Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22

Selvia melirik jam dinding di ruang tamu. Sudah pukul lima sore, tapi Sean tumben belum pulang. Biasanya memang pulang malam, tapi, Sean pasti mengabari kalau sudah lewat dari jam lima sore, atau Sean akan pulang dulu untuk mengganti bajunya, baru pergi lagi.

Brak!

Selvia tersentak kaget begitu mendengar pintu dibanting. Dan tambah kaget begitu melihat kalau ternyata Sean yang bisa jadi membantingnya.

"Yan! Banting lagi, Mama suruh Papa gak kasih kamu uang jajan sebulan ya. Entar pintunya rusak. Astaga anak ini."

"Sean cape. Keatas dulu." Ia berlalu begitu saja menaiki tangga tak mengindahkan kata-kata Mamanya barusan. Di pertengahan anakan tangga, ia berhenti tanpa menoleh. "Ma, tolong bantu Sean. Batalin perjodohan bodoh itu. Sean permisi." Setelah itu, ia benar-benar berlalu, disertai bantingan pintu, lagi.

Sean membuang tasnya sembarang tempat dan mandi air dingin. Untuk mendinginkan kepalanya tentu saja. Kepalanya terus berputar pada cewek satu itu. Yang mengganggu Hedya.

Jelas sekali kalau Manda itu dibantu seseorang, atau mungkin, ia disuruh seseorang. Karena untuk menyekap Hedya itu tak mungkin hanya sendirian. Lagipula, Manda itu anak baru, mana mungkin ia punya kunci gudang. Dan lagi, kalau ia memang menyekap Hedya, apa yang membuatnya menyekap Hedya? Dia kan anak baru, dan Hedya bukan tipe cewek yang suka nyari gara-gara sama orang yang tidak ia kenal.

Kesal. Tentu saja ia kesal. Siapa juga yang tidak akan kesal kalau gadisnya diganggu.

"Liat aja nanti. Gak akan gue biarin tuh cewek."

Tok tok tok

"Masuk."

Dan ternyata yang mengetuk pintu kamarnya tadi adalah orang yang paling tidak ingin ia lihat saat ini.

"Nanti malam, akan ada pertemuan lagi. Kamu wajib datang."

Sean menghela nafasnya lelah. "Oma, Sean gak mau dijodohin. Emangnya tuh sekarang jaman Kartini sama Siti Nurbayah? Lagian Sean sudah punya pacar sendiri."

"Tidak ada alasan. Jam tujuh malam, turun ke ruang makan. Jangan kabur." Setelah itu, Oma keluar dari kamarnya. Meninggalkan Sean sendiri yang mencak-mencak dan mulai meninju samsak yang tergantung dipojok kamarnya.

Kesal. Sungguh.

Siapa juga yang tidak kesal. Dia sudah punya pacar, dan dia sayang banget sama Hedya. Kenapa Omanya harus menjodohkannya dengan orang yang tidak ia kenal.

Bagai ada lampu bohlam terang diatas kepalanya, Sean meraih hapenya dan menghubungi kedua teman bodohnya itu.

Berharap saja kalau rencananya kali ini berhasil.

###

"Bos. Cepet, Bos. Turun cepet."

"Sabar, nyet. Susah ini. Aduh kenapa juga waktu itu gue minta kamar di lantai tiga. Susah kabur kan jadinya."

Ya, dia sedang kabur sekarang. Mencoba turun dari kamarnya di labtai tiga, lewat balkon. Tentu saja ada Brian dan Ion membantunya dibawah.

Setelah berhasil menapak tanah, ia dan kedua orang itu berjalan perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara. "Yakin rumah lu gak dijaga?" tanya Brian.

"Harusnya engga."

Karena ia sudah besar sekarang dan ini bukan rumah Omanya, harusnya tidak ada yang menjaga.

Kejadian ini pernah terjadi pada mereka waktu Brian dan Sean masih kelas 2 SD. Saat itu, Sean sedang dititipkan di rumah Omanya karena Selvia dan Troy harus meeting diluar negeri untuk jangka waktu yang panjang. Bosan karena didalam rumah terus, akhirnya Sean mengajak Brian bermain sepeda mengelilingi kompleks, tapi saat Sean meminta ijin, tidak dikasih oleh Omanya. Walaupun sudah merengek, tetap saja tidak dikasih ijin.

Mau tak mau, Sean mengambil jalan nekat, keluar dari balkon kamarnya seperti sekarang. Bagusnya, waktu itu kamarnya berada di lantai satu. Jadi tidak terlalu tinggi. Brian juga sudah menunggu Sean dibawah.

Saat mereka sudah tinggal membuka pagar rumah, para bodyguard Omanya menangkap Sean dan Omanya malah menugaskan beberapa bodyguard untuk menjaga di depan pintu kamar Sean. Agar ia tidak kabur lagi. Bahkan kamarnya dipindahkan ke lantai dua. Brian? Tentu saja ia menangis melihat temannya yang tiba-tiba dibawa pergi.

Dan sekarang, mereka berdua berharap kejadian tersebut tidak berulang.

"Trikmu selalu sama, Sean. Cepat tangkap dia. Jangan biarkan Sean lolos."

Tentu saja itu suara Omanya.

Beberapa bodyguard mulai mendekati merek bertiga. Sean, Brian dan Ion sudah bersiap untuk melawan, tapi apa daya, tenaga dan skill mereka tidak sebanding dengan para bodyguard sumo itu.

Alih-alih hanya Sean yang dikunciin dikamarnya, Brian dan Ion pun ikut dikunci di dalam kamar Sean. Bodyguard sudah menjaga di depan pintu kamar Sean, dan juga dibawah balkon kamar Sean tadi.

"Mau marah gue suer," geram Sean.

Ia bahkan bukan anak kecil lagi. Kenapa ia harus diperlakukan seperti ini.

Brian menghela nafasnya lelah dan memilih untuk merebahkan tubuhnya diatas karpet kamar Sean.

Sedangkan Ion? Ia memilih untuk diam, karena ia tidak begitu tau apa yang terjadi sekarang.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara Omanya lagi. "Sepuluh menit lagi mereka sampai. Jaga sikapmu." Dan langkah menjauh terdengar.

"ARGH!"

"Sabar, Yan. Sabar. Nanti kita cari solusi sama-sama biar perjodohannya batal. Oke?" ujar Brian bijak.

"Nah betul tuh. Lagian untung kali, Bos, kalo lu dijodohin, jadi gak pusing mau nikah sama siapa nanti. Daripada gue yang jones. Bingung kan jadinya ma--" dua pasang mata menatap Ion sengit. Membuat Ion tersenyum nyengir. "Damai. Gue becanda doang. Berusaha buat mencairkan suasana."

"Oke. Sekarang kita pikirin gimana caranya biar lu bisa kabur, Yan," ujar Brian tenang.

Sean berjalan kesana kemari, seperti setrikaan, guna mencari ide. Tiba-tiba saja secercah ide muncul di kepala Ion saat ia sedang mengamati Sean dan Brian bergantian.

"Gue tau!"

Brian dan Sean lantas langsung mendekat, sedangkan Ion membisikkan sesuatu kepada mereka.

###

"Sean! Sudah waktunya turun."

Pintu kamarnya terbuka, memunculkan sosok nenek yang saat ini sangat Sean tidak suka.

Ia mengangguk dan mengikuti neneknya dari belakang. Sedangkan dua orang lagi hanya mengucapkan kata 'fighting' tanpa suara sembari berjalan keluar dan pulang.

"Kenapa kamu pakai masker?" tanya Omanya.

Uhuk.

"Lagi batuk," jawabnya singkat.

"Kok tiba-tiba?"

Ia menggeleng.

Mereka berjalan dalam diam ke ruang makan. Pintu ruang makan terbuka, memperlihatkan Kedua orangtuanya, kedua orangtua yang entah ia tak tau siapa dan juga sesosok gadis yang memunggunginya.

"Maaf ya, lama menunggu. Dia ganti baju nya lama. Ayo, silahkan dimakan. Sean, duduk."

Dengan mendengus kecil, ia duduk di hadapan cewek itu.

Dan matanya membulat sempurna melihat siapa itu.

Dia?

###

"Anjir. Ayo cepet ke rumah Hedya."

"Sabar elah," ujar Ion sambil menstarter mobilnya. Sedangkan ia melepas kacamatanya dan merapikan tatanan rambutnya.

"Tumben lu bisa diandelin, Yon."

"Kampret!"

Dengan kecepatan tinggi, mereka sampai di rumah Hedya.

Sebagai tanda sopan santun, mereka mengetuk pintu terlebih dahulu. Menunggu orang dalam membukanya.

"Sean? Ion?" Dan ternyata Hedya yang membukanya.

"Hai, sayang." Langsung saja Sean dan Ion masuk ke dalam rumah.

Ion menghela nafasnya lelah dan langsung duduk di sofa ruang tamu. Sedangkan Sean duduk disamping Hedya. "Ngapain pada dateng tiba-tiba?"

"Panjang ceritanya."

"Cerita lah. Mukanya juga pada kayak panik gitu."

Mulai lah meluncur cerita dari mulut Ion yang kadang ditambahi oleh Sean.

Mulai dari Ion yang memberikan ide tadi di rumah Sean. Dimana Sean dan Brian bertukar posisi. Hal itu dilakukan karena saat Ion melihat mereka berdua, keduanya sekilas mirip. Hanya saja bedanya, Brian memakai kacamata sedangkan Sean tidak, dan juga rambut Sean berjambul sedikit.

Walaupun mereka berdua awalnya menolak karena mereka berpikir itu tidak mungkin, tapi akhirnya mereka setuju setelah Ion menyuruh Sean memakai kacamata Brian dan merapikan rambutnya.

Dan begitulah ceritanya.

"Jadi, aku nginep di rumah kamu dulu ya?"

Hedya mengangguk tanpa berpikir lagi. Tentu saja.

###

Keadaan sudah hening. Iyalah. Sudah lewat dari jam sebeleas malam. Tapi Sean terpaksa bangun karena haus yang melandanya.

"Ngapain lagi kalian kesini?"

Sean baru saja ingin menapaki anakan tangga ketiga dari terakhir, sebelum langkahnya terhenti karena suara yang Sean yakini adalah suara Nevan.

Bukan bermaksud untuk menguping, hanya saja kakinya tidak bisa digerakkan walaupun ia ingin pergi dari tempat itu, karena itu bukan urusannya.

"Jelas saja ingin bertemu mama saya dan anak saya, kamu, Nevan." Suara lelaki.

Anak? Berarti itu orangtuanya Nevan dan Hedya?

"Cih," decih Nevan. "Gak sudi ketemu kalian. Orangtua mana yang melempar tanggung jawab sebagai orangtua kepada nenek mereka? Dan lagi, orangtua mana yang tidak menganggap anak mereka sendiri? Apakah kalian masih bisa dikatakan sebagai orangtua?" geramnya.

Omanya mencoba untuk mengingatkan Nevan, kalau mereka berdua adalah orangtuanya juga. "Mau apa kalian kesini? Katakan saja. Karena tidak mungkin kalian akan kesini tanpa ada maksud apapun."

Sang wanita tersenyum miring, "tau saja nih, Mama. Coba katakan, Pa."

"Kami mau minta warisan kami. Karna kami sudah tidak ada uang untuk belanja dan pergi lagi."

Mendengar ucapan ayahnya itu, Nevan mengepalkan tangannya. Rasanya ia ingin sekali meninju ayahnya. "Kami bukan bank yang bisa kalian ambil duitnya. Oma susah payah mengusahakan perusahaan nya, dan kalian? Sebagai anak dan mantunya, bukannya membantu, malah meminta uang?"

"Terserah kami dong? Saya kan anaknya," ujar sang pria.

Jujur, ingin sekali Sean meninju pria itu kalau tak ingat ia lebih muda.

"Hah! Atas dasar apa kalian bicara seperti itu? Lagian bahkan saya dan Hedya saja masih berusaha irit, sebisa mungkin untuk tidak meminta uang pada Oma, karena kita tau diri. Oma yang bekerja. Dan kalian? Datang-datang main minta duit saja."

Pria itu tersenyum miring, begitupun yang wanita. "Ngapain kamu pake irit, nak? Oma mu ini punya banyak uang. Kau bisa memintanya. Kau ini kan cucunya," kata yang pria.

Omanya, Livia, sudah menggeram. Tak menyangka anaknya akan berkata seperti itu.

"Kalau untuk anak sialan itu, ya, beda urusan. Dia kan bukan cucu dari Mama. Iya, kan?"

Bukan cucu dari Oma? Maksudnya?

"Diam kamu! Hedya itu cucu saya!"

"Mama, jangan seperti itu. Cucu Mama itu hanya Nevan seorang. Karena Hedya bukan anak kandung kami. Linda mengandungnya karena kesalahan saat kami berdua sedang mabuk dan bablas. Benar kan, Lin?"

Linda, ibunya Nevan dan Hedya mengangguk. "Saya mengandung Hedya juga karena terpaksa. Karena saya gak mau aborsi."

Kedua tangan Nevan sudah mengepal hingga buku-buku jarinya memutih saking kesalnya. "Jaga mulut kalian. Saya tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Jangan ngomong sembarangan. Hedya gak seharusnya kalian perlkukan seperti ini. Dia anak kandung kalian. Bagaimana bisa kalian bilang kalau Hedyaa itu anak haram?"

"Loh? Itu bener kok. Iya, kan?"

Linda mengangguk lagi. "Dia anak haram. Dan selamanya akan menjadi sebuah kesalahan dia lahir."

Lantas, Sean yang mendengar itu, langsung kaget dan lari terbirit-birit ke kamarnya.

"Hedya bukan anak kandung dan cucu kandung dari keluarga ini?"

11 November 2017

Update yoohooo wkwkwm

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro