Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02. Everything happens for a reason

Selagi aku sibuk menutupi tubuhku dengan tangan, Bae yang buru-buru berlari ke teras mengambil handuk. Senyum geli tak lepas dari wajahnya dan itu makin membuatku sebal.

Well, kami memang bersahabat baik, kami dekat satu sama lain, dan kami sering berbagi tentang banyak hal. Tapi kepergok telanjang di hadapannya, benar-benar yang telanjang bulat, itu sungguh memalukan.

Tubuhku bahkan masih basah, masih licin, dan... Apakah rambut di area itu sudah ku-wax?
Duh.

"Lama nggak ketemu dan sekarang kamu punya hobi baru ya? Fashion show bugil?" Bae terkikik geli seraya menyodorkan handuk di tangannya.
Dengan tatapan berkilat, aku menyambar handuk itu dari tangannya seraya mendengus jengkel. Jika saja tanganku sedang tak sibuk dengan handuk dan proses menutup tubuh, aku pasti sudah berlari ke pojok ruangan, menyambar pot, lalu melemparkannya pada Bae sekarang juga!

"Bae! Ini kekecilan!" Aku menjerit ketika menyadari bahwa handuk yang diberikan Bae terlalu kecil. Jika aku tetap menggunakannya, maka handuk ini hanya mampu menutupi dadaku hingga pantat saja.

"Nggak ada. Yang lain basah. Udah, itu aja dipake. Toh cuman ada kita berdua. Kayak nggak pernah bugil di depanku aja." Bae berujar santai.

Aku mendelik. Teringat bahwa dulu ketika masih duduk di Sekolah Dasar kami sering sekali mandi bersama di kolam belakang rumah Bae.
"Itu kan dulu!" Bentakku.

"Udah, ambil baju di kamar sana." Pria itu kembali berujar.

Aku bersungut sambil bangkit. Kemudian dengan langkah rikuh aku beranjak ke kamarku. Satu tangan sibuk memegangi ujung handuk yang berada di dada, sementara tangan satunya sibuk memegangi pinggiran handuk yang tepat berada di bawah pantatku.

"Jangan lihat!" Bentakku ketika tatapan mataku kembali beradu dengan Bae. Dan lelaki itu hanya mengangkat bahu lalu terkekeh.

Beberapa menit kemudian aku kembali menemuinya setelah berhasil mengenakan baju dengan buru-buru. Celana pendek selutut dan t-shirt longgar bergambar Micky Mouse.

"Kapan datang?" Tanyaku.
"Tadi sore," Bae menjawab sambil duduk santai di kursi sofa yang berada di dekat dapur.
"Lea?"
"Ikut juga. Sekarang lagi main-main tuh sama eyang-nya."

"Liburan?" Tanyaku lagi sambil membuka kulkas, meraih dua botol minuman kaleng, dimana yang satunya kuberikan pada Bae.

Bae menerima uluran minuman dariku sambil mengangguk.
"Bukan akhir tahun, bukan weekend, kok udah liburan?" Aku menghempaskan tubuhku di samping Bae. Lelaki itu hanya mengangguk, terkesan malas menjawab.

"Lea kangen sama eyangnya, begitupula sebaliknya."

Aku manggut-manggut sambil menyesap minumanku. Ketika hendak membuka obrolan lagi, tiba-tiba saja ponselku berdering.
"Bentar ya."
Aku bangkit dan berlari ke kamar kembali lalu segera menyambar ponselku di atas tempat tidur.
Dari Elsa.

"Oh, Elsa..."
"Mbak Zoyaaaa!! Mbak Zoya dimanaaaa??? Aku udah ada di tempat janjian kitaaa..."

Aku sampai harus menjauhkan ponsel itu dari telingaku ketika terdengar lengkingan dari seberang sana.
"Mbak Zoyaaaa.....!!"
Dan seketika aku membelalak. Astaga, aku lupa kalau punya janji dengan Elsa. Harusnya aku sudah ada di sana sejak satu jam yang lalu. Duh, gimana ini?

"Mau keluar?"

Aku menoleh dan mendapati Bae sudah berdiri di ambang pintu kamarku. "Mm, begitulah. Aku lupa kalo aku ada janji ketemuan dengan temenku," jawabku.
"Pacar?"
"Bukan. Temen cewek kok. Biasa, hang out, party kecil-kecilan gitu."

Bae manggut-manggut. "Oke deh, cepat berangkat sana. Lain kali kita ngobrol lagi."
"Nggak apa-apa kan, Bae? Kita lama nggak ketemu dan kamu baru aja dateng tadi sore, harusnya kita bisa ngobrol-ngobrol kayak biasanya. Tapi..." Aku mengangkat bahu.

Bae terkekeh. "Halah, kayak rumahku jauh aja. Toh besok-besok kita masih bisa ngobrol kok."
"Emang kamu berencana liburan lama di sini? Biasanya kan cuma sehari ato dua hari gitu."
"Nggak apa-apa. Kita masih punya banyak waktu untuk ngobrol kayak biasanya." Pria itu menjawab. "Ya udah, cepat siap-siap sana. Aku pulang dulu," Ia berbalik.

Baru dua langkah meninggalkan ambang pintu, tiba-tiba pria itu berbalik kembali.
"Uhm, Zoya... Ngomong-ngomong... "
Kami beradu pandang. "What?" Aku bertanya was-was ketika menangkap raut tak beres di wajah Bae.
Pria itu mengulum senyum sebelum akhirnya menjawab, "Yang itu tadi tato baru ya? Cantik."

Aku melotot. Syiieetttt!
"Baeee!! Sempet-sempetnya kamu lihat?!" Aku menjerit.
Yang dia maksud adalah tato di pinggulku. Sebetulnya, pinggul agak... ke bawah sedikit.

"Everything happens for reason."

Bangsat! Dia bahkan mengucapkannya dengan teramat jelas. Padahal tato di pinggulku termasuk kecil. Dan pria sialan ini masih sempat membacanya.
Jadi seberapa lama ia menatapku... telanjang? Dan... di bagian itu?

"GET OUT!"

Dan sebelum guling di atas tempat tidurku pindah tempat, Bae sudah keburu ngacir meninggalkan kamarku. Sejenak aku masih sempat mendengar gelak tawanya.

Hasyem.

***

Aku sampai di diskotik 25 menit kemudian setelah menyuruh pak sopir taksi mengebut. Kukira Elsa akan berdiri dengan kikuk di sana, sendirian. Nyatanya, ketika berhasil menemukannya, ia sedang asyik berjoget ria di lantai dansa.

"Mbak Zoya!" Ia melambaikan tangan ketika melihat kedatanganku lalu bergerak menghampiriku. "Let's dance." Ia menyeretku serta untuk menikmati dentuman musik.

"Nggak. Aku mau duduk aja," tolakku. Lalu bergerak menuju meja counter dan memesan minuman dan menyesapnya pelan sambil sesekali mengawai Elsa yang tengah asyik berjoget. Merasa enjoy dengan alunan musik, aku sempat bergabung dengan Elsa di lantai dansa selama sejenak, lalu setelah lelah, aku kembali ke tempatku semula untuk menenggak minuman. Sambil terus mengawasi Elsa tentunya.

Dan jiwa protektifku muncul ketika menyaksikan seorang lelaki bertubuh tinggi berusaha melakukan skinship berlebihan padanya.

Aku tahu Elsa sudah dewasa. Aku tahu ia mampu menjaga dirinya sendiri. Tapi bagaimanapun juga dia bawahanku dan aku bertanggung jawab akan keselamatannya.

Aku bangkit dan mendekati pria itu. Berdiri di tengah-tengah, antara Elsa dan pria tersebut. "Bung, bisa kau jaga tanganmu?" titahku.
Pria itu mendengus. "Woa, tenang mbak. Aku nggak ngapa-ngapain dia kok," ucapnya. Tapi tetap saja matanya jelalatan menatap tubuh elsa yang malam itu hanya mengenakan mini dress di atas lutut dengan atasan yang memamerkan bahu dan dan tulang selangka. Tak puas, dia juga menatap diriku di bagian tubuh yang sama.

Aku berjengit dan mendorong tubuh lelaki itu. "Well, aku cewek dan aku punya payudara. Ada masalah?" ucapku ketus.
Sempat kudengar lelaki itu mengumpat. Firasatku ia hendak membalas mendorong tubuhku ketika seorang pemuda lainnya menahan lengannya. "Udah deh, nggak usah ribut. Duduk sana," ia memerintah. Dan pria mesum tadi menatapku jijik lalu beranjak pergi, meninggalkan diriku dan Elsa, dan juga lelaki yang barusan datang.

"Sori ya, temenku rada mabuk." Pria itu berujar. Bibirku merengut, setelah menatap Elsa yang sepertinya baik-baik saja, aku berbalik, berniat kembali ke tempat dudukku semula. Nyatanya, pria tadi mengikuti langkahku.

"Hai, boleh kenalan?" Ia berucap.
"Enggak." Aku menjawab singkat tanpa melihat ke arahnya.
"Aku Daniel. Kamu?"
"Udah dibilang aku nggak mau kenalan," jawabku lagi.
"Judes amat sih."
"Biarin."
"Hei."

Aku menepis tangannya ketika ia berusaha menarik lenganku. "Apaan sih?" ucapku sewot, dan kami bersitatap.
Dan pria itu tetap saja mesem-mesem geje.
"Pengen kenalan. Aku Daniel, kamu?" Ia mengulangi kalimatnya.

Bibirku berdecih. "Nggak tertarik," jawabku.
Ia malah terkekeh. "Woa, makin judes makin cantik rupanya." Ia menatapku takjub. Aku melongo.
Ini cowok model apaan sih? Nggak tahu malu banget.

"Terima kasih." Aku kembali berujar ketus, lalu beranjak lagi.
Selanjutnya, aku tersentak kaget ketika tiba-tiba saja tanganku ditarik keras, pria itu meraih pinggangku dan... ciuman itu terjadi.
Ia menciumku, menyambar bibirku dengan bibirnya. Melumatnya kasar.
Dan tiba-tiba saja kepalaku berdenyut sakit. Entah karena pengaruh minuman alkohol atau entah karena hal lainnya.

Aku mendorong tubuhnya segera dan ... plaakkk. Tamparan itu melayang di pipinya. "Brengsek," aku mengumpat.
Dan kepalaku kian berdenyut nyeri.
Malas melanjutkan keributan, aku bergerak menghampiri Elsa dan menggamit lengannya. "Ayo pulang."

Dan setelah itu tak terlalu ingat bagaimana detailnya. Seingatku aku mengantarkan Elsa mendapatkan taksi, dan akupun mendapatkan taksi yang lain, lalu pulang.

***

Aku mengerjap bingung, menyadari bahwa pagi ini aku tidak bangun di kamarku sendiri. Menatap sekeliling, sepertinya aku hafal ini kamar siapa.

"Udah bangun?"

Menggaruk kepalaku yang gatal, aku menoleh ke arah datangnya suara tersebut. Dan pria itu berdiri santai di ambang pintu. Ah, sudah kuduga.

"Kok aku bisa di sini?" aku menyingkap selimut lalu turun dari tempat tidur dengan tubuh sedikit sempoyongan.

"Semalam kamu salah masuk rumah," Bae menjawab.
"Pasti kamu bukain pintu kan?" semprotku.
"Ya iyalah. Pintu depan baru mau kukunci ketika kamu turun dari taksi dan rada mabuk. Lalu masuk gitu aja."

Sebenarnya kejadian salah masuk rumah sudah sering terjadi. Tapi biasanya kalo Bae tak di sini, aku cuma akan menggedor pagar atau pintu rumah om Hans, kemudian beliau akan mengantarkanku pulang ke rumahku sendiri. Atau kadang, mas Aron yang buru-buru menjemputku. Dan keesokan paginya Mami pasti ngomel-ngomel karena aku pulang dalam keadaan teler.
Bukan berarti aku suka minum-minum. Walau suka pesta, aku tak terlalu kebal dengan minuman beralkohol. Minum setengah gelas saja, aku sudah langsung didera sakit kepala.

"Apa Lea melihatku pulang dalam keaadan .... begitu?" Aku mendemonstrasikan adegan muntah.
Bae menggeleng.
"Enggak. Kamu nggak sempat muntah. Cuma ngeluh sakit kepala. Lagipula, Lea sudah tidur ketika kamu ke sini."

Aku manggut-manggut. Syukurlah.
Rasanya tak nyaman kalau ada kecil yang memergokiku mabuk. Terlebih itu adalah anak Bae.

Bibirku berdecih. "Ah, harusnya kamu nggak usah ngijinin aku ke sini. Kan kamu bisa nganterin aku ke rumahku sendiri. Duh, mami pasti khawatir banget sama aku," gerutuku.
"Nggak kok. Aku udah telpon mamimu, dan dia bilang: Nggak apa-apa. Biarin aja Zoya di situ."
Aku mendelik. "Hah? Yang bener?"
Bae mengangguk.
"Udah telpon mas Aron?"
"Udah, dan jawaban dia sama."

Aku menggigit bibir. "Tuh kan? Mereka nggak sayang aku. Aku pasti anak pungut," aku ngedumel sambil beranjak ke kamar mandi.

"Udah ada sarapan di atas meja."
"Aku sarapan di rumah aja. Habis dari kamar mandi aku pulang," jawabku sambil terus ngeloyor ke kamar mandi.
"Mamimu bilang hari ini beliau nggak masak karena harus buru-buru ngenterin mas Aron ke mana gitu. Jadi dia nitipin kamu untuk makan pagi di sini." Bae kembali berujar.

Aku berbalik menatapnya dengan cengo. "Beneran deh, Bae. Kayaknya aku bukan anak kandungnya."

Dan Bae cuma tergelak. "Udah. Cepet cuci muka sana. Lalu sarapan. Lea sedang jalan-jalan sama eyangnya. Dan aku mau berenang." Ia beranjak, menuju kolam renang yang ada di halaman belakang.

***

Setelah mencuci muka secara kilat dan menyantap makan pagi di rumah Bae, aku berencana untuk segera pulang.
Berniat berpamitan pada pria itu, kulangkahkan kakiku menuju halaman belakang rumah di mana ada sebuah kolam renang mungil di sana.

Ketika sampai di sana, tiba-tiba saja aku lupa pada tujuanku semula untuk berpamitan.

Aku menyandarkan bahuku di kusen pintu. Dan untuk sejenak, aku asyik menikmati pemandangan di hadapanku.

Menyaksikan Bae yang asyik berenang dan ...

Wow.
Dia masih sama.

Seksi.

***

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro