08. Rival
"Biarkan aku jadi maminya Lea."
Uhuk, Bae terbatuk. Menumpahkan martabak manis dari mulut.
Dan tiba-tiba saja aku ikut tersedak.
Wait! What did I say?!
Duh, Gusti.
"Zoya?" Bae menatapku bingung. Buru-buru ia bangkit dari tempat duduknya lalu mendekatiku.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" Ia bahkan menyentuh keningku dengan telapak tangan.
"Are you okay? Apa kamu salah makan hari ini?" Raut mukanya mendadak cemas.
Tuh, kan. Bae pasti berpikir aku sudah sinting.
Buru-buru aku juga bangkit sambil menghalau tangan Bae dari keningku.
"Anu, maksudku, Mami angkat gitu. Bukan Mami tiri." Aku terkekeh kaku.
Bae menatapku lagi, kali ini lebih lekat, tapi sejurus kemudian manggut-manggut.
"Nggak boleh jadi Mami angkat juga nggak apa-apa. Toh aku tetep bisa jadi tantenya. Sama aja." Lagi-lagi aku terkekeh garing. Sumpah, baru kali ini aku salah tingkah di depan pria yang hampir seumur hidup ini sudah jadi sahabat baikku.
"Aku pulang dulu ya, Bae. Mau lembur kerjaan." Aku berbalik lalu melangkah tergesa. Berharap bahwa aku bisa segera melenyapkan diri dari hadapan Bae.
"Zoya." Tak disangka, pria itu memanggil ketika kakiku nyaris sampai pintu ruang tengah. Ah, suaranya lembut.
"Ya?" Aku berbalik. Berusaha bersikap sebiasa mungkin.
Bae menggigit bibir canggung. Terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. Sampai akhirnya kalimat itu terucap.
"Aku nggak berniat menikah lagi."
Aw, rasanya seperti tertusuk duri di jempol kaki. Nyeri.
Entah kenapa aku merasa seperti mendapat penolakan. Seolah aku tengah menawarkan hati, dan Bae tak bersedia menerima. Hei, tapi aku 'kan sedang tidak menyatakan cinta!
Tadinya aku berniat menyelamatkan harga diriku dengan hanya merespon pendek, tersenyum tipis, manggut-manggut, atau sekadar bilang 'ou', lalu segera hengkang dari tempat ini.
Nyatanya, aku malah kepo dengan pernyataan Bae.
"Kenapa?" Pertanyaan singkat yang bisa jadi melahirkan jawaban panjang lebar.
"Karena ..." Terlihat jelas bahwa Bae ragu untuk menjawab. "Karena ... Sisca tetap tak tergantikan," lanjutnya.
Aw, aw, aw. Rasanya makin nyeri. Tapi kali ini bukan di jempol kaki, melainkan di sini, di ulu hati.
"Jika aku menikah lagi, aku takut nggak bisa memberikan sosok ibu yang baik untuk Lea karena Sisca teramat sempurna. Ia baik, sabar, penyayang, keibuan, bijak dan---"
"Jadi perempuan seperti diriku bukan perempuan baik-baik?" potongku. Aku sendiri kaget. Bagaimana bisa kalimat konyol ini bisa terlontar?
Bae terlihat syok dengan pertanyaanku.
"Maksudku---"
"Aku kurang bijak? Kurang keibuan? Kurang sabar?"
"Zoya---"
"Baiklah, aku paham sekarang. Aku nggak sempurna, aku bukan perempuan baik-baik, dan aku nggak cocok jadi Maminya Lea." Aku berbalik, lalu melangkah. Terdengar Bae memanggil berulang, tapi tak kugubris. Menoleh padanya pun tidak.
Kutinggalkan tempat itu dengan bersungut. Aku bahkan hanya sempat berpamitan sekilas pada Om Hans dan Tante Tricia.
Entah, pokoknya perasaanku berkecamuk, campuraduk.
Ada rasa sesak, tak enak, nyeri, entah. Pokoknya aneh.
Duh, Gusti, aku kenapa?
Semoga ini bukan karena virus ... anu.
°°°
Aku baru saja sampai kamarku ketika tiba-tiba Mas Aron nyelonong masuk tanpa mengetuk dulu.
"Kebiasaan, deh," protesku. "Aku mau istirahat, jangan ganggu." Aku menata bantal dan selimut dengan kasar.
"Kamu kenapa, sih?" Mas Aron bertanya disertai tawa cekikikan.
"Emang aku kenapa?" Nada suaraku meninggi.
"Uhm, kelihatan banget lagi nggak mood. Kayak lagi ... ditolak laki-laki."
"Sok tahu!" Kali ini suaraku lebih tinggi dua oktaf. Sumpah deh, andai dia bukan abang kandung, sudah aku ajak gelut dari tadi.
"Udah, deh, maunya apa? Aku mau rebahan. Capek tauk."
Mas Aron mencebik sekilas, lalu berujar, "Minta nomornya Si Imut."
"Imut?" Keningku mengerut.
"Itu, temenmu yang beberapa waktu lalu ke sini. Yang kecil, mungil, lucu, kek anak es-em-pe."
Kecil, mungil, lucu, imut kayak anak SMP?
"Elsa?"
"Minta nomornya, ya?" Mas Aron kembali merajuk.
"Buat apa? Jangan godain anak orang!" peringatku.
"Ya iyalah anak orang. Siapa bilang anak marmut? Cuma mau kenal lebih jauh lah. Kayaknya aku tertarik sama anak itu."
"Nggah, ah. Elsa itu masih polos. Aku nggak akan ngebiarin Mas Aron ngedeketin dia. Lagian 'kan Mas udah punya pacar."
"Aku udah putus."
Kalimat Mas Aron sukses membuatku syok. "Sama Mbak Vanya?"
Abangku satu-satunya itu mengangguk.
"Kenapa? Kalian kan udah lama pacaran, udah hampir dua tahun, lho." Entah kenapa aku tiba-tiba merasa mellow. Aku memang sering bertengkar dengan Mas Aron, tapi tak bisa dipungkiri bahwa kami dekat satu sama lain.
Mas Aron mengangkat bahu. "Aku pengen ngajak dia serius. Tapi dianya masih mikirin karir. Jadi ya udah, kami sepakat berpisah."
Masih terlihat ada beban di setiap ucapan Mas Aron.
Mbak Vanya memang berprofesi sebagai model. Dia pernah mengatakan bahwa kelak ia ingin ikut seleksi di Paris. Aku hanya tidak menyangka bahwa itu serius.
Buru-buru aku beranjak memeluknya. "Duh, yang sabar ya, Mas," bisikku.
Terasa Mas Aron mengangguk.
"Gak apa-apa. Lagian kalo dipikir-pikir, kami emang nggak cocok. Baguslah," jawabnya.
"Ayo besok kita refreshing kemana gitu biar Mas bisa segera move-on."
"Aku udah move-on. Makanya pengen ngedeketin Si Imut. Ayo sini mana nomornya."
Aku melepas pelukanku dengan segera lalu menyentakkan sosok itu. "Kagak!" bentakku.
"Zoya, please."
"Cari cewek lain aja. Kalo Elsa aku nggak ikhlas."
"Yang saudaramu itu dia atau aku, sih?"
"Pokoknya enggak." Aku berusaha mendorong pria itu keluar kamar.
"Zoya, ayo dong, please. Kasih nomornya, ya?"
"Nggak mau."
"Jahat banget sih sama kakak sendiri."
"Udah, deh. Pokoknya keluar sana. Besok aja ngobrol lagi. Aku lagi suntuk, mau istirahat." Setelah dorong-dorongan alot, akhirnya aku berhasil membuat Mas Aron meninggalkan kamarku. Baru saja melemparkan tubuh di kasur, ponsel menunjukkan ada pesan masuk.
[Zoya...]
Bae mengirimiku pesan WA.
Tak kubalas.
[Kamu terlihat marah tadi. Apa aku salah bicara]
Ia kembali mengirim pesan dan tetap tak kubalas.
[Zoya]
[Aku tahu pesan ini kamu baca]
[Zoya....]
[Ada apa?]
Aku melemparkan ponsel itu ke nakas lalu segera membungkus tubuh dengan selimut.
Bae, ada apa denganku?
Aku sendiri bingung.
°°°
"Mbak Zoyaaa ....!" Lengkingan suara itu menggema ketika kakiku baru saja menginjak ruang lobi. Sudah jelas itu suara siapa.
Menoleh ke arah datangnya suara, sosok itu tengah berlari kecil, menghambur ke arahku.
"Mbak Zoyaaa ...." Ia kembali mengulangi panggilannya, kali ini dengan ekspresi antusias.
"Hm." Aku cuma menjawab pendek. Kalau Elsa sudah heboh tak sabaran begini, pasti sudah ada ratusan kata yang ia tahan di mulut dan ingin segera ia tumpahkan.
"Buku sket ilang lagi?" Aku menerka ketika gadis itu sudah bergelayut di sisiku. Ia menggeleng.
"Ada pesanan yang nggak sesuai desain? Bu Boss ngomel-ngomel? Atau si Mas Tajir ada di ruanganku?"
Lagi-lagi Elsa menggeleng.
"Itu juga termasuk, Mbak."
"Yang mana?" potongku. "Yang Bu Boss atau Mas Tajir?"
"Yang Bu Boss."
"Terus?"
"Tapi ada yang lebih penting lagi."
"Apaan?"
Gadis itu sibuk dengan ponsel, mengutak- atik sebentar lalu menunjukkan layarnya padaku.
"Ini beneran nomornya Mas Aron? Kakaknya Mbak Zoya?"
Membaca deretan nomor di ponsel Elsa, aku membelalak. Itu beneran nomornya Mas Aron.
"Dia ngirimin kamu pesen?"
"Ho-oh."
Aku mengumpat. Bajirut. Darimana Mas Aron dapat nomornya Elsa? Apa diam-diam dia ngutak-ngatik ponselku?
Berani-beraninya dia!
"Jadi beneran ini nomornya Mas Aron?" Elsa bertanya lagi dan aku cuma bisa mengangguk pasrah.
Ajaibnya, ekspresi Elsa malah terlihat semringah.
"Wuih, nggak nyangka Mas Aron mau ngechat aku," ucapnya.
"Kamu suka?"
"Iyalah, Mbak. Mas Aron itu cakep. Selain itu, dia 'kan kakaknya Mbak Zoya. Duh, Mbak Zoya itu udah kayak idolaku." Elsa nampak berbunga-bunga. "Dan sekarang, dikirimin pesen sama saudaranya, aku ngerasa tersanjung." Ia terkikik.
Aku menarik napas. Ya udah deh, terserah.
"Ntar kalo Mas Aron nge-chat macem-macem, bilang ke aku ya." Aku berlalu. Melangkah cepat menuju ruanganku sementara Elsa mengekor.
"Ngomong-ngomong soal Bu Boss, beliau marah-marah mulu, Mbak. Tadi udah bolak-balik ke ruangan Mbak, nyariin, mau ngelabrak katanya."
Sudah kuduga.
"Katanya akhir-akhir ini Mbak Zoya jadi lelet. Desain yang harusnya selesai beberapa hari yang lalu, sampai saat ini nggak kelar-kelar."
Aku tak menanggapi ocehan Elsa. Fokus berjalan menuju ruangan, membuka pintu dengan kasar lalu menjatuhkan tubuh ke kursi.
"Mbak Zoya ada masalah?" Elsa bertanya dengan hati-hati.
Aku memegang kening, memijitnya pelan.
"Buntu ide," jawabku pendek.
Jujur aku nggak pernah seperti ini sebelumnya. Biasanya buku sket penuh dengan coretan-coretan fantastis. Tapi kali ini, ide-ide brilliant-ku seakan menguap entah kemana.
"Kenapa, Mbak? Banyak pikiran? Butuh jalan-jalan? Piknik? Atau ...."
Aku mengangkat bahu. "Bukan. Hanya ... lelah, mungkin."
Lelah mikirin Bae dan anaknya!
Eh, sebentar.
Kenapa aku harus mikirin mereka?!
"Buatkan aku kopi hitam ya, El. Akan kuselesaikan desainnya." Aku buru-buru mengambil buku sket dan pensil untuk menghalau pikiran yang mulai kemana-mana.
"Siap." Elsa beranjak dengan sigap. Paham betul dengan apa yang harus ia lakukan.
Dan hampir seharian itu aku berkutat dengan buku sket. Gambar, coret, hapus. Gambar, coret, hapus. Begitu terus. Dan tetap saja aku tak menemukan desain yang pas. Bu Boss sudah berpuluh-puluh kali ke ruanganku untuk mengecek hasil kerjaku, dan sama. Ia juga merasa tak puas.
"Biasanya kamu nggak gini lho, Zoya. Kenapa, sih? Apa karena kamu kelamaan nggak kencan? Itu Si Mas Tajir kayaknya juga beberapa hari nggak nongol. Batal pedekate, ya?"
Aku mengatupkan gigi. Duh Gusti, perempuan ini.
"Eit, jangan salah ya, Buk. Dia udah nawarin aku dinner sama Mama Papanya," jawabku sengit. Harga diriku harus diselamatkan.
Bibir Bu Bos mencebik. "Gombal."
"Ih, nggak percaya. Perlu kutelpon?" Aku berujar asal.
Bu Bos menatapku setengah tak percaya. Sampai akhirnya ia berujar, "Bagus dong. Cepet kawin sana. Biar kamu nggak dikatain perawan tua."
Aku melongo. Pe-perawan tua?
"Hei, Ibuk. Menikah di usia telat itu sekarang sudah menjadi tren. Sudah menjadi gaya hidup. Ibuk nggak ngerti sih, gimana serunya bisa hang-out sama besties tanpa khawatir dicariin lakinya."
"Heleh, eke udah khatam."
"Lah, itu Ibuk paham?"
"Ya udah, deh. Pokoknya segera selesaiin sana desainnya."
"Niatnya juga gitu, Ibuk. Lah Ibuk sedari tadi mondar mandir ke ruanganku, kan aku jadi gagal konsentrasi," protesku.
Sejujurnya, aku dan Bu Inge, alias Bu Bos, seringkali beradu argumen. Tapi percayalah, hubungan kami baik-baik saja. Setajam apapun kalimat kami, tak pernah ada dendam pribadi.
Bu Bos mencibir, lalu beranjak. Ia nyaris sampai pintu ketika ponselku berdering. Menatap nama di layar, buru-buru aku menyambar benda itu lalu menunjukkannya pada Bu Bos.
"Nih, Buk, lihat. Si Mas Tajir nelpon!" seruku sambil pamer.
Bu Bos buru-buru berbalik lalu menatap lekat ke arah ponselku. Membaca deretan nama di sana, dan itu memang dia.
Daniel.
"Ya udah, deh. Semoga setelah ini mood-mu kembali bagus dan desain itu segera jadi." Beliau berlalu.
Aku mengantarkan kepergiannya dengan senyuman, baru kemudian menerima panggilan.
"Hai." Daniel menyapa lebih dulu. Seperti biasa, suaranya renyah.
"Hai," balasku.
"Kamu sibuk?"
"Yes," jawabku ketus.
"Apa aku mengganggu?"
"Yes," jawabku lagi, lebih ketus.
"Duh, tapi maaf, ya. Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju ruanganmu. And I won't go home."
Aku mengerjap. "What?"
Telpon terputus.
Menatap layar ponsel, sejenak aku terbahak.
Ya Tuhan, pria satu ini bener-bener ... keras kepala.
°°°
Harum bunga mawar segera menyeruak ketika sosok itu masuk ruangan.
"Bunga yang cantik, untuk perempuan paling cantik." Ia menyodorkan buket bunga tersebut.
Aku menerimanya dengan wajah datar. "Sudah dibilangin aku sibuk," protesku.
Aku tetap harus jaga image. Okay.
Daniel tak nampak tersinggung. Ia tetap menebarkan senyum sejuta watt yang nampak terang benderang.
Tapi sungguh, kesabarannya dalam menghadapiku patut diacungi jempol.
Ah, aku jadi ingat Bae lagi, nih.
Selama ini, ia pria paling tahan banting yang bisa menghadapiku.
Abangku sendiri aja kadang ogah-ogahan. Apalagi kalau aku lagi ngambek.
"Sudah dibilangin, aku pantang mundur ngadepin kamu." Ia duduk di sofa tanpa kupersilahkan. "Lagian aku nggak bakal lama, kok. Tadi habis dari kantor terus emang udah niat mampir sini. I miss you." Lagi-lagi ia tersenyum tanpa rasa bersalah.
"Syukurlah. Karena aku benar-benar sibuk hari ini. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan," jawabku.
Tatapan Daniel makin dalam. "Ah, aku jadi makin suka sama kamu. Cantik, mandiri, jutek, pekerja keras lagi. Perpaduan yang pas."
Bibirku mencebik. Tanpa menjawab aku beranjak menaruh bunga di meja dekat jendela. Nanti akan kuminta Elsa mengambilkan vas yang lebih besar.
"Semoga kamu nggak ingkar janji."
"Apaan?" tanyaku ogah-ogahan.
"Dinner. Remember?"
Aku berbalik menatap Daniel, lalu manggut-manggut. "Well, itu---"
Kalimatku terputus manakala ponsel di atas meja berdering. Menghampiri, lalu memutuskan untuk mengabaikan ketika tertera nama Bae di sana.
Pendirianku untuk terus mengabaikan panggilan itu goyah ketika ia mencoba menelpon lagi.
"Sebentar, ya." Tetap saja aku meminta ijin pada Daniel karena dia adalah tamu.
"Bae?" Aku menyapa lebih dulu.
"Zoya?" Ia memanggil setelah sempat hening.
"Hm?" jawabku.
"Sekarang aku di lobi."
Aku tersentak. "Hah?"
"Bersama Lea."
"What? Ngapain?"
"Uhm ...." Bae terdengar bingung menjawab. "Aku menjemput Lea dari sekolah dan setelah itu ia merengek minta mampir ke tempat kerjamu dan---"
"Ya udah, aku ke sana." Aku mengakhiri panggilan lebih dulu.
"Eh, maaf, ya. Aku harus ke lobi dulu. Ada temenku di sana."
Daniel manggut-manggut. "Bae. Yang anaknya pernah kamu jemput itu, ya?"
Rupanya ia masih ingat.
"Iya. Sekarang dia ada di lobi, dan juga anaknya."
Daniel kembali manggut-manggut. "Mamanya juga ikut?"
Jantungku rasanya mencelos. Kali ini aku menatap Daniel dengan tatapan serius. "Sebetulnya, Mamanya sudah lama meninggal."
Daniel tercengang. Tiba-tiba ia tersentak. "Maksudmu si Bae ini duda?!"
Aku mengerjap. "Iya."
"Aku ikut!" Ia buru-buru bangkit dari kursinya. "Ayo kita temui temenmu yang duda itu."
Lah, kok dia ngegas.
°°°
Aku tak pernah membayangkan akan berada dalam situasi canggung seperti ini.
Aku, Lea, Bae, dan juga Daniel dalam satu tempat, satu meja.
Aku sibuk menemani Lea menikmati es krim yang kupesankan di kantin sembari mendengarkannya mengoceh ini dan itu dengan ekspresi antusias.
Sementara Daniel dan Bae, sejak tadi dua pria itu hanya saling melempar pandangan.
Ketika Daniel menatapnya dengan angkuh, Bae membalas.
Ketika Daniel melepaskan kancing lengan kemeja dan menggulung hingga siku, Bae pun melakukan hal yang sama. Hingga sebagian tato di lengannya nyempil.
Pun begitu ketika Daniel bersedekap, Bae tak mau kalah. Lalu mereka kembali saling tatap.
Seriously? What's wrong with those guys?
Kenapa dua pria dewasa ini jadi sedikit ... kekanak-kanakan?
°°°
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro