Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Kode


Semester awal, 2007

"Kenal Pete di mana?" tanya Bae. Kami baru saja bersiap pulang dari kampus.

Aku menatap Bae bingung. "Pete?"

"Itu, si Peter, atau yang biasa dipanggil 'Pete'. Anak Ekonomi, semester tiga, yang ganteng, yang pemes," ulangnya.

Lagi-lagi aku menatapnya bingung, "Dan ... masalahnya adalah?"

"Dia ngedeketin kamu, kan? Ngajakin kamu keluar? Ngajakin kamu nge-date?" Pertanyaan yang bertubi-tubi.

Aku merapikan rambutku yang dikuncir kuda, lalu menjawab santai, "Ya gitu, deh."

"Gitu deh, gimana?" Bae tak berhenti bertanya.

"Beberapa hari ini tiba-tiba aja dia rajin nyamperin aku, ngajakin ngobrol, rajin ngirimin pesan singkat, dan ... gitu. Kapan-kapan mau ngajakin keluar."

Tatapan Bae nampak protes.

"Kenapa, sih? Lagian tahu darimana kalo kami deket? Aku 'kan belum pernah cerita ke kamu?"

"Jangan deket-deket sama dia, ya?" pintanya. Dan aku makin bingung.

"Dia bukan cowok baik-baik." Ia melanjutkan.

"Kamu kenal?"

"Enggak."

"Terus tahu darimana?"

"Ya tahu lah." Bae menjawab sewot.

Aku menarik napas lalu berujar, "Dia baik, kok. Obrolan kami nyambung. Sejauh ini dia ramah, dia baik, dan dia sopan sekali."

"Track record-nya buruk. Jangan buru-buru kepincut."

"Kok kamu gitu, sih? Berprasangka buruk sama orang itu jahat, lho."

"Emang faktanya gitu." Bae sewot.

Aku mendengkus.
"Bodo ah. Ayo pulang." Aku meraih helm di atas spion lalu segera memakainya. Sementara Bae yang masih nampak sewot naik ke belakang setir. Kami memang biasa berangkat dan pulang bareng, naik motornya Bae.

°°°

Hari ini aku pulang larut. Sekitar pukul setengah dua belas baru sampai rumah. Mami sudah menunggu di ruang tamu dengan muka marah, lalu mulai mengomel tentang kepulanganku. Sementara Mas Aron berdiri di dekat pintu ruang tengah dengan wajah cemas.

"Pada kenapa, sih?" omelku lirih, sesaat setelah sesi marah-marah oleh Mami selesai dan aku diperbolehkan ke kamar.

"Kamu pulang telat," jawab Mas Aron.
Ia mengekori langkahku.

"Iya, tahu. Terus? Lagian ini baru jam setengah dua belas?" omelku.

"Kamu nggak pamit mau ke mana dan hapemu nggak bisa dihubungi."

Aku meraih Motorola flip tipe RAZR di saku celana, lalu menunjukkannya pada Mas Aron, "Hapeku mati, baterenya habis."

"Ya paling enggak kamu nitip pesen ke Bae gitu kalo mau pulang telat. Dia tadi juga bingung nyariin kamu. Duh, anak cewek kok demen keluyuran malem-malem."

Aku hendak mendebat lagi tapi urung. Lelah.
"Iya, maaf. Besok-besok aku bakalan pamit kalo mau kemana-mana," ucapku.

"Lagian darimana, sih? Tumben nggak sama Bae. Dia pulang duluan 'kan tadi?"

"Kumpul sama temen-temen doang, kok." Aku menjawab lagi, di tengah-tengah rasa kantuk lagi.

Tadi sepulang kuliah Pete mengajakku pergi ke sebuah kafe, lalu  mengenalkanku pada teman-temannya yang lain. Dan aku tidak bohong. Yang kulakukan memang hanya sekedar berkumpul, makan-makan sembari mengobrol. Namanya juga anak muda.

Bae tidak ikut serta. Entah kenapa, sore tadi aku memang tidak kepikiran untuk memberitahunya bahwa aku keluar dengan Pete dan kemungkinan pulang malam. Aku cuma menyuruhnya pulang lebih dulu, begitu saja.

"Lain kali jangan gitu lagi, ya. Kalo mau pulang telat, kasih tau orang rumah. Biar Mami sama Papi nggak khawatir." Mas Aron memberikan nasihat. Aku manggut-manggut.

Setelah Mas Aron meninggalkan kamar, aku segera mengisi baterei ponsel. Benda itu baru saja menyala, kotak masuk mulai bertambah terus menerus.
Dari Mami, Mas Aron, dan Bae.
Dari Mami paling banyak, termasuk puluhan panggilan tak terjawab. Bae juga nyaris melakukan hal yang sama.

[Belum pulang?]

[Masih dimana?]

[Zoya...]

[Apa kamu sibuk pacaran?]

[Bersama Pete, ya?]

Dan masih banyak lagi.

Baru saja hendak membalas pesan singkatnya, sosok itu keburu menelpon.

"Halo?" sapaku lebih dulu.

"Udah pulang?" Ia bertanya buru-buru.

"Udah."

"Udah di rumah?"

"Udah."

"Nggak apa-apa, kan?" Kalimatnya terdengar cemas.

Aku memutar bola mata kesal. "Aku baik-baik aja. Emang aku kenapa?"

"Hapemu nggak bisa dihubungi?"

"Yaelah, baru beberapa jam. Aku keluar jalan-jalan sama Pete. Cuma makan-makan sambil ngobrol doang," jawabku.

Sejenak Bae tak bersuara.

"Ya udah, kalo gitu cepat istirahat sana." Dan pembicaraan diakhiri.

Aku menghempaskan tubuhku di tempat tidur. Ngantuk.

°°°

Mata kuliah yang kuikuti baru saja selesai ketika Bae mendatangiku di kelas. Pagi ini aku berangkat lebih dulu dengan naik motor sendiri. Aku bilang pada Bae bahwa aku harus ke tempat foto copy pagi-pagi sekali. Dan memang itu yang sebenarnya kulakukan.

"Jadi semalam kemana? Kenapa pulang telat?"
Ah, sudah kuduga dia akan kembali membahasnya.

"Pergi sama Pete. Ketemu sama temen-temennya, terus gitu deh, ngobrol sana sini," jawabku.

Bae menatapku dengan wajah kaku. Terlihat bahwa ia hendak protes. Aku menatapnya bingung.
"What?" sergahku.

Kupikir ia benar-benar akan mendebatku. Namun setelah menarik napas berat, raut wajahnya nampak biasa lagi.
"Ya udah, deh. Aku mau ke kantin. Ikut, gak?" Ia beranjak.

Buru-buru aku merapikan alat tulisku lalu berlari mengikutinya.
Kami baru saja sampai di koridor yang berada di lantai satu ketika panggilan itu terdengar.

"Abay!"

Bae menoleh, aku juga.
Tampak seorang perempuan berperawakan mungil melangkah mendekat.

Cantik alami.

Rambutnya lurus sebahu, kulitnya kecoklatan, senyumnya menawan, dan matanya bening. Walau sedikit kurus, ia tetap saja terlihat menarik.

"Rangkuman yang kujanjikan udah selesai. Nih." Ia menyodorkan sebuah buku catatan tebal. Bae menerimanya dengan wajah semringah. "Wuih, makasih, ya," ucapnya.

"Eh, Zoya, kenalin ini Sisca." Bae memperkenalkan. "Kami satu jurusan."

Aku dan perempuan bernama Sisca itu saling menyapa ramah.

"Ntar dibahas lagi, ya. Sekarang aku mau ke perpus dulu." Sisca menyudahi obrolan lalu undur diri dengan sopan.

Setelah dia pergi, aku melirik Bae yang masih nampak tersenyum hingga bayangan Sisca hilang di lorong ruangan.

"Yuhuuu ... Gebetan, ya?" godaku.

Bae memasukan buku tersebut ke tas, bibirnya berdecak. "Apaan, sih?"
Ia beranjak.

"Pasti gebetan ya?" Aku mengikuti langkahnya.

"Temen."

"Cantik gitu, nggak mungkin cuma temen."

"Dibilangin, kok," bantah Bae.

"Kalo toh emang gebeten nggak apa-apa, Bae. Kamu tuh emang perlu kencan, biar jiwa ragamu nggak kering kerontang, biar duniamu berbunga-bunga kayak aku dan---"

Kalimatku terhenti ketika tiba-tiba Bae melingkarkan lengannya ke leherku lalu membekap mulutku dengan telapak tangannya. "Berisik," desisnya. Dan ia menyeretku ke kantin.

°°°

[Aku pulang agak malam. Masih ada acara bareng teman.]

Pesan singkat itu kukirimkan ke nomor Mami dan Mas Aron.
Bae juga. Aku bahkan memintanya pulang lebih dulu karena tadi kami berangkat ke kampus bersama.

Hari ini Pete mengajakku keluar. Dia bilang sudah menyiapkan makan malam romantis untukku.

Sebagai perempuan yang tengah dimabuk kepayang, aku mengiyakan ajakan Pete dengan antusias.

°°°

Mobil yang kami tumpangi sampai di tempat tujuan. Dan hatiku yang tadinya berbunga-bunga rasanya seketika musnah.

"Hotel?" gumamku.

Pete tersenyum lalu mengangguk. Ia melepas seatbelt lalu mengajakku turun. "Ayo."

Dengan bimbang aku mengikuti langkahnya. Dan perasaan bingung menyergap ketika ternyata pemuda itu sudah memesan kamar. Mengambil kunci di front office, ia bersenandung lirih. Langkahnya ringan.

"Kenapa harus ke sini?" tanyaku ketus ketika kami sudah sampai di sebuah kamar di lantai satu.

"Bersenang-senang, Zoya." Pete membuka pintu. Tatapannya menggoda.

"Kamu bilang makan malam, kan?" Kali ini aku menolak masuk.

"Yes, makan malam romantis, dan kita bisa melakukan sesuatu yang luar biasa setelahnya. Ayo."

Aku menepis tangan Pete. Pria itu tampak terkejut. "Apa? Jangan bilang kamu menolak kuajak begituan?"

Aku menatapnya jijik. "Begituan? Sex maksudmu?" Bibirku berdecih. "Kita baru jadian enam hari dan kamu sudah ngomongin begituan?"

Pete terkekeh. "Jangan munafik. Itu hal yang lumrah untuk orang yang sedang kencan."

"Maaf, tapi aku enggak begitu. Aku pulang." Ketika aku berbalik, Pete menarik tanganku kasar.

"Woa, tunggu dulu. Siap yang memberimu ijin untuk pergi begitu saja. Kamar ini sudah kupesan dan kita akan menggunakannya."

Aku menepis tangannya, kali ini lebih kasar. "Kita putus," ucapku tegas.

Pete ternganga. "Ada apa denganmu?"

"Aku nggak akan tidur dengan lelaki berengsek sepertimu. Bye." Ketika aku berbalik dan berniat pergi, Pete kembali menarik tanganku kasar.

"Kalo gitu, biar kutunjukkan bagaimana cowok berengsek berperilaku."

Aku tersentak ketika tiba-tiba Pete menyeret diriku dan memaksaku masuk ke kamar.  Perasaan takut mendera. Lorong sepi, tak terlihat siapapun di sana.

"Lepasin!" Aku meronta. Tak ayal, kami terlibat keributan sengit. Pria itu menarikku paksa, dan aku berusaha untuk melepaskan diri. Aku memukul dadanya, mencakar wajahnya, hingga akhirnya berhasil melayangkan tamparan keras di pipi.

Sosok itu kalap. Ia balas menampar pipiku lebih keras hingga tubuhku menghempas dinding lalu melorot ke lantai.

Telingaku pengang. Rasa pening mendera bercampur dengan panas di wajah, bekas tamparan Pete.
Merasa asin di sudut bibir, aku menyapunya dengan jemari. Mulutku berdarah.

"Ayo bangun." Pete buru-buru menarik kerah bajuku dan mencoba kembali membawaku masuk ke kamar.

Dengan sisa tenaga yang masih ada, aku balas menarik kerah baju Pete lalu sekuat tenaga menghantamkan keningku ke wajahnya. Pria itu menjerit, memegangi hidung. Semoga aku berhasil mematahkannya.

Ketika fokus Pete teralih pada hidungnya yang mulai berdarah, aku menendang selangkangannya keras hingga ia tak berkutik.
Ia kembali menjerit, memegangi kemaluannya, lalu jatuh berlutut.
Kumanfaatkan situasi itu untuk segera melarikan diri.

°°°

Kepulanganku dengan lebam di wajah dan bibir berdarah disambut heboh seisi rumah.
Mami dan Papi tak henti-hentinya memeriksa lukaku sambil menanyai ini dan itu, sementara Mas Aron kalang kabut mencari obat merah dan es batu untuk mengompres luka lebam.

Air mataku nyaris tumpah dan aku hampir saja menceritakan tentang Pete pada mereka. Tapi tidak.
Urusannya bisa makin panjang. Tak terbayang jika Mami dan Papi tahu kejadian yang sebenarnya, mereka pasti membawa masalah ini ke pihak berwajib. Dan urusannya bisa makin runyam.

Besok saja, jika Pete nekat melaporkanku atas tuduhan penganiayaan pada hidung dan kemaluannya, aku akan melaporkannya balik atas tuduhan pelecehan seksual.

"Ribut-ribut di diskotik. Tapi masalahnya udah clear, kok. Maaf ya, Mi."

"Kamu bilang udah insaf di dunia per-beranteman, kok bisa kayak gini lagi, sih? Kamu bukan anak es-em-a lagi, lho."

Aku manggut-manggut. "Iya, Mi. Maafin Zoya, ya. Janji deh, ini yang terakhir kali. Lain kali Zoya pasti bisa menahan diri."

Papi mengusulkan untuk membawaku ke dokter, tapi aku menolak. "Gak usah, Pi. Cuma gini aja, kok. Besok deh kalo nggak membaik, baru ke dokter," ucapku.

Akhirnya, setelah lukaku dirawat dan sesi tanya jawab selesai, aku beranjak ke kamar.

Aku menghabiskan waktuku menangis di bawah pancuran.

°°°

Bae muncul di kamarku sesaat setelah aku selesai membersihkan diri. Sepertinya Mas Aron yang memberitahu padanya tentang keadaanku.

Melihat keadaanku, ia tampak syok.

"Pete yang melakukannya?" desisnya. Tangannya terkepal dan rahangnya kaku.

Aku buru-buru mengunci pintu, memastikan bahwa pembahasan tentang Pete tidak didengar siapapun.

"Dia yang melakukannya, kan?" Lagi-lagi ia bertanya dengan suara serak.

Aku berbalik menatapnya lalu mengangkat bahu. "Kamu bener, Bae. Pete ... berengsek. Dia ... nyaris saja ...."

Ketika Bae beranjak lalu mendekapku lembut sembari berujar maaf, air mataku berjatuhan tak terbendung.

"Maafin aku, Zoya. Harusnya tadi aku nggak ngebiarin kamu pergi bersamanya," bisiknya. Ia meminta maaf berulang-ulang. Dan akhirnya aku kembali terisak lirih di pelukannya.

°°°

Pete ke kampus dengan babak belur.
Aku ingat bahwa aku hanya berhasil mematahkan hidungnya. Nyatanya, salah satu matanya lebam, tulang pipinya menghitam, sudut bibir bagian atas robek. Pemuda itu bahkan harus berjalan dengan pincang.

Ketika aku menemuinya dan mencoba berbicara padanya, pemuda itu menghujaniku dengan sumpah serapah.
"Menjauhlah dariku, Jalang," desisnya.

°°°

"Kamu yang melakukannya?" tanyaku.

"Apa?" Bae yang sedang berkutat dengan buku catatan di tangan hanya berujar lirih tanpa melihat ke arahku.

"Menghajar Pete."

Bae tak menjawab.

"Ya, kan? Kamu yang melakukannya, kan?" todongku lagi.

"Hanya memberinya sedikit pelajaran." Akhirnya Bae menjawab jujur.

Aku mendengkus kesal. "Buat apa, sih? Bagaimana kalo Pete melaporkanmu ke polisi atas tuduhan penganiayaan? Urusannya bisa tambah panjang." Aku mengomel.

Bae menutup buku. "Dia nggak akan melakukannya."

"Yakin?"

Bae mengangguk.

"Kamu mengancamnya?"

Bae bangkit. "Udah, deh. Yang penting dia udah mendapatkan balasan atas apa yang dia lakukan padamu." Ia beranjak.

Dan aku masih sempat mendengar ia berujar lirih, "Harusnya kupatahin saja tulang rusuknya."

Aku memutar mata dengan kesal. "Baeee...."

Dan sosok kekar itu hanya melenggang pergi dengan santai.

Dasar preman!

°°°

"Mas, beli macan di mana, sih?" tanyaku.

Mas Aron yang tengah menikmati teh hangat, terbatuk seketika. Sementara Papi dan Mami yang tengah menonton tivi, menatapku bengong.

"Beli macan?" Mereka bertanya hampir bersamaan.

"Ho-oh," jawabku pede.

"Buat apa?" tanya mas Aron.

"Ya buat dipelihara lah."

"Hah?"
Lagi-lagi mereka melongo, lalu terbahak.

"Emang buat apa melihara macan?" tanya Mami.

"Tauk, tuh. Konyol banget. Kek anak kecil." Mas Aron menimpali.

"Biar bisa diajak jalan-jalan, biar bisa dijadiin penjaga. Kalo aku bawa macan, nggak ada yang berani gangguin." Aku menjawab sewot sambil menghempaskan pantat ke sofa.
Mas Aron kembali terbahak. Tawanya terhenti ketika Bae muncul dari pintu samping. Ia membawa sebaki kue bolu.

"Disuruh nganterin ini, Tan. Tadi Mama bikin banyak." Ia meletakkan kue itu di meja depan tivi.

"Duh, makasih banget ya, Bae. Kue bolu buatan mamamu tuh nggak ada duanya," puji Mami.

"Eh, Bae, Zoya mau beli macan masa?" goda Mas Aron.

Bae yang mendengar itu kontan saja langsung melongo. "Hah?"

"Iya, mau beli macan katanya."

"Emang ada? Beli di mana?"

"Tauk, tuh. Katanya biar bisa dijadiin bodyguard. Duh, punya adek kok ya sableng begono."

Mas Aron terbahak, diikuti Bae. Papi dan Mami juga ikut tersenyum.
Kesal dengan respon mereka, aku beranjak ke kamar dengan bersungut.

°°°

Januari, 2008.

Bae dan Sisca makin akrab. Mereka jadi sering terlihat bersama.
Begitu pula siang itu.
Aku hendak mengambil foto copy-an tugas ketika menemukan mereka duduk berduaan di taman. Mengobrol dengan asyik.

Bae antusias bercerita, sementara Sisca mendengarkan dengan saksama. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas raut wajah mereka berbinar. Terutama ketika Bae membuka suara, lalu terkikik.
Kemudian ketika ia menggulung kaos lengan panjangnya hingga siku, lalu menunjukkan lengannya pada Sisca, perempuan itu menatapnya dengan takjub. Bae tampak begitu bangga.

Menyipitkan mata, tatapanku singgah di sana. Dan aku baru tahu bahwa Bae punya tato baru.

Di lengan tangan sebelah kanan.

Tato bergambar macan.

°°°

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro