Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20

"Ya sabar lah. Lu tiap hari nanyain gue mulu. Gue kan kelas beda sama dia."

" ... "

"Bodo ah. Gue udah bilang. Tenang aja."

" ... "

"Yayaya. Udah, gue dipanggil Mama turun. Iya iya."

Setelahnya, hape itu dibanting ke atas kasurnya.

"Ini semua akan berakhir cepat atau lambat. Iya," ujarnya dengan smirk di wajahnya.

##

Sean sedang uring-uringan di karpet ruang tamu Hedya. Kenapa? Karena Hedya yang sedari tadi sibuk menatap layar laptop dan buku. Tangannya pun sibuk mencatat hal-hal penting. Bukan tidak ada tujuan Hedya seperti ini. Besok adalah ulangan Sejarah, dan yang parahnya, sekali ulangan langsung tiga bab. Sedangkan yang gurunya baru terangkan hanya satu bab. Sisa dua babnya lagi disuruh belajar lewat powerpoint yang Pak Yana sudah siapkan yang tadi di forward dari email ketua kelas ke anak-anak kelasnya.

Dan mau tau berapa halaman ppt nya? Sebanyak lima puluh halaman. Mau tidak mau Hedya harus merangkumnya. Ia sudah membaca dan menulis intinya selama satu jam setengah. Dan itulah yang membuat Sean uring-uringan.

"Hed."

"Hm?"

Lihat, bahkan Hedya tidak menoleh padanya sama sekali. "Hedya."

"Apa sih, Yan?"

"Jangan belajar mulu sih. Sekali-sekali gitu main sama aku."

"Sabar ah. Besok ulangan. Sini bareng belajar sama aku. Nanti nilai kamu jelek lagi."

Sean menggeleng kuat dan menyenderkan dagunya pada bahu Hedya. "Gak mau. Pusing belajar Sejarah."

"Sejarah itu penting loh. Kamu harus tau perjuangan para pahlawan kita dulu itu gimana, asal usul kerajaan di Indonesia. Sejarah itu bisa jadi pelajaran buat kita. Like a mirror. Jadikan tindakan positif para pahlawan buat jadi refleksi diri kita sendiri."

Sean menggeleng, ia memutar tubuh Hedya menatapnya. "Aku gak suka Sejarah. Karena apa? Flashback mulu kerjaannya. Kapan bisa maju kalo flashback mulu. Aku gak suka inget-inget yang lalu. Yang berlalu biarlah berlalu."

"Berarti kamu gak bisa menerima masa lalu?"

"Ya engga gitu juga."

"Kalo gitu, kamu jangan pacaran sama aku."

Sean membeku di tempat. Mata nya menatap Hedya dengan seksama. "Kenapa kamu ngomong gitu?"

"Karena aku bukan orang yang punya masa lalu yang bagus. Kalo kamu gak bisa menerima masa lalu, aku mundur."

Sean tersenyum teduh dan mengelus kepala Hedya sayang. "Iya. Iya. Aku menerima masa lalu. Tapi aku tetep gak suka pelajaran Sejarah."

Hedya menyentak tangan Sean dan kembali berkutat dengan dunianya sendiri.

"Pokoknya kalo nilai kamu dibawah KKM, gak ada yang namanya main ke rumah aku, apalagi main playstation bareng Kak Nevan," katanya tegas.

Sean membulatkan matanya dan menggeleng. "Iya. Iya. Aku belajar. Ngancemnya bisaan aja nih."

Hedya terkekeh. "Bukan ngancem. Cuma kasih tau. Lagian kan itu buat kebaikan kamu juga."

"Iya. Bawel ya pacarku ini."

"Cepet belajar."

"Tapi, Hed."

Hedya menoleh dan menghembuskan nafasnya pelan. "Apa lagi?"

"Laper."

Tak

Sean meringis kala kepalanya ditoyor oleh Hedya dengan tidak ada hati. "Sakit, Hed. Cewek cowok sih?"

Hedya melotot, "kamu pacaran sama cowok emangnya?"

"Ya engga. Makanya janhan kasar-kasar dong. Gak bagus tau cewek kasar."

"Lagian ada aja alesannya kalo disuruh buat belajar. Yauda tunggu sini, biar aku masak dulu," katanya sambil berdiri dan berjalan ke dapur.

Tapi sebelum pergi ke dapur, Sean sudah mencekal tangannya terlebih dahulu. "Gak usah. Biar aku aja yang masak. Kamu disini aja." Sean melihat kearah meja yang penuh dengan buku dan kertas serta laptop yang masih menyala. "Gak jadi deh. Kamu tunggu di dapur aja. Liatin aku masak. Biar makin sayang."

Hedya mendecih, tak urung juga ia tersenyum dan mengikuti perintah Sean. Cowoknya ini, Sean, cukup ahli juga ternyata dalam bidang masak memasak. Sangat cekatan.

Sepiring nasi goreng sudah ada di depan Hedya. "Silahkan makan." Hedya baru saja ingin mengambil sendok dan garpu, tapi ditahan eh Sean. Membuatnya menatap Sean bingung.

"Aku mau ambil sendok ama garpu. Emangnya mau makan pake apaan kalo gak pake sendok garpu?"

Sean menggeleng. Ia menaruh tangan Hedya diatas meja dan mengambil dua pasang sumpit. Membuat Hedya mengernyit bingung. "Sumpit? Emangnya lagi makan kwetiaw atau bihun atau bakmie apa-_-"

"Udah makan aja. Siapa suruh bikin list aneh-aneh."

Hedya berdecak dan mengambil sumpitnya. Salahkan dia karena dia membuat list yang aneh. Harusnya jangan membuat list itu.

"Sean beneran ya mau penuhin list Hedya?"

Sean mengangguk. Sean itu, paling malas kalau disuruh makan pakai sunpit. Kenapa? Karena lama. Lebih cepat pakai sendok dan garpu. Apalagi ini nasi goreng.

"Mulai sekarang, aku akan berusaha buat menuhin list kamu," ujarnya membuat Hedya tersenyum dan ikutan makan dengan sumpit.

##

Maunya Sean sih bolos sekolah aja, tapi apa daya. Ingatkan yang waktu itu Sean katakan kalau ia bolos? Bisa kena diamuk Hedya nanti.

Jadi disinilah Sean sekarang.

Di kamar tidurnya.

Ia merenggangkan kedua tangannya dan melirik jam digital dinding yang tergantung di kamarnya. "Oh baru jam setengah tujuh kurang lima." Seketika matanya terbuka dan melirik lagi jam dindingnya. "Setengah tujuh kurang lima. Astaga. Mati gue ama Hedya."

Yap, bukan hanya bolos, tapi telat juga. Mengingat dulu sebelum kenal Hedya, ia kerjaanya bolos, datang terlambat, dipanggil guru, atau tidur di kelas. Sudah pasti ia telat sekarang. Jam tutup gerbang itu jam enam lewat tiga puluh lima. Dan sekarang jam setengah tujuh alias enam lewat tiga puluh.

Sean menganut prinsip mandi bebek sekarang. Persetan dengan jambulnya yang belum ia rapikan. Ia harus ke sekolah sekarang.

Tin tinnnnn

Ia mengerem mendadak kala ada seorang siswi yang berhenti di depan gerbang tiba-tiba. Ia menggeram, ingin sekali memarahi anak itu, tapi sudah terlalu mepet waktunya. Mau tidak mau ia kembali menggas motornya menuju parkiran.

Sedangkan siswi yang tadi berhenti itu tersenyum miring.

Sean menenteng tasnya dan berlari kecil ke kelasnya. Tidak boleh telat. Di ujung koridor sana, sudah terlihat Pak Yana yang berjalan menuju kelasnya. Sebelum Pak Yana sampai, Sean sudah lebih dulu sampai di kelas dengan nafas terengah-engah. Setengah hidup setengah mati.

Hedya melirik Sean dan memberinya air yang diterimanya dengan senyuman. "Makasih." Ia menenggak habis air mineral itu sampai Hedya menganga. Itu airnya baru Hedya minum sedikit dan sekarang sudah habis. Hah, mau tak mau nanti Hedya harus membeli air baru.

Pas sekali, tak lama Sean masuk kelas, Pak Yana sampai di kelas.

"Semua buku ditaruh di dalam tas, tasnya taruh di depan."

Baguslah Sean sudah belajar semalam sama Hedya, walaupun sedikit. Yah, satu-dua nomor dia bisalah menjawabnya.

25 menit kemudian..

"Apaan ini soal. Gue gak tau sama sekali astaga. Ini apaan jawabannya," bisik Sean pada dirinya sendiri.

Dari 30 soal pilihan ganda, ia hanya bisa.. tidak ada. Tidak ada yang ia bisa. Masih kosong kertasnya. Ia sudah mengecek semua soalnya, dan tidak ada yang ia tau jawabannya.

Karena ini ulangan pilihan ganda, waktunya hanya diberikan 30 menit. "5 menit lagi."

Matilah dirinya. Sudahlah, kalau sudah seperti ini, ia memilih untuk mengandalkan hokinya saja. "Semoga bener. Semoga bener." Sambil merapalkan kata-kata tersebut, ia menyilang asal.

"Ayo dikumpul. Dari belakang ke depan. Ketua kelas, silahkan kumpulkan kertas ulangannya yang ada di meja terdepan dan taruh di meja saya."

Sean hanya bisa menunduk. Terbalik dengan Hedya yang tersenyum merekah dan mengobrol dengan Melina dan Aurel. "Gils. Ternyata gak susah-susah amat. Yah delapan lima mah dapet lah gue."

Melina mendengus dan menjitak kepala Hedya pelan. "Sok lu, tai. Mentang-mentang pinter."

"Yang penting nilai gue sampe KKM," ledeknya, memelet pada Melina. Dan matanya terpaku pada Sean yang menjedotkan kepalanya ke meja.

Ia menoel bahu Sean dan tertawa kecil. "Kenapa?"

"Hm? Gak bisa sama sekali aku kerjainnya tadi."

"Makanya kalo disuruh belajar ya belajar. Batu sih."

"Yauda sih. Kan aku kurang suka pelajaran sejarah."

"Tapi tetep harus belajar, Yan."

"Iya-iya. Hed. Tar pulang sekolah aku ijin gak eskul ya. Aku juga gak bisa anter kamu pulang. Ada pertemuan keluarga soalnya."

Hedya mengangguk mengerti. "Yauda gapapa. Nanti aku bilangin ke pelatih."

Sean tersenyum dan mengacak rambut Hedya gemas. "Hati-hati ya nanti pulangnya. Atau mau aku suruh Ion atau Brian aja buat anter pulang?"

Hedya langsung menggeleng. "Gak usah. Gak mau repotin mereka. Brian kan anterin Cherry lagian. Aku bisa pulang sendiri juga kok."

"Yakin?"

"Iya."

"Yauda. Ati-ati."

"Iya."

"Ati-ati."

"Iya bawel."

"Ati-ati."

Pletak

Sean meringis, tapi juga terkekeh. "Sean!"

"Iya-iya."

##

Sean sudah pulang. Dari bel berbunyi, Sean mengantar Hedya ke lapangan basket indoor dan langsung pulang. Sekarang, Hedya hanya mencatat apa yang menjadi bahan pertemuan hari ini.

"Ya, jadi semuanya harus tetep dijaga ya staminanya. Karena minggu depan kita akan ada pertandingan. Jangan sampai sakit. Latihan boleh, tapi jangan sampai cedera. Itu saja. Sekarang kalian boleh pulang,"

Dalam sekejap mata, semua pemain sudah bubar. Kecuali Brian tentunya. Ia menunggu Hedya selesai membereskan barangnya barulah ia jalan bareng menuju ke tempat Cherry berada.

Dari belakang, pundaknya ditoel. Membuat Hedya menoleh. "Kak. Dicariin Kak Sean tuh. Di taman belakang katanya," ujar siswi itu sambil tersenyum.

Brian menaikkan alisnya. "Sean kesini? Kok dia gak bilang?"

Hedya mengendikkan bahunya. "Yauda lu anter Cherry pulang sana. Gue ke taman belakang dulu."

"Yakin? Gak mau ditemenin aje?"

Hedya menggeleng. "Gue bisa sendiri kok. Udah sana."

Brian mengangguk ragu dan pulang bersama Cherry.

Sepeninggalan Brian dan Cherry, Hedya menggaet tasnya dan pergi ke taman belakang.

Sambil berjalan, Hedya mengetikkan sesuatu di hapenya. Tentu saja memberi tahu kakaknya untuk tidak usah menjemputnya. Karena Sean datang. Tadi waktu pulang sekolah, Hedya meminta tolong kakaknya untuk menjemputnya. Hapenya tinggal 5% lagi. Setelah terkirim, ia masukkan kembali hapenya untuk menyimpan baterai.

"Hmmmppppphhhh." Dari belakang tiba-tiba ada yang membungkam mulutnya dan menariknya ke gudang dekat taman belakang.

Dirinya dilempar masuk ke gudang dan dikunciin dari depan entah dengan siapa. "Eh! Tolong bukain. Gak lucu tau gak mainnya. Woi!"

Gelap, pengap, sumpek. Hedya mulai sesak nafas. Ia menggedor-gedor pintu berkali-kali, tapi tidak ada tanda-tanda ada orang. Ia keluarkan hapenya dengan tangan yang gemetar. Tapi hapenya tidak menyala. Mati sepenuhnya.

Air matanya sudah keluar. Ia bingung sekarang harus bagaimana. Ia makin sesak nafas, tangannya tidak berhenti mengetuk pintu, sampai akhirnya pintu terbuka, menampilkan satu sosok yang tak terlihat jelas. Ia tersenyum dan pingsan.

##

Mau jujur? Sebenarnya Sean bosan akan pertemuan keluarga ini. Sangat bosan.

"Jadi, Oma tuh mau ngomong apa?" tanyanya langsung ke inti.

Mamanya Troy, yang tak lain adalah Omanya Sean dan Marsha tersenyum. "Kamu akan dijodohkan."

Seketika Sean langsung mensruh sendok garpunya dan menatap Oma nya tak percaya. "Jodohin? Aku udah gede. Gak mau dijodoh-jodohin. Aku juga udah punya pacar."

"Gak ada penolakan. Kam--"

"Ma, Pa. Sean permisi. Mau ke rumah pacar." Sean pergi setelah diberi anggukan oleh Troy dan Selvia.

"Sean!"

"Ma. Mama apaan sih. Kenapa gak diomongin ke Troy sama Selvia dulu?"

"Kalian pasti tidak akan mau. Jadi biar Mama yang urus."

Troy dan Selvia hanya bisa menghela nafasnya lelah. Mereka tidak mau kurang ajar. Tapi Mamanya ini sudah keterlaluan.

Sean menggas motornya ke rumah Hedya. Saat ini, ia hanya butuh Hedya. Dia tak mau kehilangan Hedya.

Tok tok tok

"Kak Nevan! Oma!"

Pintu terbuka, memunculkan Nevan dengan wajah bantalnya. Sean bertaruh ia pasti baru bangun. "Eh, Kak. Hedya mana?"

Nevan mengucek matanya dan menyuruh Sean masuk dan duduk di ruang tamu. "Lah? Hedya bukan pulang bareng lu? Dia masih belum pulang."

Sean mengernyit. "Belum pulang? Sama gue?" Ia merasa ada yang tidak beres sekarang. Ia bangkit berdiri dan pamit pulang.

Sambil naik ke motor dan menyalakan mesin, Sean menelepon Brian. "Yan."

"Oit?"

"Hedya bareng lu gak?"

"Hedya? Lah dia bukannya sama lu?"

"Kok sama gue? Kan gue udah bilang gue ada pertemuan keluarga."

"Tadi ada siswi. Adik kelas kayaknya. Katanya lu nunggu Hedya di taman belakang sekolah."

Sean semakin merasa ada yang tidak beres. Ia mumutuskan panggilan dan semakin menggas motornya ke sekolah.

Ia berlari di koridor menuju taman belakang sekolah. Dirinya berhenti saat ada suara isak tangis dari gudang. "Anjir. Jadi merinding gue. Bukan setan kan ya?" Walaupun takut, Sean berjalan mendekat ke gudang itu. Suaranya semakin terdengar, dan juga suara ketukan pintu yang melemah.

Sean berlari dan membuang kayu yang menjadi penghambat di pintu gudang. Dan ia terkejut melihat Hedya yang pingsan. "Hed?" Sean mengangkat tubuh Hedya ke UKS sekolah. Mumpung masih buka. Gurunya saja mungkin yang tidak ada.  Dibaringkannya tubuh Hedya perlahan dan menggenggam tangan Hedya. Kalo dia naik mobil ish, dia bisa saja langsung membawa Hedya pulang, masalahny dia bawa motor. Kendaraan umum juga jarang ada yang lewat depan sekolah.

Tidak ada cara lain lagi. Sean menghubungi Brian, lagi.

"Bri."

"Oi? Sudah ketemu sama Hedya?"

"Sudah. Dia lagi pingsan."

"Kok bisa?"

"Entar saja gue ceritain. Sekarang gue mau pinjem mobil lu dulu. Soalnya gue bawa motor bukan mobil. Lu ke sekolah sekarang aja."

"Oke-oke."

Sean memegang tangan Hedya dan mengelusnya. "Kenapa sih kamu tuh bandel, Hed, kalo dikasih tau. Pulang sama Brian aja tadinya. Kan Brian juga bawa mobil. Cherry juga gak bakal keberatan. Jadi cewek kok kadang bloon. Udah tau aku bilang aku ada pertemuan. Masa iya aku ke sekolah."

"Yan!"

Brian melempar kunci mobilnya pada Sean yang tepat diambil Sean. "Thanks, Bri. Nih lu pake motor gue dulu." Giliran Sean yang melempar kunci motornya pada Brian.

Brian mengangguk. Ia menemani Sean dan Hedya berjalan ke parkiran mobil dan membantu membuka pintu. Setelah pamit pada Brian, Sean menancap gas ke rumah Hedya.

"Maaf. Maaf karena aku telat jemput kamu. Bikin panik mulu sih kamu, Hed, kerjaannya."

Lihat saja, kalo Sean tau siapa yang menyekap Hedya di gudang, siap-siap bertemu dengannya. Jangan pernah bertemu dengan Sean lebih baik.

Oma, sampai kapanpun, Sean gak akan mau dijodohin, batinnya.

Yang terpenting sekarang adalah membawa Hedya kembali pulang. Urusan perjodohan, ia yakin orangtuanya juga tidak setuju. Ia yakin itu.

##

"Apa? Gagal?!"

"Iya. Tadinya gue udah berhasil dengan nyekap dia di gudang. Tapi tiba-tiba Sean dateng."

"Sh*t! Lu kenapa gak becus sih?" bentak cewek itu sambil satu tangannya bersedekap didepan dada dan tangan satunya lagi memegang ponsel di telinga.

"Emang gue tau kalo Sean bakalan dateng. Lagian kan lu sendiri yang bilang kalo dia ada pertemuan keluarga. Kenapa bisa ada di sekolah lagi? Bukan salah gue dong."

Cewek itu menggeram. "Lain kali, kerjain yang bener. Jangan sampe gagal lagi."

"Bawel!"

Dia memutuskan panggilan dan mengacak rambutnya kesal. "Liat aja. Gue gak akan kasih Sean buat siapapun. Sean cuma buat gue."

31 Agustus 2017

jangan lupa buat vomment nya guys... Wkwkwkwkwk

See ya next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro