar membuat wanita itu mengangkat dengan segera.
Metta diam, tapi ia menyimak perbincangan yang berlangsung tak lama itu. Tatkala panggilan berakhir, ia pun spontan bertanya.
"Dari rumah sakit?"
Velia mengangguk. "Soal operasi Herry."
"Oh, tapi keadaannya baik-baik saja bukan?"
"Ya," jawab Velia kembali mengangguk. "Semoga saja dengan operasi ini keadaannya semakin baik dan bisa siuman secepatnya."
Secepatnya?
Dahulu satu kata itu adalah hal yang selalu Velia panjatkan dalam doa. Sekarang pun demikian. Namun, ada yang mengusik harapnya akhir-akhir ini.
Apa yang akan aku lakukan seandainya Herry bangun?
Velia pejamkan mata. Ia usir pertanyaan yang tak dketahui jawabannya dari dalam kepala. Ia tukar dengan kenyataan bahwa sudah terlalu lama ia tak menjenguk Herry.
Bagaimana caranya agar aku bisa ke rumah sakit sementara ada Iwan? Apakah aku bisa membohonginya?
Hanya satu alasan yang terbersit di benak Velia. Ia bisa berpura-pura sakit dan mungkin saja Iwan akan luluh.
"Iwan."
Iwan melirik pada spion dalam. "Ya, Non?"
Sekilas, Velia teringat ucapan Lucas. Pria itu pernah memberi stempel padanya sebagai pembohong yang buruk.
Velia menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha tenang dan bertanya.
"Apa kau bisa mengantarkanku ke rumah sakit? Hanya sebentar. Aku ada keperluan sedikit dan aku sudah mengatakannya pada Lucas. Tak akan lama."
"Rumah sakit, Non?"
"Ya," angguk Velia dan menyebutkan nama rumah sakit. "Bagaimana?"
"Baiklah."
Velia membuang napas lega. Ketegangan seketika pergi.
Hanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk Velia tiba di rumah sakit. Iwan menghentikan laju mobil di pelataran rumah sakit dan Velia berpesan.
"Aku akan menghubungimu kalau urusanku sudah selesai."
Velia bergegas. Waktu yang dimilikinya tak banyak. Ia segera menemui dr. Sriyanti dan berkonsultasi. Mereka membicarakan beberapa hal terkait keadaan Herry, operasi, dan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
Tak sampai di sana. Velia sebisa mungkin mengurus administrasi yang dibutuhkan demi penjadwalan operasi. Setelahnya barulah Velia menuju tempat di mana Herry berada.
Velia tak langsung masuk. Ia hanya menatap dari luar kaca untuk beberapa saat. Sedikit ragu seolah memaku kakinya. Agak berat untuk melangkah, tapi pada akhirnya ia memaksa diri berkat satu kenyataan. Bahwa belum tentu esok hari ia bisa mendapat kesempatan serupa.
Seorang perawat membantu Velia mengenakan baju protektif. Ia masuk seraya mengingatkan diri bahwa ia tak bisa berlama-lama.
Velia duduk. Ia tatap sosok Herry yang semakin kurus dan memegang tangannya.
"Herry."
Suara Velia bergetar. Ada berat menghimpit dada. Hal yang memaksa dirinya menarik napas dalam-dalam.
"Maafkan aku karena sudah lama tak menjengukmu, tapi keadaanku baik-baik saja. Aku harap kau juga begitu dan ah," lanjut Velia lirih. "Aku sudah menjadwalkan operasi untukmu agar kau bisa segera membaik dan bangun dari koma. Aku ...."
Ucapan Velia terhenti. Ia tak bisa berpura-pura tak merasakan apa-apa ketika yang terjadi justru sebaliknya. Ia tak bisa berbohong sekalipun itu pada Herry yang tengah terbaring tanpa daya.
"Aku bertemu Lucas, Her."
Kejujuran itu terlontar dari bibir Velia berikut rasa sakit yang menghunjam jantung. Wajahnya jatuh. Ia menunduk dan membiarkan setetes air mata terjatuh begitu saja.
"Bukan hanya sekadar bertemu dengannya."
Velia merutuki diri. Mungkin tak semestinya ia benar-benar menjenguk Herry. Nyatanya apa yang telah ia lakukan menerbitkan rasa bersalah lebih besar dari yang diduga.
Tak ada muka. Tak ada keberanian. Velia merasa tak lagi pantas untuk menghadapi Herry.
"A-aku tahu. Kalau kau bangun nanti kau pasti akan membenciku dan mencapku sebagai wanita paling bodoh. Lagi dan lagi menjatuhkan diri pada pria yang sama berulang kali, tapi ..."
Apakah berdosa bila Velia membela diri? Hanya untuk mencari sedikit pembenaran dari langkah yang ia ambil. Demi menekan rasa bersalah yang terus menggerogoti hatinya di dalam sana.
"... aku tak punya pilihan lain. Hidupku benar-benar sulit, Her. Hanya Lucas. Hanya dia yang bisa membantuku. Untuk itu, aku kembali padanya."
Remasan Velia di jari Herry menguat. Ia gigit bibir bawah kuat-kuat dan berharap agak sesak berikut isak itu bisa ia bendung.
"Aku kembali padanya demi uang, Her. Aku tahu seharusnya aku menjauhinya. Tak ada masa depan apa pun di antara kami. Seharusnya aku membencinya, tapi ..."
Panas membakar. Mendidihkan air mata dan membiarkannya menggelegak di sepanjang pipi Velia.
"... aku lebih benci pada diri sendiri yang tanpa sadar justru hanyut dalam kebersamaan kami."
Velia tak tahu kapan pastinya, tapi semua telah terlambat ketika ia sadar. Ia yang semula memasang benteng bila berkenaan dengan Lucas tanpa sadar melakukan hal sebaliknya.
"Aku kesepian bila tak ada dirinya. Aku menunggu kepulangannya. A-aku merasa damai dalam pelukannya."
Sekarang Velia menyadari satu hal menyakitkan. Bukan fakta di mana ia terpaksa menjadi wanita simpanan Lucas yang membuatnya tersiksa. Melainkan kenyataan di mana ia menikmati hari-harinya bersama Lucas.
Mata Velia terpejam. Berharap agar tangis berhenti, ia justru mendapati hal sebaliknya. Kebersamaannya dengan Lucas yang belum lama terjalin kembali, melintas. Berputar-putar dan menampilkan kehangatan yang seharusnya tidak ia rasakan.
Benci? Itu tak cukup untuk menggambarkan kecewa Velia pada diri sendiri. Ia merasa malu, jijik, dan tak sanggup.
"Terima kasih untuk semua yang telah kau lakukan padaku selama ini, Her. Kau menolongku di masa terpurukku, tapi maafkan aku. Aku tak bisa bersamamu lagi."
Air mata berhasil diredam. Velia mengusap kasar wajah dan menekan perasaan. Ia tak ingin larut dalam kesedihan ketika sadar tak ada yang bisa ia ubah.
Namun, ada satu hal yang bisa Velia upayakan. Sesuatu di masa depan.
"Aku putuskan untuk pergi setelah kau sembuh nanti."
Velia pernah melakukannya. Ia pernah pergi dan meninggalkan masa lalu di belakang. Dengan langkah terseok, ia tapaki masa depan. Walau ironisnya adalah jalan itu justru menuntunnya kembali pada masa lalu.
Kali ini Velia akan memastikan semua tak terulang. Ia akan tinggalkan semua.
"Aku akan pergi meninggalkan kalian semua."
Tanpa teman. Tanpa keluarga. Tanpa siapa-siapa.
Velia bisa membayangkan kehidupan apa yang nantinya akan dijalani. Terlihat menyedihkan, tapi senyum justru tersungging di wajahnya.
Mungkin itulah yang terbaik.
Velia akhiri kunjungan itu sekitar lima menit kemudian. Ia keluar dan membersihkan wajah di toilet. Setelahnya ia menghubungi Iwan.
"Aku sudah selesai, Wan. Aku tunggu di depan."
Velia beranjak. Ia susuri koridor dan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Sama sekali tak menyadari bahwa sedari tadi ada sesosok pria yang terus mengawasinya.
Pria itu beranjak. Langkahnya terasa agak gemetar tatkala mengambil tempat di mana Velia tadi melihat Herry dari luar.
Wajah pria itu mengeras. Rahang kaku dan mulut terkatup rapat adalah dua hal pasti yang menyiratkan geram tak terungkap.
Jadi kau orangnya, Herry? Jadi kau yang sudah menyembunyikan Velia dariku selama ini?
Fokus mata berpindah. Sekarang adalah arah di mana Velia menghilang yang menjadi tujuannya.
Aku tak akan melepasmu, Ve. Kau tak akan bisa pergi dariku untuk kedua kali. Apa pun akan aku lakukan untuk membuatmu tetap menjadi milikku.
Janji terucap dalam hati. Berikut dengan sorot tak main-main yang terpancar di sepasang mata Lucas.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro