12. Sisa Harapan
"Selamat pagi, Pak."
Seperti biasa ada Vlora yang menyambut kedatangan Lucas di pelataran megah Greatech. Ia menyambut tas kerja Lucas dan mengiringi langkah sang bos demi menaiki lift khusus.
"Maaf sebelumnya, Pak."
Suara Vlora terdengar bertepatan dengan lift yang mulai naik. Lucas bergeming. Hanya mengerjap sekali dan menunggu perkataan Vlora.
"Di atas ada Pak Andreas."
Lucas mengernyit seraya mengangkat tangan kiri. Ia melihat jam dan refleks bertanya.
"Sepagi ini?"
Jujur saja, Lucas terkesan. Ia tak mengira akan mendapat kunjungan bahkan sebelum jam kerja dimulai. Sedikit banyak membuatnya membuang napas panjang. Bisa dibayangkan bila ia memutuskan untuk datang—sedikit—terlambat?
Bukan tanpa alasan. Membuka mata dan mendapati ada Velia tertidur di pelukannya adalah godaan terbesar Lucas. Bila ingin menuruti kehendak hati, agaknya ia tak akan datang ke kantor sepagi itu.
Sepagi itu atau justru kesiangan. Dua pilihan itulah yang Lucas dapati menjadi sarapan.
"Sepertinya sekarang dia sudah terbiasa bangun tepat waktu."
Pintu lift membuka. Lucas keluar dan tak lupa untuk berpesan seraya mengambil alih tas kerjanya.
"Buatkan kopi untuk kami."
Vlora mengangguk. "Baik, Pak."
Lucas segera masuk ke ruang kerja dan menemukan kebenaran perkataan Vlora. Ada seorang pria yang sedang menunggu dirinya. Ia tampak santai dengan ponsel di tangan.
"Andreas."
Pria itu mencolok dengan rambut pirang gelap. Bermata jernih dan memiliki sorot jahil yang langsung menyala tatkala melihat kedatangan Lucas.
Namanya adalah Andreas Cakrawinata. Putra sulung dari keluarga Cakrawinata yang dikabarkan akan menyelenggarakan pertunangan di Singapura dalam waktu dekat. Namun, entah apa yang dipikirkannya sehingga memutuskan pulang ke Indonesia ketika tanggal telah di depan mata.
"Sepertinya ada yang tidak betah di Singapura."
Andreas tersenyum geli dan bangkit. "Mendadak saja aku merindukan kemacetan Jakarta."
Lucas menghampiri Andreas. Ia menyeringai sebagai respons untuk guyonan tak masuk akal sang sahabat. Singkat, mereka berpelukan.
"Jadi ada apa sebenarnya?" tanya Lucas tanpa tedeng aling-aling. "Belum berniat untuk ke jenjang yang lebih serius?"
Andreas berdecak. Berniat langsung membalas sindiran itu, ia dapati pintu diketuk.
Vlora masuk dengan nampan berisi dua cangkir kopi. Percakapan ringan terpaksa dijeda sejenak sampai ia keluar.
"Sekretarismu cantik."
Lucas sedikit mengernyit tatkala menikmati sesapan pertama. Ia menaruh kembali cangkir di tatakan dan Andreas lanjut bicara.
"Bukan dia yang kulihat dua tahun lalu."
Topik pembicaraan berpindah cepat. Lucas tak heran. Adalah wajar bila Andreas mengomentari sekretarisnya. Ia tak pernah melewatkan kesempatan bila itu berkaitan dengan wanita cantik.
"Mungkin baru satu setengah tahun."
"Ah," lirih Andreas penuh irama. Sorotnya tampak berkilat. "Sudah menikah?"
Lucas menyipitkan mata. "Kuperingatkan, Reas. Jangan ganggu dia."
Peringatan Lucas memberikan jawaban tersirat untuk Andreas. Tak sulit baginya untuk menyimpulkan.
"Belum menikah. Ehm cantik, pintar, dan mandiri. Justru aneh kalau dia sudah menikah."
Lucas kembali mengingatkan. "Dia tangan kananku."
"Lebih dari tangan kananmu?"
"Tidak," tampik Lucas. "Hubungan kantor, terutama dengan sekretaris sendiri adalah tindakan yang paling tidak profesional. Hanya mengacaukan pekerjaan saja."
Andreas tergelak singkat. Pemikiran logis Lucas bukanlah hal aneh.
"Kau benar. Memang itulah yang harus kau lakukan. Jangan berhubungan dengan sekretarismu. Itu ..."
Tangan Andreas naik dan mendarat di dada. Ekspresinya menunjukkan tekad.
"... biarlah menjadi urusanku."
Agaknya memberikan peringatan pada Andreas bila itu berkaitan dengan wanita adalah hal percuma. Lucas tak akan mendebat lagi dengan satu keyakinan. Andreas paham aturan mainnya.
Selain itu adalah hal lain yang ingin dikatakan Lucas. Ia yakin, Andreas pasti tak akan mengira.
"Aku menemukan Velia."
Andreas tersedak kopi. Bayangan romantis yang berhubungan dengan Vlora seketika buyar dari benak. Ia melotot dan buru-buru menyisihkan cangkir sejenak.
"Apa kau bilang?" tanya Andreas memastikan. "Velia?"
Lucas mengangguk. "Ya."
Jawaban singkat itu membuat Andreas tertegun sejenak. Ia seolah butuh waktu untuk memaknainya dan menunggu, apakah Lucas sedang bercanda?
Lucas tidak bercanda. Andreas bila melihat dari ekspresinya. Terlebih sedetik kemudian Lucas kembali berkata.
"Percuma saja yang kulakukan selama ini. Aku mencarinya ke seluruh pelosok Surabaya dan Bali, tapi apa kau tahu? Ternyata Velia sudah tiga tahun bekerja di sini. Tepat setahun sebelum kepindahanku."
Andreas yakin tak bisa kaget lebih dari itu. "Dia bekerja di sini?" tanyanya seraya menunjuk ke bawah. "Di kantor ini? Di Greatech?"
Sekali, Lucas mengangguk. Ia membuang napas dan menyandarkan punggung.
"Walau aku sendiri heran. Mengapa bisa orang-orangku tak menemukan Velia?"
Dahi Lucas mengerut samar. Kala itu Andreas bertanya.
"Siapa yang kau suruh mencari Velia?"
"Reyhan. Sekretarisku dulu di MPR."
Andreas ingat sekretaris yang dibicarakan Lucas saat ia masih memegang Megah Pakuan Realty Tbk. Pria itu sudah lumayan berumur dan bekerja di sana dalam bilangan tahun yang tak sebentar.
"Mungkin saat itu dia sedang ada masalah keluarga. Jadi tak bisa mengerjakan tugas dengan baik."
Lucas tak yakin dengan jawaban enteng Andreas. Namun, tak ada alasan masuk akal lain untuk kejanggalan tersebut.
"Terlepas dari itu."
Suara Andreas terdengar kembali. Ia mengusap kedua tangan satu sama lain.
"Aku pikir ini sedikit lucu. Kalian berada di gedung yang sama selama dua tahun dan baru menemukannya sekarang?"
"Menurutmu bagaimana bisa aku bertemu dengannya? Kami berada di lantai yang sangat berbeda. Astaga. Dirut mana yang mengenal semua karyawannya?"
Pun Lucas mengetahui dengan baik sifat Velia. Ia abai dengan hal semacam itu. Tak aneh bila melihatnya bekerja di Greatech. Bila Velia sadar ada Lucas di sana, bisa dipastikan ia pergi tanpa kata-kata. Persis seperti dulu.
Andreas menyeringai geli. "Tentu saja. Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Apa yang akan aku lakukan?"
Di mata Lucas, itu adalah pertanyaan yang tak butuh jawaban. Hanya ada satu hal paling masuk akal yang akan ia lakukan.
"Tentu saja membuatnya kembali padaku."
"Kau serius? Setelah dia meninggalkanmu begitu saja selama bertahun-tahun"
Lucas paham maksud Andreas. Sayang, itulah keputusannya.
"Lebih dari serius dan itulah yang telah aku lakukan," jawab Lucas dengan ekspresi penuh arti. "Dia bahkan masih tertidur di kamarku saat ini."
Andreas melongo.
*
Velia bangun ketika hari nyaris menyentuh pukul sembilan. Tidurnya nyenyak, tapi tak mampu mengobati remuk redam di sekujur tubuh. Ia lemas dan tak bertenaga, sempat membuatnya berpikir tak bisa bangkit.
Selimut di depan dada. Velia memandang sekitar. Keadaan hening dan sunyi. Hanya ada suaranya yang terdengar ketika memanggil.
"Luc?"
Tak ada sahutan. Velia memutuskan turun dari tempat tidur setelah memperbaiki gaun tidur yang teronggok di sekitaran perut.
Rasa nyeri datang. Menyengat di kewanitaan dan membuat Velia buru-buru berpegang pada dinding.
Velia butuh waktu sejenak untuk menguasai diri. Ia tertatih dan sesuatu menarik perhatiannya di cermin meja rias. Ada pesan Lucas.
Aku sudah pergi ke kantor.
Ada makanan di meja makan.
Makan dan beristirahatlah.
Kau tahu waktu istirahatmu hanya saat aku tak berada di dekatmu.
Velia beranjak ke kamar mandi. Ia abaikan pemandangan diri yang memantul di cermin dan masuk ke bilik pancuran. Tak ingin, ia hanya tak sanggup melihat keadaannya yang menyedihkan.
Air hangat mengucur. Velia memejamkan mata. Bersamaan dengan tiap tetes yang mengalir di tubuh, ia hanya berharap semua ingatan menghilang dari benak.
Lebih dari sekadar berat. Semua yang terjadi menerbitkan hangat berbeda di sudut mata Velia. Berbentuk tangis yang tak mampu dibendung.
Tubuhnya sakit. Lecet dan gurat yang tertinggal memberontak dalam rasa perih. Velia mencoba untuk menahan semua, tapi ia menyerah untuk nyeri di hati.
Velia butuh waktu yang tak sedikit untuk meredam semua pilu. Sedih dan balutan derita ia sisihkan demi menegakkan kepala. Pun getir yang hadir tatkala meminum pil pencegah kehamilan, ia singkirkan jauh-jauh.
Setengah jam berlalu, Velia meninggalkan apartemen. Tujuan pertamanya adalah rumah sakit. Ia tak bisa tenang bila tak melihat keadaan Herry.
Stabil dan terkendali. Setidaknya itu adalah hal bagus yang Velia dapatkan. Terlebih karena dokter pun sudah merencanakan operasi dalam waktu dekat.
Velia mendapatkan kekuatan. Sesuatu yang membuat kakinya kian kuat dalam melangkah. Untuk hal-hal buruk yang terjadi di hidupnya, ia hanya ingin mengingat alasan yang membuatnya bertahan.
Langkah Velia terhenti di lorong rumah sakit. Binar-binar yang menghiasi wajah berkat keadaan Herry, pudar seketika. Semua kelegaan menghilang dan tergantikan syok yang tak mampu ia antisipasi.
"Velia."
Velia sempat berpikir itu hanya halusinasi. Mungkin dirinya kelelahan. Namun, suara yang memanggil namanya terasa amat nyata.
Tak salah melihat. Bukan sekadar halusinasi semata. Nyatanya sosok wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya memang adalah Merita Anarawati.
"Selamat siang, Bu Merita."
Suara Velia bergetar. Kekuatan yang sempat didapatkan langsung memudar. Sekuat apa ia mencoba, nyatanya kilasan masa lalu kembali mengisi benak.
Merita adalah salah satu bagian yang ingin Velia singkirkan dari hidupnya. Seorang wanita yang telah memberi pelajaran penting. Cinta tak pernah seindah dongeng.
"Setelah sekian lama," ujar Merita tersenyum dan melangkah. Ia menghampiri Velia yang membeku. "Aku tak mengira kalau kita akan bertemu lagi."
Velia memaksa diri untuk tak gentar. Ia bertahan agar tidak mundur ketika membalas.
"Aku pun tak mengira akan bertemu dengan Ibu lagi."
Merita yang telah dihiasi beberapa helai rambut putih tampak menilai Velia. Matanya mengamati penampilan Velia dari atas hingga bawah.
"Setelah bertemu denganku ..."
Mata Merita naik dan menatap Velia lekat.
"... kau tidak berpikir untuk bertemu dengan putraku lagi bukan?"
Gentar kian kuat menerjang Velia. Kakinya gemetar dan keringat mulai merembus di tengkuk.
"Bukankah aku sudah memperingatimu? Jauhi Lucas," desis Merita penuh penekanan. "Apa peringatan-peringatan yang sudah kuberikan hanya kau anggap angin lalu?"
Velia tak akan pernah melupakannya. Ia tahu bahwa ada banyak hal yang menjadi alasan mengapa seharusnya ia menjauhi Lucas.
"Sejujurnya aku tak mengetahui Lucas berada di sini."
Kali ini wajah Merita yang berubah. Agaknya ia menyadari bahwa kekeliruan yang baru saja dikatakan.
Sayangnya semua tak seperti yang Merita duga. Lebih dari mengetahui, Velia malah tinggal bersama pria itu sekarang.
"Terima kasih untuk informasinya, tapi Ibu tak perlu khawatir. Aku tak berniat untuk mendekati Lucas. Aku tak lagi bermimpi untuk menikah dengannya. Aku ..."
Velia menarik udara sebanyak mungkin. Ia tak akan bisa bertahan lebih lama lagi.
"... bukan lagi gadis berusia dua puluh tahun yang masih dibutakan oleh cinta."
Merita diam. Ia tampak menimbang perkataan Velia.
"Maaf, aku permisi."
Merita masih tak bersuara. Ia hanya melirik kepergian Velia dan menunggu. Setelah yakin wanita itu benar-benar pergi maka ia segera meraih ponsel untuk menghubungi seseorang.
"Kapan kau akan menyingkirkan wanita sialan itu?!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro