Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13

Hedya baru saja membuka matanya beberapa saat yang lalu. Ia mengerjapkan matanya perlahan untuk menyamakan sinar dari matanya dengan sinar di ruangannya.

"Hed? Lu udah bangun?" Dan yang pertama kali ia lihat adalah Nevan.

Ia menunjuk kerongkongannya, bermaksud untuk meminta air karena kerongkongannya serasa seret. Sakit. "Mau apa? Permen?" Hedya mendengus dan menggeleng. Astaga kenapa dia punya kakak yang bodoh sekali.

"A--ir."

"Oh. Nih, nih." Hedya mmeminumnya lewat sedotan.

"Kak. Gue udah berapa lama gak bangun? Kerongkongan gue berasa sakit banget."

Nevan mengendikkan bahunya. "2 hari-an. Lagian lu betah banget deh koma."

"Sean? Dia gak apa-apa, kan?" Jujur, kalau saja waktu itu dia yang mengangkat teleponnya, pasti tidak akan terjadi kecelakaan.

"Hari itu dioperasi, hari itu juga dia sadar. Kakinya patah tulang, kepalanya terbentur keras sampe harus dioperasi, sisanya cuma luka-luka," Nevan mendesah pelan. "Bahkan Sean yang lebih parah aja kenanya, gak sampe satu hari dia sadar. Nah elu, yang cuman parah tulang di tangan aja ampe 2 hari gak bangun. Sangsi gue. Jangan-jangan elu cuma pura-pura ya? Cuma tidur kan lu? Dasar kebo lu ah."

"Kak. Kak. Sini deh. Gue mau bisikin sesuatu," ujarnya sambil menggerakkan tangannya, menyuruh Nevan untuk mendekat. Begitu Nevan mendekat, dengan gerakan cepat, Hedya langsung memukul bahunya.

Membuat Nevan meringis karena dipukul secara bertubi-tubi. "Hed. Hed. Hed, sakit bego. Tuh, kan. Buktinya aja lu bisa mukul-mukul. Sakit boongan kali lu," ledek Nevan samb meringis, yang langsung dihadiahi pelototan dari Hedya.

"Mau dipukul lagi?" Nevan nyengir dan menggeleng. "Kak. Anterin ke kamarnya Sean."

"Yakin udah bisa jalan lu? Mau gue ambilin karung gak?"

Hedya menautkan kedua alisnya bingung. "Lah? Kok karung sih, Kak?"

"Yah buat ngangkat lu lah."

"Lah lu kata gue beras kali. Cepetan deh. Gue udah bisa jalan juga kali."

"Oke. Oke." Nevan membantu Hedya bangun dari tidurnya dan mengambil kursi roda di sudut ruangan.

Perlahan Hedya didorong oleh Nevan ke kamarnya Sean. "Hed. Gue pergi aja ya. Lu masuk sendiri aja. Gak enak gangguin orang pacaran," ledek Nevan yang langsung dihadiahi pelototan dari Hedya dan langsung memgambil seribu jurus untuk kabur.

"Kak. Kalo gue udah sembuh sih mati lu ama gue," pekik Hedya tanpa memusingkan mata-mata yang kini melihatnya.

Lalu ia masuk kedalam dan mendapati Sean seorang diri yang sedang menonton tv sambil berbaring di brankarnya. "Sean." Tanpa aba-aba, Hedya langsung memeluk Sean. Sean yang mendapat pelukan tiba-tiba, kaget dan langsung terbatuk-batuk karena pelukan Hedya yang sangat erat.

Sean memukul-mukul tangan Hedya pelan. "Hed. Hed. Sesek ini. Lu meluk berasa kayak gak ada besok hari tau gak." Hedya melepas pelukannya, nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cieee. Dateng-dateng langsung meluk. Kangen gue ya?" ejek Sean, menoel-noel pipinya.

"Eng--engga. Mana mungkin. Kepedean lu ah," jawabnya terbata, mengalihkan kepalanya ke samping. Pipinya terasa panas sekarang.

Sean terkekeh, mengacak rambut Hedya, gemas. "Malu-malu aje nih."

"Ledekin aje terus."

"Iya-iya. Engga ledekin lagi. Haha. Gimana tangannya?"

"Tadi sih kata Kak Nevan minggu depan udah boleh dilepas."

Sean mengangguk paham. "Hed. Tangan dong."

Bingung, tapi Hedya tetap mengikuti perintah Sean. Ia mengulurkan tangannya ke Sean, dan tiba-tiba Sean langsung memegang tangannya dan menariknya kedalam pelukannya. "Syukurlah, lu gak apa-apa. Gue gak tau lagi kalo misalnya lu kenapa-kenapa." Masih terkejut, Hedya tidak membalas pelukannya.

Lalu ia mengerjapkan matanya dan membalas pelukan Sean. "Iya. Lu lupa? Gue kan cewek kuat."

Sean menatap mata Hedya dan mencubit kedua pipinya sekilas. "Begayaan nih." Hedya tertawa pelan. Pelan, tapi mampu menyejukkan hatinya.

Sean tersenyum melihat Hedya yang tertawa. Dan tanpa bisa ditahan, Sean mengecup pipi Hedya sekilas hingga tawa Hedya terhenti, karena kaget tentunya. Sean tersenyum lagi melihat wajah kaget Hedya. Sepertinya melihat wajah Hedya yang berubah-ubah adalah hobi Sean yang baru.

Sebelum Hedya bicara, Sean sudah memegang erat tangan Hedya dan menutup matanya. "Dengan pegang tangan lu kayak gini, gue bisa tidur pules sekarang." Hedya tersenyum mendengarnya. "Jangan pergi ya, Hed." Perkataan murah, tapi mampu membuat pipi Hedya merah. Dan, Sean tertidur.

Hedya mengangguk dalam diam, walaupun ia tau, Sean tidak bisa melihatnya mengangguk. "Gue gak akan kemana-mana, Yan. Gue akan disamping lu," kata Hedya sambil menepuk-nepuk tangan Sean pelan, menina-bobokan Sean.

##

Hedya sudah kembali ke kamarnya. Meninggalkan Sean sendiri lagi di kamar inapnya ini. Dan Sean termenung disini.

Ia tau kalau ia salah.

Tidak. Perasaan ini yang salah. Seharusnya, perasaan ini tidak boleh tumbuh.

Awalnya, Hedya hanya jadi taruhannya. Awalnya, Sean hanya mengejarnya sebagai target. Awalnya, semua ini hanya permainan.

Dan sekarang, Sean menganggap Hedya bukan sebagai bahan taruhan, bukan sebagai target. Tapi, sebagai orang yang ia sayang.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Memunculkan seseorang yang langsung membuat Sean membuang wajahnya ke arah lain.

"Ngapain lu kesini?"

"Woah woah. Selow dong, bos. Gue cuma mau jengukin temen gue aja."

Sean berdecih. "Lu gak diterima disini, Rel. Mending lu pergi dari sini sekarang."

Farel terkekeh. "Yah. Gue sih cuma mau kasih toleransi aja. Karena lu abis kecelakaan, taruhannya gue perpanjang. Sampe bulan Februari. Gimana?"

"Gue gak mau taruhan lagi. Gue mundur."

Farel tersenyum evil. "Beneran? Lu ngaku kalah berarti?"

"Terserah lu mau anggep gue ngapain. Tapi yang pasti gue mundur. Gue gak bisa lanjutin buat dia jadi taruhan. Gak."

"Woah. Seorang kapten basket yang angkuh ini jatuh cinta rupanya? Emang kenapa? Lu suka beneran sama dia? Iya? Astaga. Lu mau ama dia? Dalam sekali liat aja, gue udah tau kalo dia tuh cewek gampangan," ejek Farel.

Sean sudah geram, ia membentak Farel. "Hedya bukan cewek gampangan. Dia itu gak kayak pacar lu yang tinggal dibaikin dikit aja langsung jalan."

Bukannya marah, Farel malah menyeringai. "Lu masih suka Ivana kan? Lu iyain taruhan ini bukan semata-mata karena gue ngejek lu kapten abal. Tapi juga bales dendam ke gue karena Ivana lebih milih gue daripada elu. Dan si cewek taruhan itu," ia makin menyeringai lebar. "Dia cuma jadi pelampiasan lu dari Ivana. Gue kira, lu gak bakal bisa jatuh cinta lagi sejak Ivana berpaling ke gue. Ternyata gue salah."

Sean mengepalkan tangannya, geram. Rasanya ia ingin menonjok Farel sekarang. "Mendingan lu keluar sekarang."

"Marah, Bos. Oke. Gue keluar. Sampai jumpa lagi." Ia berbalik dan tiba-tiba, berhenti. "Taruhan masih tetap berjalan." Dan dengan itu, Farel menutup pintu kamar Sean dan menghilang dari pandangan Sean. Meninggalkan Sean yang geram dan kesal.

Tanpa mereka sadari, sebenarnya, Hedya mendengarkan semua percakapan mereka. Ia tadinya ingin mengambil hapenya yang tertinggal, tapi karena ada ribut-ribut didalam, ia lebih memilih untuk tidak masuk. Bukan maksudnya untuk menguping, tapi ia mendengar namanya disebut, jadinya ia memilih untuk mendengarkannya.

Saat Farek keluar, Hedya langsung mengarahkan secepat mungkin kursi rodanya ke kamarnya.

Sekarang ia ingin sendiri.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Untuk sementara, ia tidak akan memberitahu Nevan, ia pasti akan marah besar kalau mendengar Hedya menjadi bahan taruhan.

Jadi sementara, biar Hedya aja yang tau.

Tok tok tok

Buru-buru Hedya menghapus jejak air matanya. "Siapa?"

Lalu pintu terbuka, memunculkan sebuah tangan dengan sekotak donut. "Hai, Hed."

"Tumbenan lu, Bri, jenguk gue."

"Yehhhh. Tiap hari juga gue nyempetin kali ke kamar lu. Lu nya aja noh, gak bangun-bangun," kata Brian.

Hedya terkekeh. "Nih. Buat lu." Hedya menerimanya dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Makasih, Bri."

"Sama-sama."

Lalu hening. "Ehmm, Bri."

Brian yang lagi main hape langsung mengangkat wajahnya menatap Hedya. "Nape lu? Muka lu gak usah sok serius gitu. Gak pantes," canda Brian.

Hedya terkekeh terpaksa. "Itu, enggg, lu tau masalah Sean sama Farel?"

Brian yang tadinya tertawa kecil, langsung diam. "Farel sama Sean?"

"Iya." Hedya jadi khawatir sekaligus takut karena perubahan Brian yang jadi serius. "Lu tau?"

"Mendingan lu tau dari dianya sendiri aja."

"Kenapa?"

"Karena ya gitu. Pokoknya, mendingan lu tau dari dia sendiri aja." Brian tidak mungkin menceritakannya pada Hedya. Terlalu mengecewakan untuk Hedya kalau ia ceritakan. Jadi lebih baik kalau Hedya tau dari Seannya sendiri. "Eh, Hed. Gue duluan ya. Mau ke kamarnya Sean. Cepet sembuh, Hed."

"Iya. Makasih ya, Bri."

Brian mengangguk dan menghilang di balik pintu.

Memang harus bertanya langsung pada Sean. Tapi, mungkin tidak sekarang. Karena ia butuh menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum bicara pada Sean.

Semoga dia bisa melewatinya.

8 April 2017

Sebelum UN, aku mau update dulu ah. Ngebet banget pengen update wkwkwk

Doain yaa, semoga UN nya minggu depan bisa berjalan dengan baik..

Semangat juga buat yang UN yeayyyy

Dan jangan lupa, klik tanda bintang dan comment oke? Wkwkwk

Makasihhhh

Author muah muah pergi duluu byeee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro