15
Author POV
Sean berlari kencang mendekati Hedya. Tapi mau seberapapun jauh dan seberapa kencang Sean berlari, jarak padang rumput ini seakan-akan membuat Sean berlari ditempat.
"Hed!"
Sean mulai lelah. Nafasnya mulai tidak teratur. "Hedya. Jangan lari dari Sean."
Hedya yang diujung sana tidak menjawab sama sekali. Lalu dalam sekejap Hedya sudah ada di depan Sean. Sean tersenyum, berusaha untuk memegang tangan Hedya, tapi wajah Hedya tiba-tiba berubah.
Berubah menjadi sosok yang Sean benci. Menjadi dia.
"Ah!"
Keringat bercucuran disekujur tubuh Sean. "Astaga. Mimpi apaan coba itu. Kenapa juga harus ada dia di mimpi gue."
"Sean!" Sean tersenyum melihat siapa yang datang. "Sean. Liat nih, Hedya udah bawain apel. Hedya kupasin ya."
Sean mengangguk.
Wajahnya. Wajahnya sekarang jadi terngiang-ngiang kembali di kepala gue.
"Wah. Ini siapa, Yan? Cantik. Kok gak pernah kenalin ke Mama sih?" Selvia datang dengan membawa tas isi pakaian gantinya dia dan juga Marsha.
Ya. Karena Marsha dan juga Selvia yang akan menemani Sean hari ini.
Hedya berdiri dan menyalami tangan Selvia. "Aku, Hedya, Tante. Temen Sean."
Mendengar kata teman Sean, otomatis Sean mendecih. "Pacar."
"Lu udah pacaran sama Kak Hedya, Kak?" Kepala Marsha tiba-tiba menyembul dari balik tubuhnya Selvia.
Sean mengangguk sedangkan Hedya memilih untuk melanjutkan mengupas apel, menutupi dirinya yang tersipu malu. "Kak Hedya kok mau sih sama Kak Sean? Kan dia bandel, jelek, nilai anjlok. Semuanya jelek deh tentang dia."
Sean melotot. "Weh. Lu mah nyari ribut mulu ama gue, Cha."
"Hush. Marsha ngomongnya gak boleh terlalu frontal dong. Kan Kakak kamu malu jadinya," ujar Selvia yang nenbuat Hedya terkekeh.
"Iya nih. Aku juga bingung kenapa mau sama Sean," kata Hedya yang mulai ikut-ikutan menjaili Sean.
Sean mendengus dan menarik selimutnya hingga menutupi satu tubuhnya. "Terusin aje terusin. Gak ada Seannya kok disini."
Ketiga orang yang berlawanan jenis dengan Sean itu terkekeh. "Yan. Jangan gitu ah," kata Selvia sambil menarik selimutnya mnampilkan wajah Sean yang mendengus.
Hedya menusuk satu potong buah dan memberikannya pada Sean. Awalnya sih, gak mau. Mau pura-pura ngambek. Tapi pas Hedya bilang, "Makan dlng, sayang." Luluh sudah. Sean langsung memakannya.
"Cie. Anak Mama udah mupon."
"Move on, Ma. Bukan mupon," koreksi Marsha.
Selvia mendecih. "Iya. Iya." Marsha terkekeh. "Yauda deh. Mama sama Marsha mau pergi cari makan dulu ya. Hed, Tante tinggal dulu ya," pamit Selvia sambil menepuk pundak Hedya yang dibalas anggukan kepalanya.
Sepeninggalan mereka berdua, keheningan mulai melanda lagi.
Entah lah. Sean yang biasanya bawel jadi diam. Hedya emang udah dari sononya diem mulu. "Hed."
"Hm?"
"Lagi kenapa dah? Diem aje."
Hedya menggeleng, tidak mengeluarkan suara. Ia memilih untuk menyuapi buah ke dalam mulut Sean.
"Boong. Kalo ada masalah, cerita aja. Siapa tau Sean bisa bantu."
"Gapapa kok. Oh iya. Hedya udah harus pulang. Di rumah gaada orang soalnya. Nanti Oma sendirian," kata Hedya.
Sean mengangguk paham. "Yauda. Ati-ati ya. Maaf gak bisa anter Hedya pulang."
"Gapapa. Cepet sembuh ya," katanya lalu mengecup puncak kepala Sean. "Hedya pulang dulu."
Sean mengangguk dan menatap Hedya yang keluar dari kamarnya. "Gue berharap lu gak akan pernah tau tentang taruhan itu, Hed." Itulah yang Sean harapkan. Tapi kenyataannya, Hedya sudah tau tentang taruhan itu.
##
Dua minggu lebih di rumah sakit cukup membuat Sean eneg dengan bau rumah sakit. Bau obat-obatan yang hampir setiap hari ia cium itu akhirnya berakhir sudah.
Kemarin Sean sudah pulih, sudah boleh pulang. Hanya tinggal memantau kakinya setiap 2 minggu saja. Sean juga sudah bisa berjalan sendiri walaupun pakai penyanggah. Dan ternyata pakai penyanggah itu tidak segampang yang ia kira.
Baru pulang dari rumah sakit, lusa sudah waktunya masuk sekolah. Sebenarnya sih libur natal dan tahun baru sudah lewat. Sudah masuk dari minggu lalu seharusnya. Tapi Sean ijin sakit.
"Halo?"
"Woi. Lu kemane aje? Sekolah bolos mulu."
Sean mengernyit dan melihat siapa yang meneleponnya lalu menghembuskan nafasnya pelan. "Gue kan kecelakaan, bocah. Lu ama Brian juga gak jengukin somplak. Temen macen ape lu berdua?!"
"Hehehe. Sori nih. Bukannya gak mau jengukin, tapi gue sibuk. Brian juga lagi ngurus sesuatu. Oh iye. Di sekolah, ada murid baru. Cantik sih. Tapi dijauhin gitu sama anak-anak yang lain. Soalnya gosip dari sekolah dulunya, dia itu aneh."
"Gak peduli."
"Lu mau tau gak tuh anak siapa? Si Cherry. Yang Brian bilang itu loh. Cewek yang dari kecil bareng dia mulu."
"Cius lu? Mi apa? Mampus tuh si Brian. Ada yang ngintilin aje sekarang." Sean tertawa memikirkan bagaimana reaksi Brian.
"Tapi, si Cherry sih seminggu ini gak ada tanda-tanda ngintilin Brian sih, Yan."
"Iya? Gak seru dong itu mah."
"Mungkin. Eh gue dipanggil bokap. Biasa. Bolos lagi ye, Yan, besok."
"Yeh si Gobs. Yakali bolos lagi. Yaude sono." Sean memutuskan sambungan dan dengan begitu, kamarnya hening lagi.
Jangan kira hanya cewek saja yang suka gosip. Cowok juga loh. Gitu-gitu cowok juga suka gosip. "Bosen," gerutu Sean.
Tok tok tok
"Kak!"
Sean menoleh dan mengernyitkan dahinya. "Paan?" Singkat, padat, jelas. Itulah Sean kalo lagi bosen.
"Gue sama bonyok mau pergi. Lu sendirian ya di rumah. Jaga rumah."
Sean membelalakan matanya dan menunjuk dirinya sendiri. "Gue? Jaga rumah? Udah gila kali. Kaki gue aja begini. Gak ah."
"Yaelah. Kan ada si Bang Maman juga jaga di gerbang," balas Marsha mendecak.
Sean tetap keukeuh tidak mau ditinggal di rumah sendiri. Ia menggeleng. "Gak. Ogah. Entar kalo ada setan nongol gimane?"
Marsha mendesah lelah dan menatap langit-langit kamar Sean sambil menengadahkan tangannya. "Ya Tuhan. Kenapa punya kakak macem gini astaga." Adiknya itu menatap Sean lagi, "Heh. Setan ketemu lu aje juga males, Kak. Yang ada dia kabur dari pada ngeliat elu. Lebay banget sih lu."
Sean menggaruk tengkuknya dan tetap menggeleng. "Gak mau. Batu banget dah. Emang pada mau kemana sih?"
"Ke tetangga doang astaga. Ada selametan rumah baru. Udah deh, Kak. Deket kok. Sebelah, sebelahnya lagi. Udah ya. Udah ditungguin bonyok nih di bawah."
"Eh tu-- Liat aje entar tuh anak kalo gue udah sembuh." Sean mendengus dan memilih untuk menyalakan speaker bluetooth miliknya sekencang mungkin dan tidur.
##
Pagi-pagi kelas sudah riuh dengan teriakam-teriakan anak-anak yang meminta contekan untuk peer. Bsgus Sean tidak masuk. Ijin sakit. Jadi alasan untuknya tidak membuat peer.
"WOI. BAGI PEER DONG!"
"EH KIMIA KIMIA! UDAH ADA YANG SELESAI BELOM?"
"ION! MANA ION?! MANA POC*RI S*EAT?! LAGI DIBUTUHIN DIA ILANG!"
"Aduh jangan ditarik-tarik, dong. Entar robek buku gue."
"WOI MINGGIR-MINGGIR. GUE FOTO AJE DAH."
"Nah iye tuh. LA, KIRIM YE LEWAT LINE. CEPETAN."
Sean mengelus telinga nya yang agak sakit mendengar teriakan-teriakan temannya ini. Padahal kelas mereka bukan berukuran yang sebesar lapangan basket. Tapi pake teriak-teriak segala.
Sean menggeleng dan menyenderkan bahunya di kursi, tidak berlangsung lama karena seseorang duduk disampingnya dan menepuk bahunya. "Hoi!"
"Anjir. Kaget gue."
Ternyata Ion. Ia baru datang ke kelas karena mengumpulkan data eskul dulu ke guru eskul. "Udah sembuh lu?" Ada Brian juga di depannya.
"Yah. Kaki gue masih harus pake penyanggah kalo jalan."
Brian dan Ion ber-oh ria. "Sori coy kita gak bisa jengukin karena sibuk," ujar Ion sambil menepuk bahu Sean.
"Tiada maaf bagi kalian," balas Sean mendramatisir.
Brian mendecak. "Gak usah lebay, Yan. Lu juga udah ada yang nemenin, kan?"
Ion mengerutkan dahinya dan mengangkat alisnya satu. "Maksudnya nemenin, Bri?"
"Udah jadian dia sama Hedya."
"Lah? Tau dari mane lu? Bener tuh, Yan?" Sean mengangguk. "Woah. Menang dong lu taruhan?" lanjut Ion bertanya yang mulutnya langsung ditutup dengan tangan Sean.
"Anjir lu. Ngomongnya kurang kenceng. Kalo sampe si Hedya tau, lu mampus ama gue, Yon." Setelah Ion mengangguk barulah Sean melepas tangannya. "Lagian gue udah batalin taruhannya. Farel waktu itu dateng ke rumah sakit."
Sekarang giliran Brian yang mengernyitkan dahinya. "Ngapain dia ke rumah sakit? Nah, kan. Lu jadi beneran suka sama Hedya, kan?"
Sean mengangguk. "Dia sih katanya mau jenguk gue."
"Dia gak nyari ribut kan tapi?" tanya Ion selidik.
"Yah ilah lu tau lah si Farel gimana orangnya. Kalo ngomong ya pasti nyari ribut. Tapi gak pake fisik, kok. Tenang aje. Lagian di kamarnya kan ada kamera CCTV. Mana berani dia main fisik."
Kedua temannya itu mengangguk. "Iye iye."
Trrriiiinnnnnggggggg tringgggg
Bel masuk sudah berbunyi. Tapi tidak menghentikan tangan-tangan yang menulis diatas kertas.
Karena untuk murid, selama guru belum masuk kelas, tiada kata berhenti untuk menyontek. Kecuali kalo emang sudah selesai.
"PAK RIO DATENG! PAK RIO DATENG! BALIK WOI KE TEMPAT LU PADA MASING-MASING!" Teriakan dari sang ketua kelas, Bima, membuat murid-murid langsung kalang kabut dan kembali ke tempat duduknya.
Memang, Bima adalah ketua kelas yang baik. Jarang-jarang ada ketua kelas macem Bima. Biasnaya ketua kelas pasti tidak mau tau tentang teman-teman sekelasnya kalo ada yang nyontek. Tapi Bima, karena ia tau teman-temannya sedang menyontek, ia memantau keadaan di depan pintu, melihat adakah tanda-tanda guru datang.
Begitu Pak Rio masuk kelas, anak-anak sudah duduk dengan rapi. Tapi dia tidak datang sendirian. Ada satu siswa yang mengikutinya dari belakang. "Gak usah sok rapi semua duduknya. Yang nyontek peernya, silahkan langsung keluar dari kelas setelah perkenalan anak ini."
Sorakan demi sorakan terdengar begitu Pak Rio berkata untuk keluar dari kelas. "Nah. Silahkan memperkenalkan diri."
Sean dan mata siswa baru itu saling terpaku. Saling menatap dengan pandangan yang membunuh.
Flashback on.
SMP Kelas 8
Sean, dan kedua teman karibnya tengah istirahat di taman belakang sekolah. Saat semua murid sedang mengantri di kantin, tidak dengan mereka bertiga.
"Eh, Yan. Aku seneng deh ketemu Sean disini. Ah iya. Gelang yang aku kasih masih kamu simpen kan?" Si cewek yang duduk diantara kedua cowok itu menatap Sean.
Sean mengangguk. "Gue taro di rumah kok. Tenang aje."
"Lah? Lu gak seneng ketemu sama gue?" ujar si cowok yang satu lagi.
"Engga. Kamu mah nyebelin. Gak kayak Sean," jawab cewek itu enteng, mengundang kekehan Sean.
Cowok itu mendengus, "Terserah."
##
Hari-H pengumuman kelulusan.
Harusnya mereka hari ini senang karena mereka sudah lulus. Tapi ini, bukannya merayakan kelulusan mereka, Sean dan cowok itu malah menunggu di rumah sakit.
Kecelakaan yang menimpa sang cewek setelah pengumuman membuat Sean dan cowok itu tidak lagi memikirkan untuk merayakan kelulusan mereka.
Sudah satu jam mereka menunggu di depan ruang operasi. Tapi Dokter juga tak kunjung keluar. Dan ketika lampu ruang operasi mati, Dokter pun keluar.
Sang Dokter hanya menggeleng. Tapi cukup membuat semua orang yang ada disana menunggu sang cewek selesai operasi itu, menangis.
Cowok itu langsung mencengkeram kerah kemeja Sean dan mendorongnya ke dinding. "Kalo aja lu nerima perasaan dia, dia gak akan mungkin meninggal. Dia gak akan kecelakaan gitu aja. Lu itu terlalu egois, Yan."
Dengan kasar Sean melepas cengkeraman cowok itu dan menunjuknya. "Gue gak nerima perasaan dia juga ada alasannya. Justru elu yang egois! Kalo lu suka sama dia, kenapa lu gak nembak dia dari dulu?! Lu itu pengecut! Egois! Kalo lu suka sama dia, harusnya langsung nembak! Jangan nyuruh orang nerima perasaan dia cuma biar dia gak sedih! Lu ngebiarin dia bahagia sama yang lain, sedangkan perasaan lu nanti gimana?!" bentak Sean. Cowok itu sudah mengepalkan tangannya menahan emosinya. "Bukan hanya elu yang sedih kehilangan dia. Kita semua juga merasa kehilangan." Sean memegang bahu temannya itu berusaha menenangkannya.
Tapi cowok itu malah melepaskan tangan Sean dan pergi.
Bahkan saat pemakamanpun, temannya itu tidak datang. "Lu pengecut, No," bisik Sean tanpa didengar siapapun.
Flashback off.
Cowok dari kenangan masa lalunya sekarang sedang berdiri di depan kelasnya. Menatapnya.
Sean menatapnya tanpa berkedip sekalipun. Cowok itu memberikan smirknya pada Sean dan memutuskan kontak mata dengan Sean. Ia tersenyum singkat dan melihat teman-temab sekelasnya. "Hai. Gue, Noel Reanno. Salken."
Dan sekarang, Sean harus berurusan dengan Noel lagi.
12 May 2017
Update uhuhuhuhuhu
Wkwkwkwkw
Jangan lupa vommentnya yaaa
Makasihhhh xoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro