23. Tersirat
Sabtu pagi yang cerah. Sarapan baru saja berakhir. Lucas mengelap mulut dengan sehelai serbet ketika Velia menarik piringnya yang kosong, mulai merapikan meja makan.
"Sepertinya sebentar lagi kita harus bersiap, Ve."
Velia yang semula berniat bangkit dengan piring kotor bergeming. "Bersiap?" tanyanya sebelum sesuatu melintas di benak. "Kau serius ingin menemaniku belanja?"
"Lagi dan lagi."
Lucas berdecak seraya geleng-geleng. Ia menghabiskan air putihnya sebelum lanjut bicara.
"Mengapa kau masih sering meragukan perkataanku, Ve? Apa pernah sekali saja aku melakukan hal sebaliknya?"
"Tidak," geleng Velia mengulum senyum. "Hanya saja kupikir tak banyak pria yang suka menemani wanita belanja."
"Kau selalu mendapat pengecualianku."
Velia tertegun. Apa itu rona di pipinya? Yang pasti adalah ia rasakan panas merayap di sana.
"K-kalau begitu ..."
Velia menarik udara dalam-dalam seraya bangkit. Kali ini ia benar-benar akan merapikan meja makan.
"... piring kotor ini bisa menunggu kedatangan Bu Siti saja."
Keputusan tepat. Alhasil Velia dan Lucas sama beranjak ke kamar demi bersiap.
Tak sampai satu jam waktu yang diperlukan. Velia dan Lucas tampil apik sejurus kemudian. Mereka siap dan baru saja akan pergi ketika bel berbunyi.
Velia menuju pintu dengan setengah berlari. Ia membukanya dan tak kaget mendapati siapa yang datang.
"Bu Siti."
Siti tersenyum. "Selamat pagi, Nona. Sepertinya Nona mau pergi ya?"
"Ya," angguk Velia di saat matanya teralihkan pada satu pemandangan ganjil. Ada seseorang yang turut serta datang bersama Siti. "Siapa, Bu?"
Siti menoleh ke belakang. Pada seorang pria muda bertopi yang berdiri tak jauh darinya. Sekilas, ia tampak memandangi koridor sebelum kembali menghampiri.
"Tukang ledeng, Non. Sepertinya pipa wastafel belakang sedikit mampet. Kemarin saya sudah melaporkannya ke resepsionis dan pagi ini mereka mengirim orangnya."
"Oh."
Melirih singkat, Velia berusaha untuk melihat wajah tukang ledeng tersebut. Sayang, topi yang dikenakannya menghalangi pandangan Velia. Terlebih karena pria itu pun kerap menunduk.
"Siapa namanya, Bu?"
Siti melirik sekilas. "Adnan, Non. Baru mulai bekerja kemarin. Dia lumayan pendiam dan pemalu. Mohon dimaklumi."
"Tidak apa-apa, Bu."
Velia menyilakan Siti dan Adnan untuk masuk. Di waktu bersamaan, Lucas datang.
Mereka berpapasan. Siti memberi salam untuk Lucas sementara Adnan sebaliknya. Pria itu tak mengatakan apa pun. Diam, hanya matanya yang melirik sekilas.
Lucas menangkap lirikan tersebut. Langkahnya terhenti dan Velia justru menghampiri.
"Kita pergi sekarang, Luc?"
Lucas mengangguk seraya menyerahkan tas Velia. "Ayo."
Satu mobil dengan warna mencolok menunggu kedatangan Velia dan Lucas di pelataran apartemen. Berikut dengan sopirnya yang terlihat asing di mata Velia.
"Ini bukan mobil biasanya."
Lucas melirik penuh arti ketika Velia mengomentari kendaraan beroda empat yang membawa mereka. Bukan hanya komentarnya yang menarik perhatian, melainkan binar-binar di mata Velia yang paling utama.
"Kau suka bukan?" tanya Lucas penuh percaya diri. "Kau selalu menyukai warna merah."
"Sayangnya itu bukan warna kesukaanmu."
"Sudah kukatakan. Kau selalu masuk dalam pengecualianku. Selain itu kuputuskan bahwa kita butuh mobil lain agar kau tidak merasa bosan bepergian denganku."
Velia tak sanggup berkata-kata. Ia terlalu syok untuk bicara.
"Jadi bagaimana?"
Velia mengerjap sementara Lucas tersenyum penuh arti. Lengkungan itu samar, memang. Saking samarnya, orang-orang tak akan menganggapnya sebagai senyum pada umumnya. Namun, Velia bisa menangkap pemandangan tersebut.
"Kau suka bukan?"
Untuk itu, Velia hanya punya satu kata untuk menjawab.
"Ya."
Tempat pertama yang menjadi tujuan mereka adalah butik ternama. Berkenaan dengan kepentingan Velia yang akan kembali bekerja, tentulah kemeja, rok, dan celana formal menjadi yang utama.
Lucas memanggil seorang pramuniaga. Ia jelaskan secara singkat apa yang Velia butuhkan dan sang pramuniaga menyanggupi.
"Aku tinggal sebentar," ujar Velia pada Lucas. "Tidak akan lama."
"Tentu saja."
Lucas biarkan Velia mengikuti sang pramuniaga dengan sekelumit geli di benak. Ia tak yakin Velia benar-benar tidak akan lama. Terlepas dari itu, Lucas akan menunggu dengan senang hati.
Seorang pramuniaga lainnya datang dan menanyakan apa yang Lucas inginkan selagi menunggu. Pilihannya jatuh pada secangkir kopi.
Lucas duduk dengan tenang. Ia nikmati waktu sambil tersenyum sesekali tatkala melihat Velia yang kebingungan memilih.
Satu denting halus menjeda kesenangan Lucas. Ada surel masuk dan ia segera membukanya. Subjeknya terkesan mencolok sehingga Lucas mengernyit.
Apa Anda mengetahui hal ini?
*
Sudah lama dari waktu terakhir yang Velia ingat di mana ia bisa tersenyum dengan lapang. Semua bencana yang datang menghampiri membuatnya praktis tak bisa tersenyum lagi. Bahkan untuk sekadar bernapas lega pun sulit.
Sekarang berbeda. Agaknya tersenyum bukan lagi menjadi hal sulit untuk Velia lakukan. Ia jelas tahu apa penyebabnya.
Lucas berdiri di sebelah Velia. Keduanya telah kembali ke apartemen setelah menghabiskan berjam-jam untuk belanja. Di belakang, ada sang sopir yang bernama Iwan membawa belanjaan.
Lucas membuka pintu. Iwan menaruh belanjaan sebelum pamit permisi pada mereka.
"Apa kau menikmati hari ini?"
Perlukah Lucas bertanya ketika ia dapati binar-binar di mata Velia? Pun dengan wajahnya yang tampak berseri-seri?
"Aku sangat menikmatinya," jawab Velia seraya mendekati Lucas. "Sangat."
Lucas menyambut Velia. Ia rengkuh pinggang Velia dan mendapat balasan serupa. Tangan Velia melingkari lehernya.
Tatapan Lucas terkesan lembut. "Aku harap kau bisa menikmati hari-hari sibukmu ke depan, tapi aku tak mau kau mengabaikanku."
"Tentu saja. Aku tak akan mengabaikanmu. Kita punya waktu bersama di sini. Aku akan tetap pulang, jadi kau tak perlu khawatir."
Tuntas mengatakan itu, Velia tertegun. Agaknya ia baru menyadari apa yang ia ucapkan setelah semuanya terlontar dari lidah.
Velia mendeham. Ia tampak salah tingkah dan melarikan tatapannya ke arah lain. Kebetulan yang pas, ia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
"Ah, Luc. Apa yang kau inginkan untuk makan malam nanti?"
"Makan malam? Ehm apa kau keberatan bila menyiapkan makan malam di pukul sembilan?"
Fokus mata Velia kembali pada Lucas. "Pukul sembilan malam?"
"Ya," angguk Lucas. "Sebenarnya aku harus pergi sebentar lagi."
"Pergi? Kau ada pekerjaan? Di malam Minggu?"
Senyum Lucas terlihat lebih lebar dari biasa. "Ada sedikit hal yang harus kulakukan. Klienku yang satu ini sedikit susah untuk ditangani. Kau tidak keberatan bukan?"
"Keberatan?" Velia gelagapan dan buru-buru menggeleng. "Tidak sama sekali. Aku tahu itu pasti pekerjaan penting. Hanya saja pukul sembilan terlalu malam untuk makanan berat."
Selain itu Velia yakin sesuatu. Bila Lucas bertemu dengan klien, tentulah mereka akan makan bersama.
"Kalau begitu kau bisa membuatku camilan dan kau jangan lupa untuk makan."
Satu tangan Lucas naik. Ia rapikan anak-anak rambut Velia dan mencondongkan tubuh ke arahnya.
"Hanya saja aku ingin kau menungguku pulang," bisik Lucas hangat di telinga Velia. "Aku punya sesuatu untukmu malam nanti."
Velia menahan napas. Bisikan Lucas ditutup apik dengan satu lumatan di sana. Refleks membuat jemari Velia yang semula bertahan di leher Lucas, naik demi meremas rambutnya.
"Aku pergi. Kau akan baik-baik saja di sini."
Jemari Velia meninggalkan rambut Lucas, tapi belum benar-benar melepaskan. Pada kenyataannya, ia rengkuh Lucas sejenak. Pun ia rebahkan kepala di dadanya yang bidang.
Lucas membelai. "Aku akan segera pulang."
Velia melepaskan Lucas. Ia mengantar kepergiannya dan ketika pintu telah menutup, Lucas mengambil ponsel dari saku celana.
Langkah Lucas teratur dan mantap. Pandangannya lurus ke depan tatkala panggilannya diangkat.
"Kita bisa bertemu sekarang. Sebelum aku pergi ke rumah orang tuaku."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro