Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

"Ya. Silahkan, Noel Reanno. Duduk di sebelah Rian disana." Noel mengangguk dan duduk disamping anak yang tadi mengangkat tangannya.

Sean menatap terus ke punggung Noel selama pelajaran. Ia bingung harus bersikap bagaimana pada Noel setelah kejadian yang dulu. Datipada pusing memikirkan itu, Sean memilih untuk tidur. Ia menelungkupkan kepalanya diatas meja, tidak menghiraukan penjelasan yang sedang diberikan Pak Rio.

"Ehem!"

Sean tidak menghiraukan.

"Ehem!"

Sean mendengus dan menatap kedepan kelas. "Iya, Pak, iya. Saya bangun. Saya gak tidur kok. Cuma pegel aja mata saya."

Pak Rio mencibir. "Mana ada mata pegel. Jangan seenaknya saja kamu ngomong. Cepat buka buku pelajaranmu dan kerjakan soal yang didepan."

Sean menoleh, menatap papan tulis, dan sepersekian detik kemudian dia menggeleng dengan memberikan wajah jijik saat melihat soal kimia di depan. "Ogah, Pak. Mendingan saya dihukum diluar deh."

"Itu sih maunya kamu, Sean Derellio. Sekarang cepat kamu kerjakan atau saya panggil orangtua kamu ke sekolah?"

Sean mendengus, berjalan ke papan tulis dan menjawab jawaban di papan tulis dengan rumus yang tertera di buku pelajarannya. "Udah, Pak. Saya boleh duduk kan?"

Pak Rio mengangguk setelah mengecek jawaban Sean. "Sekarang. Saya akan membagi kelompok laboratorium pelajaran kimia untuk semester 2. Minggu depan kita praktek. Sekarang saya akan membacakannya. Kelompok 1, Juan, Vanili, Utari, Pierro, ..."

Sean mendengus lagi. Bosen mendengarkannya. Ia kembali menelungkupkan kepalanua diatas meja dan langsung menatap Pak Rio lekat-lekat saat namanya disebut.

"Kelompok terakhir, kelompok 4 Aurel, Bima, Ion, Hedya, Noel, dan Sean." Sean menghela nafasnya kasar.

"Gapapalah. Yang penting ada Hedya. Daripada gaada sama sekali," bisiknya.

"Barang-barang yang harus kalian bawa untuk minggu depan akan saya berikan kepada ketua kelas saat pulang sekolah."

Kringgggg kringgggg

"Baiklah. Kalian boleh istirahat sekarang."

Bima berdiri, "Beri salam."

"Selamat pagi, Pak. Terimakasih, Pak."

"Selamat pagi, anak-anak."

Setelah Pak Rio keluar, barulah pada keluar semua. Mencar. Ada yang ke kantin, ke taman, perpustakaan, ruang guru.

Sean berdiri, berjalan ke meja Hedya dan mengulurkan tangannya. Hedya menatap tangan itu, berpaling menatap si empunya tangan sambil tersenyum. "Yuk."

"Kemana?"

Gregetan, Sean langsung mengambil tangan Hedya, menariknya pelan hingga Hedya berdiri. "Kemana aja boleh, yang penting sama Hedya."

"Hoekkkkkk." Aurel dan Melina yang sedari tadi melihat perlakuan mereka berdua langsung pura-pura muntah karena perkataan creepy Sean.

Beda lagi dengan Brian dan Ion yang langsung menggeleng. "Bukan temen gue. Bukan temen gue."

Hedya terkekeh dan membalas gandengan tangan Sean dengan melingkarkan tangannya di lengan Sean. Sean menatap keempat temannya tersebut dan mencibir. "Bilang aja kalo ngiri karena gaada yang bilang gitu ke kalian. Iya, kan?"

"Gue rasa otak dia agak geser deh abis kecelakaan, Bri."

"Iye, Yon. Gue rasa lu dadar otak dah, Yan. Dokter salah meriksa lu."

"Eh bule. Bukan dadar. Tapi gegar. Goblog kok dipelihara."

"Idih. Suka-suka gue lah. Sewot aje lu, Rel."

Aurel mendengus dan mengepalkan tangannya hendak meninju sepupunya itu. "Gue bilangin tante lu ya, Bri."

"Ehhh. Udah udah. Ayo kita ke kantin sekarang. Sebelum rame," kata Hedya menengahi yang dibalas anggukan kepala dari kelima orang itu.

Sepanjang perjalanan Sean menggandeng tangan Hedya sambil sesekali menjailinya. Entah dengan mencubit pipinya, mengecup pipinya, mengacak rambutnya atau mengecup telapak tangannya. Hedya hanya bisa tersipu malu dan sesekali memukul bahu Sean karena malu diliatin sama anak-anak sekolah.

"Ih. Gatau malu."

"Kayakya dia waktu itu sama Yovan deh. Kok jadi sama Sean sih?"

"Dadah pujaan hatiku Hedya."

"Gak rela Kak Sean sama cewek gatel kayak dia. Mending sama gue aja."

"Kak Sean telah meremukkan hatiku."

"Gatel banget kali jadi cewe."

"Dasar kampungan."

"Gatau malu."

"Pasti dia ngegoda Sean."

"Iyalah. Mana mau Sean sama cewek kayak dia."

Hedya tertegun mendengar celaan demi celaan yang dilontarkan oleh anak-anak sekolah. Ia hanya bisa menunduk saat seseorang menutup kedua telinganya. "Jangan didengerin. Biarin aja mereka mau ngomong apa. Yang penting Sean sayang Hedy," kata Sean tulus sambil menatap dalam mata hitam legamnya. Hedya mengangguk dan tersenyum.

"Awww. Jato gue jato. Kak Sean sama Kak Hedya cocwit ngets."

"Gils. Kapan gue punya cowok kayak kak Sean."

"Ngimpi lu kejauhan bego. Kak Sean ama Kak Hedya udah kepantek jadi satu. Mereka cocok lagian."

Hedya tersenyum. Tak semuanya merupakan kata-kata yang menyakitkan. Ada juga yang dapat membuatnya lebih baik.

Sementara Brian, Sean dan Ion pergi memesan makanan, Hedya, Aurel dan Melina duduk menunggu pesanan mereka datang. "Hed. Lu serius sama Sean?" tanya Aurel.

"Iya."

"Yovan gimana?"

"Yovan mah masa lalu gue, Mel. Gue emang udah lupain dia."

"Tapi, gimana ya reaksi Yovan pas tau kalo lu sama Sean jadian? Penasaran gue."

Hedya mengendikkan bahunya. Pesanan mereka datang.

"Ini buat Hedya. Makan yang banyak ya, Hed," kata Sean, laku mengacak rambut Hedya.

Ditengah-tengah acara makan mereka, tiba-tiba Noel datang dan menaruh nampan makanannya dimeja mereka. "Hai. Gue boleh gabung? Karena meja yang lain udah gak ada yang kosong."

"Boleh kok. Duduk aja," kata Hedya.

Noel duduk disamping Brian dan memakan makanannya. Sean yang duduk didepannya sudah kehilangan nafsu makannya. Ia lebih memilih untuk mengganggu Hedya. Noel sesekali melihat perlakuan Sean kepada Hedya dengan senyum misterius.

Tak ada yang tau apa maksud dari senyum itu.

Hape Hedya tiba-tiba bergetar dikantungnya. Buru-buru Hedya mengangkatnya saat melihat caller name-nya. "Halo, Kak."

"..."

"Apa? Rumah sakit? Kok bisa?"

"..."

"Iya-iya. Gue kesana sekarang." Hedya memutuskan teleponnya. Ia menggenggam tangan Sean dan menatap Sean dengan air mata yang hampir tumpah keluar.

Sean mengelus tangan Hedya. "Kenapa, Hed? Siapa yang telepon?"

"Oma, Yan. Oma masuk rumah sakit." Air mata yang sudah ia tahan sekarang keluar perlahan-lahan.

Sean memeluk Hedya sebentar dan mengelus rambutnya menenangkan. "Oke-oke. Jangan nangis lagi. Kita ke rumah sakit sekarang ya. Sean urus surat ijinnya dulu." Hedya mengangguk. "Bri, Yon, Rel, Mel. Gue sama Hedya balik duluan ya. Mel, Rel, tolong bantuin Hedya beresin barang-barangnya dikelas. Terua anterin dia ke parkiran. Gue urus surat ijin dulu."

"Oke. Oke."

Noel menatap lamat-lamat mantan sahabatnya itu. Memperhatikan setiap gerak geriknya. Bahkan lu dulu gak kayak gini ke Bella, Yan, batinnya.
##

Sean dan Hedya berlari mencari kamar inap Omanya. Sampai di depan kamarnya, Sean milih untuk menunggu di luar saja. Biar Hedya yang masuk. Hedya menganghuk dan masuk kedalam.

Tak lama Nevan keluar dari kamar. Ia duduk di samping Sean. "Hedya itu sayang banget sama Oma. Karena dari dulu Oma yang ngurus dia. Dari kecil." Sean menoleh.

"Dari kecil, Hedya orangnya tertutup. Temennya juga sedikit. Pacaran cuma sekali. Sama si Yovan. Pas pacaran, dia keliatan bahagia banget. Mulai terbuka juga sama orang. Tapi pas Yovan pergi gitu aja, dia jadi tertutup lagi. Dia sampe mogok makan seminggu lebih. Sampe pernah masuk rumah sakit. Dan itu merupakan pukulan terbesar buat gue dan Oma. " Nevan menoleh dan menepuk bahu Sean. "Makanya. Sejak dia ketemu elu, dia mulai kayak balik lagi. Bahkan dia udah keliatan gemukan lagi. Sebelumnya dia kayak mayat hidup. Pucet, kurus banget. Dan sejak itu, Oma sama gue mulai lega. Makanya kita berharap lu jangan sampe kecewain dia ya. Dia udah terlalu banyak dikecewain. Jangan nyakitin dia lagi."

Seperti tamparan, Sean meneguk ludahnya susah payah. Ia teringat akan taruhan yang pernah ia lakukan dan bahan taruhannya adalah Hedya. Memang sudah ia batalkan. Tapi tetap saja, kalo Hedya tau, Hedya akan kecewa padanya. "

Sean mengangguk mengiyakan. "Tenang aja. Gue sayang banget lagian sama Hedya."

Nevan terkekeh. "Ngomong doang lu mah. Buktiin dong kalo lu saya ng beneran sama dia."

"Ye si anjir. Gak percayaan najis."

Hedya pun keluar dari kamar dan duduk disamping Sean, menyandarkan kepalanya di bahu Sean. "Udah? Oma gapapa kan?"

Hedya menggeleng. "Engga." Sean terkekeh dan mengacak rambut Hedya gemas.

"Kan Sean udah bilang. Oma pasti gapapa. Oma kan orangnya kuat. Tenang aja." Hedya tersenyum, mengangguk mengiyakan.

Nevan berdeham. "Kayaknya gue ganggu orang pacaran nih. Yaudalah. Gue mau ke dalem dulu. Jagain Oma. Hed, makna sana ke kantin. Tadi pas gue telpon lu lagi jem istirahat kan?"

"Gak mau ah. Gak laper."

"Yan. Liat tuh kelakuan pacar lu. Ajak makan dia sana."

Sean mengangguk. "Iya. Yuk, Hed. Makan dulu. Tadi kan Hedya baru makan berapa suap doang."

Hedya mendengus. Ia mebgalah dan mengikuti langkah Sean ke kantin. Meninggalkan Nevan yang masih berdiri di depan pintu menatap kepergian mereka. "Semoga lu gak kecewain dia, Yan."

##

Sean memakirkan motornya di garasi dan masuk kedalam. "Den Sean sudah pulang. Di dalam ada tamu di ruang tamu. Disuruh sama Nyonya ke sana."

"Siapa, Bi?"

"Wah, Bibi gak tau deh. Masuk dulu, Den."

"Oke. Oke." Sean langsung menuju ke ruang tamu dan duduk di sofa. "Ma. Tamunya siapa?"

"Lagi ke toilet. Kamu gak makan dulu, Yan?"

Sean menggeleng. "Gak usah."

Tamunya pun kembali dan duduk di seberang Sean. Tatap-tatapan terjadi diantara mereka. "Hai, Yan."

"Lu ngapain kesini?" tanya Sean datar.

Dia tersenyum. "Gapapa. Tadi cuma anter kue doang dari nyokap gue."

Sean bangkit berdiri dan pergi menuju kamarnya. Mengabaikan panggilan Mamanya. "Sean. Kamu gak mau ngobrol sama Noel dulu?"

Tanpa menoleh Sean menjawab, "Gak perlu." Sean menggabruk pintu kamarnya dan merebahkan tubuhnya di kasur. Ia melempar tasnya sembarang arah. Ngapain coba si Noel ke rumah.

Ting!

Dengan malas, ia mengambil hapenya di saku celananya dan mengecek siapa yang menge-Line-nya.

Hedya: Yan. Nanti gausah ke rs. Hedya nanti pulang soalnya. Diantrin Yovan.

"Yovan. Yovan. Yovan. Yovan. Kenapa sih si cingcongpan harus dateng ke rs. Ngeribetin aje. Udah tau Hedya udah jadi milik gue." Tanpa membalas chat Hedya, Sean menaruh hapenya diatas nakas dan memilih untuk menutup wajahnya menggunakan bantal.

"Ini hari bener-bener nyebelin," geramnya.

##

Yovan sesekali melirik Hedya yang duduk di sebelahnya, melihat jalanan. "Hed."

Hedya menoleh dan menaikkan satu alisnya.

"Kamu beneran pacaran sama Sean?"

"Iya. Gue emang beneran paxaran sama Sean. Kenapa?"

Bahkan sekarang kamu ngomong gue-elu sama aku, Hed.

"Gapapa sih. Aku cuma nanya aja."

Hedya mengangguk paham. "Ngomongnya jangan aku-kamu lagi, Van. Gak enak nanti kalo kedengaran yang lain. Apalagi sama Sean."

"Oke."

Salah gue emang dulu ngelepas lu gitu aja. Yauda lah. Emang dasarnya lu gak boleh sama gue, Hed, batin Yovan.

##

"Halo."

" ... "

"Iya. Tenang aja."

" ... "

"Tenang aje sih. Gue bakal urus semuanya."

" ... "

"Ya sabar lah. Gue lagi cari timing yang pas buat kasih tau ke dia."

" ... "

"Selo. Serahin semua ke gue."

" ... "

"Lu emang kembaran paling nyebelin."

Sambungan diputuskan dengan senyum misterius dari dia.

"Tunggu waktunya aja semua. Dan pada saatnya, semua akan boom! Meledak."

21 May 2017

Update yohooooo wkwkwkw

Wahhh ada apaan tuh? Kenapa lagi nih? Kayak ada orang yang mau macem-macem(?) Hmmmm

Ditunggu aja yaaa wkwkwkwk

Happy reading guysss... jgn lupa vommentnya yaaa wkwkwk

BYE SEMUAAAA

AUTHOR MUAH MUAH PERGII :*:*:*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro