Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Barter

Sedikit kelegaan yang Velia dapatkan tatkala keadaan Herry kembali membaik tak berlangsung lama. Kenyataan menunggu di depan mata. Ada hari-hari yang harus ia lalui dengan uang yang tak sedikit. Sementara dirinya sekarang adalah seorang pengangguran?

"Kau sudah dipecat. Dan bukan olehku, tapi langsung dari atas. Aku tidak bisa melakukan apa pun."

Suara Rino mengiang di benak Velia. Ia berpikir dan berujung pada satu tanya. Apakah ia bisa mendapatkan kembali pekerjaannya bila meminta langsung pada sang pemilik perusahaan?

Ada kemungkinan. Alhasil itulah yang akan dilakukan Velia walau seberkas ragu terasa di hati.

Bisakah Velia menemui Lucas? Masih adakah wajahnya untuk menemui seseorang yang baru saja ditolak kemarin?

Velia tak ada pilihan lain. Hanya Lucas satu-satunya yang bisa membantu. Agaknya ia harus menanggalkan harga diri demi keberlangsungan hidup.

"Apa?!"

Seruan Metta menggema dalam sambungan telepon mereka. Velia menghubunginya ketika berada di dalam angkot, menuju ke kantor.

"Menemui pimpinan perusahaan?" tanya Metta lagi. Suaranya masih terdengar tak percaya dengan apa yang Velia katakan. "Kau ingin bertemu dengan Pak Lucas?"

Velia meneguk ludah. Mendengar Metta menyebut nama Lucas membuatnya merinding.

"Kau tau seperti apa pemimpin perusahaan kita? Semua orang takut pada dirinya, Ve. Tidak ada yang ingin berurusan secara langsung padanya."

Aku tahu. Aku lebih tahu hal itu dibandingkan siapa pun, tapi apa yang bisa aku lakukan? Semua masalah yang datang membuatku tidak punya pilihan lain. Hanya ini satu-satunya harapan agar aku mampu bertahan hidup.

Dua logika berperang, tapi hanya butuh waktu singkat untuk semua enyah dari pikiran. Velia tak akan mundur.

"Ini adalah satu-satunya harapan yang masih tersisa, Met. Aku tidak tahu harus melakukan apa."

Velia benar-benar terhimpit. Bukan hanya mengenai biaya hidup sehari-hari dan perawatan Herry, alih-alih kedatangan preman tadi. Tak bisa dibayangkan bila ia harus menjadi wanita pemuas nafsu mereka.

"Aku tahu, tapi tidak dengan cara itu," ujar Metta terdengar putus asa. "Kau belum tentu diterima lagi dan kau sudah mempermalukan dirimu sendiri."

Mata Velia terpejam dramatis. "Aku bahkan sudah tak ada rasa malu lagi. Ini kesempatan terakhirku, Met. Aku benar-benar terpojok."

Metta terdengar menghela napas panjang. "Walau demikian belum tentu kau bisa bertemu dengan beliau. Pak Lucas tentu saja akan sulit ditemui. Orang-orang harus membuat janji terlebih dahulu untuk bertemu dengannya."

"Aku tahu," kata Velia dengan suara bergetar. "Aku akan mencari cara untuk bisa menemui beliau."

Telepon berakhir tepat lima menit sebelum Velia tiba di tempat tujuan. Ia turun dan menyerahkan ongkos. Tatkala angkot berlalu, ia menengadah melihat kantor yang menjulang.

Velia melangkah. Sekilas melihat pada nama megah Greatech yang terpampang sebelum ia tersenyum pada satpam. Ia masuk tanpa hambatan sama sekali.

Suasana kantor masih ramai ketika Velia melintasi lobi. Berpura-pura bahwa kartu pengenalnya tinggal, ia pun berhasil melewati sistem pemindai.

Persis seperti satpam yang tersenyum padanya tadi, agaknya karyawan di sana pun belum mengetahui bahwa Velia baru saja dipecat pagi tadi.

Velia bergegas menuju lift dan menekan tombol angka yang akan mengantarkannya ke lantai teratas gedung itu. Tempat di mana pemilik perusahaan tempat ia bekerja berada.

Tempat di mana seorang Lucas Ferdinand berada.

*

Vlora mengerutkan dahi. Sesosok karyawati yang berjalan dengan gelisah menarik perhatiannya. Dalam benak, ia bertanya-tanya. Apakah Lucas memanggilnya kembali? Namun, untuk urusan apa?

"Ada yang bisa saya bantu?"

Tanpa tedeng aling-aling, Vlora segera bertanya tatkala karyawati itu mendatangi mejanya.

Wanita itu meremas kedua tangan satu sama lain. Tampak gugup tatkala menjawab.

"S-saya Velia, Bu. K-kemarin Pak Lucas meminta saya untuk datang kembali."

Vlora menyipitkan mata. Tak ingin, tapi jawaban Velia terdengar masuk akal.

"Sebentar," ujar Vlora seraya bangkit. "Saya akan memberi tahu Pak Lucas terlebih dahulu."

Velia mengangguk. Ia menunggu seraya melihat kepergian Vlora dengan harap-harap cemas.

Sementara itu Vlora segera menuju ruangan Lucas. Ia mengetuk pintu sebanyak dua kali dan masuk.

"Ada apa?"

Tanpa mengangkat wajah dari berkas yang sedang dibaca, Lucas bertanya. Ia tampak fokus dan beberapa kali pena di tangan bergerak, mencoret di sana.

"Di depan ada Nona Velia, Pak."

Pena Lucas berhenti bergerak. Jawaban Vlora membuatnya tertegun.

"Velia?"

Vlora mengangguk. "Karyawati yang kemarin menabrak Bapak."

Lucas menaruh pena di atas meja. Ia mengangkat wajah dan melihat sang sekretaris.

"Mengapa dia datang?"

Kekagetan pecah di sorot mata Vlora. "Dia mengatakan bahwa Bapak menyuruhnya untuk datang lagi."

Lucas terdiam. Melihat itu, Vlora segera menunduk.

"Maaf, Pak. Saya akan sege—"

"Tidak," potong Lucas. Otaknya berpikir dengan cepat. "Saya memang memanggilnya, tapi saya pikir dia akan datang sore nanti."

Vlora membuang napas lega. Sedetik yang lalu ia merasa gemetaran, khawatir bila telah melakukan kesalahan.

"Segera suruh dia masuk."

"Baik, Pak."

Selagi Vlora keluar, Lucas bangkit dari duduk. Ia melangkah menuju sofa tamu dengan pikiran yang bertanya-tanya.

Mengapa Velia mendadak ingin datang menemuiku? Setelah kejadian kemarin? Ketika ia tanpa gentar menolakku?

Lucas duduk. Matanya lurus menuju pintu ketika daunnya perlahan bergerak.

Pintu membuka. Menampilkan pemandangan di mana Velia masuk dengan kikuk. Ia terlihat resah.

Ada apa dengannya?

"Duduk."

Lucas menunggu sejenak hingga dirasanya Velia sudah nyaman. Tatapan Lucas memindai dan bisa menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang tengah terjadi pada wanita itu.

"Ada apa?" tanya Lucas tanpa basa-basi. "Mengapa kau mendadak ingin bertemu denganku?"

Fokus mata Lucas pindah. Kali ini menuju kedua tangan Velia yang saling meremas satu sama lain. Agaknya ia butuh mengumpulkan keberanian terlebih dahulu sebelum balik bertanya, alih-alih menjawab.

"Apa kau yang memecatku?"

Lucas terhenyak dengan keterkejutan yang tak dibuat-buat. "Memecatmu? Aku?"

Di satu sisi, Lucas kaget dengan pertanyaan bernada tuduhan tersebut. Namun, ia justru menyeringai di sisi lain.

Jadi karena ini kau menemuiku, Ve?

"P-Pak Rino mengatakan bahwa aku dipecat langsung oleh atasan."

Lucas mendengkus. "Kupikir tadi kau menemuiku karena kau ingin mempertimbangkan hubungan kita kembali, tapi sepertinya aku keliru."

Tubuh Velia membeku. Wajahnya terasa panas. Ia mengerjap salah tingkah beberapa kali.

"K-kau tahu di antara kita berdua sudah tak ada yang bisa dipertimbangkan kembali."

"Masih ada," tukas Lucas seraya menatap Velia tanpa kedip. "Kau berutang penjelasan padaku, Ve. Untuk keputusanmu meninggalkanku tujuh tahun yang lalu. Ingat? Kau pergi tanpa kata-kata dan sampai saat ini aku tak tahu apa alasanmu mengakhiri hubungan kita."

Tatapan Lucas membuat Velia gentar. Terlebih lagi dengan tudingan tersebut.

"Hubungan kita tak akan pernah bisa berhasil, Luc. Kau tahu itu."

"Omong kosong!"

Velia terhenyak. Jantungnya berdetak kuat dengan kesan ngeri tatkala sekelumit emosi Lucas tersulut.

"Mengapa? Apa ada pria lain yang kau cintai saat itu? Kau meninggalkanku demi pria lain?"

Bertahan, Velia memaksa diri untuk balas menatap Lucas. "Kau bisa menganggapnya demikian."

Lucas mengatupkan mulut rapat-rapat. Rahangnya mengeras. Tanpa sadar, ia meremas lengan sofa.

"Aku mencarimu ke mana-mana, Ve."

Berbeda dengan sikap garang yang menyelimuti wajah tampannya, suara Lucas justru bergetar. Ia berusaha menahan emosi, tapi gejolak itu tak bisa ditahan. Ada bayang tujuh tahun yang turut serta di sana. Menampilkan keputusasaan yang membuatnya nyaris gila.

"Aku mencarimu dan berharap hubungan kita bisa kembali dipertahankan walau sudah lama tak bertemu. Sayangnya aku keliru. Kau sepertinya tidak memikirkanku sama sekali selama ini."

Velia bertahan dalam diam. Tudingan demi tudingan yang Lucas berikan kian membuatnya gentar, tapi ia mencoba tak goyah.

"Jadi ...," kata Lucas kemudian. "... setelah mencampakkan aku bertahun-tahun lamanya, kau justru datang ke sini karena pekerjaan?"

Sungguh memalukan, tapi Velia tak punya pilihan lain. Ia menggigit bibir bawah dan mengangguk.

"Aku ingin pemecatan diriku ditarik, Luc."

Lucas menggelengkan sekali. Satu tangannya bertopang di lengan kursi dan mengusap dagu. Ia mendengkus dengan kesan mencemooh.

"Apa dulu kau memang tidak tahu malu seperti ini, Ve?"

Bahkan kata malu pun tak akan cukup mewakili perasaan Velia kala itu. Ia meneguk ludah dan sadar bahwa ia layaknya orang tanpa harga diri.

Ironisnya Velia tak lagi memikirkan hal tersebut. Apa gunanya harga diri ketika kenyataan kian mendorong ke jurang ketidakberdayaan?

"Kau meninggalkanku bertahun-tahun, Ve. Tanpa penjelasan dan kabar sedikit pun."

Sejenak keheningan yang tercipta pupus oleh ucapan Lucas berikutnya. Ia menatap tajam Velia. Tanpa kedip, seolah ingin menghunjam jantungnya.

"Lalu kemarin di saat kita akhirnya bertemu kembali setelah sekian tahun, dengan bodohnya aku mengira bahwa kau masih memiliki perasaan padaku. Mengira bahwa hubungan kita masih bisa dilanjutkan, tapi ..."

Rahang Lucas kian mengeras. Rasa panas hadir dan mengenyahkan rindu yang sempat meronta di dada.

"... kau menolakku bahkan tanpa kedip."

Velia sesak. Udara terasa menusuk paru-paru dan keringat dingin memercik di dahi.

"Sekarang kau justru mendatangiku seolah kita berdua adalah teman lama yang terbiasa untuk saling membantu? Berharap agar kau bisa bekerja kembali di sini?"

Lucas menuntaskan cemoohannya dengan dengkusan merendahkan. Wajah Velia berubah kelam, tak berkutik.

"Aku benar-benar tak mengira kalau kau adalah wanita tak tahu malu."

Jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Velia kala itu. Lucas merendahkannya hingga ia benar-benar tak bisa membela diri. Namun, apa lagi yang penting untuk Velia? Tak ada, selain pegangan terakhir yang tak akan ia lepaskan.

"Kau bisa menganggapnya seperti itu, Luc."

Tangan Lucas mengepal erat. Ia menegang. Warna merah samar muncul di bola mata tatkala ia berusaha menahan emosi yang siap meledak.

"Kau mungkin lupa sesuatu, Ve."

"Apa?"

"Kita adalah atasan dan bawahan."

Jawaban telak Lucas membuat Velia membeku.

"Semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir bukan?" tanya Lucas membalikkan perkataan Velia kemarin. "Itu artinya aku juga tidak perlu mempertimbangkan apa pun untuk menarik keputusan pemecatanmu."

Bola mata Velia membesar. "Luc."

"Perhatikan kata-katamu, Nona."

Bukan hanya menatap tajam, Lucas menyentak Velia dengan tajam pula. Kata-kata dan intonasi suaranya tak ubah anak panah yang telak menghunjam jantung Velia.

"A-aku mohon."

Lucas membalas tanpa ekspresi. "Kemarin saya juga memohon padamu, Nona. Kau jelas ingat bukan apa yang aku dapatkan?" tanyanya tanpa menunggu jawaban. "Penolakan tanpa perasaan."

"Luc."

"Panggil saya dengan sopan. Kau hanya karyawan rendahan di sini, Nona. Tak sepantasnya kau sembarangan menyebut nama saya."

Tubuh Velia bergetar. Harusnya ia bisa menebak ke mana muara dari perbincangan itu, tapi keputusasaan membuatnya terus mencoba. Pun tak peduli bila ia harus merendahkan diri.

"Saya mohon, Pak. Pertimbangkan kembali pemecatan saya."

"Kalau kau tidak tahu," kata Lucas. "Soal perekrutan dan pemecatan, itu sama sekali bukan saya yang mengurusinya. Kau salah tempat untuk memohon, Nona."

"Pak."

Lucas bangkit, tapi sekejap mata Velia turut berdiri untuk menahan tangannya.

"Saya mohon."

Lucas menundukkan pandangan. Velia putus asa dan ada pengharapan dalam tersirat di sepasang bola matanya yang bening.

Udara tertahan di dada. Untuk kategori seorang pria yang terkenal dingin dan tak punya hati, Lucas pun bisa merasakan keputusasaan tersebut.

Lucas tertegun. Ia menatap Velia lekat dan sesuatu melintas di benak tatkala permohonan itu terus mengiba.

"Apa kita harus melakukan barter di sini?"

Velia tak mengerti. "Barter?"

"Aku akan mengembalikan pekerjaanmu, tapi sebagai ganti ..." jawab Lucas menyeringai senang berkat ekspresi syok yang tercetak di wajah Velia. "... kau kembali padaku."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro